Al Qur'an

يَا بُنَيَّ أَقِمِ الصَّلاَ ةَ وَ أْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَ انْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَ اصْبِرْ عَلَى مَا أَصَا بَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ اْلأُمُور [لقمان/17]

Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). (QS. Lukmaan (31) : 71

SILAHKAN DISEBARKAN

SILAHKAN DIPERBANYAK / DISEBARKAN DENGAN COPY PASTE ASAL SEBUTKAN SUMBERNYA, TERIMA KASIH

Selasa, 08 Februari 2011

Kitab Munhajul Abidin (Bagian 1)


Menarik Hikmah dari pesan pembuka kitab Minhajul Abidin karya Imam Al Ghazali

Diterjemahkan oleh (K.H.R. Abdullah bin Nuh)

اَلْحَمْدُ ِللهِ الْمَلِكِ اْلحَكِـيْمِ , اَلْجَوَادِ اْلكَرِيْمِ , اَلْعَزِيْزِ الرَّحِــيْمِ . الذى خلق الانسان فى احسن تقويم وفطر السماوات بقدرته ودبرالامور بحكمته وما خلق الجن والانس الا لعبادته فالطريق اليه واضح للقاصدين ز والد ليل عليه لائح للناظرين ولكن الله يضل من يشاء ويهد من يشاء وهو اعلم بالمهتدين والصلاة والسلام على سيد المرسلين وعلى اله الابرارالطيبين الطا هرين وسلم وعظم الىيوم الدين

Segala puji tetap bagi Alloh Subhanahu Wa Ta’ala. Yang penuh Hikmah, Pemurah, Mulia, Penyayang, Tuhan yang menjadikan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya, dan yang menciptakan langit dengan Kudrat-Nya, Mengatur segala urusan dengan Hikmat-Nya, dan tiada Ia menciptakan jin dan manusia melainkan untuk ibadah kepada-Nya.

Menjadikan jalan yang jelas bagi siapa yang bermaksud mendekat kepada-Nya, begitu pula jadi bukti yang menunjukkan arah kepada-Nya bagi siapa yang berfikir, namun Allah Subhanahu Wa Ta’ala menyesatkan siapa yang ditakdirkan-Nya sesat, dan Dia pula yang memberi hidayah kepada siapa yang dikehendaki-Nya, karena Dia lebih tahu siapa saja yang layak untuk memperoleh hidayahNya.

Semoga sholawat serta salam melimpah ruah kepada penghulu segala Rosul beserta keluarganya yang baik-baik lagi suci. Semoga Alloh Subhanahu Wa Ta’ala menyelamatkan dan memuliakan mereka hingga hari pembalasan.

Ketahuilah, saudara-saudaraku…… semoga Alloh Subhanahu Wa Ta’ala membahagiakan anda dan aku dengan keridhoan-Nya, bahwa ibadah itu adalah buah dari ilmu, faedah dari umur, hasil usaha dari hamba-hamba Allah yang kuat-kuat, barang berharga dari para aulia (kekasih Alloh Subhanahu Wa Ta’ala), jalan yang ditempuh oleh mereka yang bertaqwa, bagian untuk mereka yang mulia. (Dan Ibadahpun) tujuan dari orang-orang yang berhimmah (yang mempunyai tekad dan obsesi yang kuat), syiar (slogan/motto) dari golongan yang terhormat, pekerjaan dari orang-orang yang berani berkata jujur, pilihan dari mereka yang waspada, dan jalan menuju surga.

Alloh Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

وَ أَنَا رَ بُّكُمْ فَاعْبُدُونِ [الأنبياء/92]

“ ..dan Aku Tuhan kamu sekalian, beribadahlah kepada-Ku”. (QS Al Anbiya (21) : 92)

Dalam firmanNya yang lain :

إِنَّ هَذَا كَانَ لَكُمْ جَزَاءً وَ كَانَ سَعْيُكُمْ مَشْكُورًا [الإنسان/22]

“ Sesungguhnya ini adalah ganjaran bagi kamu. Dan usahamu memang disyukuri (diberi balasan)”. (QS Al Insaan (76) : 22)

hal ibadah telah cukup kami (Imam Al Ghazali-pent) pikirkan, telah pula kami teliti jalanya dari awal hingga tujuan akhirnya yang selalu diidam-idamkan oleh para penempuhnya. Ternyata ibadah adalah suatu jalan yang amat sukar, banyak tanjakan-tanjakan (pendakian-pendakiannya), sangat payah/sulit dan jauh perjalanannya. Besar bahayanya, tidak sedikit pula halangan dan rintangannya. Samar untuk mengetahu dimana tempat celaka dan akan binasanya, banyak lawan dan penyamunnya. Sedikit teman dan penolongnya.

Memang jalan ibadah itu seharusnya begitu, sebab ibadah itu jalan menuju ke syurga, jadi semua ini sesuai dengan sabda Rosulullah Shallallahu 'alaihi wa Salam yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik.

