K A J I A N ‘A Q I D A H[1]
(bagian – 2)
1. Sumber ‘aqidah adalah kitabullah (Al-Quran), Sunnah Rasulullah r yang shahih, dan ijma’ Salafush Shalih.
2. Setiap Sunnah yang shalih, yang berasal dari Rasulullah r wajib diterima, walaupun sifatnya ahad.[3] Allah I berfirman :
.وَ مَا آَ تَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَ مَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا.. [الحشر/7]
“…Dan apa-apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa-apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah...” (QS Al Hasyr (59) : 7)
Hadits ahad adalah hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits mutawatir atau tidak memenuhi sebagian dari syarat-syarat mutawatir.[4]
Para ulama ummat ini pada setiap generasi, baik yang mengatakan bahwa hadits ahad menunjukkan ilmu yang yakin, maupun yang berpendapat ilmu yang zhann, mereka berijma (sepakat) atas wajibnya mengamalkan hadits ahad. Tidak ada yang berselisih di antara mereka, kecuali kelompok kecil yang tidak masuk hitungan, seperti Mu'tazilah dan Rafidhah.[5]
Syaikh Muhammad al-Amin bin Muhammad Mukhtar asy-Syinqithi (wafat 1393 H) mengatakan : "Ketahuilah bahwa penelitian dimana kita tidak boleh menyimpang dari hasilnya, bahwa hadits ahad yang shahih harus diamalkan untuk masalah-masalah Ushuluddin, sebagaimana ia diambil dan diamalkan untuk masalah-masalah hukum/furu'. Maka, apa yang datang dari Rasulullah r dengan sanad yang shahih mengenai sifat-sifat Allah, wajib diterima dan diyakini dengan keyakinan bahwa sifat-sifat itu sesuai dengan ke-Maha Sempurna-an dan ke-Maha-AgunganNya, sebagaimana firmanNya :
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ [الشورى/11]
" Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah yang Maha Mendengar dan Melihat." (Asy-Syuura (42) : 11)
Dengan demikian, anda menjadi tahu bahwa penerapan para ahli kalam dan pengikutnya bahwa hadits-hadits ahad tidak bisa diterima untuk dijadikan dalil dalam masalah-masalah 'aqidah seperti tentang sifat-sifat Allah, karena hadits-hadits ahad itu tidak menunjukkan kepada hal yang yakin melainkan kepada zhann (dugaan), sementara masalah 'aqidah itu harus mengandung keyakinan. Ucapan mereka itu adalah bathil dan tertolak. Dan cukuplah sebagai bukti dari kebathilannya bahwa pendapat ini ini mengharuskan menolak riwayat-riwayat shahih yang datang dari Nabi r berdasarkan hukum akal semata" [6]
Rasulullah r adalah pemakai bahasa arab terbaik dan terfasih, beliau r telah dikaruniai jawami'ul kalim (kemampuan mengungkap kalimat ringkas dengan makna padat, kalimat sarat makna) dan ditugaskan untuk menyampaikannya. Dengan begitu, tidaklah dapat dibayangkan –baik secara syar'i maupun 'aqli- bahwa beliau r akan membiarkan masalah 'aqidah menjadi samar dan penuh syubhat, sebab 'aqidah merupakan bagian terpenting dari seluruh rangkaian ajaran agama. Sehingga bila beliau r menjelaskan masalah furu' secara detail, mustahil beliau r tidak melakukan hal yang sama pada masalah ushul (pokok).[7]
Rasulullah r sudah menjelaskan masalah ushul ('aqidah) dengan detail (rinci) dengan sejelas-jelasnya. Karena itu seorang muslim wajib menerima apa yang datang dari Rasulullah r meskipun derajat haditsnya adalah ahad, tidak mencapai mutawatir. Imam Ahmad berkata : "Barang siapa menolak hadits nabi, maka ia berada di tepi jurang kebinasaan"[8]
3. Yang menjadi rujukan dalam memahami Al Qur-an dan As-Sunnah adalah nash-nash (teks Al-Qur-an maupun hadits) yang menjelaskannya, pemahaman salafush Shalih dan para Imam yang mengikuti jejak mereka, serta dilihat arti yang benar dari bahasa arab. Jika hal tersebut sudah benar, maka tidak dipertentangkan lagi tentang hal-hal yang sifatnya berupa kemungkinan menurut bahasa.
