Al Qur'an

يَا بُنَيَّ أَقِمِ الصَّلاَ ةَ وَ أْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَ انْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَ اصْبِرْ عَلَى مَا أَصَا بَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ اْلأُمُور [لقمان/17]

Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). (QS. Lukmaan (31) : 71

SILAHKAN DISEBARKAN

SILAHKAN DIPERBANYAK / DISEBARKAN DENGAN COPY PASTE ASAL SEBUTKAN SUMBERNYA, TERIMA KASIH

Minggu, 20 Februari 2011

Kitab Shaum (Bagian 9) : Shaum & Hukum-hukumnya


Qadha`, Fidyah dan Kaffarah

Ketika seseorang meninggalkan kewajiban ibadah puasa, maka ada konsekuensi yang harus dikerjakan. Konskuensi itu merupakan resiko yang harus ditanggung karena meninggalkan kewajiban puasa yang telah ditetapkan. Adapun bentuknya, ada beberapa bentuk, yaitu qada` (mengganti puasa di hari lain), membayar fidyah (memberi makan fakir miskin) dan membayar kaffarah (denda). Masing-masing bentuk itu harus dikerjakan sesuai dengan alasan tidak puasanya.



1. Qadha`


Qadha` adalah berpuasa di hari lain di luar bulan Ramadhan sebagai pengganti dari tidak berpuasa pada bulan itu. Yang wajib mengganti (mengqadha`) puasa dihari lain adalah :


a. Wanita yang mendapatkan haidh dan nifas. Mereka diharamkan menjalankan puasa pada saat mendapat haidh dan nifas. Karena itu wajib menggantinya di hari lain.


b. Orang sakit, termasuk yang dibolehkan untuk tidak berpuasa Ramadhan. Karena itu apabila telah sehat kembali, maka wajib menggantinya di hari lain setelah dia sehat.


c. Wanita yang menyusui dan hamil, karena alasan kekhawatiran pada diri sendiri. Mereka dibolehkan tidak berpuasa karena dapat digolongkan sebagai orang sakit

d. Bepergian (musafir). Orang yang bepergian mendapat keringanan untuk tidak berpuasa, tetapi harus mengganti di hari lain ketika tidak dalam perjalanan.


e. Orang yang batal puasanya karena suatu sebab, seperti muntah, keluar mani secara sengaja, makan minum tidak sengaja dan semua yangmembatalkan puasa. Tapi bila makan dan minum karena lupa, tidak membatalkan puasa sehingga tidak wajib mengqadha`nya.


Dalam mengqadha` puasa, apakah harus berturut-turut atau boleh dipisah-pisah asal jumlahnya sama ?

سنن الدارقطني - (ج 6 / ص 95/ح 2353) : حَدَّ ثَنَا أَ بُو الْحُسَيْنِ عَبْدُ الْبَاقِى بْنُ قَانِعٍ الْقَاضِى حَدَّ ثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَنْصُورٍ الْفَقِيهُ أَ بُو إِسْمَاعِيلَ وَ مُحَمَّدُ بْنُ عُثْمَانَ قَالاَ حَدَّ ثَنَا سُفْيَا نُ بْنُ بِشْرٍ حَدَّ ثَنَا عَلِىُّ بْنُ مُسْهِرٍ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ t أَنَّ النَّبِىَّ r قَالَ ) فِى قَضَاءِ رَ مَضَانَ إِنْ شَاءَ فَرَّ قَ وَ إِنْ شَاءَ تَابَعَ (

Dari Ibnu Umar t, sesungguhnya Nabi r bersabda : “Qadha Ramadhan itu jika suka boleh berselang-seling dan jika suka boleh berturut-turut”

نيل الأوطار - (ج 7 / ص 119) : قَالَ الْبُخَارِيُّ : قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ t : ) لاَ بَأْسَ أَنْ يُـفَرَّ قَ لِـقَـوْ لِ اللَّهِ تَعَالَى { فَـعِدَّ ةٌ مِنْ أَ يَّامٍ أُخَرٍ }(

Imam Bukhari berkata, Ibnu Abbas t mengatakan : “Berselang-seling juga tidak mengapa, karena kemutlakan firman Allah I “Maka perhitungkanlah di hari-hari lain”.

نيل الأوطار - (ج 7 / ص 119/ ح 1698) : وَ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ : )نَزَ لَتْ { فَعِدَّةٌ مِنْ أَ يَّامٍ أُخَرَ } مُتَتَابِعَاتٍ ، فَسَقَطَتْ مُتَتَابِعَاتٍ ( (رَوَاهُ الدَّارَقُطْنِيّ وَقَالَ : إسْنَادٌ صَحِيحٌ ) .

Dan dari ‘Aisyah t, ia berkata : setelah turunnya ayat “Maka perhitungkanlah di hari-hari lain” dengan berturut-turut, lalu digugurkan kata “berturut-turut” itu. (Riwayat Daruquthniy dengan insnad yang shahih)

نيل الأوطار - (ج 7 / ص 121/ح 1699) : - وَ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ : ) كَانَ يَكُونُ عَلَيَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ ، فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِيَ إلاَّ فِي شَعْبَانَ ، وَ ذَ لِكَ لِمَكَانِ رَسُولِ اللَّهِ r ( رَوَاهُ الْجَمَاعَةُ

Dan dari Aisyah t, ia berkata : “ Aku pernah mempunyai hutang puasa Ramadhan, tetapi aku tidak bisa mengqadhanya melainkan di bulan sya’ban, dan yang demikian itu lantaran akau ada kesibukan dengan Rasulullah r(HR Jamaah)

Jelaslah sudah, qadha bisa selang-seling atau berturut-turut. Namun bila mampu melakukan secara berturut-turut hukumnya mustahab (dianjurkan) menurut sebagian ulama. Dan mengqadha boleh bulan kapanpun, tetapi membayar qadha lebih cepat lebih baik.


Bagaimana hukumnya bila Ramadhan telah tiba sementara masih punya hutang qadha` puasa Ramadhan tahun lalu ?

Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Sebagian fuqoha seperi Imam Malik, Imam as-Syafi`i dan Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan bahwa harus mengqadha` setelah Ramadhan dan membayar kaffarah (denda). Perlu diperhatikan meski disebut dengan lafal ‘kaffarah’, tapi pengertiannya adalah membayar fidyah, bukan kaffarah dalam bentuk membebaskan budak, puasa 2 bulan atau memberi 60 fakir miskin. Ini dijelaskan dalam Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu karya Dr. Wahbah Az-Zuhaili.

Dasar pendapat mereka adalah qiyas, yaitu mengqiyaskan orang yang meinggalkan kewajiban mengqadha` puasa hingga Ramadhan berikutnya tanpa uzur syar`i seperti orang yang menyengaja tidak puasa di bulan Ramadhan. Karena itu wajib mengqadha` serta membayar kaffarah (bentuknya Fidyah). Sebagian lagi mengatakan bahwa cukup mengqadha` saja tanpa membayar kaffarah. Pendapat ini didukung oleh Mazhab Hanafi, Al-Hasan Al-Bashri dan Ibrahim An-Nakha`i. Menurut mereka tidak boleh mengqiyas seperti yang dilakukan oleh pendukung pendapat di atas. Jadi tidak perlu membayar kaffarah dan cukup mengqadha` saja.