صحيح مسلم - (ج 13 / ص 448/ح 5049) : حُفَّتْ الْجَنَّةُ بِالْمَكَارِهِ وَحُفَّتْ النَّارُ بِالشَّهَوَاتِ

"Syurga itu dikepung oleh segala macam kesukaran (dan hal-hal yang tidak menyenangkan) dan neraka dikepung dengan segala hal-hal yang menyenangkan (menarik)."(HR. MUSLIM - 5049)

Rosulullah Shallallahu 'alaihi wa Salam melanjutkan dengan sabdanya:

اَلاَ وَ اِنَّا لْجَنَّةُ حَزْنٌ بِرَبْوَةٍ اَلاَ وَ اِنَّ النَّارَ سَهْـلٌ بِشَهْـوَةٍ
“ Perhatikanlah! jalan kesyurga itu penuh rintangan dan mendaki sedangkan jalan keneraka itu mudah dan rata.”

Semua itu ditambah dengan kenyataan bahwa manusia itu lemah, sedangkan zaman sudah payah. Urusan agama mengalami kemunduran. Kesempatan (mengaji dan mengkaji) kurang. Banyak tugas (yang melalaikan urusan ibadah). Umur sangat pendek. Padahal penguji amal kita (Alloh Subhanahu Wa Ta’ala) amat teliti. Ajal semakin dekat. Perjalanan masih jauh. Maka ketaatan adalah satu-satunya yang menjadi bekal, karena itu kita harus taat, tidak bisa tidak….!..KARENANYA SEBUAH KEHARUSAN…!!!.

Namun waktu telah berlalu, tak dapat dipanggil kembali,… pendek kata.. siapa yang taat, dialah yang beruntung, bahagia selama-lamanya. Tetapi siapa yang tidak mau taat, maka rugi dan celakalah dia.

Inilah permasalahannya….jalan yang kita tempuh sulit dan bahayanya besar, karena itulah maka jarang sekali orang yang memilih jalan ini, diantara yang telah memillihnyapun jarang sekali yang benar-benar menempuhnya.

Diantara yang menempuhnya juga, jarang pula yang sampai kepada tujuannya, dan berhasil mencapai apa yang dikejarnya. Mereka yang berhasil itulah orang-orang mulia pilihan Alloh Subhanahu Wa Ta’ala. Untuk ma’rifat (mengenal Alloh Subhanahu Wa Ta’ala dengan sebenarnya karena buah ketaatan) dan mahabbah (mencintai Alloh Subhanahu Wa Ta’ala, karena buah ilmu yang dipelajari dan amal yang dilaksanakan secara istiqomah) kepada-Nya. Diberinya taufik dan pemeliharaan terhadap mereka, dan disampaikannya dengan penuh karunia kepada keridhoan-Nya.

Marilah kita selalu memohon…. semoga Alloh Subhanahu Wa Ta’ala, memasukan kita kedalam golongan yang beruntung dengan memperoleh rahmat-Nya.

Ternyata bisa kita lihat dan kita rasakan, banyak kesulitan untuk menempuh jalan kearah ini, karena begitulah sifatnya dan keadaannya, maka kamipun (Imam Al Ghazali-pent) berpikir dan merenungkan bagai mana cara menempuhnya, alat dan perlengkapan apa yang diperlukan si penempuhnya, dengan ilmu dan amal, semoga saja ia dapat menempuhnya dengan bantuan taufik Ilahi, dan dalam keadan selamat, tidak terhenti dalam tanjakan-tanjakannya (kesulitan dan perintangnya) sehingga patah disitu dan masuk golongan yang celaka binasa, na’uzubillah.

Itulah sebabnya maka kami (Imam Al Ghazali-pent) berusaha menyusun beberapa kitab tentang jalan kearah itu dan cara menempuhnya, seperti antara lain kitab Ihya ‘Ulumiddin, Al Qurbah dsb, akan tetapi, kitab-kitab tersebut banyak mengandung soal-soal yang halus, dan mendalam sekali, sukar untuk dimengerti oleh kebanyakan orang, sehingga akhirnya mereka benci dan mencela, mengecam apa saja yang mereka belum paham dari maksud dan makna dalam kitab-kitab tersebut.

Namun kita tidak usah heran, karena tak ada kitab yang lebih mulia dan lebih baik dari pada Al Qur’an, tetapi kitab suci yang diturunkan Alloh Subhanahu Wa Ta’ala tersebut masih saja dicela oleh orang-orang yang tidak mau menerima, mereka katakan isinya hanyalah dongengan-dongengan kuno belaka.

Zainal Abidin, Ali bin Ali bin Abu Tholib r. a pernah berkata:

diantara ilmu-ilmuku, jauhar (intisari/esensi) mutu manikamnya ada yang harus kusembuyikan (jika tanpa penerangan dan pengarahan), agar tiada terlihat orang yang tidak mampu (menangkapnya dan memahaminya), karena akhirnya ia akan tersesat (dengan penafsiran yang salah tanpa bertanya serta berguru kepada yang memahaminya). Hal ini memang telah dipesankan oleh Abu Hasan (Ali bin Abi Thalib) kepada Husain dan Hasan. Karena terkadang ada jauhar ilmu, jika dibukakan/disingkapkan tabirnya pasti ada orang yang akan menuduh aku musyrik, dan menghalalkan jiwaku untuk dibunuh, karena mereka mengira perbuatan keji itu adalah suatu amalan yang baik.