4. Prinsip-prinsip utama dalam agama (Ushuluddin), semua telah dijelaskan oleh Nabi r. Siapapun tidak berhak untuk mengadakan sesuatu yang baru, yang tidak ada contoh sebelumnya, apalagi sampai mengatakan hal tersebut bagian adari agama. Allah I telah menyempurnakan agamaNya, wahyu telah terputus dan kenabian telah ditutup, sebagaimana firman Allah I :
....الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَ أَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَ رَضِيتُ لَكُمُ اْلإِسْلاَ مَ دِينًا ..[المائدة/3]
“…Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu”…. (QS Al Maaidah (5) : 3)
Rasulullah r bersabda :
صحيح مسلم - (ج 9 / ص 118/ح 3242) و صحيح البخاري - (ج 9 / ص 201/ح 2499)و سنن أبي داود - (ج 12 / ص 210/ح 3990) و سنن ابن ماجه - (ج 1 / ص 17/ح 14) و مسند أحمد - (ج 52 / ص 497/ح 24840) و سنن الدارقطني - (ج 10 / ص 334/ح 4590) و صحيح ابن حبان - (ج 1 / ص 52/ح 27) : عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ ) مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِ نَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ(
Dari ['Aisyah] dia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa mengada-ngada sesuatu yang baru dalam urusan (agama) kami, padahal kami tidak perintahkan (sesuatu yang bukan bagian dari agama), maka hal itu tertolak."
5. Berserah diri (taslim), patuh, dan taat hanya kepada Allah I dan RasulNya, secara lahir dan bathin. Tidak menolak sesuatu dari Al-Qur-an dan As-Sunnah yang shahih, (baik menolaknya itu) dengan qiyas (analogi), perasaan, kasyf (iluminasi atau penyingkapan tabir rahasia sesuatu yang ghaib), ucapan seorang syaikh, ataupun pendapat imam-imam dan lainnya.
Allah I berfirman :
فَلاَ وَ رَ بِّكَ لاَ يُؤْ مِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُوا فِي أَ نْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَ يُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا [النساء/65]
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidaklah beriman sehingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya”. (QS An-Nisaa (4) : 65)
وَ مَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَ مَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَا نْتَهُوا وَ اتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ [الحشر/7]
“…Dan apa-apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa-apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah dan bertaqwaalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukumannya” (QS Al Hasyr (59) : 7)
Imam Muhammad bin Syihab az_zuhri (wafat 124 H) berkata :
)مِنَ اللهِ الرَّسَالَةِ , وَ عَلَى الرَّ سُوْ لِ البَلاَ غُ , وَ عَلَيْنَا التَسْلِيْمُ (
"Allah menganugrahkan risalah (mengutus para Rasul), Kewajiban Rasul adalah menyampaikan Risalah, dan kewajiban kita adalah tunduk dan taat".[9]
Kewajiban seorang muslim adalah tunduk dan taslim secara sempurna, serta tunduk kepada perintah Beliau r, menerima berita dari Beliau r dengan penerimaan yang penuh dengan pembenaran, tidak boleh menentang apa yang datang dari Allah dan RasulNya r dengan perkataan bathil, hal-hal yang syubhat atau ragu-ragu, dan tidak boleh juga dipertentangkan dengan perkataan seorangpun dari manusia.
Penyerahan diri tunduk, patuh dan taat kepada perintah Allah I dan RasulNya r merupakan kewajiban seorang muslim. Taat kepada Allah I dan RasulNya r adalah mutlak. Taat kepada Rasulullah r berarti taat kepada Allah I.
