Al Qur'an

يَا بُنَيَّ أَقِمِ الصَّلاَ ةَ وَ أْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَ انْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَ اصْبِرْ عَلَى مَا أَصَا بَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ اْلأُمُور [لقمان/17]

Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). (QS. Lukmaan (31) : 71

SILAHKAN DISEBARKAN

SILAHKAN DIPERBANYAK / DISEBARKAN DENGAN COPY PASTE ASAL SEBUTKAN SUMBERNYA, TERIMA KASIH

Kamis, 11 Agustus 2011

Memahami Aqidah Salafi dan Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jamaah (Bagian 1)



"Sebuah jawaban dan solusi untuk semua orang yang ingin memluk Islam dengan baik dan benar".......SEMOGA HIDAYAH ALLAH YANG KITA TERIMA TAK DISIA-SIAKAN"



K A J I A N     ‘A Q I D A H[1]

(bagian – 1)


I.          Pentingnya Memahami Aqidah Yang Lurus


‘Aqidah tauhid merupakan pegangan yang sangat prinsip dan menentukan bagi kehidupan manusia dunia dan akhirat. Karena tauhid merupakan pondasi bangunan agama dan menjadi dasar bagi setiap amalan yang dilakukan hambaNya. Tauhid merupakan inti dakwah para Nabi dan Rasul. Mereka memulai dakwahnya dengan tauhid dan tauhid merupakan ilmu yang paling mulia.

Sehingga mengetahui aqidah yang benar adalah sebuah kewajiban, karena merupakan perkara yang amat penting dan kewajiban paling besar yang mutlak diketahui muslim dan muslimah, karena sesungguhnya sempurna dan tidaknya suatu amal, diterima tidaknya amal tersebut tergantung kepada ‘aqidah yang benar.

Aqidah yang benar adalah ‘aqidah al Firqatun Naajiyah (golongan yang selamat), ‘aqidah ath-Thaa-ifatul Manshuurah (golongan yang mendapat pertolongan Allah I), ‘aqidah salaf, ‘aqidah Ahlul Hadits, ‘aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.

    Islam yang dikaruniakan Allah I kepada kita, yang harus kita pelajari dan kita fahami dan amalkan adalah Islam yang bersumber dari Al Quran dan As-Sunnah yang shahih menurut pemahaman para sahabat (salafush Shalih). Pemahaman para sahabat yang merupakan aplikasi langsung dari apa yang di ajarkan Rasulullah r  adalah satu-satunya pemahaman yang benar dan ‘aqidah serta manhaj mereka adalah satu-satunya pemahaman yang benar. Sesungguhnya jalan kebenaran menuju kepada Allah I hanya satu, sebagaimana sabda Rasulullah I tentang hadits Iftiraaqul Ummah (tentang perpecahan ummat) :

سنن ابن ماجه - (ج 11 / ص 493/ ح 3982) : عَنْ  عَوْفِ  بْنِ  مَالِكٍ  قَالَ  قَالَ  رَسُولُ  اللَّهِ r )افْتَرَ قَتِ  الْيَهُودُ عَلَى  إِحْدَى وَ سَبْعِينَ  فِرْقَةً  فَوَ احِدَةٌ  فِي  الْجَنَّةِ  وَ سَبْعُونَ  فِي  النَّارِ , وَ  افْتَرَ قَتِ  النَّصَارَى  عَلَى  ثِنْتَيْنِ  وَ سَبْعِينَ فِرْقَةً  فَإِحْدَى  وَسَبْعُونَ  فِي  النَّارِ  وَ  وَ احِدَةٌ   فِي  الْجَنَّةِ  وَ  الَّذِي  نَفْسُ  مُحَمَّدٍ  بِيَدِهِ  لَتَفْتَرِقَنَّ  أُمَّتِي  عَلَى  ثَلاَ ثٍ وَ سَبْعِينَ  فِرْقَةً وَ احِدَةٌ  فِي  الْجَنَّةِ  وَ  ثِنْتَانِ  وَ سَبْعُونَ  فِي  النَّارِ  قِيلَ  يَا رَسُولَ  اللَّهِ  مَنْ هُمْ  قَالَ  الْجَمَاعَةُ (

(SUNAN IBNUMAJAH No. 3982) [2] : Dari 'Auf bin Malik dia berkata, "Rasulullah r bersabda: "Orang-orang Yahudi terpecah belah menjadi 71 (tujuh puluh satu golongan), satu golongan akan masuk surga dan yang 70 (tujuh puluh golongan) akan masuk neraka. Dan orang-orang Nashrani terpecah belah menjadi 72 (tujuh puluh dua) golongan, yang 71 (tujuh puluh satu golongan masuk neraka) dan hanya satu golongan masuk surga. Demi Dzat yang jiwa Muhammad ada ditangan-Nya, sungguh ummatku akan terpecah belah menjadi 73 (tujuh puluh tiga golongan), yang satu golongan masuk surga dan yang 72 (tujuh puluh dua) golongan akan masuk neraka." Rasulullah r ditanya, "Wahai Rasulullah, siapakah mereka (yang masuk surga)?" Rasulullah r menjawab: "Yaitu Al Jama'ah." [3]

Dalam Riwayat lain disebutkan :

سنن الترمذي - (ج 9 / ص 235/ ح  2565 ) : )  كُلُّهُمْ  فِي النَّارِ إِلاَّ  مِلَّـةً  وَ احِدَ ةً  قَالُوا  وَ مَنْ  هِيَ  يَا رَسُولَ  اللَّهِ  قَالَ  مَا  أَ نَا  عَلَيْهِ  وَ  أَصْحَابِي (
(SUNAN TIRMIDZI no. 2565) [4] : “semua golongan masuk ke dalam neraka kecuali satu golongan, " para sahabat bertanya, "Siapakah mereka wahai Rasulullah?" Rasulullah r menjawab: "Mereka adalah golongan yang mana aku dan para sahabatku berpegang teguh padanya".