Keadaan seperti itu menuntut para ulama, agar kita memandang mereka dengan rasa belas kasihan, penuh rasa kasih sayang dan tidak berbantah-bantahan. Karena itu, aku memohon kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, supaya diberikan oleh-Nya taufik (sesuatu yang diciptakan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang mendorong seseorang itu untuk melakukan kebaikan secara istiqomah karena sudah menjadi sifat yang ada pada dirinya) agar dapat menyusun sebuah kitab yang cocok bagi mereka.

Permohonanku itu diluluskan-Nya, diilhami-Nya sehingga dapat mengarang sebuah kitab dengan suatu susunan yang indah, belum pernah kudapat dalam karangan-karanganku sebelumnya, kitab baru itu kunamakan kitab Minhajul A’bidin yang kusajikan sekarang ini.

Adapun hamba Alloh itu, apabila mulai bangun dan ingat untuk beribadah, ia bertajarrud (totalitas memberikan ruang seluas-luasnya untuk berkiprah) dengan membulatkan hati menempuh jalan ibadah, mula-mula karena ada suatu lintasan dihatinya yang suci. Dan itu adalah pemberian dari Alloh Subhanahu Wa Ta’ala. Dengan taufik yang khusus diberikan oleh-Nya, dan inilah yang dimaksud firman Allah :

أَفَمَنْ شَرَحَ اللَّهُ صَدْرَهُ لِلإِْسْلاَمِ فَهُوَ عَلَى نُورٍ مِنْ رَبِّهِ [الزمر/22]


“apakah orang yang telah dilapangkan dadanya oleh Allah untuk menerima Islam, lalu ia dikarunia Allah dengan suatu nur / cahaya kebenaran (apakah dia itu sama dengan orang-orang yang telah membatu hatinya?) (QS Az-Zumar (39) : 22)

Dan telah diisyaratkan pula hal tadi oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Salam.
Beliau bersabda :

اِنَّ النُّورَ اِذَا دَخَلَ اْلقَـلْبَ انْفَسَحَ وَ انْشَرَحَ


“ Sesungguhnya Nur (cahaya kebenaran dan petunjuk) itu apabila sudah masuk dihati manusia, menjadi lapang dan menjadi legalah hatinya.”

Disini ada yang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Salam:

يَا رَسُولَ االلهِ , هَلْ لِذَلِكَ مَنْ عَلاَ مَةِ يُعْرَ فُ بِهَا


“ Ya Rasulullah ! , apakah hal yang seperti itu tanda-tandanya bisa kita ketahui?”

Jawab beliau:

قَالَ : اَلتَّجَافِى عَنْ دَارَ اْلغُرُوْرِ وَ اْلاِنَابَةِ اِلَى دَارُ الْخُـلُـوْدِ وَ اْلاِسْتِـعْـدَادُ لِلْمَوْتِ قَبْـلَ نُزُولِ اْلمَوْتِ


“ Bisa diketahui tanda-tandanya, yaitu menjauhkan diri (tidak hanyut oleh indahnya) negri kepalsuan (dunia) dan kembali ke negri kelanggengan (memprioritaskan amalan yang abadi untuk negeri akhirat) serta bersiap untuk mati sebelum mati.”


Apabila hal ini terlintas di hati seseorang maka mula-mula ia akan berkata (kepada dirinya) :

“Oh ! aku sadar sekarang…… ternyata diriku ini dikaruniai dengan bermacam-macam kenikmatan oleh Allah, seperti nikmat hidup, nikmat mempunyai sifat kudrat (kekuasan/kemampuan untuk bisa berbuat apap-apa), bisa berfikir, bisa bicara, dan hal yang mulia lainnya, aku telah memperoleh kenikmatan, kesenangan, selamat dari bermacam-maccam ujian dan musibah, banyak musibah yang dihindarkanNya dariku dan aku tahu semua ini ada pemberinya yang menuntut supaya aku bersyukur kepada-Nya, dan berkhidmat (berbakti/mengabdi) kepadaNya, dan apabila aku lalai, lupa, tidak bersyukur dan tidak berkhidmat, pasti Dia akan menghilangkan nikmat-Nya dan aku diberi hukuman dan balasan”.

“Dan Dia sudah mengutus kepadaku seorang Rosul terakhir (namanya : Muhammad Shallallahu 'alaihi wa Salam) Dia mendukung rosul itu dan menguatkannya dengan mu’jizat yang luar biasa, diluar kemampuan manusia. Rosul itu memberitakan kepadaku bahwa aku hanya mempunyai satu Tuhan yang Maha Mulia, Maha Kuasa, Maha Mengetahui, Maha Hidup, Maha Berkehendak, Maha Berbicara, Maha Menyuruh, Maha Melarang dan Maha Kuasa Menghukum apabila aku durhaka kepada-Nya dan Dia akan mamberi ganjaran apabila aku taat kepada-Nya, Dia tahu segala rahasiaku, dan tahu apa saja yang terlintas dipikiranku, dan Dia sudah menjanjikan sesuatu, dan Dia telah memerintahkan agar aku taat pada hukum-hukum syari’at”.

