Al Qur'an

يَا بُنَيَّ أَقِمِ الصَّلاَ ةَ وَ أْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَ انْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَ اصْبِرْ عَلَى مَا أَصَا بَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ اْلأُمُور [لقمان/17]

Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). (QS. Lukmaan (31) : 71

SILAHKAN DISEBARKAN

SILAHKAN DIPERBANYAK / DISEBARKAN DENGAN COPY PASTE ASAL SEBUTKAN SUMBERNYA, TERIMA KASIH

Selasa, 18 Oktober 2011

Shofwatut Tafasir (bagian 1)


سُورَ ةٌ   اْلفَاتِحَةِ
(Surat Al Fatihah)


مَكِّيَةُ  وَ  آ يَاتُهَا سَبْعُ  آيَاتُ  بِاتِفَاقِ
(Makkiyah, berjumlah 7 ayat)


أَعُوْذُ  بِاللهِ  مِنَ  الشَّـيْطَانِ  الرَّجِيْمِ
(Aku berlindung kepada Allah dari godaan syetan yang terkutuk)


تَفْسِيْرُ اْلاِسْتِعَاذَ ةِ :  اَلمَْعْنَى  :  أَسْتــَجِيْرُ   بِجِِنَابِ  اللهِ ، وَ  أَعْتــَصِمُ   بِهِ  مِنْ  شَرِّ  الشَّيْطَانِ  اْلعَاتِيِّ  اْلمُتــَمَرِّدِ ، أَنْ  يَضُرَّ  نِي   فِى   دِيْنِى  أَوْ دُ نْيَاىَ ، أَوْ  يَصُدَّ نِى  عَنْ   فِعْلٍ  مَا  أُمِرْتُ   بِهِ ، وَ   أَحْتــَمِى  بِا لْخَالِقِ  السَّمِيعِ  اْلعَلِيْمِ   مِنْ   هَمْزِ هِ   وَ  لَمْزِ هِ  وَ وَسَاوِسِهِ ، فَإِنَّ  الشَّـيْطَانَ   لاَ  يَكُفُّهُ  عَنِ  اْلإِ نْسَانِ ، إِلاَّ  اللهِ  رَبِّ  اْلعَالَمِيْنَ.  عَنِ  النَّـبِىِّ   r   أَ نَّهُ   كَانَ   إِذَ ا  قَامَ مِنَ  اللَّيْلِ ، اِسْتــَفْتــَحَ  صَلاَ تَهُ  بِالتـــَّـكْبِيْرِ ، ثــُمَّ   يَقُوْ لُ : )أَعُوْذُ بِا اللهِ  السَّمِيْعِ  اْلعَلِيْمِ ، مِنَ الشَّـيْطَانِ  الرَّجِيْمِ ، مِنْ هَمْزِ هِ  وَ نَفْخِهِ  وَ نَفْثِهِ . (أخرجه أصحاب السنن).

Tafsir (Penjelasan) Al-Isti'adzah, maknanya :

Aku berlindung di sisi Allah dan berpegang teguh (dengan penjagaan) kepadaNya dari kejahatan syetan yang tidak baik (kejam, keji) dan yang membangkang (durhaka). Berlindung dari syetan yang berupaya merugikan (menyusahkan) agamaku dan duniaku. Syetan senantiasa berupaya menghalangiku dari perbuatan yang mana aku diperintahkan (Allah) untuk melaksanakannya. Aku berlindung (memohon penjagaan) kepada Sang Pencipta, Dzat Maha Mendengar dan Maha Mengetahui, dari hembusan dalam dada (bisikan ruh) dan bisikan (dalam telinga) dan tiupan keragu-raguan (kecemasan, kekhawatiran) akibat bujuk rayu syetan. Sesungguhnya Syetan tidak mampu menutup (menjauhkan diri, menggoda) manusia melainkan (seizin) Allah tuhan semesta alam. Diriwayatkan dari nabi r, apabila beliau bangun malam, beliau membuka shalatnya dengan takbir kemudian berdoa, (أَعُوْذُ بِا اللهِ  السَّمِيْعِ  اْلعَلِيْمِ ، مِنَ الشَّـيْطَانِ  الرَّجِيْمِ ، مِنْ هَمْزِ هِ  وَ نَفْخِهِ  وَ نَفْثِهِ) "Aku berlindung kepada Allah Dzat Yang Maha Mendengar dan Maha Mengetahui, dari syetan yang terkutuk, dari hembusan dalam dada (bisikan ruh) dan bisikan (dalam telinga) serta tiupan keragu-raguan (kecemasan, kekhawatiran) akibat bujuk rayu syetan ".(dikeluarkan oleh penulis kitab Sunnan : Sunan Abu Daud dan Sunan Turmudzi dari Abu Sa'id Al Khudri dan Sunan Ibnu Majah dari Ibnu Jubair bin Muth'im dari bapaknya)[1].

تَنْبِيْهٌ :  لَفْظَةٌ   "  أَعُوْذُ  بِا للهِ  مِنَ  الشَّيْطَانِ  الرَّجِيْمِ  "  لَيْسَتْ  آيَةٌِ قُرْآنِيَةٌ ، وَ إِ نَّمَا هُوَ  أَدَبٌ  أَدَّ بَنَا اللهُ  بِهِ ، عِنْدَ  إِرَ ادَ ةِ  قِرَ اءَ ةِ  اْلقُرْآنِ   بِقَوْ  لِهِ  سُبْحَا نَهُ  [ فَإِذَ ا  قَرَ أْتَ  الْقُرْآَنَ  فَاسْتــَعِذْ  بِاللَّهِ  مِنَ  الشَّيْطَانِ  الرَّجِيمِ  [النحل/98] ] فَلِهَذَ ا  لَمْ   تَكْتــُبْ   فِى  اْلقُرْآنِ  اْلكَرِيْمِ   بِخِلاَفِ  اْلبَسْمَلَةِ.

Catatan (peringatan) :

Lafadz : (أَعُوْذُ  بِا للهِ  مِنَ  الشَّيْطَانِ  الرَّجِيْمِ ), tidak termasuk didalam ayat Al Qur'an, sesungguhnya ucapan (أَعُوْذُ  بِا للهِ  مِنَ  الشَّيْطَانِ  الرَّجِيْمِ  ) merupakan etika (adab, tata krama), Etika membaca (أَعُوْذُ  بِا للهِ  مِنَ  الشَّيْطَانِ  الرَّجِيْمِ  ) ini diajarkan Allah kepada kita, ketika  kita ingin membaca Al Qur'an, hal ini diperintahkan didalam firman Allah yang Maha Suci : ([فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآَنَ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ [النحل/98) artinya "Maka apabila engkau (Muhammad) hendak membaca al-Quran, memohonlah perlindungan kepada Allah dari (godaan, gangguan) syetan yang terkutuk". (QS. An-Nahl (16) : 98).  Oleh karenanya lafadz (أَعُوْذُ  بِا للهِ  مِنَ  الشَّيْطَانِ  الرَّجِيْمِ ) tidak ditulis di dalam Al Qur'an, lain halnya dengan ucapan bismilah atau (بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ).


بِسْمِ  اللهِ  الرَّ حْمَنِ  الرَّحِيْمِ
(Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang)


تَفْسِيْرُ اْلبَسْمَلَةِ : اَلمَْعْنَى  : أَ بْدَ أُ  بِتــَسْمِيَةِ  اللهِ  وَ ذَكَرَ هُ  قَبْلَ  كُلِّ  شَيْئٍ ، مُسْتَعِيْناً بِهِ  جَلَّ  وَ عَلاَ  فِى  جَمِيعِ  أُمُوْرِي ، طَالِباً مِنْهُ  وَحْدَهُ  اْلعَوْنَ ،  فَإِنَّ  الرَّبَّ  اْلمَعْبُوْدَ ، ذُو اْلفَضْلِ وَ  اْلجُوْدِ ، وَ اسِعُ الرَّحْمَةِ  كَثِيْرُ اْلتــَّفَضُّلِ  وَ  اْلإِحْسَانِ ، اَ لَّذِى وَسِعَتْ رَحْمَتُهُ  كُلَّ شَيْئٍ ، وَ عَمَّ فَضْلَهُ جَمِيْعِ اْلأَناَمِ.

Tafsir Basmalah, maknanya :

Aku memulai dengan nama Allah dan menyebutNya sebelum segala sesuatu, aku memohon pertolonganNya dalam segala urusanku (aktivitasku). Hanya kepadaNya aku meminta (mencari) pertolongan. Bahwasannya Dia-lah Tuhan (satu-satunya) yang patut disembah, Maha Mulia (Maha Utama) dan Maha Dermawan, sangat luas rahmatNya, banyak keutamaanNya dan kebaikanNya, rahmatNya mencakup (meliputi) segala sesuatu, keutamaanNya mencakup (meliputi) semua makhluk.