Allah I berfirman :
مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَ مَنْ تَوَ لَّى فَمَا أَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظًا [النساء/80]
"Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka".(QS An-Nisaa (4) : 80)
فَلاَ وَ رَ بِّكَ لاَ يُؤْ مِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُوا فِي أَ نْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَ يُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا [النساء/65]
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidaklah beriman sehingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya”. (QS An-Nisaa (4) : 65)
إِ نَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْ مِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَ رَسُو لِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَ أَطَعْنَا وَ أُو لَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ [النور/51]
"Sesungguhnya jawaban oran-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan. "Kami mendengar, dan kami patuh". Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung". (QS An-Nuur (24) : 51)
وَ مَا كَانَ لِمُؤْ مِنٍ وَ لاَ مُؤْ مِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَ رَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَ مَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَ رَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلاَ لاً مُبِينًا [الأحزاب/36]
"Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata".(QS Al Ahzab (33) : 36)
Seorang hamba akan selamat dari siksa Allah I, bila ia mentauhidkan Allah I dengan ikhlas dan ittiba' kepada Rasulullah r. Tidak boleh mengambil kepada selain beliau r sebagai pemutus hukum dan tidak boleh ridha kepada hukum selain hukum beliau r. Apapun yang Allah I dan RasulNya r putuskan tidak boleh ditolak dengan pendapat seorang guru, imam, qiyas, dan lainnya.
Sesungguhnya seorang muslim tidak akan selamat dunia dan akhirat, sebelum ia berserah diri kepada Allah I dan RasulNya, dan menyerahkan apa yang belum jelas baginya kepada orang yang mengetahuinya. Hal tersebut berarti berserah diri kepada nash-nash Al-Qur-an dan As-Sunnah. Tidak menentangnya dengan pena'wilan yang rusak, syubhat, keragu-raguan, dan pendapat orang.
Ada sebuah riwayat, yaitu ketika beberapa sahabat Nabi r sedang duduk-duduk di dekat rumah Nabi r, tiba-tiba di antara mereka ada yang menyebutkan salah satu dari ayat Al-Qur-an, lantas mereka bertengkar sehingga semakin keras suaranya, lalu Rasulullah r keluar dalam keadaan marah dan merah mukanya, sambil melemparkan debu seraya bersabda :
مسند أحمد - (ج 13 / ص 453/ح 6415): ) مَهْلاً يَا قَوْمِ بِهَذَا أُهْلِكَتْ اْلأُ مَمُ مِنْ قَبْلِكُمْ بِاخْتِلاَ فِهِمْ عَلَى أَ نْبِيَائِهِمْ وَ ضَر ْبِهِمْ الْكُتُبَ بَعْضَهَا بِبَعْضٍ إِنَّ الْقُرْآنَ لَمْ يَنْزِلْ يُكَذِّبُ بَعْضُهُ بَعْضًا بَلْ يُصَدِّقُ بَعْضُهُ بَعْضًا فَمَا عَرَفْتُمْ مِنْهُ فَاعْمَلُوا بِهِ وَ مَا جَهِلْتُمْ مِنْهُ فَرُدُّوهُ إِلَى عَالِمِهِ(
"Tenanglah wahai kaumku!, sesungguhnya cara bertengkar seperti ini telah membinasakan umat-umat sebelum kalian, yaitu mereka menyelisihi para Nabi serta berpendapat bahwa sebagian isi kitab itu bertentangan dengan yang lain. Ingat! Sesungguhnya Al-Qur-an tidak turun untuk mendustakan sebagian dengan sebagian yang lainnya (bertentangan), bahkan ayat-ayat al-Qur-an sebagian membenarkan yang lainnya. Karena itu apa yang telah kalian ketahui, maka amalkanlah dan apa yang tidak kalian ketahui, serahkanlah kepada yang paling mengetahui'.[10]
Rasulullah r bersabda :
سنن أبي داود - (ج 12 / ص 206/ح 3987) و مسند أحمد - (ج 16 / ص 189/ح 7648) و المعجم الأوسط للطبراني - (ج 6 / ص 32/ح 2576) و الإبانة الكبرى لابن بطة - (ج 3 / ص 65/ح 1041) و صحيح ابن حبان - (ج 6 / ص 432/ح 1486) : عَنْ أَبِي هُرَ يْرَ ةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ ) الْمِرَ اءُ فِي الْقُرْآنِ كُفْرٌ(
Dari Abu Hurairah, dari Nabi, beliau bersabda : " Bertengkar dalam masalah Al-Qur-an adalah Kufur".
Imam Ath-Thahawi (wafat 321 H) berkata : "Barang siapa yang mencoba mempelajari ilmu yang terlarang; tidak puas pemahamannya untuk pasrah (kepada Al-Qur-an dan As-Sunnah), maka ilmu yang dipelajarinya itu akan menutup jalan baginya dari kemurnian Tauhid, kejernihan ilmu pengetahuan, dan keimanan yang benar".[11]
Penjelasan ini bermakna, larangan keras berbicara tentang masalah agama tanpa ilmu. Orang yang berbicara tanpa ilmu, tidak lain pasti mengikuti hawa nafsunya. Allah I berfirman :
وَ لاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَ الْبَصَرَ وَ الْفُؤَ ادَ كُلُّ أُو لَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولاً [الإسراء/36]
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. (QS Al Israa (17) : 36)
وَ مَنْ أَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوَ ا هُ بِغَيْرِ هُدًى مِنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْ مَ الظَّالِمِينَ [القصص/50]
Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. (QS Al Qashash (28) : 50)
وَ مِنَ النَّاسِ مَنْ يُجَادِلُ فِي اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَ يَتَّبِعُ كُلَّ شَيْطَانٍ مَرِيدٍ (3) كُتِبَ عَلَيْهِ أَ نَّهُ مَنْ تَوَ لاَّ هُ فَأَ نَّهُ يُضِلُّهُ وَ يَهْدِيهِ إِلَى عَذَابِ السَّعِيرِ (4) [الحج/3، 4]
Di antara manusia ada orang yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan dan mengikuti setiap syaitan yang jahat (3),yang telah ditetapkan terhadap syaitan itu, bahwa barangsiapa yang berkawan dengan dia, tentu dia akan menyesatkannya, dan membawanya ke azab neraka (4). (QS Al Hajj (22) : 3,4)
قُلْ إِ نَّمَا حَرَّمَ رَ بِّيَ الْفَوَ احِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَ مَا بَطَنَ وَ اْلإِ ثْمَ وَ الْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَ أَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَا نًا وَ أَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ [الأعراف/33]
Katakanlah: "Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui".(QS Al 'Araaf (7) : 33)
Ketika Rasulullah r ditanya tentang anak-anak kaum musyrikin yang meninggal dunia, beliau r menjawab :
"Allah-lah yang Maha Tahu apa yang telah mereka kerjakan"[12]
سنن الترمذي - (ج 11 / ص 51/ح 3176) و سنن ابن ماجه - (ج 1 / ص 55/ح 47) و مسند أحمد - (ج 45 / ص 138/ح 21143) و الإبانة الكبرى لابن بطة - (ج 2 / ص 38/ح 528) و المستدرك على الصحيحين للحاكم - (ج 8 / ص 345/ح 3632) : عَنْ أَبِي أُمَامَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ ) مَا ضَلَّ قَوْ مٌ بَعْدَ هُدًى كَا نُوا عَلَيْهِ إِلاَّ أُوتُوا الْجَدَ لَ ثُمَّ تَلاَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ هَذِهِ اْلآ يَةَ { مَا ضَرَبُوهُ لَكَ إِلَّا جَدَلًا بَلْ هُمْ قَوْمٌ خَصِمُونَ }(
Dari [Abu Umamah] berkata: Rasulullah r bersabda: "Tidaklah suatu kaum tersesat setelah mendapat petunjuk yang ada pada mereka melainkan karena mereka suka berbantah-bantahan." Kemudian beliau membaca ayat ini: "Mereka tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu melainkan dengan maksud membantah saja, sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar." (QS Az Zukhruuf (43) : 58)[13]
صحيح البخاري - (ج 8 / ص 336/ح 2277) و صحيح مسلم - (ج 13 / ص 150/ح 4821) : عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ )اِنَّ أَ بْغَضَ الرِّجَالِ اِلَى اللهِ اْلأَ لَدُّ الخَصِمُ(
Tidak diragukan lagi bahwa orang yang tidak taslim kepada Rasulullah r, maka telah berkurang tauhidnya. Orang yang berkata dengan ra'yunya (logikanya), hawa nafsunya atau taqlid kepada orang yang mempunyai ra'yu dan mengikuti hawa nafsu tanpa petunjuk dari Allah I, maka berkuranglah tauhidnya menurut kadar jauhnya ia dari ajaran Islam yang dibawa Rasulullah r. Sesungguhnya ia telah menjadikan sesembahan selain Allah I.
Allah I berfirman :
[1] Kajian Aqidah ini merujuk : (1) Buku “Syarah Aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah”, KaryaYazid Abdul Qadir Jawaz, Terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi’i, 2009, Bogor, dan sistematikanya menuruti sistematika yang disusun ustadz Abdul Qadir Jawaz dalam buku tersebut ; (2) Buku “Risalah Tauhid”, karya Syeikh Muhammad Abduh, Terbitan Bulan Bintang, cetakan VI, 1976, Jakarta ; (3) Buku “Kitab Tauhid” judul Asli “ At-Tauhid Lish Shaffits Tsani Al-Aliy”, Karya Tim Ahli Tauhid, Penerjemah Agus Hasan Bashori, Lc, Muraja’ah Tim Darul Haq, Terbitan Darul Haq, cetakan V, 2003, Jakarta ; (4) Buku “Kitab Tauhid” judul Asli “ At-Tauhid Lish Shaffits Tsani Al-Aliy”, Karya DR Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al Fauzan, Penerjemah Ainul Haris Arifin, Lc, Muraja’ah Muhammad Yusuf Harun, MA, Terbitan Darul Haq, cetakan I, 1999, Jakarta ; (5) Buku Tauhidullah : Qawaidul Aqaid fit Tauhid, Iljamul Awam fi Ilmil Kalam, Fashl at-Tafriqah, Ar-Risalah al Qudsiyah fi Qawa’idil ‘Aqaid, Imam Al Ghazali, Terbitan Darul Fikr, Cet I, 1996, Beirut, Lebanon ; (6) Buku “Kembali Kepada AlQur’an dan As-Sunnah”, karya KH Munawar Chalil, Terbitan Bulan Bintang, cetakan VIII, 1991.
[2] Lihat Buhuuts fii ‘Aqiidah Aklis Sunnah wal Jama’ah (hal 44-45), Mujmal Ushuul Ahlis Sunnah Wal Jama’ah fil ‘Aqidah (hal 5-9) karya Dr. Nashir bin ‘Abdil Karim al’Aql, diambil dari Yazid bin Abdul Qadir Jawas : “Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah”, hal. 40, cet. 7, Pustaka Imam Syafe’i, 2009, Bogor.
[3] Hadits ahad adalah hadits yang tidak mencapai derajat mutawatir, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi atau lebih, tetapi periwayatannya dalam jumlah yang terhitung atau hadits ahad ialah hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits mutawatir atau tidak tidak memenuhi sebagian dari syarat-syarat mutawatir. Lihat Nukhbatul Fikr oleh al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani dan Manhajul Imaam asy-Syafi’i fii Itsbatil ‘Aqiidah (I/106), diambil dari Yazid bin Abdul Qadir Jawas : “Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah”, hal. 40, cet. 7, Pustaka Imam Syafe’i, 2009, Bogor.
[4] Lihat an-Nukat 'alaa Nuz-hatin Nazhar Syarah Nukhbatil Fikr (hal 70-71) oleh syaikh 'Ali bin Hasan bin 'Ali al-Atsari, diambil dari Yazid bin Abdul Qadir Jawas : “Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah”, hal. 40, cet. 7, Pustaka Imam Syafe’i, 2009, Bogor.
[5] Lihat Manhajul Imaam asy-Syafi'I fii Itsbaatil 'Aqidah (I/112) oleh Dr Muhammad bin 'Abdul Wahhab al-'Aqiil, diambil dari Yazid bin Abdul Qadir Jawas : “Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah”, hal. 40, cet. 7, Pustaka Imam Syafe’i, 2009, Bogor.
[6] Mudzakkirah fii Ushuulil Fiqh (hal 124) cet. III/Maktabatul 'Uluum wal Hikam, th 1425 H, diambil dari Yazid bin Abdul Qadir Jawas : “Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah”, hal. 56, cet. 7, Pustaka Imam Syafe’i, 2009, Bogor.
[7] Lihat al-Madkhal li Diraasatil 'Aqidah al-Islamiyah 'alaa Madzhab Ahlis Sunnah wal Jamaa'ah (hal 28) oleh Dr. Ibrahim bin Muhammad al-Buraikan, cet. II/Darus Sunnah, th. 1414 H, diambil dari Yazid bin Abdul Qadir Jawas : “Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah”, hal. 57, cet. 7, Pustaka Imam Syafe’i, 2009, Bogor.
[8] Al Ibaanah Libni Baththah (I/260. No 97), diambil dari Yazid bin Abdul Qadir Jawas : “Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah”, hal. 57, cet. 7, Pustaka Imam Syafe’i, 2009, Bogor.
[9] HR Bukhari di dalam kitaabut Tauhid. Lihat Fathul Baari (XIII/503), diambil dari Yazid bin Abdul Qadir Jawas : “Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah”, hal. 58, cet. 7, Pustaka Imam Syafe’i, 2009, Bogor.
[10] HR Ahmad (juz 13/hal 453/hadits no. 6515), "Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf (no. 20367), Ibnu Majah (no. 85), Al-Bukhari dalam Khalqu Af'alul 'Ibaad (hal. 43), Al-Baghawi (no 121) sanadnya hasan, dari sahabat 'Amr bin Syua'ib dari ayahnya dari kakeknya. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Muhammad Syakir dalam Tahqiiq Musnad Imaam Ahmad (no. 6668, 6702), diambil dari Yazid bin Abdul Qadir Jawas : “Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah”, hal. 58, cet. 7, Pustaka Imam Syafe’i, 2009, Bogor.
[11] Lihat Syarhul 'Aqiidah ath-Thahawiyyah, takhrij dan ta'liq Syu'aib al-Arnauth dan 'Abdullah bin 'Abdul Muhsin at-Turki (hal. 233), diambil dari Yazid bin Abdul Qadir Jawas : “Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah”, hal. 61, cet. 7, Pustaka Imam Syafe’i, 2009, Bogor.
[12] HR Al Bukhari dalam Shahihnya (no. 1384) dan Muslim dalam Shahihnya (no. 2659), dari sahabat Abu Hurairah
[13] At-Tirmidzi berkata : "Hadits ini hasan shahih". Hadits ini dishahihkan oleh Al Hakim dan disetujui oleh adz-Dzahabi, diambil dari Yazid bin Abdul Qadir Jawas : “Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah”, hal. 50, cet. 7, Pustaka Imam Syafe’i, 2009, Bogor.
[14] Beliau adalah ummul Mukminin. Nama lengkapnya 'Aisyah bintu Abu Bakar ash-Shiddiq , isteri Rasulullah yang dinikahi di Makkah pada waktu berusia enam tahun. Nabi hidup bersamanya di Madinah ketika dia berusia Sembilan tahun pada tahun kedua hijriyah, dan tidak menikah dengan perawan selainnya. Dia adalah istri yang paling dicintai diantara istri-istri yang lainnya. Dia banyak menghafal hadits Nabi dan wanita yang paling cerdas dan paling 'alim. Rasulullah wafat saat 'Aisyah berusia 18 tahun, 'Aisyah wafat tahun 58 H dalam usia 67 tahun. Dimakamkan di Baqi, Madinah an-Nabawiyyah. Lihat al-Ishaabah fii Tamyiizish Shahabah karya al Hafizh Ibnu Hajar Al 'Asqalani (IV/359, no. 704), cet. Daarul Fikr, diambil dari Yazid bin Abdul Qadir Jawas : “Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah”, hal. 50, cet. 7, Pustaka Imam Syafe’i, 2009, Bogor.