Apabila seseorang sudah berkata begitu dihatinya, diapun sadar bahwa ini bisa saja terjadi. Ia dengar berita-berita dari Rosulullah Shallallahu 'alaihi wa Salam (melalui ulama-ulama yang menyampaikan kepadanya) Ia berkata dihatinya : “ini mungkin, tidak mustahil, tidak ada kemustahilan bagi yang demikian itu dalam akal, sepintas lalu saja sudah bisa dimengerti“. Disini dia kuatir dan takut tentang nasib dirinya. Ini namanya lintasan hati pembawa takut yang membuat seseorang terjaga dan mengikatkan hujjah kepadanya.

Untuk memutuskan diri darinya, tidak ada alasan lain. apalagi untuk menunda-nunda, sehingga mendorong orang tersebut untuk berfikir keras mencari dalil dan bukti. Bergeraklah ia ketika itu. Tidak lagi dengan diam dan bimbang. Tetapi berusaha dan mencari jalan keselamatan, dan supaya merasa aman dari apa yang sudah masuk menyelinap dihatinya. Atau dari apa yang sudah didengar oleh telinganya sendiri?.

Tidak ada jalan lain lagi dihadapannya selain dengan otaknya yang sehat, memikirkan dan mencari bukti. Mula-mula terhadap adanya buatan yang menunjukan adanya si pembuat, adanya alam semesta, ini juga buatan, yang menunjukan adanya si pembuat, yaitu Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Hal ini dilakukan supaya muncul untuknya ilmu yang meyakinkan dan tidak syak wasyangka lagi akan hal-hal yang ghaib. Benar, Allah itu tidak dapat dilihat, tetapi bukti akan perbuatannya, yaitu alam semesta yang indah dan unik, yang menandakan adanya Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Orang yang ingin memperolah Nur Ilahi, dia yakin bahwa memang dia mempunyai Tuhan yang memerintah dan melarangnya. Inilah tanjakan yang pertama, pendakian yang pertama, yang dihadapinya dalam perjalanan ibadah. Yaitu TANJAKAN ILMU & MA’RIFAT.

Untuk diketahui dan diingat, ibadah tanpa ilmu dan ma’rifat tidak ada artinya. Supaya dalam urusan ini difahami dengan benar, apa yang dilakukannya, kemudian dia menempuh tanjakan ini, tidak dapat tidak, harus menempuhnya, kalau tidak, dia akan celaka, mau tidak mau harus menempuh tanjakan ini, artinya ia harus belajar (mengaji), supaya bisa beribadah, menempuh jalan ini dengan sebaik-baiknya, memikirkan buktinya, dan merenungkan sepenuhnya.

Dengan belajar (mengaji), maka dia bertanya kepada guru, bertanya kepada para ulama tentang akhirat, bertanya kepada para petunjuk jalan yang mengarah kepada keselamatan akhirat, dia selalu bergaul dengan dian-dian (lampu-lampu) pembina umat. Dia senantiasa berguru dan bertanya kepada para imam, dan mintalah faedah dan doa dari beliau-beliau itu. Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala memberikan taufik-Nya.

Dengan minta bantuan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, dia akan menempuh tanjakan ini dengan taufik dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Setelah dia cukup mengaji, maka dia akan berhasil memperoleh ilmu yang menambah keyakinannya. Mengetahui tentang hal-hal yang ghoib, maka dia makin yakin dengan adanya Allah Subhanahu Wa Ta’ala, adanya Rosulullah Shallallahu 'alaihi wa Salam, adanya syurga, adanya neraka, adanya hisab, adanya nusyur, adanya wuquf fil mahsyar, dll. Ia tambah yakin bahwa tiada Tuhan Selain Allah Dan tidak Boleh Ada Sekutu BagiNya, Dia yang menciptakan dirinya, dan sekarang ia bertambah tahu dengan ilmu yang diperolehnya bahwa Tuhan itu menyuruh bersyukur, menyuruh khidmat dan taat lahir batin padaNya.

Dan Tuhan pun menyuruh dia supaya berhati-hati, jangan sampai kufur, jangan melakukan bermacam-macam maksiat, dan Allah Subhanahu Wa Ta’ala sudah menetapkan akan adanya ganjaran yang kekal kalau ia taat kepada-Nya, dan akan ada pula hukuman yang kekal kalau ia durhaka dan berpaling dari pada-Nya.

Pada saat ini, ia terdorong oleh pengetahuan yang dimilikinya dan oleh keyakinannya akan hal yang ghaib tadi, ia pun menyingsingkan lengan baju untuk berkhidmat, dan melakukan ibadah dengan sepenuh hatinya. Yaitu memperhambakan diri kepada yang memberi nikmat ini, yaitu Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Yang ia cari-cari selama ini, sekarang sudah ia ketemukan.

Tetapi dia belum tahu bagai mana caranya beribadah?. Kini dia telah mengenal Tuhan, kemudian bagaimanakah cara beribadah kepadanya?. Apa yang diperlukan untuk berkhidmat kepada-Nya dengan lahir dan batin itu?.