تَنْبِيْهٌ : [ بِسْمِ  اللهِ  الرَّحْمَنِ  الرَّحِيْمِ ]  اِفْتــَتــَحَ   اللهُ   بِهَذِ هِ   اْلآ يَةِ   سُوْرَ ةَ   اْلفَاتِحَةِ   وَ  كُلَّ   سُوْرَ ةَ   مِنْ  سُوَرِ  اْلقُرْآنِ  -  مَا عَدَ ا سُورَ ةَ   التــَّوبَةِ  -  لِيُرْشِدَ  اْلمُسْلِمِيْنَ   إِلَى  أَنْ   يَبْدَ أُوْا  أَعْمَالَهُمْ  وَ  أَقْوَ الَهُمْ  ]  بِسْمِ  اللهِ  الرَّحْمَنِ  الرَّحِيْمِ [، اِلْتِمَاساً لِمَعُوْ نَتِهِ وَ تَوْ فِيْقِهِ ، وَ مُخَالِفَةً  لِلْوَ ثَنِيِّـيْنَ  الَّذِيْنَ  يَبْدَ أُوْنَ  أَعْمَالَهُمْ  بِأَسْمَاءِ  آلِهَـتِهِمْ   أَوْ  طَوَ اغِيْـتِهِمْ فَيَقُوْلُوْنَ : بِاسْمِ اللاَّتَ ، أَوْ بِاسْمِ اْلعُزَى ، أَوْ  بِاسْمِ الشُّعَبْ ، أَوْ  بِاسمِ  هُبَلْ.

Catatan (peringatan) :

(بِسْمِ  اللهِ  الرَّ حْمَنِ  الرَّحِيْمِ)  artinya "Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang". Allah membuka surat Al-Fatihah dan setiap surat Al-Qur'an (kecuali surat At-Taubah), dengan ayat tersebut (Allah hendak mengajarkan) untuk menunjukkan kepada kaum muslimin agar memulai segala aktivitas dan perkataannya dengan kalimat (بِسْمِ  اللهِ  الرَّ حْمَنِ  الرَّحِيْمِ)  artinya "dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang",  untuk memohon (berharap) meminta perlindungan dan taufikNya.  Hal ini berbeda dengan kaum pagan (penyembah berhala) yang memulai segala pekerjaannya dengan menyebutkan nama tuhan-tuhan mereka. Mereka mengucapkan, "Dengan Menyebut nama Al-Lata" [2], atau "Dengan Menyebut Al-Uzza" [3] atau "Dengan Menyebut nama Asy-Syab"  dan "Dengan Menyebut nama Hubal" [4].

قَالَ  الطَّـبَرِى : " إِنَّ  اللهَ  تَعَالَى  ذَكَرَهُ  وَ  تــَقَدَّ سَتْ   أَسْمَاؤُ هُ ، أَدَّبَ  نَبِـيَّهُ  مُحَمَّداً  r  بِتــَعْلِيْمِهِ  ذِكْرَ  أَسْمَائِهِ اْلحُسْنَى ، أَمَامَ   جَمِيْعِ  أَفْعَالِهِ ، وَ جَعَلَ  ذَ لِكَ   لِجَمِيْعِ  خَلْقِهِ  سُنَّةً   يَسْتــَنُّوْنَ   بِهَا ، وَ  سَبِيْلاً  يَتــَّبِعُوْ نَهُ  عَلَيْهَا ، فَـقَـوْلُ اْلقَائِلِ : بِسْمِ  اللهِ  الرَّحْمَنِ  الرَّحِيْمِ  إِذَا  افْتــَتــَحَ  تَالِياً  سُوْرَ ةً ، يُنْبِئُ   عَنْ   أَنَّ  مُرَ ادَ هُ :  أَقْرَ أُ  بِسْمِ  اللهِ ،  وَ كَذَ لِكَ  سَائِرَ  اْلأَ فْْعَالِ " .
Ath-Thabari berkata : "Sesungguhnya Allah menyebut (bismillah) dan mensucikan nama-namaNya. Allah mengajarkan adab (etika) kepada nabi Muhammad  r  untuk menyebutkan nama-namaNya yang baik (Al-Asma 'Al Husna) pada permulaan segala pekerjaannya. Kemudian ajaran tersebut (membaca bismillah pada setiap permulaan segala pekerjaan) menjadi tuntunan (sunnah) bagi semua makhlukNya, dan menjadi jalan yang senantiasa diikuti".
Orang yang mengucapkan : (بِسْمِ  اللهِ  الرَّ حْمَنِ  الرَّحِيْمِ) "Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang, jika memulai membaca surat, maka mengabarkan (memberitahukan) bahwa : Aku memulai dengan membaca basmalah, begitu juga dalam segala amal perbuatanku (aktivitasku)"  [5]


[1]     سنن أبي داود - (ج 2 / ص 427/ح 658) : حَدَّ ثَنَا  عَبْدُ  السَّلاَ مِ  بْنُ  مُطَهَّرٍ  حَدَّ ثَنَا  جَعْفَرٌ  عَنْ  عَلِيِّ  بْنِ  عَلِيٍّ  الرِّفَاعِيِّ  عَنْ  أَبِي  الْمُتَوَ كِّلِ  النَّاجِيِّ  عَنْ  أَبِي  سَعِيدٍ  الْخُدْرِيِّ  قَالَ ) كَانَ  رَسُولُ   اللَّهِ  صَلَّى  اللَّهُ  عَلَيْهِ  وَ سَلَّمَ  إِذَا  قَامَ  مِنَ  اللَّيْلِ  كَبَّرَ  ثُمَّ  يَقُولُ  سُبْحَا نَكَ  اللَّهُمَّ  وَ  بِحَمْدِكَ  وَ  تَبَارَ كَ  اسْمُكَ  وَ تَعَالَى  جَدُّكَ  وَ  لاَ   إِلَهَ  غَيْرَ كَ   ثُمَّ   يَقُولُ   لاَ   إِلَهَ   إِلاَّ   اللَّهُ   ثَلاَ ثًا  ثُمَّ    يَقُولُ  اللَّهُ   أَكْبَرُ   كَبِيرً ا  ثَلاَ  ثًا   أَعُوذُ  بِاللَّهِ   السَّمِيعِ   الْعَلِيمِ   مِنَ   الشَّيْطَانِ   الرَّجِيمِ   مِنْ   هَمْزِ هِ  وَ نَفْخِهِ   وَ   نَفْثِهِ   ثُمَّ    يَقْرَ أُ  (
(Sunan Abu Daud, Hadits 658) : Telah menceritakan kepada kami Abdussalam bin Mutthahir telah menceritakan kepada kami Ja'far dari Ali bin Ali Ar Rifa'i dari Abu Al Mutawakkil An Naji dari Abu Sa'id Al Khudri dia berkata ; ("Apabila Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bangun untuk shalat malam, beliau bertakbir kemudian mengucapkan: "SUBHAANAKA ALLAHUMMA WABIHAMDIKA WATABAARAKASMUKA WA TA'AALA JADDUKA WALAA ILAAHA GHAIRAKA (Maha suci Engkau, ya Allah, aku sucikan nama-Mu dengan memuji-Mu, Maha berkah nama-Mu, Maha luhur keluhuran-Mu dan tidak ilah selain Engkau)." kemudian membaca: "LAA ILAAHA ILLALLAH (tidak ada ilah selain Allah) sebanyak tiga kali, kemudian membaca: "ALLAHU AKBAR KABIIRA (Allah Maha besar benar-benar Maha besar)." sebanyak tiga kali- (kemudian membaca): A'UUDZU BILLAHIS SAMII'IL 'ALIIM MINAS SYAITHAANIR RAJIIM MIN HAMZIHII WANAFKHIHI WA NAFTSIHI (Aku berlindung kepada Allah, dzat yang Maha mendengar lagi Maha mengetahui dari goda'an syetan yang terkutuk, dari kegilaannya, dari kesombongannya dan syairnya yang jelek)." kemudian beliau membaca (surat Al Qur'an).)

