Al Qur'an

يَا بُنَيَّ أَقِمِ الصَّلاَ ةَ وَ أْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَ انْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَ اصْبِرْ عَلَى مَا أَصَا بَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ اْلأُمُور [لقمان/17]

Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). (QS. Lukmaan (31) : 71

SILAHKAN DISEBARKAN

SILAHKAN DIPERBANYAK / DISEBARKAN DENGAN COPY PASTE ASAL SEBUTKAN SUMBERNYA, TERIMA KASIH

Senin, 15 Agustus 2011

Pengetahuan dan Hukum Islam Tentang Riba (Bagian 3)


Larangan Riba dalam Al Qur'an dan As-Sunnah



Umat Islam dilarang mengambil riba apapun jenisnya. Larangan supaya umat Islam tidak melibatkan diri dengan riba bersumber dari berbagai surat dalam Al Qur'an dan hadits Rasulullah r.



Larangan Riba dalam Al Qur'an

Larangan riba yang terdapat dalam Al Qur'an tidak diturunkan sekaligus melainkan diturunkan dalam empat tahap.

Tahap pertama, tentang riba turun pada periode Makkah adalah menolak anggapan bahwa pinjaman riba yang pada lahirnya seolah-olah menolong mereka yang memerlukan sebagai suatu perbuatan mendekati atau taqarub kepada Allah I. Tetapi pada hakikatnya malah membuat manusia yang dipinjami menderita.

وَ  مَا  آَتَيْتُمْ   مِنْ   رِبًا   لِيَرْ بُوَ   فِي   أَمْوَ الِ   النَّاسِ   فَلاَ   يَرْ بُو   عِنْدَ   اللَّهِ   وَ  مَا   آَتَيْتُمْ   مِنْ   زَكَاةٍ   تُرِيدُونَ   وَجْهَ   اللَّهِ   فَأُولَئِكَ   هُمُ   الْمُضْعِفُونَ   [الروم/39]
Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya). (QS. Ar-Ruum (30) : 39)



Tahap kedua, riba digambarkan sebagai sesuatu yang buruk, Allah I mengancam akan memberi balasan yang keras kepada orang Yahudi yang memakan riba. Ayat ini ditujukkan kepada orang mukmin sebagai contoh supaya tidak bertindak serupa dengan orang-orang Yahudi.

فَبِظُلْمٍ  مِنَ  الَّذِينَ  هَادُوا  حَرَّ مْنَا  عَلَيْهِمْ  طَيِّبَاتٍ  أُحِلَّتْ  لَهُمْ  وَ  بِصَدِّ هِمْ  عَنْ   سَبِيلِ   اللَّهِ   كَثِيرً ا (160)  وَ  أَخْذِ هِمُ   الرِّ بَا   وَ قَدْ  نُهُوا عَنْهُ  وَ  أَ  كْلِهِمْ   أَمْوَ الَ   النَّاسِ   بِالْبَاطِلِ  وَ  أَعْتَدْ نَا   لِلْكَافِرِينَ   مِنْهُمْ   عَذَ ا بًا   أَلِيمًا (161) [النساء/160، 161]
Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah (160)  dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.(161)



Tahap ketiga, pada periode Madinah, turun ayat yang mengharamkan riba secara jelas-jelasan, riba diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan yang berlipat ganda. Para ahli tafsir berpendapat bahwa pengambilan bunga dengan tingkat yang cukup tinggi merupakan fenomena yang banyak dipraktekkan pada masa tersebut. Lihat firman Allah I :

يَا  أَ يُّهَا  الَّذِينَ   آَمَنُوا  لاَ   تَأْ  كُلُوا  الرِّ بَا   أَضْعَافًا   مُضَاعَفَةً   وَ  اتَّقُوا  اللَّهَ   لَعَلَّكُمْ   تُفْلِحُونَ   [آل عمران/130]
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. (QS. Ali Imraan (3) : 130)



Ayat ini turun pada tahun ke 3 hijriah. Secara umum, ayat ini harus dipahami bahwa kriteria berlipat ganda (أَضْعَافًا   مُضَاعَفَةً) bukanlah merupakan syarat dari terjadinya riba (jikalau bunga berlipat ganda maka riba, tetapi jikalau kecil atau tidak berlipat ganda maka bukan riba, sebenarnya besar kecil semuanya riba apabila akad diawal bertujuan ditambah), tetapi ini merupakan sifat umum dari praktek pembungaan pada saat itu. Demikian juga ayat ini harus dipahami secara komprehensif dengan ayat 278-279 dari surat Al Baqarah yang turun pada tahun ke 9 hijriah.