Sesudah tamat ilmu tauhid sehingga ia tahu dan ma’rifat kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, maka ia belajar ilmu Fikih Ibadah, bagaimana berwudhu, shalat, dsb. Baik yang fardhu maupun sunah beserta dengan syarat lahir bathinnya. Sesudah ia mendapatkan ilmu tentang yang fardhu, dengan segala persyaratan dan rukunnya, maka sekarang ia bangkit untuk benar-benar mulai melaksanakan ibadah dengan baik dan benar, dan mengerjakannya penuh semangat.

Akan tetapi, kemudian ia berfikir dan melihat, dan tiba-tiba ia insyaf bahwa ia banyak dosa, banyak kesalahan dan maksiat.

“Wah ! aku ini orang yang berdosa dalam kehidupanku yang sudah lalu”.

Memang manusia itu dengan pengetahuan yang datang karena digali, membuatnya menjadi insyaf dan mau beribadah, kemudian ia terus berfikir :

“Bagaimana aku beribadah, sedangkan aku masih melakukan dosa?. Bagaimana aku beribadah sambil melakukan kedurhakaa?. Betapa berat aku ini berlumura dengan kedurhakaan. Aku harus bertaubat dulu, membersihkan diri dari kemaksiatan, dan penuh penyesalan agar diampuni dosa-dosaku oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan membebaskanku dari belenggu dosa-dosa itu , supaya Allah Subhanahu Wa Ta’ala, membersihkan diriku dari kotoran-kotoran dosa, setelah itu baru aku akan melaksanakan penghambaan yang terbaik dan berusaha selalu dekat dan bersujud sepenuh jiwa dan raga untuk menggapai keridhoan Allah Subhanahu Wa Ta’ala” .

Disini ia berhadapan dengan TANJAKAN TAUBAT, dia susah payah juga untuk menempuhnya,… tidak bisa tidak…., ia harus menempuh tanjakan taubat ini, agar ia sampai kepada tujuan yang dimaksudkan, serta faham makna dan hakekat ibadahnya. Dia mulai melakukan taubat, dan dalam melakukan taubat ini, harus menurut syarat-syaratnya, sampai akhirnya ia dapat menempuhnya.

Setelah dia berhasil taubat secara benar, dan selesai pada tanjakan ini, maka ia merasa rindu untuk melakukan ibadah, untuk memulai ibadah dengan baik dan benar. Tetapi kemudian ia berfikir lagi, merenungkan lagi, dan tiba-tiba ada halangan-halangan (penghalang-penghalang) disekitarnya yang mengepung dirinya. Menghalangi kebersihan dan kesucian beribadah. Ia melihat, merenungkan, dan mengklarifikasi macam-macam faktor penghalang itu?, Akhirnya dapat disimpulkan halangan-halangan itu ada empat macam:

1. Faktor Penghalang Dunia
2. Faktor Penghalang Mahluk
3. Faktor Penghalang Syaitan
4. Faktor Penghalang Nafsu

Ia harus berusaha sekuat daya upayanya menolak halangan-halangan itu dan menjauhkannya, menyingkirkannya, kalau tidak demikian tidak akan tercapai tujuan ibadahnya itu. Disini ia dihadapkan pada tanjakan baru namanya TANJAKAN PENGHALANG. Ia harus menempuh tanjakan ini dengan empat jalan pemecahan, yaitu :

1. Tajarud ‘anid dunya (membulatkan hati, sampai tidak bisa ditipu oleh dunia).

2. Memelihara diri supaya tidak bisa disesatkan oleh mahluk (sebab kebanyakan mahluk suka menyesatkan).

3. Menyatakan perang terhadap syaitan (sebab kalau tidak diperangi, syaitan akan terus saja menghalangi).

4. Menaklukan hawa nafsu kita sendiri.

Menaklukan nafsu inilah yang paling susah, sebab nafsu tidak bisa dikikis sampai habis sama sekali. Sebab nafsu itu ada gunanya, hanya saja nafsu jangan sampai bisa mengalahkan kita. Jika seseorang tidak bisa menundukan nafsunya sama sekali, maka akan sangat berbahaya. Dan jangan menekan nafsu itu sampai mati,…. inilah yang paling susah…, dihilangkan atau dimatikan nafsu itu jangan…., kitapun jangan sampai dikuasai nafsu. Dikikis sampai habis..sama sekali tidak bisa, kalau orang mengikis habis nafsunya sama sekali, celakalah dia…., maka dia bukan manusia. Karena nafsu yang terkendali sewajarnya membuat manusia tumbuh dan berkembang.

Kalau syaitan ternyata bisa dikalahkan dan ditaklukan, bahkan syaitan yang menggoda Rosulullah Shallallahu 'alaihi wa Salam mutlak kalah. Kita juga harus mampu mengalahkan syaitan itu, tetapi hawa nafsu pada diri kita tidak harus ditumpas sama sekali. Sebab, nafsu pada diri kita adalah kendaraan kita (alat kita), namun tidak akan ada harapan bahwa nafsu pada diri kita akan mendorong kita kearah kebaikan, kalau dibiarkan….., nafsu akan mendorong, hanya kepada kejahatan saja.

Akan tetapi untuk menyiasati nafsu pada diri kita sendiri adalah hal yang paling susah,…. jangan berharap bahwa nafsu akan mufakat dengan kita, untuk beribadah dan menghadap Allah dengan ikhlas, sebab nafsu itu memang tabiatnya tidak baik, hanya ingin berbuat apa-apa yang melupakan kita kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, dan ingin dimanjakan dan dituruti kemauannya.

Menurutkan nafsu semata akan membuat kita lupa kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, kalau begitu perlulah hamba Allah yang mengendalikan nafsunya, degan alat kendali yang namanya TAQWA, supaya nafsu itu tetap hidup baginya, tidak mati, tapi tunduk, yaitu dengan kendali, seperti mengendalikan kuda binal.

Jadi seseorang itu bisa menggunakan nafsunya untuk kebaikan, kemaslahatan dan untuk kebenaran, dikendalikan jangan sampai jatuh ketempat-tempat celaka, tempat-tempat yang merusak.

Kalau begitu ia sekarang mulai menempuh tanjakan ini dengan meminta tolong kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, supaya dapat menempuh tanjakan yang terjal ini. Setelah ia menempuh tanjakan atau penghalang ini, ia kembali akan melaksanakan ibadah, tetapi tiba-tiba kelihatan lagi ada rintangan-rintangan yang lain.

Kalau tadi ada penghalang yang tetap. Maka sekarang ia menghadapi rintangan-rintangan yang terkadang datang dan terkadang menghilang, hal ini akan membingungkan hatinya untuk sepenuhnya menuju tujuannya, yaitu beribadah sebagaimana mestinya.

Ia merenungkan macam apakah halangan-halangan itu? Setelah lama merenungkannya, maka ia tahu ada empat rintangan ialah :

1. Rintangan berupa Rizki.

Dia akan bertanya pada dirinya sendiri : “Bagaimana makananku?. Pakaianku?. Mana bagian untuk anak-anakku?. Mana bagian untuk keluargaku? Mana?”.
Inilah rintangannya. Dan dirinya menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut :
“Harus ada bekal bagiku!. Harus ada apa-apa yang menguatkan diriku!. Aku harus tajarud ‘aniddun’ya, sekarang aku sudah membulatkan hatiku ,sudah tidak dapat dibuai lagi oleh keserakahan dan kekhawatiran masalah-masalah dunia, dengan mengkhawatirakan rizki yang telah dijatahkan untukku dengan berikhtiar?. Aku sudah menjaga diri supaya jangan ditipu oleh mahluk-mahluk sekarang aku harus berhati-hati terhadap mahluk, kalau begitu bagaimana tenaga dan bekalku itu? Itu tagihan nafsunya (dirinya) sendiri.

2. Rintangan berupa macam-macam bahaya,

Inilah rintangan yang kedua. Macam-macam bahaya yang ia takutkan, ia takut ini dan mengharapkan itu, takut-takut kalau tidak jadi. Ia ingin anu, anu, anu, takut kalau-kalau tidak ada. Ia takut anu, anu,anu, takut kalau–kalau ada.
Ia tidak tahu apa yang baik baginya dalam hal ini, dan apa yang jelek baginya. Ia hanya meraba-raba saja, sebab akibat-akibat dari segala sesuatu itu samar sifatnya, begitu pula dengan akibat-akibatnya?. Hatinya bimbang, mungkin dia terjatuh pada kerusakan, kebinasaan atau jatuh pada tempat yang mencelakakan.

3. Rintangan berbagai macam kesusahan dan kepayahan.

Inilah rintangan yang ketiga, dimana musibah-musibah yang datang kepadanya bermacam-macam dari tiap segi (tiap sudut kehidupan). Apalagi sekarang ia sudah berterkad untuk menjadi seorang yang lain dari yang lain, tidak sama dengan mahluk yang lain, ia bertekad untuk menjadi ahli ibadah, sedangkan orang lain tidak mau beribadah, atau beribadah asal-asalan. Apalagi ia sudah bertekad pula untuk berperang melawan syaitan, dan syaitan juga tidak akan tinggal diam, syaitan selalu istiqamah dan selalu siap dan sigap untuk melawannya. Dan ia sudah bertekad untuk melawan nafsunya, sedangkan nafsunya juga sudah siap untuk merobohkannya.

Berbagai kesusahan, kesulitan dan kepayahan yang akan dihadapinya. Berbagai kebingungan, kecemasan, ketakutan dan kesedihan yang melintang dijalannya, berbagai musibah akan datang menyambutnya, ini juga harus dipikirkannya.

4. Rintangan bermacam-macam takdir dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Inilah rintangan keeempat atau yang terakhir. Ada yang manis, ada yang pahit, sedangkan nafsu selalu cepat berkeluh kesah : “wah…. bagaimana ini?, kenapa begitu?,…padahal saya sudah berusaha?......kok seperti ini..?. Demikian cepatnya nafsu tergoda, sehingga berkata tanpa dipikir.

Maka disini ia menghadapi tanjakan lagi TANJAKAN RINTANGAN EMPAT atau TANJAKAN GODAAN.

ia harus menempuhnya dengan empat macam alat :

1. Tawakal kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Dalam hal rizki, harus tawakal dan menyerah kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

2. Berserah diri.

Pasrah sepenuhnya kepada ketentuan Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengenai apa yang dikhawatirkannya. Contohnya ditempat berbahaya, dimana kita sudah tak berdaya, serahkan sepenuhnya kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Seperti, kata seorang yang beriman yang diantar prajurit tentara kerajaan firaun :”aku serahkan urusanku kepada Allah”, yaitu sewaktu ia diancam akan dibunuh.

3. Sabar

Kesabaran adalah sebuah sikap yang telah menjadi sifat dalam menghadapi datangnya berbagai bencana dan musibah sebagai ujian yang menimpa dirinya.

4. Ridho

Dia menerima dengan penuh daya tahan dan ketenangan saat takdir Allah Subhanahu Wa Ta’ala menghampirinya. Dia akan berkata : “takdir ini saya terima dengan penuh ikhtiar dan perjuangan, atau saya terima dengan rela takdir ini”.

Jadi ia mulai juga menempuh tanjakan ini dengan izin Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Dan dengan kebaikan bimbingan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Setelah menempuh tanjakan yang baru ini, yakni tanjakan rintangan yang keempat, kembali ia ingin beribadah dengan benar, dan ia berfikir lagi. Tiba-tiba dirinya lesu, malas, tidak giat dan tidak terdorong untuk berbuat kebaikan sebagaimana mestinya.

Nafsunya cenderung kepada kelalaian dan bersenang-senang saja, banyak istirahat, nganggur dan maunya tidak bekerja. Malah cenderung kepada kejahatan serta kepada hal-hal yang tidak ada gunanya dan kearah bencana juga kebodohan. Pada saat seperti ini, ia perlu pendamping yang membawanya kepada kebaikan, kepada ketaatan dan membuat ia giat kembali untuk berbuat kebaikan, karena ada yang menegur nafsunya supaya jangan berbuat jahat dan durhaka.

Penahanan atau penegur itu ialah HARAPAN dan TAKUT . Harapan itu ialah harapan ganjaran yang besar dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Ini adalah pengiring yang dapat membangkitkan kepada ketaatan, menggerakan dirinya untuk benar-benar giat melaksanakan kebaikan-kebaikan. Adapun takut itu ialah takut kepada hukuman Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang pedih, yang diancamkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Ancaman itu berupa penegur, penolak dari segala maksiat, menjauhkannya dari perbuatan tersebut, mencegahnya dari berbuat maksiat, inilah TANJAKAN PENDORONG yang menyambut dia disini. Jadi ia perlu menempuh dengan dua alat HARAPAN dan TAKUT maka ia mulai menempuh tajakan in dengan taufik dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Akhirnya ia dapat menempuhnya dengan selamat.

Setelah ia menempuh tanjakan pendorong ini ia kembali kepada ibadah. Disini ia sudah tidak melihat lagi penghalang dan perintang, bahkan menemukan pendorong dan pengajak, karena itu giatlah ia beribadah, dilakukan secara sebenar-benarnya, dengan penuh rindu dan gemar melakukannya. Dan ia terus-menerus beribadah.

Tetapi kemudia ia melihat, berfikir, dan tiba-tiba terlihat olehnya bahwa ibadah yang susah payah ia lakukan, ada dua hama. Sewaktu-waktu ia berpura-pura dengan ketaatanya agar dilihat oleh manusia, berarti riya, dan kadang-kadang ia tidak berbuat demikian, bahkan mencerca dirinya sendiri supaya jangan riya, tetapi kemudia ia terkena penyakit sombong (ujub), kesombongannya itu merusak ibadahnya, merugikan dia, dan menghancurkannya.

Disini ia dihadapkan kepada suatu tanjakan baru, namanya TANJAKAN PENCACAD, pembuat cacad. Jadi ia terpaksa menempuhnya dengan IKHLAS dan DZKIRUL MINNAH, ikhlas itu lawannya riya, dzikrul minah itu lawannya ujub.

Ikhlas artinya memurnikan ibadah, dzikkrul minah ialah ingat akan jasa Tuhan, jadi tidak sombong dan takabur. Ia mulai menempuh tanjakan ini dengan ijin dari Allah, dengan dengan kesungguhan hati, dengan hati-hati dan waspada, dengan peliharaan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala, Serta bimbingannya. Ketika ia sudah melalui tanjakan yang baru ini, berhasilah ia beribadah sebagaimana mestinya, sebagaimana patutnya, sehat selamat dari ganngguan wabah. Akan tetapi ia berpikir lagi, tiba-tiba ia melihat dirinya sedang tenggelam dalam lautan kenikmatan dan jasa dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Dan kebaikan-kebaikan-Nya, dari banyaknya yang dikaruniakan Allah Subhanahu Wa Ta’ala kepadannya, yaitu diberi taufiq dan pemeliharaan serta macam-macam penguat dan pendukung, dihormati, dimuliakan, akirnya ia kuatir kalau ia lupa berterimakasih, sehingga akibatnya, ia jatuh kedalam kekufuran, lupa bersyukur, sebab kalau jatuh kejurang lupa , berarti dia jatuh dari martabat yang tinggi, yaitu martabat khadam yang khusus untuk Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Dan hilang daripadanya nikmat-nikmat yang mulia itu. Maka disini ia dihadapkan kepada tanjakan baru dan terakhir, namanya: TANJAKAN PUJI dan SYUKUR.

Tetapi ia sadar unTuk menempuh tanjakan ini dengan sedapat mungkin, yaitu dengan memperbanyak pujian dan syukur atas nikmat-nikmat daripada-Nya yang banyak itu.
Setelah ia menempuh tanjakan yang terakhir ini dan kemudian, ia turun kedataran, tiba-tiba ia bertemu dengan maksud dan keinginannya, yang berada di depannya, ia melangkah sedikit kedepan, tibalah ia kedataran karunia dan padang rindu serta halaman mahabbah. Kemudian ia masuk kedalam taman keridhoan, kebun-kebun kecintaan dan kehangatan hati, sampai dihamparan kegembiraan, dekat martabat, tempat munajat, beroleh pakaian kehormatan dan kemuliaan.

Jadi ia merasa nikmat dalam keadaan seperti ini, selama hidupnya dan sisa umurnya, badannya masih didunia, tetapi hatinya sudah diakhirat. Ia menunggu dari hari ke hari pembawa surat, sampai ia bosan terhadap mahluk, benci terhadap dunia, rindu ingin cepat pulang. Rindunya penuh pada alamul a’la (masyarakat yang tertinggi). Tiba-tiba datanglah utusan-utusan pembawa amanat dari Robul ‘Alamin kepadanya datang dengan segala yang menyenangkan, dengan wewangian dan berita yang menggembirakan, keridoan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala, dari Tuhan yang ridho tidak murka, jadi mereka itu (para malaikat) memindahkan dia dalam keadaan senang dan gembira penuh dengan kehangatan, dari negri yang fana, yang menggoda, kehadirat keTuhanan dan tempat taman firdaus. Dirinya yang lemah dan berfikir itu memperoleh kenikmatan yang kekal dan kerajaan yang besar.

Ia menemukan disana nikmat karunia dari tuhannya, yaitu Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Yang Maha Rahim, yang Maha Pemurah. Yaitu kelemah lembutan, kesayangan dan sambutan, pemberian nikmat, pemberian kemuliaan, dan apa yang tak terkatakan lagi, tidak pernah dilihat, tidak bisa digambarkan, tiap hari terus bertambah sampai selama-lamanya. Besar nian kebahagiaan ini, tinggi nian kerajaan ini, bahagia nian hamba Allah Subhanahu Wa Ta’ala ini, manusia yang mahmud (terpuji) ini, baik sekali tempat kembalinya.

Kita memohon kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang Maha Baik, yang Maha Rahim, agar dia memberikan aku dan kamu sekalian kenikmatan yang maha besar, karunia yang maha agung, tidak sukar bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala, untuk berbuat seperti itu.

Kita memohon supaya jangan termasuk golongan yang bernasib sebaliknya dan tidak seperti itu, yang hanya mendengarkan saja dan berpengetahuan saja dan melamunkannya saja tanpa mendapatkan manfaatnya, dan kita memohon supaya Allah Subhanahu Wa Ta’ala jangan membuat ilmu yang kita kaji sekarang ini, hanya jadi hujjah yang merugikan kita kelak diyaumul kiyamah, dan kita memohon Allah Subhanahu Wa Ta’ala memberikan taufik kepada kita sekalian untuk mengamalkan yang demikian itu dan melakukannya sebagaimana mestinya, sebagaimana yang diridoi oleh –Nya.

Sesungguhnya Allah Subhanahu Wa Ta’ala jua yang memberi rahmat dan Allah Subhanahu Wa Ta’ala jua yang Maha Pemurah. Nah, inilah isi kitab Minhajul Abidin yang diilhamkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala kepadaku untuk menerangkan jalan ibadah itu dengan lengkap. Sekarang, ketahuilah dengan taufiq dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala bahwa jumlah semuanya ini ada 7 tanjakan :

1. Tanjakan Ilmu dan Ma’rifat

2. Tanjakan Taubat

3. Tanjakan Halangan

4. Tanjakan Rintangan

5. Tanjakan Pendorong

6. Tanjakan Pencacad

7. Tanjakan Puji dan Syukur

Dan dengan tamatnya tanjakan-tanjakan ini, maka tamatlah kitab Minhajul Abidin ini. Sekarang akan aku jelaskan tanjakan-tanjakan ini dengan keterangan-keterangan singkat yang mengandug makna-makna penting. Masing-masing akan diterangkan dalam babnya tersendiri, Insya Allah.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala jua yang memberi taufiq dan membimbing kita dengan karuniaNya. Wallahu ‘alam bishowab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar