سنن الترمذي – (ج 8 / ص 308/ح 2247) و مسند أحمد – (ج 36 / ص 464/ح 17339) : حَدَّ ثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْمَعِيلَ حَدَّ ثَنَا أَ بُو نُعَيْمٍ حَدَّ ثَنَا عُبَادَ ةُ بْنُ مُسْلِمٍ حَدَّ ثَنَا يُونُسُ بْنُ خَبَّابٍ عَنْ سَعِيدٍ الطَّائِيِّ أَبِي الْبَخْتَرِيِّ أَ نَّهُ قَالَ حَدَّ ثَنِي أَ بُو كَبْشَةَ اْلأَ نَّمَارِيُّ أَ نَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَقُولُ ....إِ نَّمَا الدُّ نْيَا ِلأَرْ بَعَةِ نَفَرٍ : (1) عَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ مَالاً وَ عِلْمًا فَهُوَ يَـتَّـقِي فِيهِ رَ بَّهُ وَ يَصِلُ فِيهِ رَحِمَهُ وَ يَعْلَمُ لِلَّهِ فِيهِ حَقًّا فَهَذَا بِأَفْضَلِ الْمَنَازِلِ , (2) وَ عَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ عِلْمًا وَ لَمْ يَرْزُقْهُ مَالاً فَهُوَ صَادِقُ النِّيَّةِ يَقُولُ لَوْ أَنَّ لِي مَالاً لَعَمِلْتُ بِعَمَلِ فُلاَ نٍ فَهُوَ بِنِيَّتِهِ فَأَجْرُهُمَا سَوَ اءٌ ، (3) وَ عَبْدٍ رَزَ قَهُ اللَّهُ مَالاً وَ لَمْ يَرْزُقْهُ عِلْمًا فَهُوَ يَخْبِطُ فِي مَالِهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ لاَ يَتَّقِي فِيهِ رَ بَّهُ وَ لاَ يَصِلُ فِيهِ رَحِمَهُ وَ لاَ يَعْلَمُ لِلَّهِ فِيهِ حَقًّا فَهَذَا بِأَخْبَثِ الْمَنَازِلِ ،(4) وَ عَبْدٍ لَمْ يَرْزُقْهُ اللَّهُ مَالاً وَ لاَ عِلْمًا فَهُوَ يَقُولُ لَوْ أَنَّ لِي مَالاً لَعَمِلْتُ فِيهِ بِعَمَلِ فُلاَ نٍ فَهُوَ بِنِيَّتِهِ فَوِزْرُ هُمَا سَوَ اءٌ
Dari Abu Kabsyah Al Anmari, ia mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda: ......”Sesungguhnya di kolong langit (dunia) ini diisi oleh 4 (empat) jenis manusia :
Pertama, seorang hamba yang dikarunia Allah harta dan ilmu, dengan ilmu dan hartanya ia bertakwa kepada Allah, menyambung silaturrahim (tali kekerabatan), dan ia mengetahui hak-hak Allah pada ilmu dan harta yang dimilikinya, manusia jenis ini adalah manusia yang memiliki kedudukan yang paling mulia,
Kedua, selanjutnya hamba yang dikaruniai Allah ilmu tapi tidak diberi harta, niatnya tulus dan jujur, ia berkata : ‘Seandainya saja aku memiliki harta niscaya aku akan melakukan seperti amalan si fulan (yang tahu hak-hak Allah dalam ilmu dan hartanya)’, maka ia mendapatkan apa yang ia niatkan, pahala mereka berdua (gol 1 dan 2) adalah sama,
Ketiga, selanjutnya hamba yang dikaruniai harta oleh Allah tapi tidak diberi ilmu, ia menggunakan hartanya serampangan tanpa landasan ilmu (syariat), ia mempergunakan hartanya tidak dalam rangka membina ketakwaan kepada Allah, tidak menyambungkan silaturrahim (tali kekerabatan) serta tidak mengetahui hak-hak Allah pada hartanya, ini adalah kedudukan yang terburuk,
Keempat, selanjutnya orang yang tidak diberi Allah harta atau pun ilmu, ia bekata : Seandainya aku punya harta tentu aku akan melakukan seperti yang dilakukan si fulan (yang serampangan mengelola hartanya), dan niatnya kuat benar (jika punya harta ia serampangan menggunakannya), dosa keduanya (gol 3 dan 4) adalah sama.”
Marilah kita bahas ke 4 (empat) jenis manusia ini :
Manusia Jenis Pertama :
Dunia dihadapan Orang yang Kaya Ilmu dan Kaya Harta
Golongan manusia yang paling tinggi dan utama derajatnya, demikian hadits diatas menerangkan keutamaan orang yang dikaruniai sepasang kenikmatan : Ilmu dan Harta. Mereka adalah hamba-hamba Allah I yang terpilih dan terkasih.
Berawal dari nikmat ilmu, disusul oleh nikmat harta, menjadikan mereka sebagai hamba-hamba Allah I yang senantiasa menjadi penebar Rahmat Allah I di muka bumi bagi seluruh makhluk Allah I lainnya. Seluruh makhluk merasakan kebaikan dan jasa mereka. Seluruh umat menjadi saksi atas keutamaan mereka.
Lalu ilmu manakah yang menyebabkan Allah I memberikan rahmat kepada manusia seperti ini?. Ternyata ilmunya bukan sembarangan ilmu tetapi ilmu itu adalah ilmu syariat atau ilmu agama yang dimaksudkan Rasulullah r dalam hadits ini. Karena ilmu syariat / ilmu agama, adalah ilmu yang mengajarkan kepada manusia bagaimana cara memperoleh harta dan mempergunakannya secara benar. Ilmu syar’i adalah satu-satunya ilmu yang mengajarkan kepada seorang mukmin hakikat sebuah harta. Lihat beberapa sabda Rasulullah r dibawah ini :
سنن أبي داود - (ج 10 / ص 49/ح 3157) و سنن الترمذي - (ج 9 / ص 296/ح 2606) و سنن ابن ماجه - (ج 1 / ص 259/ح 219) و مسند أحمد - (ج 44 / ص 192/ح 20723) و سنن الدارمي - (ج 1 / ص 383/ح 351) و صحيح ابن حبان - (ج 1 / ص 171/ح 88) : حَدَّ ثَنَا مُسَدَّدُ بْنُ مُسَرْهَدٍ حَدَّ ثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ دَاوُدَ سَمِعْتُ عَاصِمَ بْنَ رَجَاءِ بْنِ حَيْوَةَ يُحَدِّثُ عَنْ دَاوُدَ بْنِ جَمِيلٍ عَنْ كَثِيرِ بْنِ قَيْسٍ قَالَ كُنْتُ جَالِسًا مَعَ أَبِي الدَّرْدَ اءِ فِي مَسْجِدِ دِمَشْقَ فَجَاءَ هُ رَجُلٌ فَقَالَ يَا أَ بَا الدَّرْدَاءِ إِ نِّي جِئْتُكَ مِنْ مَدِينَةِ الرَّسُولِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ لِحَدِيثٍ بَلَغَنِي أَ نَّكَ تُحَدِّ ثُهُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ مَا جِئْتُ لِحَاجَةٍ قَالَ فَإِ نِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ ) وَ إِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَ ثَةُ اْلأ َنْبِيَاءِ وَ إِنَّ الأَ نْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّ ثُوا دِينَارًا وَ لاَ دِرْهَمًا وَرَّ ثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَ افِرٍ(
Hadits dari Abu Darda t, dari Rasulullah r beliau bersabda : (“Sesungguhnya Ulama itu pewaris para Nabi dan sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar atau dirham, yang mereka wariskan hanyalah ilmu, maka barang siapa yang telah mengambilnya, maka ia telah mengambil bagian yang banyak”)
صحيح البخاري - (ج 1 / ص 126/ح 69) و موطأ مالك - (ج 5 / ص 377/ح 1400) و صحيح مسلم - (ج 5 / ص 239/ح 1719) : حَدَّ ثَنَا سَعِيدُ بْنُ عُفَيْرٍ قَالَ حَدَّ ثَنَا ابْنُ وَهْبٍ عَنْ يُو نُسَ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ قَالَ قَالَ حُمَيْدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ سَمِعْتُ مُعَاوِيَةَ خَطِيبًا يَقُولُ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ ) مَنْ يُرِدْ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ وَ يُلْهِمُهُ رُ شْدَ هُ(
Dari Muawiyah t ia berkata, telah mendengar Rasulullah r bersabda : ("Barang siapa yang dikehendaki Allah U dengan kebaikan maka Allah U menjadikannya ia pandai mengenai agama dan ia di ilhami petunjukNya".)
Imam Al Ghazali berkata : seperti dimaklumi bahwasanya tidak ada derajat diatas derajat para nabi dan tidak ada kemuliaan diatas mulianya pewaris derajat itu. Hal ini dipekuat lagi dengan sabda Rasulullah r :
و سنن الدارمي - (ج 1 / ص 383/ح 351) :) لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِى السَّمَوَ اتِ وَ الأَرْضِ(
(semua yang ada di langit dan dibumi itu memohonkan ampunan bagi orang yang berilmu (faham ilmu agama).)
Maka kedudukan manakah yang melebihi kedudukan orang yang semua mahkluk memohonkan ampunan baginya?. Ia sibuk dengan dirinya sendiri mencari dan memahami ilmu agama, ditambah mereka semua yang berada dilangit dan di bumi sibuk memohonkan ampunan baginya?. Rasulullah r bersabda pula :
)" إِنَّ اْلحِكْمَةَ تَزِ يْدَ الشَّرِ يْفَ شَرَ فاً وَ تَرْ فَعَ اْلمَمْلُوْ كَ حَتَّى يُدْرِكَ مَدَارِ كَ اْلمُلُوْ كِ "(
(sesungguhnya hikmah ilmu itu akan menambah orang yang mulia akan kemuliaannya dan mengangkat derajat hamba sahaya sehingga mencapai derajat para raja-raja.)
Dengan Ilmu Syariat / syar’i (ilmu agama) membuat seseorang menjadi penguasa dunia dan akhirat karena tahu batasan baik dan buruk menurut aturan Allah I, dan mendapatkan Rahmat Allah I.
جامع بيان العلم وفضله لابن عبد البر - (ج 1 / ص 193/ح 177) و مسند أبي حنيفة - (ج 1 / ص 3/ح 1) : عن أبي يوسف قال : سمعت أبا حنيفة رحمه الله يقول : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ) من تفقه في دين الله كفاه الله همه و رزقه من حيث لا يحتسب (
Hadits dari Abu Hanifah t, Rasulullah r bersabda : ("Barang siapa memahami tentang agama Allah I maka Allah I akan memberikan kecukupan kepada segala sesuatu urusan dan kebutuhannya, serta memberikan rejeki dari arah yang tidak pernah diduganya ".)
Rasulullah r bersabda, diriwayatkan dari At-Turmudzi dari hadits Abu Hurairah t :
)" خَصْلَتَانَ لاَ يَكُوْ نَانِ فِي مُنَا فِقٍ : حَسَنٍ سُمْتٍ وَ فِقْهٍ فِي الدِّ يْنِ "(
(Dua budi pekerti yang tidak terdapat di dalam diri orang munafik, yaitu perilaku yang baik dan kepahaman dalam agama)
إحياء علوم الدين - (ج 1 / ص 6) : و قال صلى الله عليه وسلم ) لمََوْتُ قَبِيْلَةٍ أَ يْسَرُ مِنْ مَوْتِ عَالِمٍ "(
Bersabda Rasulullah r : ("Sesungguhnya matinya satu kabilah lebih ringan dari pada matinya seorang 'alim (orang yang berilmu yang tahu tentang halal dan haramnya sebuah urusan)"). (HR Thabrani dan Ibnbu Abdil Barr dari Abi Darda dalam ihya ulumiddin juz 1 hal 6)
Ilmu syar’i mengajarkan kepadanya bahwa harta yang dimilikinya tak lain hanyalah karunia, titipan, dan ujian dari Allah I. Bahwa harta tersebut harus diperoleh dengan cara-cara yang halal, tanpa sedikitpun menggunakan cara-cara keji, kotor, penipuan, dan kedzaliman kepada hamba-hamba Allah I yang lain.
Bahwa dalam harta yang dimilikinya tersebut ada sejumlah hak orang lain yang harus ditunaikan; hak zakat, hak fakir miskin, janda, orang-orang lemah, dan kesusahan. Harta tersebut tidak murni miliknya seratus persen, karena ada kepemilikan orang-orang tersebut. Allah I menitipkan hak-hak mereka dalam hartanya, agar ia tunaikan kepada setiap orang yang berhak menerimanya, karena memang merekalah sejatinya yang berhak memiliki.
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani (852 H) menulis : ”Yang dimaksud dengan ilmu adalah ilmu syar’i yang faedahnya menjadikan seorang mukalaf mempunyai makrifah (pengetahuan dan pemahaman) tentang kewajiban agama yang harus ia laksanakan dalam bidang ibadah dan muamalah. Juga ilmu tentang nama-nama dan sifat-sifat Allah I, kewajiban melaksanakan perintahNya dan mensucikanNya dari sifat-sifat ketidak sempurnaan. Inti dari hal itu adalah kita wajib mempelajari tafsir, hadits dan fiqih”.[1]
Hal senada dijelaskan pula oleh Imam Syamsu Al-Haq Azhim Abadi dalam ‘Aun al-Ma’bud Syarhu Abi Daud, Imam Abu ‘Ali Abdurrahman bin Abdurrahim Al Mubarakfuri (1353 H) dalam Tuhfatu al-Ahwadzi Syarhu at-Tirmidzi, dan Imam Muhammad bin ‘Alan As-Shidiqi Al-Asy’ari dalam Dalilu al-Falihin li-Bayani Thuruqi Riyadhi As-Shalihin.
Mereka, juga para ulama salaf yang lain, menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ilmu dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits nabi adalah ‘ulum syar’iyah, dan inti dari ‘ulum syar’iyah adalah tafsir, hadits dan fiqih.
Dewasa ini berbagai disiplin ilmu yang bertalian erat dengan harta kekayaan ramai dipelajari umat manusia. Akuntansi, perpajakan, manajemen, marketing, ilmu ekonomi mikro dan makro, dan sebagainya, menjadi tumpuan mereka untuk meraih harapan mendapatkan harta yang banyak. Fakultas ekonomi senantiasa menjadi idola para mahasiswa.
Sayangnya ilmu-ilmu ekonomi seperti ini hanya mengajarkan bagaimana mendapatkan dan memanfaatkan harta kekayaan berdasarkan hasil pemikiran dan pengalaman manusia semata. Ilmu-ilmu ini sama sekali tidak mempunyai orientasi akhirat, sehingga tidak ada keterikatan dengan nilai-nilai halal dan haram. Ia juga tidak mengajarkan mereka untuk mempergunakan harta kekayaan sebagai sarana untuk bertakwa kepada Allah I, menyambung tali kekerabatan, dan menunaikan hak-hak hamba Allah I yang lain.
Ilmu ekonomi dengan segala cabangnya ini, diakui memang berperan cukup besar dalam pengelolaan kekayaan di zaman modern ini. Tetapi ia sangat kering dari nilai-nilai dan tuntunan agama. Akibatnya, ia tak lebih dari sekedar sarana untuk memenuhi kepentingan hawa nafsu semata.
Tak heran apabila banyak para pakar di bidang ilmu-ilmu ini, yang berhasil meraih harta kekayaan dalam jumlah besar, namun gagal memanfaatkannya secara benar. Harta kekayaan yang ia raih tak bisa dikendalikan. Justru, ialah yang dikendalikan dan diperbudak oleh hartanya. Agama menyebut orang-orang seperti ini ‘orang yang pintar’ namun ‘bodoh’. Allah I berfirman :
وَ لَكِنَّ أَ كْثَرَ النَّاسِ لاَ يَعْلَمُونَ ; يَعْلَمُونَ ظَاهِرً ا مِنَ الْحَيَاةِ الدُّ نْيَا وَ هُمْ عَنِ اْلآَخِرَ ةِ هُمْ غَافِلُونَ [الروم/6، 7]
Tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. Mereka mengetahui yang lahirnya saja (tampaknya saja) dari kehidupan dunia; sedangkan terhadap (kehidupan) akhirat mereka sangat lalai. (QS. Ar-Ruum (30) : 6-7)
Dalam ayat keenam dari surat Ar-Ruum ini Allah I mensifati mereka sebagai orang-orang bodoh, dengan kalimat (لاَ يَعْلَمُونَ) tidak mengetahui. Dalam ayat selanjutnya, definisi bodoh itu diuraikan lebih lanjut yaitu pintar dalam urusan duniawi tetapi lengah, lalai dan jahil dalam urusan akhirat.
Makna firman Allah I (وَ لَكِنَّ أَ كْثَرَ النَّاسِ لاَ يَعْلَمُونَ ), Tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui adalah mereka tidak mengetahui karena bodoh dan tidak berfikir. Makna (يَعْلَمُونَ ظَاهِرً ا مِنَ الْحَيَاةِ الدُّ نْيَا) Mereka mengetahui yang lahirnya saja (tampaknya saja) dari kehidupan dunia adalah mereka mengetahui urusan-urusan dunia yang membawa kebaikan dan mereka butuhkan, seperti persoalan pertanian, perdagangan, pembangunan, dan lain-lain.
Imam Ibnu Abbas, Ikrimah, dan Qatadah menjelaskan : “Mereka mengetahui urusan-urusan penghidupan mereka; kapan harus menanam, kapan harus memanen, bagaimana cara bercocok tanam, bagaimana harus membuat bangunan”. [2]
Makna firman Allah I (وَ هُمْ عَنِ اْلآَخِرَ ةِ هُمْ غَافِلُونَ) sedangkan terhadap (kehidupan) akhirat mereka sangat lalai, adalah mereka buta terhadap urusan akhirat, lengah dari memikirkan urusan akhirat, dan lalai beramal untuk persiapan bekal ke akhirat kelak.
Imam Fakhrudin Abu Abdillah Muhammad bin Umar Ar-Razi (636 H) dalam tafsir Mafatih Al-Ghaib nya menulis : “Makna ayat ini, bahwa ilmu mereka hanya sebatas urusan dunia semata. Pengetahuan mereka tentang duniapun sebenarnya tidak mencapai hakikatnya, karena mereka hanya mengetahui lahiriah dunia semata, yaitu kelezatan dan permainan dunia. Mereka tidak mengetahui batiniah dunia, yaitu marabahaya dan kesusahan yang ditimbulkan olehnya. Secara lahiriah mereka mengetahui keberadaan dunia, namun secara batiniah mereka tidak memahami tidak kekalnya dunia. Maka merekapun lalai dari akhirat”. [3]
Para ulama tafsir menyebutkan bahwa kalimat dalam firman Allah I berikut (يَعْلَمُونَ ظَاهِرً ا مِنَ الْحَيَاةِ الدُّ نْيَا) Mereka mengetahui yang lahirnya saja (tampaknya saja) dari kehidupan dunia, mengisyaratkan bahwa mereka hanya mengetahui kulit-kulitnya semata, tanpa memahami inti dan hakekat dunia. Ilmu mereka tidak berbeda jauh dengan ilmu binatang ternak, yang hanya berorientasi kepada pemenuhan kebutuhan perut dan bawah perut. [4]
Bila di awal ayat Allah I menyebutkan sifat mereka dengan menggunakan predikat kalimat berupa kata kerja (يَعْلَمُونَ) dan (لاَ يَعْلَمُونَ) yaitu pada kalimat (وَ لَكِنَّ أَ كْثَرَ النَّاسِ لاَ يَعْلَمُونَ ; يَعْلَمُونَ ظَاهِرً ا مِنَ الْحَيَاةِ الدُّ نْيَا) Tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. Mereka mengetahui yang lahirnya saja (tampaknya saja) dari kehidupan dunia, maka di akhir ayat Allah I mempergunakan predikat kalimat berupa kata benda (غَافِلُونَ) dari rangkaian kalimat (وَ هُمْ عَنِ اْلآَخِرَ ةِ هُمْ غَافِلُونَ) sedangkan terhadap (kehidupan) akhirat mereka sangat lalai.
Menurut para ulama tafsir, gaya bahasa seperti ini dipergunakan untuk menunjukkan bahwa kelalaian mereka bersifat terus-menerus dan kekal. Selain itu, kata ganti (هُمْ), mereka, di akhir ayat di ulang sebanyak dua kali, untuk menunjukkan makna pembatasan. Artinya hanya mereka sajalah yang lalai dari kehidupan akhirat.
Adapun orang-orang yang beriman dan memahami hakekat dunia, tidak akan tertipu oleh kulit dunia yang nampak indah mempesona, namun pada hakekatnya mengandung racun ganas yang amat berbahaya.
Imam Abu Al-Qasim Mahmud bin UmarAz-Zamakhsyari (538 H) dalam tafsir Al-Kasyaf menulis : “Firman Allah (يَعْلَمُونَ ظَاهِرً ا مِنَ الْحَيَاةِ الدُّ نْيَا) Mereka mengetahui yang lahirnya saja (tampaknya saja) dari kehidupan dunia, menunjukkan bahwa dunia ini mempunyai sisi lahir dan sisi bathin. Sisi lahiriah dunia adalah apa yang diketahui oleh orang-orang yang bodoh, berupa kesenangan-kesenangan dengan perhiasan-perhiasan dunia dan bermewah-mewahan dengan kelezatan-kelezatannya. Sedangkan sisi bathiniah dan hakekat dunia adalah jalan menuju akhirat, tempat untuk mencari bekal ke akherat dengan melakukan ketaatan dan amal-amal shalih”. [5]
Rasulullah r menjelaskan bahwa orang-orang yang seperti ini adalah makhluk yang paling dibenci Allah I. Seperti yang dilukiskan dalam hadits berikut :
صحيح ابن حبان - (ج 1 / ص 142/ح 72) و السنن الكبرى للبيهقي - (ج 10 / ص 194) : عن أبي هريرة ، قال : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : ) إِنَّ اللهَ يَبْغَضُ كُلَّ جَعْظَرِي جَوَّاظٍ سَخَّابٍ بِاْلأَسْوَاقِ ، جِيْفَةٍ بِاللَّيْلِ ، حِمَارٍ بِالنَّهَارِ ، عَالِمٍ بِأَمْرِ الدُّ نْيَا ، جَاهِلً بِأَمْرِ اْلآخِرَ ةِ (
Dari Abu Hurairah t ia berkata, bersabda Rasulullah r : (“Sesungguhnya Allah membenci setiap orang yang berperilaku kasar, berlagak sombong, suka berteriak-teriak di pasar, dimalam hari tak ubahnya seperti bangkai (tidur sepanjang malam tanpa melaksanakan shalat malam), di siang hari seperti keledai (pemalas dan lamban), pintar dalam urusan dunia, namun bodoh dalam urusan akhirat”)
Contoh-contoh Sahabat dalam mempergunakan hartanya yang tergolong kaya ilmu dan kaya harta
1. Abdurrahman bin Auf
Abu Muhammad Abdurrahman bin Auf bin Harits Al Quraisyi Az-Zuhri, yang lebih kita kenal dengan nama Abdurrahman bin Auf t dalam seluruh hidupnya setelah beriman, mempergunakan hartanya sebagai dana untuk memperlancar perjuangan menegakkan agama dalam kata lain digunakan di jalan Allah, menyambung tali kekerabatan, dan bertakwa kepada Allah Rabbnya. Imam Ma’mar bin Ar-Rasyid meriwayatkan dari Imam Muhammad bin Syihab Az-Zuhri, yang berkata : “Abdurahman bin Auf bersedekah pada masa hidup Rasulullah r dengan setengah hartanya, yaitu 4000 dinar. Setelah Rasulullah r meninggal, ia mensedekahkan 40.000 dinar. Setelah itu, ia kembali bersedekah sebanyak 40.000 dinar. Setelah itu, ia kembali menyumbangkan 500 ekor kuda untuk jihad fisabilillah. Setelah itu ia kembali menyumbangkan 500 ekor unta untuk jihad fisabilillah. Sebagian besar hartanya dari hasil perdagangan”.
Subhanallah!!!!!!, marilah kita hitung dengan harga saat ini, 1 dinar nilainya sama dengan 4,25 gr emas. 4000 dinar = 17 kg emas. 1 gr emas 24 karat dari PT Aneka Tambang harganya Rp 490.000, hal ini berarti 4000 dinar setara dengan 17.000 x Rp 490.000 = Rp 8.330.000.000,- (delapan milyar tiga ratus tiga puluh juta rupiah). Sebuah jumlah yang sangat luar biasa besarnya. Jumlah sedekah ini ternyata membuat hartanya makin bertambah, terbukti setelah Rasulullah meninggal ia malah dua kali sedekah dengan nilai 40.000 dinar berarti 2 x (Rp. 83.300.000.000) = Rp. 166.600.000.000 (Seratus enam puluh enam milyar enam ratus juta rupiah).
Pada masa itu unta perang dan kuda perang adalah kendaraan paling mahal dibandingkan dengan unta dan kuda biasa, pada zaman sekarang senilai dengan tank dan panser. Hal ini berarti sama dengan harga 500 tank yang canggih dan 500 panser/kendaraan amfibi yang paling canggih.
Ketika akan wafat, beliau berwasiat agar setiap sahabat yang mengikuti perang Badar diberi santunan sebesar 400 dinar. Padahal jumlah sahabat ahli Badar yang saat itu masih hidup adalah 100 orang. Mereka semua mengambil bagiannya, termasuk sahabat Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Dalam kesempatan itu, sahabat Ali berkata : “Selamat jalan wahai putra Auf. Sesungguhnya Anda telah mendapatkan kebeningan harta dan meninggalkan kepalsuannya”. Jadi total jumlah santunan untuk ahli badar adalah 40.000 dinar setara dengan 17 kg emas setara dengan Rp. 83.300.000.000 (delapan puluh tiga milyar tiga ratus juta rupiah).
Abdullah bin Ja’far Az-Zuhri berkata : “Ummu Bakar bintu Miswar telah menceritakan kepada kami bahwa Abdurrahman bin Auf telah menjual sebuah kebunnya kepada Utsman bin Affan dengan harga 40.000 dinar atau sekitar Rp. 83.300.000.000 (delapan puluh tiga milyar tiga ratus juta rupiah). Ia membagi-bagikan harta tersebut kepada kaum fakir dari bani Zuhrah, kaum Muhajirin, dan para Umahat al-Mukminin”.
Thalhah bin Abdullah bin Auf berkata : “Seluruh penduduk Madinah adalah orang yang pernah ditanggung oleh Abdurrahman bin Auf. Ia meminjamkan uangnya kepada sepertiga penduduk Madinah, membayarkan hutang sepertiga penduduk Madinah, dan memberikan santunan kepada sepertiga penduduk Madinah yang lain sebagai bentuk menyambung tali kekerabatan”.
Ja’far bin Barqan berkata : “Telah sampai kepadaku berita bahwa Abdurahman bin Auf membebaskan pembelian 30.000 rumah”, artinya, ia menanggung biaya pembelian rumah sebanyak ini untuk ia sedekahkan bagi kaum fakir dan miskin yang tidak mampu membeli atau membangun rumahnya sendiri.
Abdurrahman bin Auf juga menyediakan santunan yang sangat besar untuk setiap ummu al-mukminin, Aisyah (salah satu dari ummu al-mukminin) sampai berkata : “Semoga Allah memberinya minum dari al-salsabil (jenis minuman di syurga)”.
Beliau juga memerdekakan para budaknya dan memberi mereka uang santunan yang cukup besar. Meski demikian, harta peninggalan beliau untuk ahli warisnya juga tetap besar. Diantaranya masih berbentuk potongan emas batangan yang besar-besar, yang membaginya saja harus dihantam dengan kapak yang besar sehingga tangan orang yang memotongnya kesemutan, karena jumlahnya yang begitu banyaknya. [6]
2. Thalhah bin Ubaidullah
Nama lengkapnya adalah Abu Muhammad Thalhah bin Ubaidullah bin Usman bin Amru Al-Quraisyi Al-Taimi. Tentang kedermawanannya, Qabishah bin Jabir berkata : “Saya telah menyertai Thalhah. Saya tidak pernah melihat seorangpun yang suka memberi sedekah dengan jumlah yang sangat besar, meski tidak diminta, melebihi Thalhah”. Karena kedermawanannya, ia sampai dijuluki Thalhah Al-Fayadh dan Thalhah Al-Khair.
Suatu hari harta hasil perdagangannya dari Hadramaut sebanyak 70.000 dinar (sekitar 297,5 kg emas) sampai ke kota Madinah. Malamnya, ia hanya berbolak-balik di atas ranjang tanpa bisa memejamkan matanya sedikitpun.
Istrinya, Ummu Kultsum binti Abu Bakar Al-Shidiq bertanya dengan keheranan : “Kanda ini kenapa ?”,
Thalhah menjawab : “Semalaman ini aku terus berfikir. Aku bimbang. Kira-kira bagaimana persangkaan Allah terhadap seorang hamba yang menyimpan didalam rumahnya harta sebanyak ini?”.
Ummu Kultsum mengusulkan sebuah jalan keluar : “Kenapa kakanda lupa dengan saudara-saudara kakanda. Besok pagi, siapkan beberapa piring, taruh harta itu di masing-masing piring dan bagikan saja kepada mereka?”.
Thalhah gembira mendengar usul istrinya : “Wahai istriku, engkau ini sunguh-sungguh wanita yang mendapat taufiq, putri dari seorang laki-laki yang mendapat taufiq!!!!”.
Keesokan harinya Thalhah memerintahkan para pekerjanya untuk membagi-bagikan seluruh harta dari Hadramaut tersebut kepada kaum Muhajirin dan Anshar. Sahabat Ali bin Abi Thalib termasuk salah satu muhajirin yang mendapatkan jatah satu piring penuh uang dinar.
Ketika seluruh harta itu hampir habis, istrinya bertanya dengan sedikit cemas : “Wahai Abu Muhammad, tidakkah kita juga mempunyai bagian harta dari keuntungan ini...?”.
Thalhah menjawab dengan keheranan : “Engkau ini kemana saja sejak dari tadi pagi?...Bagianmu tinggal harta yang tersisa saja”. Ternyata harta yang tersisa tinggal sekantung kecil berisi 100 dinar.
Ali bin Zaid berkata : “Seorang arab badui datang kepada Thalhah meinta-minta dengan menyebutkan hubungan kekerabatan dengannya. Mendengar nama kekerabatan disebut-sebut, Thalhah menjawab : “Sungguh ini adalah tali kekerabatan yang belum pernah seorangpun sebelummu memberitahukannya kepadaku. Aku mempunyai sebidang kebun yang kubeli dari Utsman bin Affan seharga 300.000 dirham (sekitar 127,5 kg emas), jika engkau mau, silahkan mengambil kebun saya. Tetapi jika engkau menghendaki harganya, aku akan kembali menjualnya kepada Utsman dan memberikan kepadamu harga penjualannya”. Si Arab badui itu memilih harga. Maka Thalhah menjual kebunnya kembali dan menyerahkan hasil penjualannya kepadanya.
Muhammad bin Ibrahim At-taimi berkata : “Penghasilan Thalhah dari kebun di Iraq adalah sebanyak 40.000 dinar (sekitar 170 kg emas = Rp. 83.300.000.000). Penghasilannya dari kebun di As-Sarat adalah sebanyak 10.000 dinar (sekitar 42,5 kg emas = Rp 20.850.000.000). Ia juga mempunyai beberapa kebun yang lain di daerah A’radh. Tidak ada seorangpun yang hidup miskin dari Bani Taim, kecuali Thalhahlah orang yang mencukupi kebutuhan hidupnya. Setiap hasil panennya tiba, ia mengirimkan sebanyak 10.000 dinar atau setara Rp 20.850.000.000 (dua puluh milyar delapan ratus lima puluh juta rupiah) kepada ummu al-mukminin Aisyah. Ia juga pernah menanggung pembayaran hutang seorang laki-laki dari Bani Taim sebanyak 3000 dinar (sekitar 12,75 kg emas) atau setara 12,75 x Rp 490.000 = Rp 624.750.000 (Enam ratus dua pulu empat juta tujuh ratus lima puluh ribu rupiah)”.
Semoga kita termasuk orang yang pandai menggunakan ilmu dan harta kita di Jalan Allah...dan termasuk orang yang kaya ilmu dan kaya harta......Amiiiin.
) اللَّهُمَّ إِ نِّي أَسْأَ لــُكَ الْهُدَ ى وَ التـُّــقَى وَ الْعَفَافَ وَ الْغِنَى (
" Ya Allah sesungguhnya aku memohon petunjuk, ketakwaan, kehormatan, dan kekayaan kepadaMU ".
[1] Ibnu Hajar Al-Asqolani, Fathul Baari, 1/274
[2] Abu Abdullah Al-Qurthubi, Al-Jami’ li- Ahkam Al-Qur’an, 14/7-8.
[3] Muhammad bin Ali Ash-Shabuni, Shafwatu At-Tafasir, 2/472.
[4] Muhammad bin Ali Ash-Shabuni, Shafwatu At-Tafasir, 2/472.
[5] Muhammad bin Ali Ash-Shabuni, Shafwatu At-Tafasir, 2/475.
[6] Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa An-Nihayah, 7/198-199, dan Adz-Dzahabi, Siyar A’lam An-nubala’, 1/84 dst.