Allah I memerintahkan kepada umat Islam agar mengikuti satu jalan, tidak boleh mengikuti jalan yang mencerai beraikan manusia dari jalanNya, lihat firman dibawah ini :

)وَ  أَنَّ  هَذَ ا صِرَ اطِي  مُسْتَقِيمًا  فَا تَّبِعُو هُ   وَ  لاَ  تَــتَّبِعُوا  السُّـبُلَ   فَتَفَرَّ قَ  بِكُمْ   عَنْ  سَبِيلِهِ  ذَ لِكُمْ  وَ صَّاكُمْ   بِهِ  لَعَلَّكُمْ  تَـتــَّقُو نَ (  [الأنعام/153]

dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa.(QS Al-An’aam (6): 153)

Imam Ibnul Qayyim (wafat tahun 751 H) berkata : “Hal ini disebabkan jalan menuju Allah I hanyalah satu. Jalan itu adalah ajaran yang telah Allah I wahyukan kepada Rasul-rasulNya dan Kitab-kitab yang telah diturunkan kepada mereka. Tidak ada satupun yang dapat sampai kepadaNya tanpa melalui jalan tersebut. Sekiranya umat manusia mencoba seluruh jalan yang ada dan berusaha mengetuk seluruh pintu yang ada, maka seluruh jalan itu tertutup dan seluruh pintu itu terkunci kecuali dari jalan yang satu itu. Jalan itulah yang berhubungan langsung kepada Allah I dan menyampaikan mereka kepadaNya.” [5]

Akan tetapi faktor yang membuat kelompok-kelompok dalam Islam itu menyumpang dari jalan yang lurus adalah kelalaian mereka terhadap rukun ketiga yang sebenarnya telah diisyaratkan dalam Al-Quran dan As-Sunnah, yakni memahami Al-Quran dan As-Sunnah menurut pemahaman Salafush Shalih.

Surat Al-Fatihah secara gamblang telah menjelaskan ketiga rukun tersebut, Allah I berfirman :

)اهْدِنَا  الصِّرَ اطَ  الْمُسْتَقِيمَ( [الفاتحة/6]

Tunjukilah kami jalan yang lurus, (QS Al-Fatihah (1): 6)

Ayat ini merujuk kepada rukun pertama (Al-Quran) dan rukun kedua (As-Sunnah), yakni merujuk kepada Al-Quran dan As-Sunnah, sebagaimana telah dijelaskan di atas.

Allah I berfirman :

)صِرَ اطَ  الَّذِينَ  أَ نْعَمْتَ  عَلَيْهِمْ  غَيْرِ  الْمَغْضُوبِ  عَلَيْهِمْ  وَ لاَ  الضَّالِّينَ( [الفاتحة/7]

(yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.(QS Al-Fatihah (1): 7)

Ayat ini mencakup rukun ketiga, yakni merujuk kepada pemahaman Salafush Shalih dalam meniti jalan yang lurus tersebut. Padahal sudah tidak diragukan bahwa siapa saja yang berpegang teguh kepada Al-Quran dan As-Sunnah pasti telah mendapat petunjuk kepada jalan yang lurus. Disebabkan metode manusia dalam memahami Al-Quran dan As-Sunnah berbeda-beda, ada yang benar dan ada yang salah, maka haruslah memenuhi rukun ketiga untuk menghilangkan perbedaan tersebut yakni merujuk kepada pemahaman Salafush Shalih.[6]

Ibnul Qayyim berkata : “Perhatikanlah hikmah berharga yang terkandung dalam penyebutan sebab dan akibat ketiga kelompok manusia (yang tersebut dalam akhir surat al-Fatihah) dengan ungkapan yang sangat ringkas. Nikmat yang dicurahkan kepada kelompok pertama adalah nikmat hidayah, yaitu ilmu yang bermanfaat dan amal shalih.” [7]

Uraian di atas merupakan penegasan beliau bahwa generasi yang paling utama yang dikaruniai Allah ilmu dan amal shalih adalah para Sahabat Rasul r. Hal itu karena mereka telah menyaksikan langsung turunnya Al-Quran, menyaksikan sendiri penafsiran yang shahih yang mereka fahami dari petunjuk Rasulullah r yang mulia.

Apabila ummat Islam memahami Islam menurut pemahaman Salaf dan mengamalkannya menurut cara yang dilaksanakan Rasulullah r dan para Sahabatnya, maka ummat Islam akan mendapatkan hidayah (petunjuk), barakah, ketenangan hati, terhindar dari pemahaman-pemahaman dan aliran yang sesat, diberikan keselamatan, kemuliaan, kejayaan dunia dan akhirat serta diberikan pertolongan oleh Allah I untuk mengalahkan musuh-musuh Islam dari kalangan orang-orang kafir dan munafiqin.

Realita kondisi ummat Islam yang kita lihat sekarang ini adalah ummat Islam yang mengalami kemunduran, terpecah belah, dan mendapatkan berbagai musibah dan petaka, dikarenakan mereka tidak berpegang teguh kepada ‘aqidah dan manhaj yang benar dan tidak melaksanakan syari’at Islam sesuai dengan pemahaman Sahabat, serta banyak dari mereka menyelisihi Sunnah Rasulullah I.

Rasulullah I bersabda :

مسند أحمد - (ج 10 / ص 405/ ح  4869)  : )...وَ جُعِلَ  الذِّ لَّـةُ  وَ  الصَّغَارُ  عَلَى  مَنْ  خَالَفَ  أَمْرِي  وَ مَنْ  تَشَبَّهَ  بِقَوْمٍ  فَهُوَ مِنْهُمْ(

(MUSNAD AHMAD No. 4869) : “….Kehinaan dan kerendahan dijadikan bagi orang yang menyelisihi sunnahku. Barangsiapa menyerupai suatu kaum berarti ia termasuk golongan mereka."




II.    Definisi Aqidah

‘Aqidah (العقيدة) menurut bahasa Arab (etimologi) berasal dari kata al-aqdu (العقد) yang berarti ikatan, at-tautsiiqu (التوثيق) yang berarti kepercayaan atau keyakinan yang kuat, al-ihkaamu (الاحكام) yang artinya mengokohkan (menetapkan), dan ar-rabthu biquwwah (الربـط بقوة) yang berarti mengikat dengan kuat. [8]

Sedangkan menurut istilah (terminologi) yang umum, ‘aqidah adalah iman yang teguh dan pasti, yang tidak ada keraguan sedikitpun bagi orang yang meyakininya.

Jadi ‘Aqidah Islamiyah adalah keimanan yang teguh dan bersifat pasti kepada Allah I dengan segala pelaksanaan kewajiban, bertauhid dan taat kepadaNya, beriman kepada Malaikat-malaikatNya, Rasul-rasulNya, Kitab-kitabNya, hari Akhir, takdir baik dan buruk dan mengimani seluruh apa-apa yang telah shahih tentang Prinsip-prinsip Agama (Ushuluddin), perkara-perkara yang ghaib, beriman kepada apa yang menjadi ‘ijma (konsensus) dari Salafush Shalih, serta seluruh berita-berita qath’i (pasti), baik secara ilmiah maupun secara amaliyah yang telah ditetapkan menurut Al-Quran dan As-Sunnah yang shahih serta ‘ijma Salafush Shalih.

Disiplin ilmu ‘aqidah ini mempunyai nama lain yang sepadan dengannya, dan nama-nama tersebut berbeda antara Ahlus Sunnah dengan firqah-firqah lainnya. Diantara penamaan menurut pemahaman Ahlus Sunnah adalah :

1.  Al Iman
‘Aqidah disebut juga dengan al-Iman sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Quran dan hadits-hadits nabi, karena ‘aqidah membahas rukun iman yang enam dan hal-hal yang berkaitan dengannya. Sebagaimana penyebutan al-Iman dalam sebuah hadits masyhur yang disebut hadits Jibril. Para ulama ahlus sunnah sering menyebut dalam kitab-kitab mereka untuk ‘aqidah ini dengan al-Iman.[9]

2.  ‘Aqidah (I’tiqaad dan ‘Aqaa-id)
Para Ahlus Sunnah sering menyebut ilmu ‘aqidah dengan istilah ‘Aqidah Salaf : ‘Aqidah Ahlul Atsar dan al-I’tiqaad.[10]

3.  Tauhid
‘Aqidah dinamakan dengan Tauhid karena pembahasannya berkisar seputar Tauhid atau pengesaan kepada Allah di dalam Rububiyyah, Uluhiyyah, dan Asma wa Shifat. Jadi, Tauhid merupakan kajian ilmu ‘aqidah yang paling mulia dan merupalan tujuan utamanya.[11]

4.  As-Sunnah
As-Sunnah artinya jalan. ‘Aqidah Salaf disebut As-Sunnah karena para penganutnya mengikuti jalan yang ditempuh oleh Rasulullah r dan para Sahabat di dalam masalah ‘aqidah, dan istilah ini merupakan istilah yang paling masyhur (popular) pada tiga generasi pertama.[12]

5.  Ushuluddin dan Ushuluddiyanah
Ushul artinya rukun-rukun Iman, rukun-rukun Islam dan masalah-masalah yang qath’i, serta hal-hal yang telah menjadi kesepakatan para  ulama.[13]

6.  Al-Fiqhul Akbar
Ini adalah nama lain Ushuluddin dan kebalikan dari al-Fiqhul Ashghar, yaitu kumpulan hukum-hukum ijtihadi.[14]

7.  Asy-Syari’ah
Maksudnya adalah segala sesuatu yang ditetapkan oleh Allah U dan Rasulullah r berupa jalan-jalan petunjuk, terutama dan yang paling pokok adalah Ushuluddin (masalah-masalah ‘aqidah). [15]

Ada juga penamaan ‘aqidah yang masih dipertentangkan namanya karena tidak sesuai As-sunnah dan bisa mengarah kepada pemahaman baru, tetapi ada juga yang menyetujuinya karena hal itu sebatas penamaan bukan kesalahan / penyimpangan ajaran diantaranya : Ilmu Kalam, Ilmu Filsafat Islam, Tashawwuf, Illahiyyat (Teologi), Kekuatan dibalik Alam Metafisik.

Hal terpenting bagi kita adalah memahami aqidah yang lurus sehingga pemahaman definisi dari ‘aqidah Salaf atau salafi atau ahlus Sunnah wal Jama’ah perlu difahami secara detail.



III.        Aqidah Salaf / Salafi / Ahli Sunnah Wal Jama’ah


A.    Definisi Salaf

Menurut bahasa (etimologi), Salaf (اَلسَّلَفُ) artinya yang terdahulu (nenek moyang), yang lebih tua dan lebih utama.[16]  Salaf berarti para pendahulu .

Menurut istilah (terminologi), Salaf berarti generasi pertama dan terbaik dari umat (Islam) ini, yang terdiri dari para Sahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in dan para Imam pembawa petunjuk pada tiga kurun (generasi/masa) pertama yang dimuliakan oleh Allah I, sebagaimana sabda Rasulullah r :

صحيح البخاري - (ج 9 / ص 133/ 2458) و صحيح مسلم - (ج 12 / ص 357/ 4600)  :  عَنْ  عَبْدِ اللَّهِ  t عَنِ  النَّبِيِّ  r  قَالَ  )خَيْرُ  النَّاسِ  قَرْ  نِي  ثُمَّ   الَّذِينَ   يَلُو نَهُمْ   ثُمَّ   الَّذِينَ   يَلُو  نَهُمْ .... (

(SHAHIH BUKHARI No.2458 ; SHAHIH MUSLIM No. 4600) : Dari 'Abdullah BIN Mas’ud t dari Nabi r bersabda: "Sebaik-baik manusia adalah orang-orang yang hidup pada zamanku (generasiku) kemudian orang-orang setelah mereka kemudian orang-orang setelah mereka. ….".

Menurut al-Qalsyani : “Salafush Shalih adalah generasi pertama dari ummat ini yang pemahaman ilmunya sangat dalam, yang mengikuti petunjuk Nabi r dan menjaga sunnahnya. Allah I memilih mereka untuk menemani nabiNya dan menegakkan agamaNya”[17]

Syaikh Mahmud Ahmad Khalafi berkata di dalam kitabnya, al-Aqiidatul Islamiyyah bainas Salafiyyah wal Mu’tazilah : “Penetapan istilah Salaf tidak cukup hanya dibatasi waktu saja, bahkan harus sesuai dengan Al-Quran dan As-Sunnah menurut pemahaman Salafush Shalih (tentang ‘aqidah, manhaj, akhlaq dan suluk). Barang siapa yang pendapatnya sesuai dengan Al-Quran dan As-Sunnah mengenai ‘aqidah, hukum dan suluknya menurut pemahaman salaf, maka ia disebut Salafi meskipun tempatnya jauh dan berbeda masanya. Sebaliknya, barangsiapa pendapatnya menyalahi Al-Quran dan As-Sunnah, maka ia bukan seorang salafi meskipun ia hidup pada zaman Sahabat, Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in”.[18]

Ahlus Sunnah wal Jama’ah dikatakan juga as-Salafiyyun karena mengikuti manhaj Salafush Shalih dari Sahabat, Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in yang lurus. Kemudian setiap orang mengikuti jejak mereka serta berjalan berdasarkan manhaj mereka di sepanjang masa dan mereka juga disebut Salafi, karena dinisbatkan kepada Salaf. Salaf bukan kelompok atau golongan tetapi merupakan manhaj (sistem hidup dalam ber’aqidah, beribadah, berhukum, berakhlak dan yang lainnya). Yang wajib diikuti oleh setiap muslim. Jadi pengertian Salaf dinisbatkan kepada orang yang menjaga keselamatan ‘aqidah dan manhaj menurut apa yang dilaksanakan Rasulullah r dan para Sahabat sebelum terjadinya perselisihan dan perpecahan.[19]

B.    Definisi Ahlus Sunnah wal Jama’ah

Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah mereka yang menempuh seperti apa yang ditempuh oleh Rasulullah r dan para sahabatnya. Disebut Ahlus Sunnah, karena kuatnya (mereka) berpegang dan berittiba (mengikuti) Sunnah Nabi r dan para sahabatnya.

As-Sunnah menurut bahasa (etimologi) adalah jalan/cara, apakah jalan itu baik atau buruk. [20]

Sedangkan menurut ulama ‘aqidah (terminologi), As-Sunnah adalah petunjuk yang telah dilakukan oleh Rasulullah r dan para sahabatnya, baik tentang ilmu, ‘itiqad (keyakinan), perkataan maupun perbuatan. Dan ini adalah As-Sunnah yang wajib diikuti, orang yang mengikutinya akan dipuji dan orang yang menyalahinya akan dicela.[21]

Pengertian As-Sunnah menurut Ibnu Rajab al Hanbali (wafat th. 795 H) :” As-Sunnah ialah jalan yang di tempuh, mencakup di dalamnya berpegang teguh kepada apa yang dilaksanakan Nabi r  dan para khalifahnya yang terpimpin dan lurus berupa ‘itiqad (keyakinan), perkataan dan perbuatan. Itulah As-Sunnah yang sempurna. Oleh karena itu generasi salaf terdahulu tidak menamakan As-Sunnah kecuali kepada apa saja yang mencakup ketiga aspek tersebut. Hal ini diriwayatkan dari Imam Hasan al-Bashri (wafat th. 110 H), Imam al-Auzai (wafat th. 157 H) dan Imam Fudhail bin Iyadh (wafat th 187 H).” [22]

Adapun disebut al-Jama’ah, karena mereka bersatu di atas kebenaran, tidak mau berpecah belah dalam urusan agama, berkumpul di bawah kepemimpinan para Imam (yang berpegang kepada) al-haqq (kebenaran), tidak mau keluar dari jama’ah mereka dan mengikuti apa yang telah menjadi kesepakatan Salaful Ummah.[23]

Al-Jama’ah menurut ulama ‘aqidah (terminologi) adalah generasi pertama dari ummat ini, yaitu kalangan Sahabat, Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in serta orang yang mengikuti dalam kebaikan hingga hari kiamat, karena berkumpul di atas kebenaran.[24]

Imam Abu Syammah asy-Syafi’i (wafat th. 665 H) berkata : “Perintah untuk berpegang kepada jama’ah, maksudnya adalah berpegang kepada kebenaran dan mengikutinya. Meskipun yang melaksanakan kebenaran sedikit dan yang menyalahinya banyak. Karena kebenaran itu apa yang dilaksanakan oleh jama’ah yang pertama, yaitu yang dilaksanakan Rasulullah r dan para Sahabatnya tanpa melihat kepada orang-orang yang menyimpang (melakukan kebathilan) sesudah mereka”. Sebagaimana yang di ucapkan oleh Ibnu Mas’ud t[25] :

اَ لْجَمَاعَةُ  مَا وَ افَـقَ  الْحَـقَّ  وَ  اِنْ   كُنْتَ  وَحْدَ كَ
Al-Jama’ah adalah yang mengikuti kebenaran walaupun engkau sendirian”

Jadi, Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah orang yang mempunyai sifat dan karakter mengikuti sunnah Nabi r dan menjauhi perkara-perkara yang baru dan bid’ah dalam agama. Dan Ahlus Sunnah wal Jama’ah ini adalah orang-orang yang ittiba’ (mengikuti) kepada Sunnah Rasulullah r dan mengikuti Atsar (jejak Salaful Ummah), maka mereka juga disebut Ahlul Hadits, Ahlul Atsar, dan Ahlul Ittiba’, ada juga sebutan lain al Firqatun Naajiyah (golongan yang selamat), ath-Thaa-ifatul Manshuurah (golongan yang mendapat pertolongan Allah I), dan Ghurabaa’ (orang asing).

Tentang ath-Thaa-ifatul Manshuurah (golongan yang mendapat pertolongan Allah I), Rasulullah r bersabda :

صحيح البخاري - (ج 11 / ص 472/ ح 3369) و صحيح مسلم - (ج 10 / ص 40/ ح 3548)  :عن مُعَاوِيَةَ  يَقُولُ  سَمِعْتُ  النَّبِيَّ r  يَقُولُ ) لاَ   يَزَ الُ  مِنْ  أُمَّتِي  أُمَّةٌ  قَائِمَةٌ  بِأَمْرِ  اللَّهِ  لاَ   يَضُرُّهُمْ  مَنْ  خَذَ لَهُمْ  وَ لاَ  مَنْ  خَا لَفَهُمْ  حَتَّى  يَأْتِيَهُمْ  أَمْرُ  اللَّهِ  وَ هُمْ  عَلَى  ذَ لِكَ(

(SHAHIH BUKHARI NO. 3369 ; SHAHIH MUSLIM NO. 3548) : Dari Mu'awiyah berkata, aku mendengar Nabi r bersabda: "Senantiasa akan ada dari ummatku, (sekelompok) ummat yang tegak di atas urusan agama Allah, tidak dapat membahayakan mereka orang yang menghina mereka dan tidak pula orang yang menyelisih mereka hingga datang ketetapan Allah atas mereka dan mereka dalam keadaan seperti itu (tetap tegak dalam urusan agama Allah) ".

Tentang al-Ghurabaa’, Rasulullah r bersabda :

صحيح مسلم - (ج 1 / ص 350/ح  208) :  عَنْ  أَبِي  هُرَ يْرَةَ  قَالَ  قَالَ رَسُولُ اللَّهِ r ) بَدَ أَ  اْلإِسْلاَ مُ  غَرِيبًا, وَ سَيَعُودُ  كَمَا  بَدَ أَ غَرِ يبًا, فَطُوبَى   لِلْغُرَ بَاءِ(

(SHAHIH MUSLIM NO 208) : Dari Abu Hurairah t dia berkata, "Rasulullah r bersabda: "Islam muncul dalam keadaan asing, dan ia akan kembali dalam keadaan asing, maka beruntunglah al-Ghirabaa’ (orang-orang yang terasing)."

Sedangkan al-Ghurabaa’ adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash t ketika suatu hari Rasulullah r menerangkan tentang makna dari al-Ghurabaa’, beliau r bersabda :

مسند أحمد - (ج 13 / ص 400/ ح  6362)  :  عن عَبْدَ  اللَّهِ  بْنَ   عَمْرِو  بْنِ  الْعَاصِي   قَالَ   قَالَ  r  ).......طُوبَى   لِلْغُرَ بَاءِ  فَقِيلَ  مَنْ  الْغُرَ بَاءُ  يَا رَسُولَ  اللَّهِ  قَالَ  أُ نَاسٌ  صَالِحُونَ   فِي  أُ نَاسِ  سُو ءٍ  كَثِيرٍ  مَنْ   يَعْصِيهِمْ   أَكْثَرُ مِمَّنْ  يُطِيعُهُمْ(

(MUSNAD AHMAD NO. 6362) : Dari Abdullah bin 'Amru bin Al 'Ash t berkata; suatu hari ketika kami sedang berada bersama Rasulullah r, beliau bersabda: "Beruntunglah orang-orang yang asing." Maka ditanyakan kepada beliau; "Siapakah orang-orang asing itu wahai Rasulullah?" Beliau r menjawab: "Orang-orang shalih yang berada di tengah-tengah orang-orang jahat yang banyak, yang mengingkari mereka jumlahnya lebih banyak daripada yang menta'ati mereka."

Rasulullah r juga bersabda mengenai makna al-Ghurabaa’ :

)اَ  لَّذِ يْنَ   يُصْلِحُونَ  عِندَ  فَسَادِ النَّاسِ(

“Yaitu orang-orang yang senantiasa memperbaiki (ummat) di tengah-tengah rusaknya manusia[26]

Dalam Riwayat lain disebutkan :

سنن الترمذي - (ج 9 / ص 219 / ح 2554) :  ) الَّذِينَ   يُصْلِحُونَ  مَا أَفْسَدَ  النَّاسُ  مِنْ  بَعْدِي  مِنْ  سُنَّتِي(

“Yaitu orang-orang yang memperbaiki sunnahku (Sunnah Rasulullah r) sepeninggalku sesudah dirusak oleh manusia”

Penyebutan al Firqatun Naajiyah (golongan yang selamat), ath-Thaa-ifatul Manshuurah (golongan yang mendapat pertolongan Allah I), dan Ghurabaa’ (orang asing), Ahlul Hadits, Ahlul Atsar, dan Ahlul Ittiba’ dan Ahlus Sunnah merupakan penyebutan yang populer dan diriwayatkan dengan sanad yang shahih dari para Imam seperti : “Abdullah Ibnul Mubarak, ‘Ali Ibnul Madini, Ahmad bin Hanbal, al-Bukhari, Ahmad bin Sinan, dll.[27]

Istilah penyebutan Ahlus Sunnah wal Jama’ah sering disebutkan bahkan diikuti oleh ulama salaf diantaranya : (1). Ayyub as-Sikhtiyani (wafat th 131 H); (2). Sufyan ats-Tsaury (wafat th. 161 H) ; (3). Fudhail bin ‘Iyadh (wafat th. 187 H) ; (4) Abu ‘Ubaid al Qasim bin Sallam (wafat th. 224 H) ; (5). Imam Ahmad bin Hanbal ( wafat th. 241 H) (6) Imam Ibnu Jarir ath-Thabari (wafat th. 310 H) ; (7) Imam Abu Ja’far Ahmad bin Muhammad ath-Thahawi (wafat th. 321 H)[28]


[1] Kajian Aqidah ini merujuk : (1) Buku “Syarah Aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah”, KaryaYazid Abdul Qadir Jawaz, Terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi’i, 2009, Bogor, dan sistematikanya menuruti sistematika yang disusun ustadz Abdul Qadir Jawaz dalam buku tersebut ; (2) Buku “Risalah Tauhid”, karya Syeikh Muhammad Abduh, Terbitan Bulan Bintang, cetakan VI, 1976, Jakarta ; (3) Buku “Kitab Tauhid” judul Asli “ At-Tauhid Lish Shaffits Tsani Al-Aliy”, Karya Tim Ahli Tauhid, Penerjemah Agus Hasan Bashori, Lc, Muraja’ah Tim Darul Haq, Terbitan Darul Haq, cetakan V, 2003, Jakarta ; (4) Buku “Kitab Tauhid” judul Asli “ At-Tauhid Lish Shaffits Tsani Al-Aliy”, Karya DR Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al Fauzan, Penerjemah Ainul Haris Arifin, Lc, Muraja’ah Muhammad Yusuf Harun, MA, Terbitan Darul Haq, cetakan I, 1999, Jakarta ; (5) Buku Tauhidullah : Qawaidul Aqaid fit Tauhid, Iljamul Awam fi Ilmil Kalam, Fashl at-Tafriqah, Ar-Risalah al Qudsiyah fi Qawa’idil ‘Aqaid, Imam Al Ghazali, Terbitan Darul Fikr, Cet I, 1996, Beirut, Lebanon ; (6) Buku “Kembali Kepada AlQur’an dan As-Sunnah”, karya KH Munawar Chalil, Terbitan Bulan Bintang, cetakan VIII, 1991.

[2]  Hadits senada dikeluarkan pula oleh (المستدرك على الصحيحين للحاكم - (ج 1 / ص 13/ ح 10) dari Abu Hurairah t, tetapi tanpa kalimat pertanyaan dari sahabat dan jawaban dari Rasulullah : “Yaitu Jamaah”, begitu pula dalam Musnad Abi Ya’la Al Muusholli no. 5777 dan Shahih Ibnu Hibban no. 6353. (Penomoran hadits berdasarkan CD Maktabah Syamilah dan CD Kitab 9 Imam Hadits).

[3] Dalam buku rujukan : Yazid bin Abdul Qadir Jawas : “Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah”,  hal. 15, cet. 7, Pustaka Imam Syafe’i, 2009, Bogor, diterangkan : Satu golongan dari umat Yahudi yang masuk Surga adalah mereka yang beriman kepada Allah dan kepada nabi Musa u serta mati dalam keadaan beriman. Dan beegitu juga satu golongan dari ummat Nasrani yang masukSurga adalah mereka yang beriman kepada nabi ‘Isa u sebagai nabi, rasul dan hamba Allah serta mati dalam keadaan beriman. Adapun setelah diutusnya nabi Muhammad r, maka semua ummat Yahudi dan Nasrani wajib masuk Islam, yaitu agama yang dibawa oleh Rasulullah r sebagai penutup para nabi. Prinsip ini berdasarkan hadits nabi r :
صحيح مسلم - (ج 1 / ص 365/ ح 218) :عَنْ  أَبِي  هُرَ يْرَةَ  عَنْ  رَسُولِ  اللَّهِ  صَلَّى  اللَّهُ  عَلَيْهِ  وَ سَلَّمَ  أَ نَّهُ  قَالَ ) وَ الَّذِي  نَفْسُ  مُحَمَّدٍ  بِيَدِهِ  لاَ   يَسْمَعُ  بِي  أَحَدٌ  مِنْ  هَذِهِ  اْلأُ مَّةِ   يَهُودِيٌّ  وَ  لاَ  نَصْرَ انِيٌّ  ثُمَّ   يَمُوتُ  وَ  لَمْ   يُؤْمِنْ  بِالَّذِي  أُرْسِلْتُ  بِهِ  إِلاَّ   كَانَ  مِنْ أَصْحَابِ  النَّارِ(
(SHAHIH MUSLIM no. 218) : dari Abu Hurairah t, dari Rasulullah r, bahwa beliau bersabda: "Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, tidaklah seseorang dari umat ini baik Yahudi dan Nashrani mendengar tentang diutusnya aku, kemudian dia meninggal dan tidak beriman dengan agama yang aku diutus dengannya (Islam), niscaya dia pasti termasuk penghuni neraka."

[4] Abu Isa berkata : Hadits ini hasan, dari sahabat ‘Abdullah bin ‘Amr, dan dihasankan pula oleh al Albani dalam Shahihul Jaami no. 5343.

[5] Tafsiirul  Qayyim libnil Qayyim, hal 14-15 (Dalam buku rujukan : Yazid bin Abdul Qadir Jawas : “Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah”,  hal. 17, cet. 7, Pustaka Imam Syafe’i, 2009, Bogor)

[6] Lihat Madaarikun Nazhar Fis Siyaasah baina Tathbiiqaatisy Syar’iyyah wal Infi’aalatil Hamaasiyyah (hal 27-28) karya ‘Abdul Malik bin Ahmad bin al-Mubarak Ramadhani Aljazairi, Cet II/th. 1418 H (Dalam buku rujukan : Yazid bin Abdul Qadir Jawas : “Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah”,  hal. 18, cet. 7, Pustaka Imam Syafe’i, 2009, Bogor)

[7]Madaarijus Saalikin, I/20, cet Darul Hadits, Kairo (Dalam buku rujukan : Yazid bin Abdul Qadir Jawas : “Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah”,  hal. 18, cet. 7, Pustaka Imam Syafe’i, 2009, Bogor)

[8]Lisanul ‘Arab, (IX/31 : عقد ) karya Ibnu Manzhur (wafat 711 H) dan Mu’jamul Wasuth , (II/614 : عقد ), diambil dari buku rujukan : Yazid bin Abdul Qadir Jawas : “Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah”,  hal. 18, cet. 7, Pustaka Imam Syafe’i, 2009, Bogor.

[9]Seperti Kitabul Imaan karya Imam Abu ‘Ubaid al-Qasiim bin Sallam (wafat th. 224 H) ; Kitabul Imaan karya al-Hafizh Abu Bakar ‘Abdullah bin Muhammad bin Abi Syaibah (wafat th 235 H) ; al- Imaan karya Ibnu Mandah (wafat th. 359 H) ; Kitabul Iman Syaukhul Islam Ibnu Taimiyah (wafat th. 728 H) diambil dari buku rujukan : Yazid bin Abdul Qadir Jawas : “Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah”,  hal. 28, cet. 7, Pustaka Imam Syafe’i, 2009, Bogor.

[10] Seperti ‘Aqidatus Salaf Ash-haabil Hadiits karya Ash-Shabuni (wafat th. 449 H), Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah oleh Imam al-Lalika-I (wafat th. 418 H), dan al-I’tiqaad oleh Imam al-Baihaqi (wafat th. 458 H), diambil dari buku rujukan : Yazid bin Abdul Qadir Jawas : “Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah”,  hal. 29, cet. 7, Pustaka Imam Syafe’i, 2009, Bogor.

[11]Seperti Kitaabut Tauhiid dalam Shahiihul Bukhari karya Imam al-Bukhari (wafat th. 256 H), Kitaabut Tauhiid wa Itsbat Shifaatir Rabb Karya Ibnu Khuzaimah (wafat th. 311 H), Kitaab I’tiqaadit Tauhid oleh Abu Abdillah Muhammad bin Khafif (wafat th. 371 H), Kitaabut Tauhid  karya Ibnu Mandah (wafat th. 359 H) dan Kitaabut Tauhid oleh Muhammad bin ‘Abdil Wahhab (wafat th. 1206 H), diambil dari buku rujukan : Yazid bin Abdul Qadir Jawas : “Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah”,  hal. 29, cet. 7, Pustaka Imam Syafe’i, 2009, Bogor.

[12] Seperti kitab Ushulus Sunnah karya Imam Ahmad bin Hanbal (wafat th. 241 H), as-Sunnah karya ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal ( wafat th. 290 H), as-Sunnah karya al Khallal (wafat th. 311 H) dan Syarhus Sunnah karya Imam al-Barbahari (wafat th 329 H), diambil dari buku rujukan : Yazid bin Abdul Qadir Jawas : “Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah”,  hal. 29, cet. 7, Pustaka Imam Syafe’i, 2009, Bogor.

[13] Seperti kitab Ushuuluddin karya al-Baghdadi (wafat th. 429 H), Asy-Syarh wal Ibaanah ‘an Ushuuliddiyaanah karya Ibnu Baththah al-Ukbari (wafat th.387 H) dan al Ibaanah ‘an Ushuuliddiyaanah karya Imam Abul Hasan al-Asy’ari (wafat th. 324 H), diambil dari buku rujukan : Yazid bin Abdul Qadir Jawas : “Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah”,  hal. 30, cet. 7, Pustaka Imam Syafe’i, 2009, Bogor.

[14]  Seperti kitab al-Fiqhul Akbar karya Imam Abu Hanifah (wafat th. 150 H), diambil dari buku rujukan : Yazid bin Abdul Qadir Jawas : “Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah”,  hal. 30, cet. 7, Pustaka Imam Syafe’i, 2009, Bogor.

[15] Seperti kitab asy-Syarii’ah oleh al-Ajurri (wafat th. 360 H) dan al-Ibaanah ‘an Syarii’atil Firqah an-Naajiyah karya Ibnu Baththah, diambil dari buku rujukan : Yazid bin Abdul Qadir Jawas : “Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah”,  hal. 30, cet. 7, Pustaka Imam Syafe’i, 2009, Bogor.

[16]    Lisanul ‘Arab, (VI/331 ) karya Ibnu Manzhur (wafat 711 H).

[17]  Al Mufassiruun bainat Ta’wiil wal Itsbaat fii Aayatish Shifaat (I/11), diambil dari buku rujukan : Yazid bin Abdul Qadir Jawas : “Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah”,  hal. 35, cet. 7, Pustaka Imam Syafe’i, 2009, Bogor.

[18]  Al Mufassiruun bainat Ta’wiil wal Itsbaat fii Aayatish Shifaat (I/13-14) dan al-Wajiiz fii ‘Aqiidah Salafush Shalih (hal 34), diambil dari buku rujukan : Yazid bin Abdul Qadir Jawas : “Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah”,  hal. 35, cet. 7, Pustaka Imam Syafe’i, 2009, Bogor.

[19] Lihat Mauqiif Ahlis Sunnah wal Jama’ah min ahlil Ahwaa’ wal Bida’ (I/63-64) karya Syaikh Dr Ibrahim bin Amir ar-Ruhaili, diambil dari buku rujukan : Yazid bin Abdul Qadir Jawas : “Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah”,  hal. 35, cet. 7, Pustaka Imam Syafe’i, 2009, Bogor.

[20] Lisanul ‘Arab, (VI/399 ) karya Ibnu Manzhur (wafat 711 H).

[21]    Buhuuts fii ‘Aqidah Ahlis Sunnah (hal 16)

[22]    Yazid bin Abdul Qadir Jawas : “Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah”,  hal. 37, cet. 7, Pustaka Imam Syafe’i, 2009, Bogor.

[23]    Mujmal Ushuul Ahlis Sunnah wak Jama’ah fil ‘Aqidah ; Yazid bin Abdul Qadir Jawas : “Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah”,  hal. 37, cet. 7, Pustaka Imam Syafe’i, 2009, Bogor.

[24]    Yazid bin Abdul Qadir Jawas : “Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah”,  hal. 37, cet. 7, Pustaka Imam Syafe’i, 2009, Bogor.

[25]    Beliau adalah sahabat Nabi r, nama lengkapnya ‘Abdullah bin Mas’ud bin Ghafil bin Habib al-Hadzali, Abu ‘Abdirrahman, pimpinan Bani Zahrah. Beliau masuk Islam pada awal-awal Islam di Makkah, yaitu ketika Sa’id bin Zaid dan istrinya Fathimah binti al-Khaththab masuk Islam. Beliau melakukan 2 kali hijrah, ikut serta peran r g Badar dan perang lainnya. Beliau termasuk orang yang paling ‘alim tentang Al-Quran dan tafsirnya sebagaimana telah diakui oleh Nabi . Beliau dikirim oleh Umar bin al-Khaththab t ke Kuffah untuk mengajar kaum muslimin dan diutus oleh Utsman t ke Madinah. Beliau t  wafat tahun 332 H. Lihat al-Ishaabah (II/368 no. 4954), diambil dari Yazid bin Abdul Qadir Jawas : “Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah”,  hal. 37, cet. 7, Pustaka Imam Syafe’i, 2009, Bogor.

[26] HR. Abu Ja’far ath-Thahawi dalam Syarah Musykil Aaatsar (II/170 no. 6650), al-Lalika-I dalam Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah (no. 173) dari sahabat Jabir bin Abdillah. Hadits ini shahih li ghairihi karena ada beberapa syawahidnya. Lihat Syarah Musykilil Aatsar (II/170-171) dan Silsilatul Ahaadits Ash-Shahiihah (no. 1273), diambil dari Yazid bin Abdul Qadir Jawas : “Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah”,  hal. 39, cet. 7, Pustaka Imam Syafe’i, 2009, Bogor.

[27] Ahlul Hadiits Humuth Thaa-ifah al-Manshuurah karya Syaikh Dr Rabi’ bin Hadi al-Madkhali, diambil dari Yazid bin Abdul Qadir Jawas : “Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah”,  hal. 40, cet. 7, Pustaka Imam Syafe’i, 2009, Bogor.

[28] Yazid bin Abdul Qadir Jawas : “Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah”,  hal. 42-43, cet. 7, Pustaka Imam Syafe’i, 2009, Bogor.