Tahap keempat, atau tahapan terakhir Allah I dengan tegas dan jelas mengharamkan apapun jenis tambahannya yang diambil dari riba, sedikit ataupun banyak. Ini adalah ayat terakhir yang diturunkan menyangkut riba. Lihat firman Allah I berikut :

يَا  أَ  يُّهَا  الَّذِينَ   آَمَنُوا  اتَّقُوا  اللَّهَ  وَ  ذَرُوا  مَا   بَقِيَ   مِنَ   الرِّ بَا   إِنْ   كُنْتُمْ   مُؤْ مِنِينَ   (278)  فَإِنْ   لَمْ   تَفْعَلُوا  فَأْذَ نُوا   بِحَرْبٍ   مِنَ  اللَّهِ   وَ  رَسُو لِهِ   وَ  إِنْ   تُبْتُمْ   فَـلَكُمْ   رُءُوسُ   أَمْوَ الِكُمْ    لاَ   تَظْلِمُونَ   وَ  لاَ   تُظْلَمُونَ  (279) [البقرة/278، 279]
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.(278) Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.(279) (QS. Al Baqarah (2) : 278-279)



Pada ayat ini terkandung penolakan tegas terhadap orang yang mengatakan, bahwa riba tidak haram kecuali jika berlipat ganda, karena Allah I tidak membolehkannya kecuali mengembalikan modal pokok tanpa ada pertambahan. Dan ayat ini merupakan ayat terakhir berkaitan dengan masalah riba. Dan riba termasuk Kabair (dosa besar).

Ayat inipun akan sempurna kita pahami jika kita cermati bersana asbabun nuzulnya. Abu Ja'far Muhammad bin Jarir ath-Thabari meriwayatkan :

تفسير الطبري - (ج 6 / ص 23)  :   حدثنا  القاسم  قال،  حدثنا  الحسين  قال،  حدثني  حجاج،  عن  ابن  جر يج  قوله  :  "يا أيها الذين  آمنوا  اتقوا  الله  و  ذروا  ما  بقي  من  الرّبا  إن   كنتم  مؤمنين" ،  قال )  كانت  ثقيف  قد  صالحت   النبيّ   صلى   الله عليه  و سلم  على   أنّ   ما  لهم  من   ربًا  على  الناس  و  ما   كان   للناس   عليهم   من   ربًا  فهو   موضوع.  فلما   كان الفتحُ،  استعمل  عتَّاب  بن  أسِيد  على  مكةَ،  و  كانت   بنو  عمرو  بن  عُمير  بن  عوف   يأخذون   الرِّبا  من   بني   المغيرة، و  كانت  بنو  المغيرة   يُرْبون  لهم   في   الجاهلية،   فجاء   الإسلام  و  لهم   عليهم   مال   كثير.  فأتاهم   بنو  عمرو   يطلبون ربا هم،   فأبي   بنو   المغيرة   أن   يعطو هم   في   الإسلام،  و  رفعوا   ذلك   إلى   عتّاب   بن   أسيد،  فكتب   عتّاب   إلى رسول   الله  صلى  الله   عليه  و  سلم،   فنزلت  :  "يا أيها  الذين  آمنوا  اتقوا  الله   وذروا  ما  بقي  من   الرّبا   إن  كنتم مؤمنين .  فإن   لم   تفعلوا   فأذنوا   بحرْب  من   الله  و  رسوله"،  إلى  "و لا  تظلمون". فكتب   بها  رسول   الله   صلى   الله عليه  و  سلم  إلى  عتّاب  و  قال  :  " إن  رَضوا  و  إلا   فآذنهم   بحرب" (
" Kaum Tsaqif, penduduk kota Thaif, telah membuat suatu kesepakatan dengan Rasulullah r, bahwa semua utang mereka, demikian juga piutang (tagihan) mereka, yang berdasarkan riba agar dibekukan dan dikembalikan hanya pokoknya saja. Setelah Fathul Makkah, Rasulullah r menunjuk Itab bin Usaid sebagai gubernur Mekkah yang juga meliputi wilayah Thaif sebagai daerah administrasinya. Bani Amr bin Umair bin Auf adalah orang yang senantiasa meminjamkan uang secara riba kepada Bani Mughirah dan sejak jaman Jahiliyah Bani Mughirah senantiasa membayarnya dengan tambahan (riba). Setelah kedatangan Islam, mereka tetap memiliki kekayaan dan asset yang banyak. Karenanya, datanglah Bani Amir bin Umair bin Auf untuk menagih utang dengan tambahan (riba) dari Bani Mughirah seperti sediakala tetapi Bani Mughirah setelah masuk Islam menolak untuk memberikan tambahan (riba) tersebut. Dilaporkanlah masalah tersebut kepada Gubernur Itab bin Usaid. Menanggapi masalah ini, Gubernur Itab bin Usaid langsung menulis surat kepada Rasulullah r dan turunlah ayat diatas. Rasulullah r lantas menulis surat balasan kepada Gubernur Itab bin Usaid ,"Jika mereka ridha atas ketentuan Allah I di atas maka itu baik, tetapi jika mereka menolaknya maka kumandangkanlah ultimatum perang kepada mereka'".