نيل الأوطار - (ج 7 / ص 121) : وَ يُرْ وَ ى بِإِسْنَادٍ ضَعِيفٍ عَنْ أَبِي هُرَ يْرَةَ t عَنِ النَّبِيِّ r ) فِي رَجُلٍ مَرِضَ فِي رَمَضَانَ فَأَفْطَرَ ، ثُمَّ صَحَّ وَ لَمْ يَصُمْ حَتَّى أَدْرَكَهُ رَمَضَانُ آخَرُ ، فَقَالَ : يَصُومُ الَّذِي أَدْرَكَهُ ، ثُمَّ يَصُومُ الشَّهْرَ الَّذِي أَفْطَرَ فِيهِ ، وَ يُطْعِمُ كُلَّ يَوْمٍ مِسْكِينًا ( ( رَوَاهُ الدَّارَقُطْنِيّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ مِنْ قَوْلِهِ ، وَقَالَ : إسْنَادٌ صَحِيحٌ مَوْقُوفٌ ) .

Dan diriwayatkan dengan sanad yang lemah dari Abu Hurairah t, dari Nabi r tentang seorang laki-laki yang sakit di bulan Ramadhan lalu ia tidak berpuasa, kemudian sehat tetapi belum bisa berpuasa sampai bertemu Ramadhan berikutnya, maka nabi r bersabda : “Hendaklah ia berpuasa pada bulan Ramadhan itu, kemudian mengqadha untuk hari-hari yang tidak berpuasa itu, serta memberi makan seorang miskin tiap hari”. (Sanad hadis ini sah menurut Daruquthniy, tetapi mauquf).

نيل الأوطار - (ج 7 / ص 121/ح 1700) : وَ رُوِيَ عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِيِّ r قَالَ : ) مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامُ شَهْرِ رَمَضَانَ فَلْيُطْعِمْ عَنْهُ مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا ( وَ إِسْنَادُهُ ضَعِيفٌ .(قَالَ التِّرْمِذِيُّ : وَ الصَّحِيحُ أَ نَّهُ عَنْ ابْنِ عُمَرَ مَوْقُوفٌ )

Dan diriwayatkan dari Ibnu Umar t, dar Nabi r ia bersabda : “Barang siapa meninggal dunia padahal dia mempunyai tanggungan puasa Ramadhan, maka hendaklah dibayarkan untuknya dengan memberi makan seorang miskin setiap hari”. (Sanad hadits ini lemah, Tirmidzi berkata : yang benar hadits itu mauquf pada Ibnu Umar.)

نيل الأوطار - (ج 7 / ص 122/ح 1701) : حَدَّ ثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ كَثِيرٍ أَخْبَرَ نَا سُفْيَانُ عَنْ أَبِي حُصَيْنٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ ) إِذَا مَرِضَ الرَّجُلُ فِي رَمَضَانَ ثُمَّ مَاتَ وَ لَمْ يَصُمْ أُطْعِمَ عَنْهُ وَ لَمْ يَكُنْ عَلَيْهِ قَضَاءٌ وَ إِنْ كَانَ عَلَيْهِ نَذْرٌ قَضَى عَنْهُ وَ لِيُّهُ (

Dari Ibnu Abbas t, ia berkata; apabila seseorang sakit pada Bulan Ramadhan kemudian meninggal dan belum melakukan puasa maka diberikan makan untuknya dan ia tidak berkewajiban untuk mengqadha`, dan apabila ia memiliki kewajiban nadzar maka walinya yang mengqadha` untuknya. (HR. ABU DAUD - 2049)

Tetapi ada juga yang berpendapat tidak usah diganti oleh ahli waris atau wali jika puasa Ramadhan tertinggal karena ada fatwa Ibnu Abbas tentang shaum wajib, yang bukan shaum nadzar :

نيل الأوطار - (ج 7 / ص 127) : رُوِيَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَ نَّهُ قَالَ : " لاَ يُصَلِّ أَحَدٌ عَنْ أَحَدٍ وَ لاَ يَصُمْ أَحَدٌ عَنْ أَحَدٍ " أَخْرَجَهُ النَّسَائِيّ بِإِسْنَادٍ صَحِيحٍ مِنْ قَوْلِهِ

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas t, sesungguhnya beliau berkata : “ Tidak ada shalat seseorang yang bisa diganti oleh seorang yang lain, dan tidak ada shaum seseorang yang bisa mengganti shaum seseorang yang lainnya”.(dikeluarkan oleh Nasa’i dengan isnad yang shahih)





2. Fidyah


Fidyah adalah memberi makan kepada satu orang fakir miskin sebagai ganti dari tidak berpuasa. Fidyah itu berbentuk memberi makan sebesar satu mud sesuai dengan mud nabi. Ukuran makan itu bila dikira-kira adalah sebanyak dua tapak tangan nabi r. Sedangkan kualitas jenis makanannya sesuai dengan kebiasaan makannya sendiri.


Yang diwajibkan membayar fidyah adalah :


o Orang yang sakit dan secara umum ditetapkan sulit untuk sembuh lagi.


o Orang tua atau lemah yang sudah tidak kuat lagi berpuasa.


o Wanita yang hamil dan menyusui ketika tidak puasa karena mengkhawatirkan anak yang dikandungnya atau disusuinya itu. Mereka itu wajib membayar fidyah saja menurut sebagian ulama, namun menurut Imam Syafi`i selain wajib membayar fidyah juga wajib mengqadha` puasanya. Sedangkan menurut pendapat lain, tidak membayar fidyah tetapi cukup mengqadha`.


o Orang yang meninggalkan kewajiban meng-qadha` puasa Ramadhan tanpa uzur syar`i hingga Ramadhan tahun berikutnya telah menjelang. Mereka wajib mengqadha`nya sekaligus membayar fidyah.

نيل الأوطار - (ج 7 / ص 121) : وَ يُرْ وَ ى بِإِسْنَادٍ ضَعِيفٍ عَنْ أَبِي هُرَ يْرَةَ t عَنِ النَّبِيِّ r ) فِي رَجُلٍ مَرِضَ فِي رَمَضَانَ فَأَفْطَرَ ، ثُمَّ صَحَّ وَ لَمْ يَصُمْ حَتَّى أَدْرَكَهُ رَمَضَانُ آخَرُ ، فَقَالَ : يَصُومُ الَّذِي أَدْرَكَهُ ، ثُمَّ يَصُومُ الشَّهْرَ الَّذِي أَفْطَرَ فِيهِ ، وَ يُطْعِمُ كُلَّ يَوْمٍ مِسْكِينًا ( ( رَوَاهُ الدَّارَقُطْنِيّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ مِنْ قَوْلِهِ ، وَقَالَ : إسْنَادٌ صَحِيحٌ مَوْقُوفٌ ) .

Dan diriwayatkan dengan sanad yang lemah dari Abu Hurairah t, dari Nabi r tentang seorang laki-laki yang sakit di bulan Ramadhan lalu ia tidak berpuasa, kemudian sehat tetapi belum bisa berpuasa sampai bertemu Ramadhan berikutnya, maka nabi r bersabda : “Hendaklah ia berpuasa pada bulan Ramadhan itu, kemudian mengqadha untuk hari-hari yang tidak berpuasa itu, serta memberi makan seorang miskin tiap hari”. (Sanad hadis ini sah menurut Daruquthniy, tetapi mauquf).


Berapa ukuran fidyah itu ?

Sebagian ulama seperti Imam As-Syafi`i dan Imam Malik menetapkan bahwa ukuran fidyah yang harus dibayarkan kepada setiap satu orang fakir miskin adalah satu mud gandum sesuai dengan ukuran mud Nabi r. Sebagian lagi seperti Abu Hanifah mengatakan dua mud gandum dengan ukuran mud Rasulullah r atau setara dengan setengah sha` kurma/tepung atau setara dengan memberi makan siang dan makan malam hingga kenyang.


Bila kewajiban membayar fidyah belum dibayarkan hingga masuk Ramadhan berikutnya, apakah wajib membayar dua kali atau hanya sekali saja ?

Kewajiban membayar fidyah harus dibayarkan sebelum masuk bulan Ramadhan tahun berikutnya. Tapi bila sampai Ramadhan tahun berikutnya belum dibayarkan juga, maka sebagian ulama mengatakan bahwa fidyah itu menjadi berlipat. Artinya harus dibayarkan dua kali, satu untuk tahun lalu dan satu lagi untuk tahun ini. Demikian pendapat Imam As-Syafi`i. Menurut beliau kewajiban membayar fidyah itu adalah hak maliyah (harta) bagi orang miskin. Jadi jumlahnya akan terus bertambah selama belum dibayarkan. Namun ulama lain tidak sependapat dengan pendapat As-Syafi`i ini. Seperti Abu Hanifah, beliau mengatakan bahwa fidyah itu cukup dibayarkan sekali saja meski telat dalam membayarnya.




3. Kaffarah


Kaffarah adalah tebusan yang wajib dilakukan karena melanggar kehormatan bulan Ramadhan. Yang mewajibkan seseorangmembayar kaffarah adalah :


a. Berhubungan seksual siang hari bulan Ramadhan. Para fuqoha telah bersepakat bahwa siapa yang melakukan perbuatan tersebut, wajib membayar kaffarah.

صحيح البخاري - (ج 7 / ص 24/ ح 1800,1801) : حَدَّ ثَنَا أَ بُو الْيَمَانِ أَخْبَرَ نَا شُعَيْبٌ عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ أَخْبَرَ نِي حُمَيْدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّ أَ بَا هُرَ يْرَ ةَ t قَالَ ) بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوسٌ عِنْدَ النَّبِيِّ r إِذْ جَاءَهُ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلَكْتُ قَالَ مَا لَكَ قَالَ وَ قَعْتُ عَلَى امْرَ أَ تِي وَ أَ نَا صَائِمٌ فَقَالَ r هَلْ تَجِدُ رَ قَبَةً تُعْتِقُهَا قَالَ لاَ قَالَ فَهَلْ تَسْتَطِيعُ أَنْ تَصُومَ شَهْرَ يْنِ مُتَتَابِعَيْنِ قَالَ لاَ فَقَالَ فَهَلْ تَجِدُ إِطْعَامَ سِتِّينَ مِسْكِينًا قَالَ لاَ قَالَ فَمَكَثَ النَّبِيُّ r فَبَيْنَا نَحْنُ عَلَى ذَ لِكَ أُتِيَ النَّبِيُّ r بِعَرَقٍ فِيهَا تَمْرٌ وَ الْعَرَقُ الْمِكْتَلُ قَالَ أَ يْنَ السَّائِلُ فَقَالَ أَ نَا قَالَ خُذْ هَا فَتَصَدَّقْ بِهِ فَقَالَ الرَّجُلُ أَعَلَى أَ فْقَرَ مِنِّي يَا رَسُولَ اللَّهِ فَوَ اللَّهِ مَا بَيْنَ لاَ بَتَيْهَا يُرِيدُ الْحَرَّ تَيْنِ أَهْلُ بَيْتٍ أَ فْقَرُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِي فَضَحِكَ النَّبِيُّ r حَتَّى بَدَتْ أَ نْيَا بُهُ ثُمَّ قَالَ أَطْعِمْهُ أَهْلَكَ (

Telah mengabarkan kepada saya Humaid bin 'Abdurrahman bahwa Abu Hurairah t berkata: "Ketika kami sedang duduk bermajelis bersama Nabi r tiba-tiba datang seorang laki-laki lalu berkata: "Wahai Rasulullah, binasalah aku". Beliau r bertanya: "Ada apa denganmu?". Orang itu menjawab: "Aku telah berhubungan dengan isteriku sedangkan aku sedang berpuasa". Maka Rasulullah r bertanya: "Apakah kamu memiliki budak, sehingga kamu harus membebaskannya?". Orang itu menjawab: "Tidak". Lalu Beliau r bertanya lagi: "Apakah kamu sanggup bila harus berpuasa selama dua bulan berturut-turut?". Orang itu menjawab: "Tidak". Lalu Beliau r bertanya lagi: "Apakah kamu memiliki makanan untuk diberikan kepada enam puluh orang miskin?". Orang itu menjawab: "Tidak". Sejenak Nabi r terdiam. Ketika kami masih dalam keadaan tadi, Nabi r diberikan satu keranjang besar berisi kurma, lalu Beliau r bertanya: "Mana orang yang bertanya tadi?". Orang itu menjawab: "Aku". Maka Beliau r berkata: "Ambillah kurma ini lalu bershadaqahlah dengannya". Orang itu berkata: "Apakah ada orang yang lebih faqir dariku, wahai Rasulullah. Demi Allah, tidak ada keluarga yang tinggal diantara dua perbatasan, yang dia maksud adalah dua gurun pasir, yang lebih faqir daripada keluargaku". Mendengar itu Nabi r menjadi tertawa hingga tampak gigi seri Beliau r. Kemudian Beliau r berkata: "Kalau begitu berilah makan keluargamu dengan kurma ini".

Adapun batasan hubungan seksual itu adalah bila terjadi persentuhan dua kelamin meski tidak sampai penetrasi atau tidak keluar mani. Hal itu tetap dihitung hubungan seksual yang membatalkan puasa sekaigus mewajibkan membayar kaffarat.



b. Makan dan minum secara sengaja tanpa uzur. Pendapat ini dipegang oleh sebagian ulama seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Ast-Tsauri. Namun fuqoha lainnya seperti imam As-syafi`i, Imam Ahmad bin Hanbal serta Ahluz-Zahir mengatakan bahwa makan minum secara sengaja hanya mewajibkan qadha` dan tidak perlu membayar kaffarah. Yang mewajibkan bayar kaffarah hanya bila berhubungan seksual suami istri di siang hari bulan Ramadhan.


Denda kaffarah itu ada tiga macam, yaitu :


o Memerdekakan budak.


o Puasa 2 bulan berturut-turut Kewajiban puasa ini adalah sebagai kaffarah dari dirusaknya kehormatan bulan Ramadhan. Selain wajib mengganti hari yang dirusaknya itu dengan puasa di hari lain, ada kewajiban berpuasa 2 bulan berturut-turut sesuai dengan hitungan bulan qamariyah. Syarat untuk berturut-turut ini menjadi berat karena manakala ada satu hari saja di dalamnya dimana dia libur tidak puasa, maka wajib baginya untuk mengulangi lagi dari awal. Bahkan meski hari yang ditinggalkannya sudah sampai pada hitungan hari yang paling akhir dari 2 bulan berturut-turut.


o Memberi makan 60 fakir miskin Pilihan ini adalah pilihan terakhir ketika seseorang secara nyata tidak mampu melakukan kedua hal di atas. Maka wajiblah memberi makan 60 orang fakir miskin sebagaimana yang dijelaskan oleh Rasulullah r.



Siapa yang wajib membayar kaffarah, suami saja atau keduanya ?

Para fuqoha berbeda pandangan dalam hal ini. Sebagian mengatakan bahwa kewajiban membayar kaffar ini hanya dibebankan kepada laki-laki saja dan bukan pada istrinya, meski mereka melakukannya berdua, tetapi pelakunya tetap saja jatuh pada laki-laki, karena biar bagaimanapun. Karena laki-laki yang menentukan terjadi tidaknya hubungan seksual. Pendapat ini didukung oleh Imam Asy-Syafi`i dan Ahli Zahir. Dalil yang mereka gunakan adalah hadits tentang laki-laki yang melapor kepada Rasulullah r bahwa dirinya telah melakukan hubungan suami istri di bulan Ramadhan. Saat itu Rasulullah r hanya memerintahkan suami saja untuk membayar kaffarah tanpa menyinggung sama sekali kewajiban membayar bagi istrinya. Namun sebagian fuqoha lainnya berpendapat bahwa kewajiban membayar kaffarah itu berlaku bagi masing-masing suami istri. Pendapat ini didukung oleh Imam Abu Hanifah dan Imam Malik dan lainnya. Sedangkan dalil yang merka gunakan adalah qiyas, yaitu mengqiyaskan kewajiban suami kepada kewajiban istri pula.



Bagaimana bila berhubungan seksual suami istri karena lupa ?

Para ulama berbeda pandangan dalam masalah ini. Imam Abu Hanifah dan Imam As-Syafi`i berpendapat bahwa bila lupa maka dimaafkan dan tidak perlu mengqadha` juga tidak perlu membayar kaffarah. Namun Imam Malik berpendapat wajib mengqadha` saja tanpa membayar kaffarah. Sedangkan Imam Ahmad dan Ahliz Zahir berpendapat bahwa wajib mengqadha` dan wajib pula membayar kaffarah.



Ketiga macam jenis kaffarah itu apakah boleh memilih atau harus urut ?

Sebagian ulama berpendapat bahwa kafarah itu harus dikerjakan sesuai dengan urutannya, bukan atas dasar pilihan mana yang paling dia sukai. Jadi yang pertama adalah kewajiban memerdekakan budak. Hal ini sesuai dengan hadits tentang orang yang berhubungan dengan istrinya pada bulan Ramadhan, dimana Rasulullah r memerintahkan pertama sekali adalah untuk memerdekakan budak. Ketika dia tidak mampu karena miskin, maka Rasulullah r memerintahkan pilihan kedua lalu pilihan ketiga. Pendapat ini didukung oleh Imam Abu Hanifah dan Imam As-Syafi`i serta ulama Kufiyyin. Namun Imam Malik berpendapat bahwa ketiga bentuk kaffarah itu sifatnya pilihan. Silahkan memilih mana yang paling diinginkan untuk melaksanakannya.



Bila berhubungan suami istri berulang-ulang, apakah wajib membayar kaffarah sebanyak itu atau cukup membayar untuk sekali saja ?

Para fuqoha sepakat bila melakukan hubungan suami istri berkali-kali dalam satu hari di bulan Ramadhan, maka kewajiban membayar kaffarahnya hanya satu kali saja. Namun bila pengulangan itu dilakukan di hari yang berbeda dan belum membayar kaffarah, maka ada beberapa pendapat. Pendapat pertama mengatakan bahwa wajib membayar kaffarah sebanyak hari melakukan hubungan itu. Ini adalah pendapat Imam Malik dan Imam Asy-Syafi`i. Pendapat kedua mengatakan bahwa hanya wajib sekali saja membayar kaffarahnya selama dia belum membayar untuk hari sebelumnya itu. Ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah dan jamaahnya.





Adab dan sunnah dalam puasa


Hal-hal yang termasuk adab dan yang disunnahkan dalam berpuasa adalah sebagai berikut :


1. Makan sahur dengan mengakhirkannya. Para ulama telah sepakat tentang sunnahnya sahur untuk puasa. Meski demikian, tanpa sahur pun puasa tetap boleh.

مسند أحمد - (ج 43 / ص 496/ح 20530) و سنن أبي داود - (ج 2 / ص 4/ح 354) و صحيح ابن خزيمة - (ج 2 / ص 110/ح 339) : حَدَّ ثَنَا مُوسَى بْنُ دَ اوُدَ حَدَّ ثَنَا ابْنُ لَهِيعَةَ عَنْ سَالِمِ بْنِ غَيْلاَ نَ عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ أَبِي عُثْمَانَ عَنْ عَدِيِّ بْنِ حَاتِمٍ الْحِمْصِيِّ عَنْ أَبِي ذَرٍّ أَنَّ النَّبِيَّ r قَالَ لِبِلاَ لٍ) أَ نْتَ يَا بِلاَ لُ تُؤَ ذِّنُ إِذَ ا كَانَ الصُّبْحُ سَاطِعًا فِي السَّمَاءِ فَـلَيْسَ ذَلِكَ بِالصُّبْحِ إِ نَّمَا الصُّبْحُ هَكَذَ ا مُعْتَرِضًا ثُمَّ دَعَا بِسَحُورِ هِ فَتَسَحَّرَ وَ كَانَ يَقُولُ لاَ تَزَ الُ أُمَّتِي بِخَيْرٍ مَا أَخَّرُوا السَّحُورَ وَ عَجَّلُوا الْفِطْرَ(

Dari Abu Dzar t bahwa Nabi r bersabda pada Bilal t: "Wahai Bilal, kalau subuh telah beranjak ke langit maka itu bukanlah subuh, subuh itu nampak seperti ini, " lalu beliau r menyuruh untuk sahur dan beliau r pun sahur seraya bersabda: "Umatku akan selalu dalam kebaikan selama mengakhirkan sahur dan mempercepat berbuka."

صحيح البخاري - (ج 7 / ص 3/ح 1789) و صحيح مسلم - (ج 5 / ص 387/ح 1835) و سنن الترمذي - (ج 3 / ص 143/ح 642) وسنن النسائي - (ج 7 / ص 305/ح 2115) و سنن ابن ماجه - (ج 5 / ص 208/ح 1682) و مسند أحمد - (ج 24 / ص 58/ح 11512) و سنن الدارمي - (ج 5 / ص 187/ح 1749) و مسند أبي يعلى الموصلي - (ج 6 / ص 394/ح 2781) و صحيح ابن حبان - (ج 14 / ص 432/ح 3535) و صحيح ابن خزيمة - (ج 7 / ص 207/ح 1830) : حَدَّ ثَنَا آدَمُ بْنُ أَبِي إِ يَا سٍ حَدَّ ثَنَا شُعْبَةُ حَدَّ ثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ صُهَيْبٍ قَالَ سَمِعْتُ أَ نَسَ بْنَ مَالِكٍ t قَالَ قَالَ النَّبِيُّ r )تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِي السَّحُورِ بَرَكَةً (

Telah menceritakan kepada kami 'Abdul 'Aziz bin Shuhaib berkata, aku mendengar Anas bin Malik t berkata; Nabi r bersabda: "Bersahurlah kalian, karena didalam sahur ada barakah".

Makan sahur itu menjadi barakah karena salah satunya berfungsi untuk mempersiapkan tubuh yang tidak akan menerima makan dan minum sehari penuh. Disunahkan untuk mengakhirkan makan sahur hingga mendekati waktu shubuh.

Selain itu, meski secara langsung tidak berkaitan dengan penguatan tubuh, tetapi sahur itu tetap sunnah dan mengandung keberkahan. Misalnya buat mereka yang terlambat bangun hingga mendekati waktu subuh. Tidak tersisa waktu kecuali beberapa menit saja. Maka tetap disunahkan sahur meski hanya dengan segelas air putih saja. Karena dalam sahur itu ada barakah.

مسند أحمد - (ج 22 / ص 209/ح 10664) : حَدَّ ثَنَا إِسْمَا عِيلُ عَنْ هِشَامٍ الدَّسْتُوَ ائِيِّ قَالَ حَدَّ ثَنَا يَحْيَى بْنُ أَبِي كَثِيرٍ عَنْ أَبِي رِفَاعَةَ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ r ) السَّحُورُ أَكْلُهُ بَرَكَةٌ فَلاَ تَدَعُوهُ وَ لَوْ أَنْ يَجْرَعَ أَحَدُ كُمْ جُرْعَةً مِنْ مَاءٍ فَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَ جَلَّ وَ مَلاَ ئِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى الْمُتَسَحِّرِينَ (

Dari Abu Sa'id Al Khudri t berkata; Rasulullah r bersabda: "makan sahur itu berkah, maka janganlah kalian tinggalkan meskipun salah seorang dari kalian hanya minum seteguk air, karena sesungguhnya Allah 'azza wajalla dan para malaikat-Nya bershalawat kepada orang-orang yang makan sahur."

سنن أبي داود - (ج 6 / ص 287/ح 1996) و صحيح مسلم - (ج 5 / ص 388/ح 1836) و سنن الترمذي - (ج 3 / ص 144/ح 643) و مسند أحمد - (ج 36 / ص /ح 17095164) و السنن الكبرى للنسائي - (ج 2 / ص 80/ح 2476) و المعجم الأوسط للطبراني - (ج 7 / ص 336/ح 3366) و مسند أبي يعلى الموصلي - (ج 15 / ص 144/ح 7174) : حَدَّ ثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّ ثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُبَارَ كِ عَنْ مُو سَى بْنِ عَلِيِّ بْنِ رَ بَا حٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي قَيْسٍ مَوْ لَى عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ عَنْ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ r ) إِنَّ فَصْلَ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَ صِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكْلَةُ السَّحَرِ(

Dari 'Amr bin Al 'Ash t, ia berkata; Rasulullah r bersabda: "Sesungguhnya pembeda antara puasa kita dan puasa ahli kitab adalah makan sahur."

Sahur Rasulullah t mendekati shalat subuh, lamanya antara selesai sahur dan shalat subuh sekitar 50 ayatan apabila seseorang membaca alquran.

صحيح البخاري - (ج 4 / ص 298/ح 1066) و صحيح مسلم - (ج 5 / ص 389/ح 1837) : حَدَّ ثَنَا يَعْقُوبُ بْنُ إِبْرَ اهِيمَ قَالَ حَدَّ ثَنَا رَوْحٌ قَالَ حَدَّ ثَنَا سَعِيدُ بْنُ أَبِي عَرُو بَةَ عَنْ قَتَادَ ةَ عَنْ أَ نَسِ بْنِ مَالِكٍ t ) أَنَّ نَبِيَّ اللَّهِ r وَ زَ يْدَ بْنَ ثَابِتٍ t تَسَحَّرَ ا فَلَمَّا فَرَغَا مِنْ سَحُورِهِمَا قَامَ نَبِيُّ اللَّهِ r إِلَى الصَّلاَ ةِ فَصَلَّى فَقُلْنَا ِلأَ نَسٍ كَمْ كَانَ بَيْنَ فَرَ اغِهِمَا مِنْ سَحُورِ هِمَا وَ دُخُو لِهِمَا فِي الصَّلاَ ةِ قَالَ كَقَدْرِ مَا يَقْرَ أُ الرَّجُلُ خَمْسِينَ آيَةً (

Dari Anas bin Malik t bahwa Nabi r dan Zaid bin Tsabit t makan sahur bersama. Setelah keduanya selesai makan sahurnya, maka Nabi r bangkit untuk segera melaksanakan shalat, lalu Beliau r mendirikan shalat". Kami bertanya kepada Anas t : "Berapa tenggang waktu antara selesai makan sahur keduanya dengan awal shalatnya? Anas bin Malik t berkata,: "Kira-kira selama seorang membaca lima puluh ayat".


2. Berbuka dengan mendahulukannya. Disunnahkan dalam berbuka puasa untuk menta`jil atau mendahulukan berbuka sebelum shalat Maghrib. Meski hanya dengan seteguk air atau sebutir kurma.

مسند أحمد - (ج 43 / ص 496/ح 20530) و سنن أبي داود - (ج 2 / ص 4/ح 354) و صحيح ابن خزيمة - (ج 2 / ص 110/ح 339) : حَدَّ ثَنَا مُوسَى بْنُ دَ اوُدَ حَدَّ ثَنَا ابْنُ لَهِيعَةَ عَنْ سَالِمِ بْنِ غَيْلاَ نَ عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ أَبِي عُثْمَانَ عَنْ عَدِيِّ بْنِ حَاتِمٍ الْحِمْصِيِّ عَنْ أَبِي ذَرٍّ أَنَّ النَّبِيَّ r قَالَ لِبِلاَ لٍ) أَ نْتَ يَا بِلاَ لُ تُؤَ ذِّنُ إِذَ ا كَانَ الصُّبْحُ سَاطِعًا فِي السَّمَاءِ فَـلَيْسَ ذَلِكَ بِالصُّبْحِ إِ نَّمَا الصُّبْحُ هَكَذَ ا مُعْتَرِضًا ثُمَّ دَعَا بِسَحُورِ هِ فَتَسَحَّرَ وَ كَانَ يَقُولُ لاَ تَزَ الُ أُمَّتِي بِخَيْرٍ مَا أَخَّرُوا السَّحُورَ وَ عَجَّلُوا الْفِطْرَ(

Dari Abu Dzar t bahwa Nabi r bersabda pada Bilal t: "Wahai Bilal, kalau subuh telah beranjak ke langit maka itu bukanlah subuh, subuh itu nampak seperti ini, " lalu beliau r menyuruh untuk sahur dan beliau r pun sahur seraya bersabda: "Umatku akan selalu dalam kebaikan selama mengakhirkan sahur dan mempercepat berbuka."

سنن أبي داود - (ج 6 / ص 306/ح 2009) و مسند أحمد - (ج 25 / ص 261/ح 12215) و المستدرك على الصحيحين للحاكم - (ج 4 / ص 117/ح 1526) و سنن الدارقطني - (ج 6 / ص 41/ح 2301) : حَدَّ ثَنَا أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ حَدَّ ثَنَا عَبْدُ الرَّزَّ اقِ حَدَّ ثَنَا جَعْفَرُ بْنُ سُلَيْمَانَ حَدَّ ثَنَا ثَابِتٌ الْبُنَانِيُّ أَ نَّهُ سَمِعَ أَ نَسَ بْنَ مَالِكٍ يَقُولُ ) كَانَ رَسُولُ اللَّهِ r يُفْطِرُ عَلَى رُطَبَاتٍ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ رُطَبَاتٌ فَعَلَى تَمَرَ اتٍ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ حَسَا حَسَو َ اتٍ مِنْ مَاءٍ(

Telah menceritakan kepada kami Tsabit Al Bunani bahwa ia telah mendengar Anas bin Malik t berkata; “D ahulu Rasulullah r berbuka dengan beberapa ruthab (kurma yang belum masak) sebelum melakukan shalat, jika tidak dengan air maka dengan beberapa tamar (kurma kering), dan apabila tidak ada tamar maka beliau menghisap air beberapa kali”.

سنن الترمذي - (ج 3 / ص 133/ح 636) ومسند أحمد - (ج 14 / ص 484/ح 6943) و السنن الكبرى للبيهقي - (ج 4 / ص 237) و المعجم الأوسط للطبراني - (ج 1 / ص 152/ح 153) و مسند أبي يعلى الموصلي - (ج 12 / ص 227/ح 5839) و صحيح ابن حبان - (ج 15 / ص 11/ح 3576) و صحيح ابن خزيمة - (ج 7 / ص 390/ح 3009) : حَدَّ ثَنَا إِسْحَقُ بْنُ مُوسَى اْلأَ نْصَارِيُّ حَدَّ ثَنَا الْوَ لِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ عَنِ اْلأَوْزَ اعِيِّ عَنْ قُرَّ ةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنِ الزُّهْر ِيِّ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَ يْرَ ةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ r قَالَ ) اللَّهُ عَزَّ وَ جَلَّ أَحَبُّ عِبَادِي إِلَيَّ أَعْجَلُهُمْ فِطْرًا(

Dari Abu Hurairah t dia berkata, Rasulullah r: Allah 'azza wajalla berfirman: " Hambaku yang paling Aku sukai adalah dia yang selalu menyegerakan berbuka."

السنن الكبرى للبيهقي - (ج 4 / ص 238) : و أخبرنا أبو طاهر الفقيه أنبأ أبو عثمان البصري ثنا محمد بن عبد الوهاب أنبأ يعلي بن عبيد ثنا سفيان عن ابي اسحق عن عمرو بن ميمون قال) كَانَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ r أَعْجَلَ النَّاسِ اِفْطَارًا وَ أَبْطَأَهُمْ سُحُوْرًا (

Dari ‘Amar bin Maimun, katanya : “ Para sahabat Muhammad r itu adalah orang-orang yang paling bersegera berbukanya, dan paling terlambat bersahurnya”

مسند أبي يعلى الموصلي - (ج 7 / ص 331/ح 3217) : حدثنا إبراهيم بن الحجاج السامي ، حدثنا أبو ثابت عبد الواحد بن ثابت ، حدثنا ثابت ، عن أنس ، قال ) كَانَ النبي r يُحِبُّ أَنْ يُفْطِرُ عَلَى ثَلاَثِ تَمَرَ اتٍ أَوْ شَيءٍ لمَ ْ تُصِبْهُ النَّارُ (

Dari Anas, ia berkata : “Adalah Rasulullah r suka berbuka puasa dengan tiga biji korma, atau sesuatu yang tidak dimasak dengan api”

Ada adab dan sunnah juga ketika bertamu atau dirumah, makanan telah terhidang dengan rapi di meja makan maka boleh mendahulukan makan sebelum shalat Maghrib.

صحيح البخاري - (ج 3 / ص 69/ح 632) و صحيح مسلم - (ج 3 / ص 180/ح 867) : حَدَّ ثَنَا يَحْيَى بْنُ بُكَيْرٍ قَالَ حَدَّ ثَنَا اللَّيْثُ عَنْ عُقَيْلٍ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ أَ نَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ رَسُو لَ اللَّهِ r قَالَ ) إِذَ ا قُدِّ مَ الْعَشَاءُ فَابْدَءُو ا بِهِ قَبْلَ أَنْ تُصَلُّوا صَلاَ ةَ الْمَغْرِبِ وَ لاَ تَعْجَلُوا عَنْ عَشَائِكُمْ (

Dari Anas bin Malik t bahwa Rasulullah r: "Apabila makan malam sudah dihidangkan, maka makanlah terlebih dahulu sebelum kalian melaksankan shalat Maghrib. Dan janganlah kalian tergesa-gesa dalam menyelesaikan makan kalian".


3. Berdoa ketika berbuka. Disunnahkan membaca do`a yang ma`tsur dari Rasulullah r ketika berbuka puasa. Karena do`a orang yang puasa dan berbuka termasuk doa yang tidak tertolak.

Hadits dari shahabat Ibnu ‘Umar t, bahwa Rasulullah r bersabda :

} لِكُلِّ صَائِمٍ عِنْدَ فِطْرِ هِ دَعْوَ ةٌ مُسْتَجَا بَةٌ {

“Setiap orang yang bershaum memiliki do`a yang mustajab ketika dia berifthar (berbuka).” [Ibnu ‘Adi] [1]

Hadits dari shahabat Abu Hurairah t, bahwa Rasulullah r bersabda :

} ثَلاَثَةٌ لاَ تُرَدُّ دَعْوَتُهُمْ : الإِمَامُ الْعَادِلُ، وَالصَّائِمُ حَتَّى يُفْطِرَ، وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ … {

“Tiga golongan tidak akan ditolak do’a mereka : Seorang pemimpin yang adil, seorang yang bershaum hingga dia berbuka, dan do`a seorang yang terzhalimi,” [At-Tirmidzi dan Ibnu Majah] [2]

Doa-doa yang biasa diucapkan dalam berbuka dan tersebut didalam hadits adalah sebagai berikut :

سنن ابن ماجه - (ج 5 / ص 295/ح 1743) : حَدَّ ثَنَا هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ حَدَّ ثَنَا الْوَ لِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ حَدَّ ثَنَا إِسْحَقُ بْنُ عُبَيْدِ اللَّهِ الْمَدَ نِيُّ قَالَ سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ أَبِي مُلَيْكَةَ يَقُولُ } سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ r إِنَّ لِلصَّائِمِ عِنْدَ فِطْرِ هِ لَدَعْوَ ةً مَا تُرَدُّ قَالَ ابْنُ أَبِي مُلَيْكَةَ سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَمْرٍ و يَقُولُ إِذَ ا أَ فْطَرَ اللَّهُمَّ إِ نِّي أَسْأَ لُكَ بِرَحْمَتِكَ الَّتِي وَ سِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ أَنْ تَغْفِرَ لِي{

Dari Abdullah bin Amru bin Al 'Ash t ia berkata, Rasulullah r bersabda: "Sungguh orang yang berpuasa mempunyai do`a yang dikabulkan dan tidak akan ditolak tatkala berbuka puasa. " Ibnu Abu Mulaikah berkata, "Aku mendengar Abdullah bin Amru t berdo`a saat berbuka puasa,

اللَّهُمَّ إِ نِّي أَسْأَ لُكَ بِرَحْمَتِكَ الَّتِي وَ سِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ أَنْ تَغْفِرَ لِي

"ALLOOHUMMA INNI AS`ALUKA BIROHMATIKAL LATII WASI'AT KULLA SYAI 'IN AN TAGHFIRO LII”

(Ya Allah, sesungguhnya aku meminta-Mu dengan rahmat-Mu yang meliputi setiap sesuatu, agar Engkau mengampuniku)." [3]

سنن أبي داود - (ج 6 / ص 308/ح 2010) و السنن الكبرى للبيهقي - (ج 4 / ص 239) و السنن الكبرى للنسائي - (ج 2 / ص 255/ح 3329) و المستدرك على الصحيحين للحاكم - (ج 4 / ص67/ح 1484) و سنن الدارقطني - (ج 6 / ص 45/ح 2303) : حَدَّ ثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ يَحْيَى أَ بُو مُحَمَّدٍ حَدَّ ثَنَا عَلِيُّ بْنُ الْحَسَنِ أَخْبَرَ نِي الْحُسَيْنُ بْنُ وَ اقِدٍ حَدَّ ثَنَا مَرْوَ انُ يَعْنِي ابْنَ سَالِمٍ الْمُقَفَّعَ قَالَ } رَ أَ يْتُ ابْنَ عُمَرَ يَقْبِضُ عَلَى لِحْيَتِهِ فَيَقْطَعُ مَا زَادَ عَلَى الْكَفِّ وَ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ r إِذَ ا أَ فْطَرَ قَالَ ذَهَبَ الظَّمَأُ وَ ا بْتَلَّتْ الْعُرُوقُ وَ ثَبَتَ اْلأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ {

Telah menceritakan kepada kami Marwan bin Salim Al Muqaffa', ia berkata; saya melihat Ibnu Umar menggenggam jenggotnya dan memotong jenggot yang melebihi telapak tangan. Dan ia berkata; dahulu Rasulullah r apabila berbuka beliau mengucapkan:

ذَهَبَ الظَّمَأُ وَ ا بْتَلَّتْ الْعُرُوقُ وَ ثَبَتَ اْلأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ

DZAHABAZH ZHAMAA`U WABTALLATIL 'URUUQU WA TSABATIL AJRU IN SYAA-ALLOOH

(Telah hilang dahaga, dan telah basah tenggorokan, dan telah tetap pahala insya Allah). [4]

سنن أبي داود - (ج 6 / ص 309/ح 2011) و مصنف ابن أبي شيبة - (ج 2 / ص 511/ 109) و السنن الكبرى للبيهقي - (ج 4 / ص 239) و المعجم الأوسط للطبراني - (ج 16 / ص 338/ح 7762) : حَدَّ ثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّ ثَنَا هُشَيْمٌ عَنْ حُصَيْنٍ عَنْ مُعَاذِ بْنِ زُهْرَ ةَ أَ نَّهُ } بَلَغَهُ أَنَّ النَّبِيَّ r كَانَ إِذَا أَفْطَرَ قَالَ اللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَ عَلَى رِزْ قِكَ أَفْطَرْتُ {

Dari Hushain dari Mu'adz bin Zuhrah, bahwa telah sampai kepadanya bahwa Nabi r apabila berbuka beliau mengucapkan :

اللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَ عَلَى رِزْ قِكَ أَفْطَرْتُ

ALLOOHUMMA LAKA SHUMTU WA 'ALAA RIZQIKA AFTHORTU

(Ya Allah, untukMu aku berpuasa, dan dengan rizqiMu aku berbuka). [5]


4. Memberi makan orang berbuka. Memberi makan saat berbuka bagi orang yang berpuasa sangat dianjurkan karena balasannya sangat besar sebesar pahala orang yang diberi makan itu tanpa dikurangi. Bahkan meski hanya mampu memberi sabutir kurma atau seteguk air putih saja. Tapi lebih utama bila dapat memberi makanan yang cukup dan bisa mengenyangkan perutnya.

سنن الترمذي - (ج 3 / ص 301/ح 735) وسنن ابن ماجه - (ج 5 / ص 285/ح 1736) و مسند أحمد - (ج 34 / ص 404/ح 16419) : حَدَّ ثَنَا هَنَّادٌ حَدَّ ثَنَا عَبْدُالرَّحِيمِ عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ أَبِي سُلَيْمَانَ عَنْ عَطَاءٍ عَنْ زَ يْدِ بْنِ خَالِدٍ الْجُهَنِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ r }مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ هِ غَيْرَ أَ نَّهُ لاَ يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْئًا{ قَالَ أَ بُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ

Dari 'Atha` dari Zaid bin Khalid Al Juhani berkata; Rasulullah r bersabda: "Barangsiapa yang memberi makan orang yang berbuka, dia mendapatkan seperti pahala orang yang berpuasa tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa sedikitpun" Abu 'Isa berkata; "Ini merupakan hadits hasan shahih."

سنن أبي داود - (ج 10 / ص 339/ح 3356) و سنن ابن ماجه - (ج 5 / ص 286/ح 1737) و مسند أحمد - (ج 24 / ص 278/ح 11732) و صحيح ابن حبان - (ج 22 / ص 128/ح5386) : حَدَّ ثَنَا مَخْلَدُ بْنُ خَالِدٍ حَدَّ ثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَ نَا مَعْمَرٌ عَنْ ثَابِتٍ عَنْ أَ نَسٍ أَنَّ النَّبِيَّ r جَاءَ إِلَى سَعْدِ بْنِ عُبَادَةَ فَجَاءَ بِخُبْزٍ وَزَ يْتٍ فَأَكَلَ ثُمَّ قَالَ النَّبِيُّ r } أَفْطَرَ عِنْدَكُمُ الصَّائِمُونَ وَ أَ كَلَ طَعَامَكُمُ اْلأَبْرَ ارُ وَصَلَّتْ عَلَيْكُمُ الْمَلاَ ئِكَةُ{

Dari Anas bahwa Nabi r datang kepada Sa'd bin 'Ubadah, lalu Sa'd menyuguhkan roti dan minyak samin. Nabi r kemudian memakannya, setelah itu beliau r bersabda: "Telah berbuka di rumahmu orang-orang yang berpuasa, dan telah makan makananmu orang-orang yang baik, dan bershalawat kepadamu para Malaikat."


5. Mandi. Disunnahkan untuk mandi baik dari janabah, haidh atau nifas sebelum masuk waktu fajar. Agar berada dalam kondisi suci saat melakukan puasa dan terlepas dari khilaf Abu Hurairah yang mengatakan bahwa orang yang berhadats besar tidak syah puasanya. Meski demikian, menurut jumhur ulama apabila seseorang sedang mengalami junub dan belum sempat mandi, padahal waktu subuh sudah masuk, maka puasanya syah. Adalah Rasulullah r pernah masuk waktu subuh dalam keadaan junub karena jima` bukan karena mimpi, kemudian beliau mandi dan berpuasa.

صحيح البخاري - (ج 7 / ص 14/ح 1795 ) : حَدَّ ثَنَا أَحْمَدُ بْنُ صَالِحٍ حَدَّ ثَنَا ابْنُ وَهْبٍ حَدَّ ثَنَا يُونُسُ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عُرْوَ ةَ وَ أَبِي بَكْرٍ قَالَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا ) كَانَ النَّبِيُّ r يُدْرِكُهُ الْفَجْرُ فِي رَمَضَانَ مِنْ غَيْرِ حُلْمٍ فَيَغْتَسِلُ وَ يَصُومُ (

Dari 'Urwah dan Abu Bakar, 'Aisyah t berkata: "Nabi r pernah mendapati masuknya waktu fajar di bulan Ramadhan dalam keadaan Beliau r junub, lalu Beliau r mandi dan shaum".

نيل الأوطار - (ج 7 / ص 64/ح 1655) : وَ عَنْ أَبِي بَكْرِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ رَجُلٍ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ r قَالَ : ) رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُبُّ الْمَاءَ عَلَى رَأْسِهِ مِنْ الْحَرِّ وَهُوَ صَائِمٌ ( .(رَوَاهُ أَحْمَدُ وَأَبُو دَاوُد )

Dari Abibakar bin Abdurrahman, dari seorang shahabat Nabi r, ia berkata : “Aku pernah melihat Nabi r menuangkan air di atas kepalanya karena panas matahari, padahal ia sedang berpuasa”.


6. Menjaga lidah dan anggota tubuh. Disunnahkan mempunyai adab atau etika untuk meninggalkan semua perkataan kotor dan keji serta perkataan yang membawa kepada kefasikan dan kejahatan. Termasuk di dalamnya adalah ghibah (begunjing), namimah (mengadu domba), dusta dan kebohongan. Meski tidak sampai membatalkan puasanya, namun pahalanya hilang di sisi Allah r. Sedangkan perbuatan itu sendiri hukumnya haram baik dalam bulan Ramadhan atau di luar Ramadhan.

Rasulullah r bersabda:

مَنْ لَمْ يَدْعِ قَولَ الزُّورِ وَ العَمَلَ بِهِ فلَيْسَ ِللهِ حَاجَةٌ فِى أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَ شَرَ ا بَهُ.

"Barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapan zuur (kotor), maka tidak ada hajat bagi Allah (untuk memberi pahala) dalam meninggalkan makan dan minumnya".(HR. Bukhari dan Abu Dawud)

Hadits dari shahabat Abu Hurairah t, bahwa Rasulullah r berkata :

}اَلصِّيَامُ جُنَّةٌ فَلاَ يَرْفُثْ وَ لاَ يَجْهَلْ وَ إِنِ امْرُؤٌ قَاتَلَهُ أَوْ شَاتَمَهُ فَـلْيَقُلْ إِ نِّي صَائِمٌ - مَرَّ تَيْنِ - { [متفق عليه]

“Ash-Shiyam adalah perisai. Maka hendaklah seseorang tidak berkata yarfus (berbuat,berkata keji) dan yajhal (tidak berbuat jahil). [6] Dan bila ada yang mengajak bertengkar atau mencelanya maka katakan : “Sesungguhnya saya shaum” - dua kali -” [Muttafaq ‘alaih]. [7]

صحيح مسلم - (ج 6 / ص 17/ح 1944) : حَدَّ ثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ رَ افِعٍ حَدَّ ثَنَا عَبْدُ الرَّزَّ اقِ أَخْبَرَ نَا ابْنُ جُرَ يْجٍ أَخْبَرَ نِي عَطَاءٌ عَنْ أَبِي صَالِحٍ الزَّ يَّاتِ أَ نَّهُ سَمِعَ أَ بَا هُرَ يْرَ ةَ t يَقُولاُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ r } قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَ جَلَّ كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلاَّ الصِّيَامَ فَإِ نَّهُ لِي وَ أَ نَا أَجْزِ ي بِهِ وَ الصِّيَامُ جُنَّةٌ فَإِذَ ا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِ كُمْ فَلاَ يَرْفُثْ يَوْ مَئِذٍ وَ لاَ يَسْخَبْ فَإِنْ سَا بَّهُ أَحَدٌ أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ إِ نِّي امْرُؤٌ صَائِمٌ وَ الَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَخُلُوفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ وَ لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ يَفْرَحُهُمَا إِذَ ا أَفْطَرَ فَرِحَ بِفِطْرِ هِ وَ إِذَ ا لَقِيَ رَ بَّهُ فَرِحَ بِصَوْ مِهِ {

Dari Abu Shalih Az Zayyat bahwa ia mendengar Abu Hurairah t berkata; Rasulullah r bersabda: "Allah U telah berfirman; 'Setiap amal anak Adam adalah teruntuk baginya kecuali puasa. Puasa itu adalah bagi-Ku, dan Akulah yang akan memberinya pahala.' Dan puasa itu adalah perisai. Apabila kamu puasa, maka janganlah kamu merusak puasamu dengan yarfus (berbuat, berkata keji), dan jangan pula yaskhab (menghina orang). Apabila kamu dihina orang atau pun diserang, maka katakanlah, 'Sesungguhnya saya sedang berpuasa.' Demi Allah, yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya. Sesungguhnya bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah U pada hari kiamat kelak daripada wanginya kesturi. Dan bagi mereka yang berpuasa ada dua kebahagiaan. Ia merasa senang saat berbuka lantaran puasanya, dan senang pula saat berjumpa dengan Rabbnya juga karena puasanya."

Mengatakan aku sedang puasa dilakukan bila saat itu sedang puasa Ramadhan yang hukumya wajib. Tetapi bila saat itu sedang puasa sunnah, maka tidak perlu mengatakan sedang puasa agar tidak menjadi riya`. Karena itu cukup dia menahan diri dan mengatakannya dalam hati.

Jika diperhatikan pada hadits-hadits diatas terdapat beberapa kata yang memerlukan penjelasan :

Zuur, adalah perkataan atau perbuatan bohong dan dusta. Di dalamnya termasuk korupsi, kolusi, menipu, pungli, mencopet, mencuri, sumpah palsu dan lain-lain.

Yarfus, adalah berkata porno, mengadakan sesuatu yang membangkitkan berahi, dan secara lebih umum mencakup tingkah laku yang akan membangkitkan birahi dan lebih parah lagi mengakibatkan perzinahan.

Yajhal, adalah melakukan perbuatan-perbuatan jahiliyah, mencakup berbagai perkara kejahiliyahan (yang tidak memakai aturan ilmu Qur’an dan sunnah) seperti memaki, berkelahi, membunuh, melakukan keributan, berzina, atau berbuat sesuatu yang melalaikan dari dzikir kepada Allah, membuang-buang waktu, tenaga dan harta dengan sesuatu yang tak berguna dan tak bermanfaat.

Yaskhab, adalah berteriak-teriak, mengganggu, membentak, menyakiti orang lain, melakukan sesuatu yang akan menimbulkan pertengkaran dan perkelahian, berlaku aniaya, memfitnah, atau mengumpat dan menceritakan kejelekan orang lain agar orang itu dibenci.

مسند أحمد - (ج 18 / ص 43/ح 8501) و المستدرك على الصحيحين للحاكم - (ج 4 / ص 112/ح 1521) و صحيح ابن خزيمة - (ج 7 / ص 284/ح 1875) : حَدَّ ثَنَا سُلَيْمَانُ حَدَّ ثَنَا إِسْمَاعِيلُ أَخْبَرَ نِي عَمْرٌو يَعْنِي ابْنَ أَبِي عَمْرٍو عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِي هُرَ يْرَ ةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ r }رُبَّ صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الْجُوعُ وَ الْعَطَشُ وَ رُبَّ قَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ قِيَامِهِ السَّهَرُ{

Dari Abu Hurairah t berkata; Rasulullah r bersabda: "Berapa banyak orang yang berpuasa tidak mendapatkan bagian dari puasanya melainkan lapar dan dahaga, dan berapa banyak orang yang shalat malam tidak mendapatkan bagian dari ibadahnya melainkan bergadang saja."


7. Meninggalkan nafsu/syahwat. Ada nafsu dan syahawat tertentu yang tidak sampai membatalkan puasa, seperti menikmati wewangian, melihat sesuatu yang menyenangkan dan halal, mendengarkan dan meraba. Meski pada dasarnya tidak membatalkan puasa selama dalam koridor syar`i, namun disunnahkan untuk meninggalkannya. Seperti bercumbu antara suami istri selama tidak keluar mani atau tidak melakukan hubungan seksual, sesungguhnya tidak membatalkan puasa. Tetapi sebaiknya hal itu ditinggalkan untuk mendapatkan keutamaan puasa.

سنن أبي داود - (ج 6 / ص 350/ح 2039) : حَدَّ ثَنَا نَصْرُ بْنُ عَلِيٍّ حَدَّ ثَنَا أَ بُو أَحْمَدَ يَعْنِي الزُّ بَيْرِيَّ أَخْبَرَ نَا إِسْرَ ائِيلُ عَنْ أَبِي الْعَنْبَسِ عَنِ اْلأَغَرِّ عَنْ أَبِي هُرَ يْرَ ةَ } أَنَّ رَجُلاً سَأَلَ النَّبِيَّ r عَنِ الْمُبَاشَرَ ةِ لِلصَّائِمِ فَرَ خَّصَ لَهُ وَ أَ تَاهُ آخَرُ فَسَأَ لَهُ فَنَهَاهُ فَإِذَ ا الَّذِي رَخَّصَ لَهُ شَيْخٌ وَ الَّذِي نَهَاهُ شَابٌّ {

Dari Abu Hurairah t bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Nabi r mengenai cumbuan orang yang berpuasa, lalu beliau r memberikan keringanan kepadanya. Dan orang yang lain datang kepada beliau r dan bertanya mengenainya, lalu beliau r melarangnya. Ternyata orang yang beliau r beri keringanan adalah orang yang sudah tua, sedangkan orang yang beliau r larang adalah orang yang masih muda.



[1] Ibnu ‘Adi. Pada sanad ada seorang perawi yang bernama Muhammad bin Ishaq Al-Balkhi. Ibnu ‘Adi berkata tentangnya : “Al-Balkhi ini adalah seorang perawi yang haditsnya tidak menyerupai hadits para perawi yang jujur.” Asy-Syaikh Al-Albani berkata bahwa Al-Imam Shalih Jazarah dan selainnya menyatakan bahwa orang ini pendusta. Lihat penjelasan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Adh-Dha’ifah no. 4325.

[2] HR. At-Tirmidzi No. 3598, HR. Ibnu Majah No. 1752.

[3] Pada hadits ini adalah doa amalan dari seorang sahabat tidak dicontohkan langsung dari nabi..

[4] Doa ini dianggap oleh para ahli hadits doa yang paling shahih dan kuat.

[5] Pada hadits ini ada kelemahan yaitu Muadz bin Juhrah, ia bukan seorang sahabat melainkan dengan cara periwayatannya disangka seorang sahabat, para ahli hadits menyebut hadits ini dhaif.

[6] Perbuatan jahil maksudnya adalah perbuatan yang biasa dilakukan oleh orang jahil seperti berteriak-teriak atau berbuat kedunguan ( اَلسَّفَه ), dan lain-lain (lihat Fathul Bari Kitabush Shaum hadits no. 1894).

[7] Al-Bukhari 1894, Muslim 1151.