سنن الترمذي - (ج 1 / ص 409/ح 225) : حَدَّ ثَنَا  مُحَمَّدُ  بْنُ  مُوسَى  الْبَصْرِيُّ  حَدَّثَنَا  جَعْفَرُ  بْنُ  سُلَيْمَانَ  الضُّبَعِيُّ  عَنْ  عَلِيِّ  بْنِ  عَلِيٍّ  الرِّفَاعِيِّ  عَنْ  أَبِي  الْمُتَوَ كِّلِ  عَنْ  أَبِي  سَعِيدٍ  الْخُدْرِيِّ  قَالَ ) كَانَ  رَسُولُ  اللَّهِ صَلَّى  اللَّهُ  عَلَيْهِ  وَ سَلَّمَ  إِذَا  قَامَ  إِلَى  الصَّلاَ ةِ  بِاللَّيْلِ  كَبَّرَ  ثُمَّ   يَقُولُ  سُبْحَانَكَ  اللَّهُمَّ  وَ  بِحَمْدِكَ  وَ تَبَارَ كَ  اسْمُكَ  وَ تَعَالَى  جَدُّ كَ  وَ  لاَ  إِلَهَ  غَيْرُ كَ   ثُمَّ   يَقُولُ  اللَّهُ   أَكْبَرُ   كَبِيرً ا   ثُمَّ   يَقُولُ  أَعُوذُ  بِاللَّهِ  السَّمِيعِ  الْعَلِيمِ  مِنَ  الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ   مِنْ  هَمْزِ هِ  وَ  نَفْخِهِ  وَ  نَفْثِهِ (
(Sunan Turmudzi, hadits 225) : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Musa Al Bashari berkata; telah menceritakan kepada kami Ja'far bin Sulaiman Adl Dluba'i dari Ali bin Ali Ar Rifa'i dari Abu Al Mutawakkil dari Abu Sa'id Al Khudri ia berkata ; ("Jika Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berdiri untuk shalat malam, beliau bertakbir dan membaca: "SUBHAANAKA ALLAHUMMA WA BIHAMDIKA WA TABAARAKAS MUKA WA TA'ALA JADDUKA WA LAA ILAAHA ILLAA GHAIRUKA (Maha Suci Engkau Ya Allah, aku memuji-Mu, Maha Berkah akan nama-Mu, Maha Tinggi kekayaan dan kebesaran-Mu, tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Engkau), " lalu membaca: "ALLAHU AKBAR KABIIRA (Allah Maha Besar dengan sebesar-besarnya), " lalu membaca: "A'UUDZU BILLAHIS SAMI'IL AliIM MINASY SYAITHANIR RAJIIM MIN HAMZIHI WA NAFKHIHI WA NAFSIHI (Aku berlidung kepada Allah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui dari setan yang terkutuk, dari godaan, tiupan dan bisikannya).")

سنن ابن ماجه - (ج 3 / ص 33/ح  799) :  حَدَّ ثَنَا  مُحَمَّدُ  بْنُ  بَشَّارٍ  حَدَّ ثَنَا  مُحَمَّدُ  بْنُ  جَعْفَرٍ  حَدَّ ثَنَا  شُعْبَةُ  عَنْ  عَمْرِو بْنِ  مُرَّةَ  عَنْ  عَاصِمٍ  الْعَنَزِيِّ  عَنِ  ابْنِ  جُبَيْرِ  بْنِ  مُطْعِمٍ  عَنْ  أَبِيهِ  قَالَ )رَ أَ يْتُ  رَسُولَ  اللَّهِ  صَلَّى  اللَّهُ  عَلَيْهِ  وَ سَلَّمَ  حِينَ  دَخَلَ   فِي  الصَّلاَ ةِ   قَالَ  اللَّهُ   أَكْبَرُ   كَبِيرً ا  اللَّهُ   أَكْبَرُ   كَبِيرً ا  ثَلاَ ثًا  الْحَمْدُ  لِلَّهِ  كَثِيرً ا  الْحَمْدُ  لِلَّهِ  كَثِيرًا  ثَلاَ ثًا  سُبْحَانَ  اللَّهِ  بُكْرَ ةً  وَ  أَصِيلاً  ثَلاَ ثَ  مَرَّاتِ  اللَّهُمَّ  إِ نِّي  أَعُوذُ  بِكَ  مِنَ  الشَّيْطَانِ  الرَّجِيمِ  مِنْ هَمْزِ هِ  وَ نَفْخِهِ  وَ  نَفْثِهِ  قَالَ  عَمْرٌو  هَمْزُهُ  الْمُوتَةُ  وَ  نَفْثُهُ  الشِّعْرُ  وَ  نَفْخُهُ  الْكِبْرُ( 
(Sunan Ibnu Majah, hadits 799) : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basysyar berkata, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja'far berkata, telah menceritakan kepada kami Syu'bah dari 'Amru bin Murrah dari 'Ashim Al 'Anazi dari Ibnu Jubair bin Muth'im dari Bapaknya ia berkata ; (Ketika membuka shalat, aku melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengucapkan; "ALLAHU AKBAR KABIIRA, ALLAHU AKBAR KABIIRA (Sungguh Maha besar Allah, Sungguh Maha besar Allah) sebanyak tiga kali, ALHAMDULILLAHI KATSIIRA, ALHAMDULILLAHI KATSIIRA (Segala puji bagi Allah sebanyak-banyaknya. Segala puji bagi Allah sebanyak-banyaknya) sebanyak tiga kali, SUBHAANAALLAHI BUKRATAU WA ASHIILA (Maha suci Allah diwaktu pagi dan petang) sebanyak tiga kali, ALLAHUMMA INNI A'UDZU BIKA MINASY SYAITHANIR RAJIIM MIN HAMZIHI WA NAFKHIHI WA NAFTSIHI (Ya Allah sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari setan yang terkutuk; dari goda, tiupan dan hembusannya)." 'Amru berkata; "Godaannya adalah kebimbangan, tiupannya adalah sya'ir dan hembusannya adalah kesombongan.")

[2]    Lātta : Menurut riwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, Mujahid, Rabi’ bin Anas mereka membaca (الاَّتَ) dengan ditasydidkan taa (تَّ) dan mereka menafsirkannya dengan “Seseorang yang mengadoni gandum untuk para jamaah haji di masa jahiliyyah. Tatkala dia meninggal, mereka i’tikaf di kuburannya lalu menyembahnya.” Mujahid berkata: “Al Lātta adalah orang yang dahulunya tukang mengaduk tepung gandum (dengan air atau minyak) untuk dihidangkan kepada jamaah haji. setelah meninggal, merekapun senantiasa mendatangi kuburannya.”

Imam Al-Bukhari mengatakan, Telah diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas berkata tentang firman Allah “Al-Lātta dan Al-’Uzza.”: “Al-Lātta adalah seseorang yang menjadikan gandum untuk para jamaah haji.”
Syaikh Sholeh bin Fauzan Al-Fauzan berkata, Lātta dengan dobel huruf "t" sebagai isim fa’il (Lātta) berasal dari kata kerja latta-yaluttu. Dia (Lātta) adalah seorang lelaki yang shalih yang biasa mengadon tepung untuk memberi makan jama’ah haji. Ketika dia meninggal, orang-orang pun membangun sebuah rumah di atas kuburannya, dan menutupinya dengan tirai-tirai. Akhirnya mereka menyembahnya sebagai sekutu selain Allah.

Lāta : Sedangkan kata Lata tanpa dobel huruf "t", adalah nama berhala di Tha'if. Dia berupa batu yang dipahat, yang dibangun sebuah rumah di atasnya. Padanya ada tirai-tirai yang menyamai ka’bah. Di sekelilingnya ada halaman dan di mempunyai pelayan (penjaga). Berhala ini milik kabilah Tsaqif dan kabilah-kabilah yang ada disekitar mereka.
Lāta kedua ini dibuat dari batu besar yang dianggap suci, diletakkan di dalam kotak kayu berbentuk persegi dengan batu permata di dalamnya. Ia dikenal juga oleh Herodotus sebagai "Alilat". Lembah Wajj dianggap suci dan sejajar dengan berhala tersebut. Disekitar berhala itu banyak pepohonan yang tidak boleh ditebang. Para penyembahnya selalu meletakkan persembahan berupa baju, batu permata dan hadiah-hadiah lain diatas batu berhala tersebut, sebagai salah satu upacara keagamaan.
Cultus Lāta ada hari ini di persatuan keagamaan yang asal Rusia (Siberia) "Lingkaran orang berbakti kepada Dewi ALLAT"

[3]    Al-‘Uzzá (bhs Arab :العزى, Yang Terkuat) adalah salah satu berhala yang disembah oleh bangsa Arab Jahiliyah. Berhala ini dianggap sebagai salah satu anak Tuhan bersama dengan Lattā dan Manāt. ‘Uzzá dianggap sebagai dewi perang suci dan yang paling muda di antara berhala dewi yang lain. Berhala pohon dari Sallam yang terletak di lembah Nakhlah yang terletak antara Mekkah dan Tha’if. Di sekitarnya terdapat bangunan, dan tirai-tirai. Berhala ini juga mempunyai pelayan dan penjaga.
Al-‘Uzzá juga disembah oleh bangsa Nabath, yang dianggap sejajar dengan salah satu dewi Aphrodite. Al Qur'an menyebutkannya di dalam salah satu surahnya yaitu di dalam surah An-Najm ayat 19, yang berbunyi:
"Maka apakah patut kamu (hai orang-orang musyrik) menganggap al Lata dan al Uzza", (An-Najm 53:19)
Sebagian orang menyebutnya dengan nama Al-'Uzza, El-'Ozza, Uzza, Izza.

[4]    Hubal : Melacak asal-usul para berhala kuno ini seringkali menemukan kelemahan. Jika nama Hubal di hubungkan dengan bahasa Aramik berarti roh, sebagaimana yang diajarkan oleh Philip K. Hitti, maka Hubal berasal dari Arab sebelah Utara. Jika dilihat dari beberapa pendapat mengatakan bahwa Hubal dilihat dari asal-usulnya maka berhala itu berasal dari peradaban mitologi bangsa Mesopotamia yang berpuncak pada mahadewa Enlil yang sangat terkenal pada abad ke 17 SM.
Disamping menyembah Hubal, bangsa Arab Quraisy menyembah pula berhala Bâal sang Dewa Badai yang berasal dan peradaban Israel purba abad ke-13 SM, yang sudah disembah ras Arabia sedikitnya sejak abad ke-10 SM. Dengan demikian terdapat pengaruh kebudayaan Mesopotamia dan Israel purba dalam budaya penyembahan berhala di Hejaz.
Menurut Nehs seorang misionaris, dalam usahanya menghubungkan Hubal dengan "Ha-Baal" (Baal), berhala Hubal di Mekkah berasal dari Ma'arib. Nehls berkata: "Where was Baal worshipped? In Moab! It was the "god of fertility". 'Amr bin Luhay brought Hubal from Moab to Arabia."
Menurut riwayat berhala Hubal itu terbuat dari batu akik merah seperti orang, tangan sebelah kanan telah patah, kemudian setelah menjadi berhala kaum Qurais, mereka membuatkan tangan dari emas sebagai gantinya yang patah itu. Menurut riwayat lain, Hubal ditaruh di dalam Ka'bah dan dijadikan berhala terbesar di dalam dan luar Ka'bah. Sebagai bawahan Hubal dibuat pula berhala Manāt, Latta dan ‘Uzzá yang merupakan berhala penduduk lokal.

[5]    Jami' Al Bayan, karya Ath-Thabari

Senin, 17 Oktober 2011

Thaharah / Bersuci (Bagian 3)





  1.  An-Najasah (النجاسة), Perihal Najis
     a.     Pengertian najis dan macamnya

Najis adalah kotoran dimana setiap muslim wajib mensucikan diri dari kotoran tersebut dan mensucikan apa yang terkena kotoran tersebut. Firman Allah I :
وَ  ثِيَا بَكَ   فَطَهِّرْ  [المدثر/4]
dan bersihkanlah pakaianmu, (QS Al Mudatsir (74) : 4)
إِنَّ  اللَّهَ   يُحِبُّ   التَّوَّ ابِينَ  وَ  يُحِبُّ  الْمُتَطَهِّرِينَ  [البقرة/222]
Sungguh, Allah Menyukai orang yang tobat dan Menyukai orang yang menyucikan diri. (QS Al Baqarah (2) : 222)
صحيح مسلم - (ج 2 / ص 3/ح 328) و مسند أحمد - (ج 46 / ص 378/ح 21828) و سنن الدارمي - (ج 2 / ص 236/ح 678) : عَنْ  أَبِي  مَالِكٍ اْلأَشْعَرِيِّ  قَالَ  قَالَ  رَسُولُ  اللَّهِ  صَلَّى  اللَّهُ  عَلَيْهِ  وَ سَلَّمَ  ) الطُّهُورُ  شَطْرُ  اْلإِيمَانِ ... (
Dari Abu Malik al-Asy'ari dia berkata, "Rasulullah r bersabda: ("Bersuci adalah setengah dari iman...")


Macam-macam najis [1]  :

1.    Bangkai (الميتة)
Adalah makhluk hidup yang mati begitu saja, atau untuk binatang yang mati tanpa disembelih menurut ketentuan agama. Termasuk didalamnya adalah apa yang dipotong sebagian dari binatang yang hidup, berdasarkan hadits Abu Waqid Al-Laitsi :
سنن أبي داود - (ج 8 / ص 41/ح 2475) و سنن الترمذي - (ج 5 / ص 421/ح 1400) و سنن ابن ماجه - (ج 9 / ص 409/ح 3207) و مسند أحمد - (ج 44 / ص 373/ح 20897) والمستدرك على الصحيحين للحاكم - (ج 17 / ص 458/ح 7705) وسنن الدارقطني - (ج 11 / ص 89/ح 4853) وصحيح ابن خزيمة - (ج 10 / ص 381) : عَنْ  أَبِي  وَ اقِدٍ  قَالَ   قَالَ  النَّبِيُّ  صَلَّى  اللَّهُ  عَلَيْهِ  وَ سَلَّمَ ) مَا  قُطِعَ  مِنَ  الْبَهِيمَةِ  وَ هِيَ  حَيَّةٌ  فَهِيَ  مَيْتَةٌ(
Dari Abu Waqid, ia berkata; Nabi r bersabda: ("Apa yang dipotong dari binatang dalam keadaan hidup, maka sesuatu tersebut adalah bangkai.")
Imam Abu Daud dan Imam Turmudzi mengatakan bahwa hadits tersebut hasan, dan dapat dijadikan hujah dalam mengambil hukum ini.

Yang dikecualikan adalah bangkai-bangkai berikut ini :

a.    Bangkai ikan dan belalang (ميتة السمك والجراد), maka dia suci, karena hadits Ibnu Umar t.
مسند أحمد - (ج 12 / ص 2/ح 5465) و سنن ابن ماجه - (ج 10 / ص 51/ح 3305) و السنن الكبرى للبيهقي - (ج 1 / ص 254) و سنن الدارقطني - (ج 11 / ص 30/ح 4794) :  حَدَّ ثَنَا  سُرَ يْجٌ  حَدَّ ثَنَا  عَبْدُ  الرَّحْمَنِ  بْنُ  زَ يْدِ  بْنِ  أَسْلَمَ  عَنْ  زَ يْدِ  بْنِ  أَسْلَمَ  عَنِ  ابْنِ  عُمَرَ  قَالَ  قَالَ رَسُولُ  اللَّهِ  صَلَّى  اللَّهُ  عَلَيْهِ  وَ سَلَّمَ ) أُحِلَّتْ  لَنَا  مَيْتَتَانِ  وَ دَمَانِ  فَأَمَّا  الْمَيْتَتَانِ  فَالْحُوتُ  وَ الْجَرَ ادُ  وَ  أَمَّا  الدَّمَانِ  فَالْكَبِدُ  وَ  الطُّحَالُ(
Dari Ibnu Umar t, dia berkata: Rasulullah r bersabda: ("Telah dihalalkan bagi kita dua bangkai dan dua darah: dua bangkai maksudnya ikan dan belalang, dua darah maksudnya hati dan limpa.")


b.  Bangkai binatang yang tidak mempunyai darah mengalir seperti semut, lebah dan lain-lain (ميتة ما لا دم له سائل كالنمل والنحل ونحوها), maka ia adalah suci.
Jika binatang tersebut jatuh mengenai sesuatu dan mati disana, maka tidaklah menyebabkan najis.
فقه السنة - (ج 1 / ص 24) :قال  ابن  المنذر :  لا  أعلم  خلا فا  في  طهارة  ما  ذكر  إلا ما روي  عن  الشافعي  و المشهور  من مذهبه  أنه  نجس، و يعفى  عنه  إذا  و قع  في  المائع  ما لم  يغيره.
Berkata Ibnu Mundzir : “Tidak saya ketahui adanya pertikaian tentang sucinya apa yang disebutkan tadi, kecuali apa yang diriwayatkan dari Syafi’i, dan lebih populer dari madzhabnya adalah najis, hanya dimaafkan bila jatuh dalam benda cair selama benda cair itu tidak berobah karenanya”.

c.    Tulang dari bangkai, tanduk, bulu, rambut, kuku dan kulit serta apapun yang sejenis (عظم الميتة وقرنها وظفرها وشعرها وريشها وجلدها، وكل ما هو من جنس) itu hukumnya suci. 
Karena hukum asal dari hal-hal yang disebutkan tersebut asalnya adalah suci dan tak ada dalil yang menjelaskan bahwa hal-hal itu adalah najis.
فقه السنة - (ج 1 / ص 24): قال  الزهري :  في  عظام  الموتى  نحو الفيل  و غيره :  أدركت  ناسا  من  سلف  العلماء  يمتشطون  بها و يدهنون  فيها،  لا  يرون  به  بأسا
Berkata Az-Zuhri, mengenai tulang belulang bangkai seperti misalnya gajah dan lain-lain : “Saya dapati dari para ulama salaf menjadikan tulang belulang sebagai bahan dasar sisir dan bahan dasar minyak, yang demikian itu tidak apa-apa”.
صحيح مسلم - (ج 2 / ص 278/ ح 542) و موطأ مالك - (ج 3 / ص 470/ ح 942) و سنن أبي داود - (ج 11 / ص 164/ ح  942) و صحيح البخاري - (ج 5 / ص 350/ ح  1397) و سنن النسائي - (ج 13 / ص 157/ ح 4161 ) و سنن ابن ماجه - (ج 10 / ص 477/ ح 3600 ) و مسند أحمد - (ج 54 / ص 237/ ح25568 ) :  حَدَّ ثَنَا يَحْيَى  بْنُ  يَحْيَى  وَ أَ بُو بَكْرِ  بْنُ  أَبِي  شَيْبَةَ  وَ عَمْرٌو  النَّاقِدُ  وَ  ابْنُ  أَبِي  عُمَرَ  جَمِيعًا  عَنِ  ابْنِ  عُيَيْنَةَ  قَالَ  يَحْيَى  أَخْبَرَ نَا سُفْيَانُ  بْنُ  عُيَيْنَةَ  عَنِ  الزُّهْرِيِّ  عَنْ  عُبَيْدِ اللَّهِ  بْنِ  عَبْدِ اللَّهِ  عَنِ  ابْنِ  عَبَّاسٍ  قَالَ ) تُصُدِّقَ  عَلَى  مَوْلاَ ةٍ   لِمَيْمُو نَةَ  بِشَاةٍ  فَمَاتَتْ فَمَرَّ  بِهَا  رَسُولُ  اللَّهِ  صَلَّى  اللَّهُ  عَلَيْهِ  وَ سَلَّمَ  فَقَالَ  هَلاَّ   أَخَذْ تُمْ  إِهَابَهَا  فَدَ بَغْتُمُوهُ  فَانْتَفَعْتُمْ   بِهِ  فَقَالُوا  إِ نَّهَا  مَيْتَةٌ  فَقَالَ  إِ نَّمَا حَرُمَ  أَكْلُهَا(
Dari Ibnu Abbas t, ("Hamba milik Maimunah radhiyallahu'anha pernah diberi sedekah seekor kambing, kemudian kambing tersebut mati. (Tidak berapa lama kemudian) Rasulullah r melalui tempat tersebut dan bersabda, "Mengapa kamu tidak mengambil kulit bangkai tersebut dan menyamaknya agar kamu bisa memanfaatkannya?" Mereka berkata, "Ia sudah menjadi bangkai." Beliau bersabda, " yang diharamkan hanyalah memakannya.").
فقه السنة - (ج 1 / ص 24):  و عن  ابن  عباس  رضي  الله  عنهما  أنه   قر أ  هذه  الاية : (قُلْ لاَ  أَجِدُ  فِي  مَا  أُوحِيَ  إِلَيَّ  مُحَرَّ  مًا عَلَى  طَاعِمٍ   يَطْعَمُهُ  إِلاَّ    أَنْ  يَكُونَ  مَيْتَةً   أَوْ  دَ مًا  مَسْفُوحًا  أَوْ  لَحْمَ  خِنْزِ يرٍ  فَإِ نَّهُ  رِجْسٌ  أَوْ  فِسْقًا  أُهِلَّ   لِغَيْرِ اللَّهِ  بِهِ  فَمَنِ اضْطُرَّ  غَيْرَ  بَاغٍ  وَ  لاَ عَادٍ  فَإِنَّ  رَ بَّكَ  غَفُورٌ  رَحِيمٌ  [الأنعام/145] ، و قال :  إنما  حرم  ما  يؤكل  منها و هو  اللحم،  فأما  الجلد و القد  و السن  و العظم  و الشعر و الصوف  فهو  حلال)، رواه ابن المنذر وابن حاتم.
Dari Ibnu Abbas t, bahwa ia membacakan QS Al An’am ayat 145 berikut ini : (Katakanlah, “Tidak kudapati di dalam apa yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan memakannya bagi yang ingin memakannya, kecuali daging hewan yang mati (bangkai), darah yang mengalir, daging babi karena semua itu kotor atau hewan yang disembelih bukan atas (nama) Allah. Tetapi barangsiapa terpaksa bukan karena menginginkan dan tidak melebihi (batas darurat) maka sungguh, Tuhan-mu Maha Pengampun, Maha Penyayang.). Kemudian ulasan Ibnu Abbas sebagai berikut : “Yang diharamkan itu hanyalah apa yang dimakan. Mengenai kulit, air kulit, gigi, tulang, rambut dan bulu, maka ia halal”.
Begitu pula sari susu bangkai dan susunya suci, karena para sahabat sewaktu menaklukan negeri Irak, mereka memakan keju orang-orang Majusi, padahal itu dibuat dari susu, sedangkan sembelihan mereka itu dipandang sama dengan bangkai.
فقه السنة - (ج 1 / ص 24) :  و قد  ثبت  عن  سلمان  الفارسي  رضي  الله  عنه  أنه  سئل  عن  شئ  من  الجبن  و السمن  و الفراء،  فقال :  الحلا ل  ما  أحله  الله  في  كتابه،  و  الحرام  ما  حرم  الله  في  كتابه،  و ما  سكت  عنه  فهو  مما  عفا عنه. و من  المعلوم  أن  السؤ ال  كان  عن  جبن  المجوس،  حينما  كان  سلمان  ائب  عمر  بن  الخطاب  على  المدائن.
Sebuah riwayat yang berasal dari Salman Al-Farisi, bahwa ia ditanya mengenai sedikit keju, lemak dan bulu, maka jawabnya : “Yang halal adalah apa yang dihalalkan Allah I dalam KitabNya, dan yang haram apa yang diharamkan dalam KitabNya, dan apa-apa yang didiamkanNya, termasuklah barang yang dimaafkanNya”. Dan pertanyaan tersebut diajukan kepadanya mengenai keju orang-orang Majusi, yakni sewaktu Salman menjadi Gubernur Umar bin Khattab di Madain.


2.    Darah (دَ مًا)
Baik darah yang mengalir atau darah yang tertumpah, misalnya yang mengalir dari hewan yang disembelih, ataupun darah haidh, tetapi bisa dimaafkan bila sedikit dan tak terhindarkan yaitu yang tertinggal dalam urat. Dari Ibnu Juraij mengenai firman Allah I :
....أَوْ  دَ مًا  مَسْفُوحًا....[الأنعام/145]
“....darah yang mengalir.....”

Yang dimaksud dengan darah Mafsuha itu adalah darah yang mengucur keluar, sedangkan yang tertinggal dalam urat-urat itu tidaklah apa-apa. Pendapat Juraij ini dikeluarkan dalam hadits Ibnu Mundzir.
فقه السنة - (ج 1 / ص 25) :  و عن  أبي  مجلز  في  الدم،  يكون  في  مذبح  الشاة  أو  الدم  يكون  في  أعلى  القدر؟  قال :  لا بأس،  إنما  نهى  عن الدم  المسفوح،  أخرجه  عبد  بن  حميد  و أبو الشيخ
Ketika ditanyakan kepada Abu Miljaz tentang darah yang tertinggal bekas sembelihan domba (dilehernya) atau darah yang dijumpai pada daging dan periuk yang telah masak, ujarnya : “Tidak apa-apa yang dilarang itu hanyalah darah yang tertumpah” (diriwayatkan oleh Abu Hamid dan Abu Syeikh)

فقه السنة - (ج 1 / ص 25) :  و عن  عائشة  رضي  الله  عنها  قالت :  كنا  نأكل  اللحم  و الدم  خطوط  على  القدر
Dan dari Aisyah radhiyallahu'anha, ia berkata : “Kami makan daging sedangkan darahnya tampak seperti benang-benangnya yang tersisa dan semuanya ada dalam periuk”.
فقه السنة - (ج 1 / ص 25)  :  وقال  الحسن :  ما زال  المسلمون  يصلون  في  جراحاتهم،  ذكره  البخاري
Hasan berkata : “Kaum muslimin tetap melakukan shalat dengan luka-luka mereka” (diriwayatkan oleh Bukhari)
فقه السنة - (ج 1 / ص 25) :  و قد  صح  أن  عمر  رضي  الله  عنه  صلى  و جرحه  ينعب  دما، قاله  الحافظ  في  الفتح :  و كان  أبو هريرة  رضي  الله عنه  لا  يرى  بأسا  بالقطرة  و القطرتين  في  الصلاة.
Kemudian ada lagi suatu riwayat yang syah dari Umar bin Khattab bahwa ia shalat sedangkan lukanya masih berdarah (disebutkan oleh Al Hafidz Ibnu hajar Al Asqalani dalam Al Fath-nya). Sementara Abu Hurairah berpendapat tidaklah mengapa dibawa shalat kalau hanya setetes atau dua tetes darah.
Adapun darah nyamuk dan yang menetes dari bisul-bisul, maka dimaafkan berdasarkan atsar, atau riwayat para sahabat tadi.
فقه السنة - (ج 1 / ص 25) :  و سئل  أبو  مجلز  عن  القيح  يصيب  البدن  و الثوب؟  فقال : ليس  بشئ،  و إنما  ذكر  الله  الدم  و لم  يذكر  القيح. و قال  ابن  تيمية  :  و  يجب  غسل  الثوب  من  المدة  و القيح.  و الصديد،  قال :  و لم  يقم  دليل  على  نجاسته،  انتهى  و الاولى  أن  يتقيه الانسان  بقدر  الامكان.
Dan ditanyakan kepada Abu Miljaz mengenai bisul yang ada dalam badan dan terkena pakaian. Jawabnya : Tidaklah apa-apa, karena yang disebutkan Allah hanya darahdan tidak disebutkannya nanah”.  Ibnu Taimiyah berkata : “Wajib mencuci pakaian dari nanah beku dan nanah yang bercampur darah”. Kemudian dia melanjutkan : “Dan tidak ditemukan dalil tentang kenajisan nanah tersebut”. Demikianlah perihal darah, dan yang lebih utama adalah sedapat mungkin hendaknya kita menjaga kebersihan dari percikan darah atau nanah.



3.    Daging babi (لحم الخنزير)
قُلْ لاَ  أَجِدُ  فِي  مَا  أُوحِيَ  إِلَيَّ  مُحَرَّ  مًا عَلَى  طَاعِمٍ   يَطْعَمُهُ  إِلاَّ    أَنْ  يَكُونَ  مَيْتَةً   أَوْ  دَ مًا  مَسْفُوحًا  أَوْ  لَحْمَ  خِنْزِ يرٍ  فَإِ نَّهُ  رِجْسٌ  أَوْ  فِسْقًا  أُهِلَّ   لِغَيْرِ اللَّهِ  بِهِ  فَمَنِ اضْطُرَّ  غَيْرَ  بَاغٍ  وَ  لاَ عَادٍ  فَإِنَّ  رَ بَّكَ  غَفُورٌ  رَحِيمٌ  [الأنعام/145]
Katakanlah, “Tidak kudapati di dalam apa yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan memakannya bagi yang ingin memakannya, kecuali daging hewan yang mati (bangkai), darah yang mengalir, daging babi karena semua itu kotor atau hewan yang disembelih bukan atas (nama) Allah. Tetapi barangsiapa terpaksa bukan karena menginginkan dan tidak melebihi (batas darurat) maka sungguh, Tuhan-mu Maha Pengampun, Maha Penyayang. (QS. Al An’am (6) : 145)
Ibnu Abbas menafsirkan surat Al An’am ayat 145  tersebut secara singkat :   قُلْ (katakanlah), hai Muhammad! ;  لاَ  أَجِدُ  فِي  مَا  أُوحِيَ  إِلَيَّ (Aku tidak mendapatkan pada apa yang diwahyukan kepadaku), yakni dalam al-Quran yang diwahyukan kepadaku ;  مُحَرَّ  مًا عَلَى  طَاعِمٍ   يَطْعَمُهُ (sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya), yakni makanan yang hendak dimakannya ;  إِلاَّ    أَنْ  يَكُونَ  مَيْتَةً   أَوْ  دَ مًا  مَسْفُوحًا  أَوْ  لَحْمَ  خِنْزِ يرٍ  فَإِ نَّهُ  رِجْسٌ  أَوْ  فِسْقًا  أُهِلَّ   لِغَيْرِ اللَّهِ  بِهِ (kecuali kalau makanan itu bangkai atau darah yang mengalir atau daging babi, karena semua itu kotor, atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah), yakni binatang yang secara sengaja disembelih atas nama selain Allah I ;  فَمَنِ اضْطُرَّ (namun, barangsiapa dalam keadaan terpaksa), yakni terpaksa harus memakan bangkai;  غَيْرَ  بَاغٍ (sedangkan ia tidak bertindak zalim) kepada kaum Muslimin, dan tidak pula menganggap halal memakan bangkai kecuali dalam keadaan darurat ;  وَ  لاَ عَادٍ (dan tidak pula melampaui batas), yakni tidak merampok, dan tidak pula menyengaja memakan bangkai kecuali dalam keadaan darurat ;  فَإِنَّ  رَ بَّكَ  غَفُورٌ (maka sesungguhnya Rabb-mu Maha Pengampun) bagi orang yang memakannya sampai kenyang ;  رَحِيمٌ (lagi Maha Penyayang) atas keringanan yang diberikan kepadanya (orang yang berada dalam keadaan darurat). Dan tidak sepantasnya ia memakannya sampai kenyang. Namun, kalaupun ia memakannya sampai kenyang, maka Allah I akan Mengampuninya.
Jadi jelaslah!. Allah I mengharamkan babi, karena termasuk binatang yang menjijikan dan tak disukai oleh selera orang yang sehat. Maka kata ganti “itu” kembali kepada tiga jenis yang diharamkan yang disebutkan dalam ayat. Mengenai bulu babi menurut para ulama diperbolehkan untuk dijadikan benang.


4.    Muntah, kencing dan kotoran manusia (قئ الادمي وبوله ورجيعه)
Najisnya muntah, kencing, dan kotoran manusia, semuanya ini disepakati oleh seluruh para ulama, akan tetapi jika muntahnya itu sedikit, maka masih dimaafkan.
Keringanan masih diberikan kepada kencing bayi laki-laki yang belum diberi makan, maka mensucikannya dengan dipercikkan air, hal ini berdasarkan hadits berikut :
صحيح مسلم - (ج 2 / ص 138/ح 433) : حَدَّ ثَنِيهِ  حَرْمَلَةُ  بْنُ  يَحْيَى  أَخْبَرَ نَا  ابْنُ  وَهْبٍ  أَخْبَرَ نِي  يُونُسُ  بْنُ  يَزِيدَ  أَنَّ  ابْنَ  شِهَابٍ أَخْبَرَهُ  قَالَ  أَخْبَرَنِي  عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُتْبَةَ  بْنِ  مَسْعُودٍ  أَنَّ  أُمَّ  قَيْسٍ  بِنْتَ  مِحْصَنٍ  وَ  كَا نَتْ  مِنَ  الْمُهَاجِرَ اتِ  اْلأُوَ لِ  اللاَّ تِي  بَا يَعْنَ  رَسُولَ  اللَّهِ صَلَّى  اللَّهُ  عَلَيْهِ  وَ سَلَّمَ  وَ هِيَ  أُخْتُ  عُكَّاشَةَ  بْنِ  مِحْصَنٍ  أَحَدُ  بَنِي  أَسَدِ بْنِ  خُزَ يْمَةَ  قَالَ  )أَخْبَرَ تْنِي  أَ نَّهَا  أَتَتْ  رَسُولَ  اللَّهِ  صَلَّى  اللَّهُ عَلَيْهِ  وَ سَلَّمَ  بِا بْنٍ  لَهَا  لَمْ  يَبْلُغْ  أَنْ  يَأْكُلَ  الطَّعَامَ  قَالَ  عُبَيْدُ  اللَّهِ  أَخْبَرَ تْنِي  أَنَّ  ابْنَهَا  ذَ اكَ  بَالَ  فِي  حَجْرِ  رَسُولِ  اللَّهِ  صَلَّى  اللَّهُ  عَلَيْهِ  وَ سَلَّمَ فَدَعَا  رَسُولُ  اللَّهِ  صَلَّى  اللَّهُ  عَلَيْهِ  وَ سَلَّمَ  بِمَاءٍ  فَنَضَحَهُ  عَلَى  ثَوْ بِهِ  وَ لَمْ  يَغْسِلْهُ  غَسْلاً(
Telah mengabarkan kepadaku Ubaidullah bin Abdullah bin Utbah bin Mas'ud bahwa Ummu Qais binti Mihshan - seorang wanitayang pernah hijrah pertama-tama dan berbaiat kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, dan dia adalah saudari Ukkasyah bin Mihshan, salah seorang dari bani Asad bin Khuzaimah -, Ubaidullah berkata, ("Ummu Qais telah mengabarkan kepadaku bahwa dia pernah datang kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dengan membawa bayi laki-lakinya yang belum makan makanan." Ubaidullah melanjutkan ucapannya, "Ummu Qais kemudian mengabarkan kepadaku bahwa bayinya kencing pada pangkuan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam lalu meminta air seraya memercikkannya pada bajunya, dan beliau tidak mencucinya dengan sebenar-benarnya mencuci.")
Membersihkannya/mensucikannya cukup dengan memercikannya dan pakaiannya sah jika dipakai shalat. Bagaimana jika bagi bayi wanita semua pendapat setuju bayi wanita juga sama selama belum makan makanan seperti bayi laki-laki.


5.    Wadi (الودي)
Wadi yaitu air putih kental yang keluar mengiringi kencing. Wadi ini jelas najisnya tanpa perbedaan dari para ulama. Lihat Riwayat Ibnu Mundzir dibawah ini :
فقه السنة - (ج 1 / ص 26) :  قالت  عائشة :  و أما  الودي  فإنه  يكون  بعد  البول  فيغسل  ذكره  و أنثييه  و يتوضأ  و لا  يغتسل
Aisyah radhiyallahu'anha, berkata : “Adapun wadi ia terdapat bersamaan atau setelah kencing, maka hendaklah seseorang mencuci kemaluannya lalu berwudhu dan tidak usah mandi junub”.
فقه السنة - (ج 1 / ص 26)  :  عن  ابن  عباس  رضي  الله  عنهما :  المني  و الودي  و المذي،  أما  المني  ففيه  الغسل،  و أما  المذي و الودي  فيهما  إسباغ  الطهور) رواه  الاثرم  و البيهقي و لفظه: (و أما  الودي  و المذي  فقال :  اغسل  ذكرك  أو  مذاكيرك  و توضأ و ضوء ك  في  الصلاة)
Dari Ibnu Abbas t mengenai mai, wadi dan madzi, ia berkata : “Adapun mani, hendaklah mandi junub, mengenai madzi dan wadi, pada keduanya hanya dengan mencucinya dan berwudhu” (diriwayatkan oleh Atsram dan Baihaqi). Sedangkan pada periwayatan Baihaqi lafadznya : ” Adapun untuk wadi dan madzi, cucilah kemaluannya atau tempat kemaluanmu dan lakukanlah pekerjaan wudhu seperti untuk shalat”.


6.    Madzi (المذي)
Madzi adalah air putih kental seperti getah yang keluar sewaktu mengingat senggama atau ketika sedang bercanda. Kadang-kadang keluarnya itu tidak terasa. Terdapat pada laki-laki dan perempuan, biasanya sering terjadi kepada perempuan.
Hukumnya najis menurut kesepakatan ulama, tetapi jika madzi ini mengenai pakaian, cukuplah dengan memercikkan air kepada kain yang terkena madzi, karena madzi ini sejenis najis yang sukar menjaganya sebab sering terkena pakaian pemuda dan pemudi yang sehat, sehingga layak untuk diberi keringanan seperti halnya kecing bayi. Lihat hadits dibawah ini :
صحيح البخاري - (ج 1 / ص 448 /ح 261) و صحيح مسلم - (ج 2 / ص 169/ح 456) : حَدَّ ثَنَا  أَ بُو  الْوَ لِيدِ  قَالَ  حَدَّ ثَنَا  زَ ائِدَةُ  عَنْ  أَبِي  حَصِينٍ  عَنْ  أَبِي عَبْدِ  الرَّحْمَنِ  عَنْ  عَلِيٍّ  قَالَ ) كُنْتُ رَجُلاً  مَذَّ اءً  فَأَمَرْتُ  رَجُلاً   أَنْ   يَسْأَلَ  النَّبِيَّ  صَلَّى  اللَّهُ  عَلَيْهِ  وَ سَلَّمَ   لِمَكَانِ ابْنَتِهِ  فَسَأَلَ  فَقَالَ  تَوَضَّأْ  وَ اغْسِلْ  ذَكَرَ كَ(
Dari 'Ali t , berkata,: ("Dulu aku adalah seorang yang sering mengeluarkan madzi. Maka aku minta seseorang untuk bertanya kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. karena kedudukan putri Beliau r. Maka orang itu bertanya, lalu Jawab Nabi r: "Baginya wudlu' dan mencuci kemaluannya".)
سنن أبي داود - (ج 1 / ص 263 /ح 180) و سنن ابن ماجه - (ج 2 / ص 118/ح 499) و مسند أحمد - (ج 32 / ص 177/ح 15406) و مصنف ابن أبي شيبة - (ج 8 / ص 424 /ح 110) و سنن الدارمي - (ج 2 / ص 352/ح 748) و صحيح ابن حبان - (ج 5 / ص 205 /ح 1110) و صحيح ابن خزيمة - (ج 2 / ص 35 /ح 294) : حَدَّ ثَنَا مُسَدَّدٌ  حَدَّ ثَنَا  إِسْمَعِيلُ  يَعْنِي  ابْنَ  إِبْرَ اهِيمَ  أَخْبَرَ نَا  مُحَمَّدُ  بْنُ  إِسْحَقَ  حَدَّ ثَنِي  سَعِيدُ  بْنُ  عُبَيْدِ  بْنِ  السَّبَّاقِ  عَنْ  أَبِيهِ  عَنْ  سَهْلِ  بْنِ حُنَيْفٍ  قَالَ ) كُنْتُ  أَ لْقَى  مِنَ  الْمَذْ يِ  شِدَّةً  وَ كُنْتُ  أُكْثِرُ  مِنَ   ِالاْغْتِسَالِ  فَسَأَ لْتُ  رَسُولَ  اللَّهِ  صَلَّى  اللَّهُ  عَلَيْهِ  وَ سَلَّمَ  عَنْ  ذَلِكَ  فَقَالَ  إِ نَّمَا يُجْزِ يكَ  مِنْ  ذَ لِكَ  الْوُضُوءُ  قُلْتُ  يَا رَسُولَ  اللَّهِ  فَكَيْفَ  بِمَا  يُصِيبُ  ثَوْ  بِي  مِنْهُ   قَالَ  يَكْفِيكَ  بِأَنْ  تَأْخُذَ  كَفًّا  مِنْ  مَاءٍ  فَتَنْضَحَ  بِهَا  مِنْ  ثَوْ بِكَ  حَيْثُ  تَرَى  أَ نَّهُ  أَصَا بَهُ(
Dari Sahl bin Hunaif dia berkata; (Saya selalu mengeluarkan madzi, karena itu saya selalu mandi. Maka saya bertanya kepada Rasulullah r tentang hal tersebut. Beliau menjawab: "Sesungguhnya cukup bagimu berwudhu dari hal tersebut." Aku bertanya kembali; Wahai Rasulullah, lalu bagaimana dengan madzi yang mengenai pakaianku? Beliau menjawab: "Cukuplah kamu ambil air sepenuh telapak tanganmu, lalu percikkan pada bagian pakaian yang kamu ketahui terkena madzi.")


7.    Mani (المني)
Sebagian besar para ulama berpendapat bahwa ia najis. Pendapat yang kuat mani adalah suci, tetapi disunahkan mencucinya bila ia basah, dan mengoreknya bila kering.
فقه السنة - (ج 1 / ص 27) :  قالت  عائشة  رضي  الله  عنها :  ( كنت  أفرك  المني  من  ثوب  رسول  الله  صلى  الله  عليه  و سلم  إذا  كان  يابسا و أغسله  إذا  كان  رطبا) رواه الدار قطني وأبو عوانة والبزار
Aisyah radhiyallahu'anha, berkata : "Kukorek air mani itu dari kain Rasulullah r apabila ia kering, dan kucuci bila ia basah” (Riwayat Daruquthni, Abu Uwanah dan Al Bazzar).
سنن الدارقطني - (ج 2 / ص 3/ح 457) و السنن الكبرى للبيهقي - (ج 2 / ص 418) : حَدَّ ثَنَا  مُحَمَّدُ  بْنُ  مَخْلَدٍ  حَدَّ ثَنَا  إِبْرَ اهِيمُ  بْنُ  إِسْحَاقَ  الْحَرْ بِىُّ حَدَّ ثَنَا  سَعِيدُ  بْنُ  يَحْيَى  بْنِ  الأَزْهَرِ  حَدَّ ثَنَا  إِسْحَاقُ  بْنُ  يُوسُفَ  الأَزْرَقُ  حَدَّثَنَا  شَرِيكٌ  عَنْ  مُحَمَّدِ  بْنِ  عَبْدِ  الرَّحْمَنِ  عَنْ  عَطَاءٍ  عَنِ  ابْنِ عَبَّاسٍ  قَالَ  )سُئِلَ  النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - عَنِ  الْمَنِىِّ  يُصِيبُ  الثَّوْبَ. قَالَ  إِ نَّمَا  هُوَ  بِمَنْزِلَةِ  الْمُخَاطِ  وَ الْبُزَاقِ  وَ  إِ نَّمَا  يَكْفِيكَ  أَنْ  تَمْسَحَهُ  بِخِرْقَةٍ  أَوْ   بِإِذْخِرَ  ةٍ (
Dari Ibnu Abbas t, ia berkata : (Nabi r ditanya orang mengenai mani yang mengenai pakaian, maka beliau r menjawab : “Air mani seperti ingus dan dahak, maka cukuplah bagimu menghapusnya dengan secarik kain atau daun-daunan”.)



8.    Kencing dan tahi binatang yang dimakan dagingnya (بول وروث ما لا يؤكل لحمه)
Kencing dan tahi binatang yang dimakan dagingnya keduanya najis, mari kita perhatikan hadits dibawah ini :
صحيح البخاري -  (ج 1 / ص 271/ح 152) و سنن النسائي -  (ج 1 / ص 81/ح 42) و سنن ابن ماجه -  (ج 1 / ص 375/ح 310) و مسند أحمد -  (ج 8 / ص 305/ح 3770) : حَدَّ ثَنَا  أَ بُو  نُعَيْمٍ  قَالَ  حَدَّ ثَنَا  زُهَيْرٌ  عَنْ  أَبِي  إِسْحَاقَ  قَالَ  لَيْسَ أَ بُو  عُبَيْدَةَ  ذَكَرَهُ  وَ لَكِنْ  عَبْدُ  الرَّحْمَنِ  بْنُ  اْلأَسْوَ دِ  عَنْ  أَبِيهِ   أَ نَّهُ  سَمِعَ  عَبْدَ  اللَّهِ  يَقُولُ  ) أَ تَى النَّبِيُّ  صَلَّى  اللَّهُ  عَلَيْهِ  وَ سَلَّمَ  الْغَائِطَ  فَأَمَرَ  نِي  أَنْ  آتِيَهُ  بِثَلاَ ثَةِ  أَحْجَارٍ  فَوَجَدْتُ  حَجَرَ يْنِ  وَ  الْتَمَسْتُ  الثَّالِثَ  فَلَمْ  أَجِدْ هُ  فَأَخَذْتُ  رَوْ ثَةً  فَأَ تَيْتُهُ  بِهَا  فَأَخَذَ  الْحَجَرَ يْنِ وَ أَ لْـقَى الرَّوْ ثَةَ  وَ قَالَ  هَذَ ا  رِكْسٌ(
Dari 'Abdullah bin Mas’ud, ia berkata, ("Nabi r pergi ke WC, lalu beliau memerintahkan aku membawakan tiga buah batu. Aku hanya mendapatkan dua batu, lalu aku mencari batu yang ketiga, namun aku tidak mendapatkannya hingga aku pun mengambil kotoran hewan yang sudah kering. Kemudian semua itu aku bahwa ke hadapan Nabi. Namun beliau hanya mengambil dua batu dan membuang kotoran hewan yang telah kering tersebut seraya bersabda: "Ini najis.")
فقه السنة - (ج 1 / ص 27) :  قال  الوليد  بن  مسلم :  قلت  للاوزاعي :  فأبوال  الدواب  مما  لا  يؤكل  لحمه  كالبغل، والحمار و الفرس؟ فقال :  قد كانوا  يبتلون  بذلك  في  مغازيهم  فلا  يغسلونه  من  جسد أو  ثوب. و أما  بول  و روث  ما  يؤكل  لحمه، فقد  ذهب  إلى  القول  بطهارته  مالك و أحمد  و جماعة  من  الشافعية. قال  ابن  تيمية  :  لم  يذهب  أحد  من  الصحابة  إلى  القول  بنجاسته، بل  القول  بنجاسته  قول  محدث  لا سلف  له  من  الصحابة.انتهى.
Berkata Walid bin Muslim : “Saya tanyakan kepada Auza’i, bagaimana tentang kencing binatang yang tidak dimakan dagingnya seperti bigal, keledai dan kuda?. Jawabnya : Mereka mendapatkan kesulitan disebabkan peperangan, dan tidaklah mereka mencuci yang tekena kencing baik yang mengenai tubuh ataupun kain”.
Mengenai kencing atau tahi hewan yang dimakan dagingnya, diantara ulama yang mengatakannya suci adalah Malik, Ahmad dan segolongan dari ulama madzhab Syafi’i.  Berkata Ibnu Taimiyah : “Tak seorangpun diantara sahabat yang mengatakan najis untuk kencing atau tahi hewan yang dimakan dagingnya, bahkan yang mengatakan najis itu adalah ucapan yang di buat-buat yang tak ada dasarnya dikalangan para sahabat dahulu”. Sekian.
صحيح البخاري - (ج 1 / ص 390/ح 226) : حَدَّ ثَنَا  سُلَيْمَانُ  بْنُ  حَرْبٍ  قَالَ  حَدَّ ثَنَا  حَمَّادُ  بْنُ  زَ يْدٍ  عَنْ  أَ  يُّوبَ  عَنْ  أَبِي  قِلاَ بَةَ  عَنْ  أَ نَسِ  بْنِ مَالِكٍ   قَالَ  ) قَدِمَ   أُ نَاسٌ   مِنْ   عُكْلٍ  أَوْ  عُرَ يْنَةَ  فَاجْتَوَوْا  الْمَدِينَةَ  فَأَمَرَهُمْ  النَّبِيُّ  صَلَّى  اللَّهُ  عَلَيْهِ  وَ  سَلَّمَ  بِلِقَاحٍ  وَ  أَنْ   يَشْرَ بُوا  مِنْ  أَ بْوَ الِهَا وَ أَ لْبَانِهَا(
Dari Anas bin Malik berkata, ("Beberapa orang dari 'Ukl atau 'Urainah datang ke Madinah, namun mereka tidak tahan dengan iklim Madinah hingga mereka pun sakit. Beliau r lalu memerintahkan mereka untuk mendatangi unta dan meminum air seni dan susunya).
Hadits ini menerangkan tentang sucinya air kencing unta, dan para ulama sepakat hal ini dijadikan dalil, dan begitu pula binatang-binatang yang dimakan dagingnya semuanya diqiyaskan kepadanya, artinya suci air kencingnya.
فقه السنة - (ج 1 / ص 28) :  قال  ابن  المنذر:  و من  زعم  أن  هذا  خاص  بأولئك  الاقوام  لم  يصب، إذ ا لخصائص  لا  تثبت  إلا بدليل  قال :  و في  ترك  أهل  العلم  بيع  بعار  الغنم  في  أسوا قهم، و استعمال  أبوال  الابل  في  أدويتهم  قد يما  و حديثا  من  غير نكير،  دليل  على  طهارتها.
Berkata Ibnu Mundzir : “Orang-orang yang mengatakan bahwa ini khusus bagi orang tersebut karena kondisinya saja, tidaklah benar!, karena keistimewaan itu tak dapat diterima kecuali bila ada alasan”. Beliau melanjutkan : “Dibiarkannya oleh para ulama orang-orang yang menjual tahi kambing, unta, dan sapi di pasar-pasar, dan menggunakan kencing unta untuk obat-obatan baik di masa dulu maupun sekarang tanpa dapat disangkal, menjadi bukti atas sucinya barang-barang tersebut”.
فقه السنة - (ج 1 / ص 28) : و قال  الشوكاني :  الظاهر  طهارة  الابوال  و الازبال  من  كل  حيوان  يؤكل  لحمه، تمسكا با لاصل، و استصحا با  للبراءة  الاصلية، و النجاسة  حكم  شرعي  ناقل  عن  الحكم  الذي  يقتضيه  الاصل  و البراءة، فلا  يقبل  قول مدعيها  إلا  بدليل  يصلح  للنقل  عنهما، و لم  نجد  للقائلين  بالنجاسة  دليلا  لذلك.
As-Syaukani berkata : “Pendapat yang terkuat adalah sucinya kencing dan sisa makanan dari setiap hewan yang dimakan dagingnya, hal ini berpegang kepada asalnya dan istihab lil baraatil ashliyah artinya mempertahankan hukum lama yakni kebebasan menurut asalnya. Sedangkan sifat atau keadaan najis itu adalah suatu hukum syara’, yang berpindah dari hukum yang dikehendaki oleh asal dan kebebasan, sehingga ucapan orang yang mengakuinya tak dapat diterima kecuali bila ada dalil yang dapat dipakai alasan untuk memindahkan dari padanya, padahal dari orang-orang yang mengatakannya najis, tidak kita temui alasan tersebut”.


[1] Fiqih Sunnah (Terjemahan Indonesia), Syekh Sayyid Sabiq, Jilid 1, Bab Thaharah, halaman 46-58, Pustaka Al ma'arif, cetakan ke 10, Bandung,1990