Marilah kita kaji lebih mendalam lagi dari Tafsir Ibnu Katsir surat Al Baqarah (2) ayat 275-281 tentang riba ini [1] :


الَّذِينَ   يَأْ  كُلُونَ  الرّ ِبَا  لاَ    يَقُومُونَ   إِلاَّ    كَمَا   يَقُومُ   الَّذِي   يَتَخَبَّطُهُ   الشَّيْطَانُ   مِنَ   الْمَسِّ   ذَلِكَ   بِأَ نَّهُمْ   قَالُوا   إِ نَّمَا  الْبَيْعُ مِثْلُ  الرِّ بَا   وَ  أَحَلَّ   اللَّهُ   الْبَيْعَ  وَ  حَرَّ مَ   الرِّ بَا   فَمَنْ   جَاءَ هُ   مَوْعِظَةٌ   مِنْ   رَ بِّهِ   فَا نْتَهَى   فَلَهُ   مَا  سَلَفَ   وَ  أَمْرُهُ   إِلَى  اللَّهِ وَ  مَنْ  عَادَ   فَأُولَئِكَ   أَصْحَابُ   النَّارِ هُمْ    فِيهَا   خَالِدُون [البقرة/275]
Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.(QS. Al Baqarah (2) : 275)


Di dalam ayat ini Allah r memulai dengan menceritakan tentang orang-orang yang memakan riba dari harta kekayaan orang lain dengan cara yang tidak dibenarkan, serta berbagai macam syubhatnya. Lalu Allah r mengibaratkan keadaan mereka pada saat bangkit dan keluar dari kuburan mereka pada hari kebangkitan. Lihatlah Allah r berfirman  (الَّذِينَ   يَأْكُلُونَ   الرِّ بَا  لا    يَقُومُونَ   إِلا   كَمَا يَقُومُ   الَّذِي  يَتَخَبَّطُهُ   الشَّيْطَانُ   مِنَ   الْمَسِّ)"Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila". Artinya mereka tidak dapat berdiri dari kuburan mereka pada hari Kiamat kelak kecuali seperti berdirinya orang gila pada saat mengamuk dan kerasukan syetan. Yaitu mereka berdiri dengan posisi yang tidak sewajarnya.

تفسير ابن أبي حاتم - (ج 10 / ص 399/ح 2932)  :  عن  ابن  عباس  في  قوله  )الذين  يأكلون  الربا  لا  يقومون إلا   كما  يقوم  الذي  يتخبطه  الشيطان  من  المس    قال  :  آكل  الربا  يبعث  يوم  القيامة  مجنونا  يخنق (
Ibnu Abbas t mengatakan tentang penafsiran ayat ini : "Pemakan riba akan dibangkitkan pada hari Kiamat kelak dalam keadaan gila serta tercekik".

روى   البخاري ،  عن  سَمُرَ ة   بن  جندب  في  حديث  المنا م  الطويل ) " فَأَتَيْنَا  عَلَى نَهْرِ- حَسِبْتُ  أَنَّهُ كَانَ  يَقُولُ  :   أَحْمَرَ  مِثْلِ  الدَّمِ  - وَ  إِذَ ا  فِي   النَّهْرِ رَ جُلٌ  سَابِحٌ  يَسْبَحُ ، وَ  إِذَ ا  عَلَى  شَطِّ  النَّهْرِ رَ جُلٌ  قَدْ  جَمَعَ  عِنْدَهُ  حِجَارَةً   كَثِيْرَةً، وَ  إِذَ ا ذَلِكَ  السَّابِحُ  يَسْبَحُ،  ثــُمَّ  يَأْ تِي  ذَ لـِكَ  الَّذِي  قَدْ  جَمَعَ  اْلحِجَارَةَ  عِنْدَهُ  فَيَفْغَرُ  لَهُ  فَاَهُ  فَيُلْقِمُهُ  حَجَرًا" و ذكر  في  تفسيره :  أنه  آكل الر با  (.
Imam Bukhari meriwayatkan dari Samurah bin Jundub t dari hadits yang panjang tentang mimpi Rasulullah r : " Maka tibalah kami di sebuah sungai, aku menduga ia mengatakan : 'Sungai itu sungai darah yang merah'. Ternyata di sungai tersebut terdapat seseorang yang sedang berenang, dan dipinggirnya terdapat seseorang yang telah mengumpulkan batu yang sangat banyak di sampingnya. Orang itupun berenang mendatangi orang yang mengumpulkan batu itu. Kemudian orang yang berenang itu membuka mulutnya, lalu ia menyuapinya dengan batu". Dan Rasulullah r dalam menafsirkan peristiwa tersebut mengatakan itulah pemakan Riba.

Dan firman Allah I berikutnya (ذَلِكَ   بِأَ نَّهُمْ   قَالُوا   إِ نَّمَا  الْبَيْعُ    مِثْلُ   الرِّ بَا   وَ  أَحَلَّ   اللَّهُ   الْبَيْعَ   وَ  حَرَّ مَ   الرِّ بَا)"Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba". Maksudnya, mereka membolehkan riba dengan maksud untuk menentang hukum-hukum Allah I yang terdapat dalam syariatNya. Bukan karena mereka mengqiyaskan riba dengan jual beli, sebab orang-orang musyrik tidak pernah mengakui penetapan jual beli yang telah ditetapkan Allah I didalam Al Qur'an. Seandainya hal itu termasuk qiyas, niscaya mereka akan mengatakan : "Sesungguhnya riba itu sama dengan jual-beli". Tetapi dalam hal ini mereka mengatakan (إِ نَّمَا  الْبَيْعُ    مِثْلُ   الرِّ بَا ) "Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba", artinya, keduanya serupa, lalu mengapa Dia mengharamkan yang ini dan menghalalkan yang itu?.  Yang demikian itulah penentangan mereka terhadap syariat dengan mengatakan berbagai alasan sesuai logika mereka tanpa keimanan kepada hukum Allah I, dan mereka menafsirkan dengan hawa nafsunya sendiri, artinya dia (orang musyrik) mengatakan yang ini sama dengan ini dan Dia sendiri telah menghalalkan ini dan mengharamkan yang ini.

Dan firman Allah I berikutnya : (وَ  أَحَلَّ   اللَّهُ   الْبَيْعَ   وَ  حَرَّ مَ   الرِّ بَا ) "Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba". Hal itu mungkin merupakan bagian dari kesempurnaan kalam Allah I sebagai penolakan terhadap mereka atau terhadap apa yang mereka katakan, padahal mereka mengetahui perbedaan hukum yang ditetapkan Allah I antara keduanya. Dia Mahamengetahui dan Mahabijaksana. Tidak ada yang dapat menolak ketetapanNya dan Allah I tidak dimintai pertanggung jawaban. Dialah yang Mahamengetahui segala hakikat dan kemaslahatan persoalan. Apa yang bermanfaat bagi hamba-hambanNya, maka Dia akan membolehkannya bagi mereka, dan apa yang membahayakan bagi mereka, maka Dia akan melarangnya bagi mereka. Kasih sayang Allah I kepada para hambaNya lebih besar daripada sayangnya seorang ibu kepada anak bayinya. Oleh karena itu, dalam terusan ayat tersebut Allah I berfirman (فَمَنْ   جَاءَ هُ   مَوْعِظَةٌ   مِنْ   رَ بِّهِ   فَا نْتَهَى   فَلَهُ   مَا  سَلَفَ   وَ  أَمْرُهُ   إِلَى  اللَّهِ ) "Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah". Maksudnya, barang siapa yang telah sampai kepadanya larangan memakan riba, lalu ia mengakhirinya ketika syariat sampai kepadanya, maka baginya hasil mu'amalah terdahulu. Yang demikian itu didasarkan pada dalil Al Qur'an : (عَفَا اللَّهُ عَمَّا سَلَف) "Allah memaafkan apa yang telah berlalu".(QS. Al Maidah (5) : 95).

Dan sebagaimana sabda Rasulullah r pada saat pembebasan kota Makkah (bahkan pada haji Wada') :

) وَ  كُلُّ   رِبَا   فيِ  اْلجَاهِلِـيَّةِ   مَوْضُوْعٌ   تَحْتَ  قَدْ  مَيَّ   هَاتَيْنِ، وَ  أَوَّ لَ رِبَا أَضَعُ  رِبَا  اْلعَبَاسِ (
"Segala bentuk riba pada masa jahiliyah diletakkan dibawah kedua kakiku ini, dan riba yang pertama kali aku letakkan adalah riba pamanku Abbas".

Rasulullah r tidak menyuruh mereka mengembalikan keuntungan yang mereka peroleh pada masa jahiliyah, tetapi Allah I telah memaafkan mereka atas apa yang telah berlalu sebagaimana yang difirmankanNya (فَلَهُ   مَا  سَلَفَ   وَ  أَمْرُهُ   إِلَى  اللَّهِ )"Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datangnya larangan), dan urusannya (terserah) kepada Allah". Said bin Jubair dan as-Suddi mengatakan : (فإنه  ما  كان  أ  كل  من  الربا  قبل  التحر يم) "Baginya riba yang dahulu pernah ia makan sebelum diharamkan".

Ibnu Abi Hatim meriwayatkan bahwa 'Aisyah, isteri nabi r pernah bertutur :
) قالت  لها  أم  محبة   أم  ولد  لزيد بن  أرقم - :  يا  أم  المؤ منين،  أتعرفين  زيد  بن  أرقم؟  قالت :  نعم.  قالت :  فإني  بعته  عبدًا  إلى العطاء  بثما نمائة ،  فاحتاج   إلى  ثمنه،  فاشتر يته  قبل  محل  الأجل  بستمائة.  فقالت :  بئس  ما  شريت!  و  بئس  ما اشتريت!  أبلغي زيدً ا  أنه  قد أبطل  جهاده   مع  رسول  الله  صلى  الله  عليه  و سلم  إن   لم   يتب   قالت :  فقلت :  أرأيت   إن   تركت   المائتين  و أخذت الستمائة؟  قالت  : نعم،  { فَمَنْ  جَاءَ هُ   مَوْعِظَةٌ  مِنْ  رَ بِّهِ  فَا نْتَهَى  فَلَهُ  مَا  سَلَفَ }(
"Ia pernah ditanya oleh Ummu Bahnah, yaitu Ummu Walad[2] Zaid bin Arqam, 'Wahai Ummul Mukminin, apakah engkau kenal Zaid bin Arqam?.'Ya, aku mengenalnya' jawab 'Aisyah. Ummu Bahnah mengatakan : 'Sesungguhnya aku telah menjual kepadanya seorang budak dengan cara bertempo seharga 800 dirham. Lalu dia memerlukan uang, maka aku membeli kembali (budak itu dengan tunai) sebelum sampai waktu pembayaran (sebelum jatuh tempo) dengan harga 600 dirham (tunai)'. 'Aisyah berkata :'Alangkah buruknya pembelianmu, alangkah buruknya pembelianmu itu. Sampaikanlah kepada Zaid bahwa ia benar-benar telah menghapuskan pahala jihadnya bersama Rasulullah, jika tidak segera bertaubat'. Ummu Bahnah melanjutkan pertanyaan : 'Bagaimana menurutmu, jika aku meninggalkan 200 dirham dan mengambil yang 600 dirham (sebagai pembayaran hutang)?. Aisyah menjawab :'Ya, boleh'. (فَمَنْ   جَاءَ هُ   مَوْعِظَةٌ   مِنْ   رَ بِّهِ   فَا نْتَهَى   فَلَهُ   مَا  سَلَفَ ) "Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah".

Atsar ini sangat masyhur dan merupakan dalil bagi orang yang mengharamkan jual beli 'inah (riba terselubung) serta beberapa hadits lain yang berkaitan dengan hal itu yang telah ditetapkan dalam masalah hukum. Segala puji bagi Allah I.

Selanjutnya Allah I berfirman (وَ  مَنْ  عَادَ)"Orang yang mengulangi (mengambil riba)". Maksudnya kembali mengambil riba, dan ia mengerjakannya setelah sampai kepadanya larangan tersebut, maka wajib baginya hukuman dan penegasan hujjah atasnya. Oleh karena itu Allah I berfirman (فَأُولَئِكَ   أَصْحَابُ   النَّارِ هُمْ    فِيهَا   خَالِدُون)"Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka, mereka kekal didalamnya".

Abu Dawud telah meriwayatkan dari Abu Zubair, dari Jabir, ia menceritakan ketika turunnya ayat (الَّذِينَ   يَأْكُلُونَ   الرِّ بَا  لا    يَقُومُونَ   إِلا   كَمَا يَقُومُ   الَّذِي  يَتَخَبَّطُهُ   الشَّيْطَانُ   مِنَ   الْمَسِّ) "Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila". Maka Rasulullah r bersabda :

)  مَنْ  لَمْ   يَذَرِ  الْمُخَابَرَةَ   فَـلْـيَأْذَنْ   بِحَرْبٍ  مِنَ   اللَّهِ  وَ  رَسُو لِهِ  (
"Barang siapa yang tidak meninggalkan Mukhabarah, maka silahkan mengumumkan perang kepada Allah dan Rasulnya" [3]

Diharamkan Mukhabarah, yaitu menyewakan tanah dengan imbalan sebagian hasil buminya. Demikian juga Muzahanah, yaitu membeli kurma basah yang masih ada di pohonnya dengan pembayaran kurma kering yang sudah ada di tanah. Dan Muhaqalah, yaitu pembelian biji yang masih melekat pada tangkainya di ladang dengan biji yang sudah ada di tanah. Semua itu dan juga semua praktek yang sejenisnya diharamkan untuk merintangi jalan ke inti riba, sebab belum diketahui kesamaan dua barang sebelum keduanya kering betul. Oleh karena itu, para fuqaha mengemukakan : "Ketidaktahuan terhadap kesamaan, sama seperti hakikat kelebihan". Dan mereka juga mengharamkan segala sesuatu yang mereka pahami, sebagai upaya untuk mempersempit jalan dan berbagai sarana yang mengantarkan kepada riba. Adapun ketidaksamaan pandangan mereka tergantung pada ilmu yang dikaruniakan Allah I kepada mereka. Dan Allah I sendiri telah berfirman ( وَ فَوْقَ  كُلِّ  ذِي  عِلْمٍ  عَلِيمٌ ( يوسف : 76 )) "Dan diatas tiap-tiap orang yang berpengetahuan itu ada lagi yang Mahamengetahui (Allah)" (QS Yusuf (12) : 76).

Masalah riba ini merupakan masalah yang paling rumit menurut kebanyakan ulama. Amirul mukminin, Umar bin Khatab t pernah mengatakan:

) ثلاث   وددت   أن   رسول  الله  صلى  الله  عليه  و سلم   عهد   إلينا   فيهن   عهدًا   ننتهي   إليه   :   الجد،  و  الكلا لة،  و  أبواب   من أبواب   الربا (
"Tiga hal seandainya saja Rasulullah r mewasiatkan kepada kami dengan wasiat yang dapat memuaskan kami yaitu dalam masalah al-jaddu (bagian warisan kakek), al-kalalah (orang yang meninggal tidak meninggalkan ayah dan anak), dan beberapa masalah riba".

Maksudnya adalah sebagian masalah yang di dalamnya terdapat percampuran riba (apakah sedikit unsur ribanya atau banyak unsur ribanya), sedangkan syariat telah menetapkan bahwa sarana yang mengantarkan kepada yang haram itu pun haram hukumnya, karena sesuatu yang menghantarkan kepada yang haram adalah haram, sebagaimana tidak sempurnanya suatu kewajiban kecuali dengan sesuatu, makanya itu menjadi wajib.


[1] Tafsir Ibnu Katsir (Terjemahan Indonesia), Lubaabut Tafsir Min Ibni Katsiir, DR Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh, jilid 1 halaman 545-559, Pustaka Imam Asy-Syafi'I, cetakan 6, Februari 2008, Bogor.
[2]  Ummu wallad adalah wanita yang melahirkan anak majikannya
[3]  سنن أبي داود - (ج 9 / ص 256/ح 2957) و السنن الكبرى للبيهقي - (ج 6 / ص 128) و المستدرك على الصحيحين للحاكم - (ج 7 / ص 257/ح 3085) و مسند أبي يعلى الموصلي - (ج 5 / ص 87/ح 1979) و صحيح ابن حبان - (ج 21 / ص 441/ح 5291)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar