Al Qur'an

يَا بُنَيَّ أَقِمِ الصَّلاَ ةَ وَ أْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَ انْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَ اصْبِرْ عَلَى مَا أَصَا بَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ اْلأُمُور [لقمان/17]

Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). (QS. Lukmaan (31) : 71

SILAHKAN DISEBARKAN

SILAHKAN DIPERBANYAK / DISEBARKAN DENGAN COPY PASTE ASAL SEBUTKAN SUMBERNYA, TERIMA KASIH

Rabu, 17 Agustus 2011

Tafakur Mengenai Harta Kekayaan (Bagian 2) :



Harta kekayaan yang berkah menjadi sebuah kebaikan, pilar utama kehidupan, dan senjata perjuangan dakwah. [1]




Harta kekayaan yang tak terkendali serta banyak, akan menghasilkan kerusakan pada pemegangnya, juga kerusakan pada dunia ini, dengan demikian Islam menegaskan bahwa harta kekayaan adalah ujian yang harus diwaspadai dan disikapi secara benar, Islam juga tidak mengingkari betapa besar peranan harta kekayaan bagi umat manusia. Al Qur’an mensifati harta kekayaan sebagai Al-qiyam , tiang dan pilar utama kehidupan. Tanpa harta kekayaan, kehidupan manusia akan runtuh. Allah I berfirman :


وَ لاَ   تُؤْ تُوا  السُّفَهَاءَ  أَمْوَ ا لَكُمُ  الَّتِي  جَعَلَ  اللَّهُ   لَكُمْ   قِيَامًا  [النساء/5]
Dan janganlah kamu serahkan (harta) kepada orang yang belum sempurna akalnya, [2] harta (mereka yang ada dalam kekuasaan) kamu yang Dijadikan Allah sebagai Al qiyaam ( pilar / pokok kehidupan). (QS An-Nisaa (4) : 5)

Imam Ibnu Katsir berkata : “Allah melarang (seorang wali anak yatim) untuk memberi kesempatan kepada anak-anak yang belum sempurna akalnya untuk mempergunakan sendiri harta-harta mereka. Karena Allah telah menjadikan harta kekayaan bagi umat manusia sebagai qiyaam , yaitu suatu hal yang dengannya kehidupan mereka bisa tegak, baik berupa perdagangan maupun selainnya.

(السُّفَهَاءَ),  Sufaha’ adalah bentuk jamak dari kata safiih. Maknanya adalah seorang yang lemah akal, sempit pandangan, picik wawasan, dan tidak mampu membedakan antara hal yang membawa manfaat dan hal-hal yang membawa madharat. Menurut Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, Al Hakam bin ‘Uyainah, Al Hasan Al Bashri dan Ad-Dhahak, yang dimaksud dengan Sufaha’ dalam ayat ini adalah anak-anak dan kaum wanita. Menurut Sa’id bin Jubair, mereka adalah anak-anak yatim. Sementara menurut Mujahid, Ikrimah, dan Qatadah, adalah kaum wanita”. [3]

Harta kekayaan yang banyak bahkan disifati oleh Allah I sebagai al-Khair, kebaikan.  Seperti disebutkan dalam firman Allah I :


كُتِبَ   عَلَيْكُمْ   إِذَ ا  حَضَرَ   أَحَدَكُمُ   الْمَوْتُ  إِنْ  تَرَ كَ  خَيْرً ا  الْوَصِيَّةُ   لِلْوَ الِدَ يْنِ   وَ  اْلأَ قْرَ  بِينَ   بِالْمَعْرُوفِ  حَقًّا عَلَى  الْمُتَّقِينَ  [البقرة/180]
Diwajibkan atas kalian, apabila maut hendak menjemput seseorang di antara kalian, jika dia meninggalkan Al-Khair  (harta), wajib baginya berwasiat untuk kedua orang tuanya dan karib kerabatnya dengan cara yang ma’ruf (penuh keadilan dan kebaikan), ini adalah (sebagai) kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa  (QS Al Baqarah (2) : 180) [4]

وَ  إِ نَّهُ   لِحُبِّ   الْخَيْرِ  لَشَدِ يدٌ  [العاديات/8]
dan sesungguhnya (manusia itu sangat bakhil) karena cintanya ( yang mendalam) kepada  Al-Khair, yaitu harta kekayaan yang benar-benar berlebihan. (QS Al ‘Adiyaat (100) : 8)


Imam Ibnu Katsir berkata : “Makna dari (تَرَ كَ  خَيْرً ا) ‘ia meninggalkan al-khair’ adalah berupa harta kekayaan. Demikian dikatakan oleh Ibnu Abbas, Mujahid, Atha, Sai’id bin Jubair, Abu Al-‘Aliyah, Athiyah, Al-‘Aufi, Ad-Dhahak, As-Sudi, Ar-Rabi bin Anas, Muqatil bin Hayan, Qatadah dan lain-lain”. [5]

Para ulama berbeda pendapat tentang kadar harta yang bisa disebut al-khair. Menurut Ali bin Abi Thalib,  al-khair adalah harta yang lebih dari 400 dinar (senilai 1,7 kg emas). Abdullah bin Abbas berkata : “Barang siapa tidak meninggalkan 60 dinar (sekitar 255 gr emas), berarti tidak meninggalkan al-khair”. Thawus bin Kaisan Al Yamani berkata :” Tidak dianggap meninggalkan al-khair, jika seseorang yang meninggal, dimana kekayaannya kurang dari 80 dinar (sekitar 340 gr emas)”. Qatadah bin Da’amah As-Sadusi berkata : “Pada zaman dahulu biasa dikatakan al-khair adalah 1000 dinar (sekitar 4,25 kg emas)”. Namun pendapat yang kuat adalah pendapat yang menyebutkan bahwa jumlahnya berbeda-beda tergantung kepada siapa, dimana dan kapan harta berada. [6]

Imam Ibnu Katsir berkata :”Makna dari (وَ  إِ نَّهُ   لِحُبِّ   الْخَيْرِ  لَشَدِ يدٌ) ‘dan sesungguhnya (manusia itu sangat bakhil) karena cintanya (yang mendalam) kepada  Al-Khair, yaitu harta kekayaan yang benar-benar berlebihan’ adalah sesungguhnya manusia dalam mencintai al-khair, yaitu harta, begitu sangat kuatnya. Dalam menafsirkan makna ayat ini terdapat dua pendapat. Pertama : bahwa maknanya adalah manusia sangat mencintai harta kekayaan. Kedua : bahwa maknanya adalah manusia sangat tamak dan kikir disebabkan oleh kecintaannya kepada harta kekayaan. Kedua pendapat ini sama-sama benarnya”. [7]

Oleh karenanya Allah I juga menyebutkan harta kekayaan sebagai sebuah nikmat yang diingatkan kepada Rasulullah r untuk disyukuri, seperti dalam firman Allah I :

وَ  وَ جَدَ كَ  عَا ئِلاً    فَأَغْنَى  [الضحى/8]
Dan Dia (Allah) mendapatkan kamu sebagai seseorang yang kekurangan, maka Dia memberikan kecukupan kepadamu (QS. Ad-Dhuha (93) : 8)

Ayat yang mengingatkan harta kekayaan kepada Rasulullah r ini, didahului oleh dua sumpah :

وَ  الضُّحَى  (1)  وَ  اللَّيْلِ  إِذَ ا  سَجَى  (2) [الضحى/1، 2]
Demi waktu dhuha (sepenggalan matahari naik) ; Dan demi malam apabila telah sunyi senyap (QS. Ad-Dhuha (93) : 1 - 2)

Kedua sumpah ini merupakan sebuah bentuk penegasan yang sangat kuat, bahwa harta kekayaan adalah nikmat Allah I  yang sangat penting. Sebuah karunia yang harus senantiasa diingat, dijaga, dan dipergunakan secara tepat.

Rasulullah r sendiri menyebutkan harta kekayaan duniawi sebagai (بَرَكَاتِ  اْلأَرْضِ) barakat al-ardh , berkah-berkah dari bumi. Seperti diriwayatkan dalam sebuah hadits Shahih yang diriwayatkan Imam Bukhari.

صحيح البخاري - (ج 20 / ص 53/ح  5947) :  حَدَّ ثَنَا  إِسْمَاعِيلُ  قَالَ  حَدَّ ثَنِي  مَالِكٌ  عَنْ  زَ يْدِ  بْنِ  أَسْلَمَ  عَنْ  عَطَاءِ  بْنِ   يَسَارٍ  عَنْ  أَبِي  سَعِيدٍ  الْخُدْرِيِّ  قَالَ  قَالَ  رَسُولُ  اللَّهِ  صَلَّى  اللَّهُ  عَلَيْهِ  وَ سَلَّمَ ) إِنَّ  أَكْثَرَ  مَا  أَخَافُ  عَلَيْكُمْ  مَا  يُخْرِ جُ   اللَّهُ   لَكُمْ  مِنْ   بَرَكَاتِ  اْلأَرْضِ   قِيلَ  وَ  مَا   بَرَكَاتُ   اْلأَرْضِ   قَالَ   زَهْرَ ةُ   الدُّ  نْيَا  فَقَالَ  لَهُ رَجُلٌ  هَلْ   يَأْتِي  الْخَيْرُ  بِالشَّرِّ  فَصَمَتَ  النَّبِيُّ  صَلَّى  اللَّهُ  عَلَيْهِ  وَ سَلَّمَ  حَتَّى  ظَنَنَّا  أَ نَّهُ   يُنْزَلُ  عَلَيْهِ  ثُمَّ  جَعَلَ يَمْسَحُ  عَنْ  جَبِينِهِ  فَقَالَ  أَ يْنَ   السَّائِلُ  قَالَ  أَ نَا  قَالَ   أَ بُو  سَعِيدٍ  لَقَدْ  حَمِدْ نَاهُ  حِينَ  طَلَعَ   ذَلِكَ  قَالَ  لاَ   يَأْ تِي الْخَيْرُ  إِلاَّ  بِالْخَيْرِ   إِنَّ  هَذَا  الْمَالَ  خَضِرَ ةٌ  حُلْوَ ةٌ   وَ  إِنَّ   كُلَّ  مَا  أَ نْبَتَ  الرَّ بِيعُ   يَقْتُلُ  حَبَطًا  أَوْ   يُلِمُّ   إِلاَّ   آكِلَةَ الْخَضِرَ ةِ   أَكَلَتْ  حَتَّى  إِذَ ا  امْتَدَّتْ  خَاصِرَ تَاهَا  اسْتَقْبَلَتْ  الشَّمْسَ  فَاجْتَرَّتْ  وَ  ثَلَطَتْ  وَ  بَالَتْ  ثُمَّ عَادَتْ  فَأَ كَلَتْ  وَ  إِنَّ  هَذَ ا  الْمَالَ  حُلْوَ ةٌ   مَنْ  أَخَذَهُ   بِحَقِّهِ  وَ  وَضَعَهُ   فِي  حَقِّهِ   فَنِعْمَ   الْمَعُو نَةُ  هُوَ  وَ  مَنْ أَخَذَهُ   بِغَيْرِ  حَقِّهِ  كَانَ   كَالَّذِي   يَأْكُلُ  وَ  لاَ   يَشْبَعُ(

(HR. BUKHARI - 5947) : Telah menceritakan kepada kami Isma'il dia berkata; telah menceritakan kepadaku Malik dari Zaid bin Aslam dari 'Atha` bin Yasar dari Abu Sa'id Al khudri dia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: ("Sesungguhnya sesuatu yang paling aku takutkan menimpa kalian adalah sesuatu yang Allah keluarkan untuk kalian dari berkahnya bumi (barakat al-ardh)." Beliau ditanya; 'Apa maksud dari berkahnya bumi? ' Beliau menjawab: 'Yaitu perhiasan dunia.' Maka seseorang bertanya kepada beliau; 'Wahai Rasulullah, apakah mungkin kebaikan akan mendatangkan keburukan? ' Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam diam beberapa saat, hingga kami mengira (wahyu) diturunkan kepada beliau, kemudian beliau mengusap keningnya lalu bersabda: 'Di manakah orang yang bertanya tadi? ' Laki-laki itu berkata; 'Saya'.  Abu Sa'id berkata; 'Kami sempat memujinya ketika dia tiba-tiba muncul.' Beliau bersabda: 'Sesungguhnya kebaikan itu tidak mendatangkan kecuali kebaikan, sesungguhnya harta dunia ini adalah hijau dan manis, dan setiap sesuatu yang ditumbuhkan musim semi akan mematikan atau membinasakan, kecuali pemakan hijau-hijauan, dia makan sampai lambungnya telah melebar, kemudian menghadap matahari lalu berak, kencing dan kembali dan makan.  Dan sesungguhnya harta itu terasa manis, maka barang siapa yang mendapatkan kekayaan dengan cara yang benar dan meletakkan dengan cara yang benar pula, maka alangkah beruntungnya dia dan barang siapa yang mendapatkan kekayaan dengan cara yang tidak benar, maka perumpamaannya ibarat orang yang makan dan tidak pernah merasa kenyang.')

Rasulullah r terdiam sehingga aku (Abu Sa’id Al Khudry) mengira sedang turun wahyu kepada beliau r. Beliau r lantas mengusap dahinya sambil bertanya : “Mana orang yang bertanya tadi”. Laki-laki yang bertanya kini menjawab. “Saya, Ya Rasulullah!”. Abu Sa’id Al Khudry berkata : “Kami memujinya saat ia menampakkan dirinya kepada beliau”. Maka beliau r bersabda : Al-Khair (harta yang baik) tidak akan mendatangkan kecuali al khair (kebaikan pula). Sesungguhnya harta kekayaan itu hijau menyejukkan lagi manis menggiurkan”.

Al hafizh Abu Fadhl Ahmad bin Muhammad Al-Astqalani yang terkenal dengan julukan Ibnu Hajar Al-Astqalani (852 H) berkata : “Maksud dari sabda beliau ‘Apakah Al-Khair (harta kekayaan) bisa mendatangkan Al-Syar (keburukan)’, adalah apakah sebuah nikmat bisa berubah menjadi bencana?. Perhiasan dunia adalah nikmat dari Allah, apakah mungkin sebuah nikmat ini bisa menjadi bencana?”.

Disimpulkan dari sabda Rasulullah r : Al Khair tidak akan mendatangkan kecuali Al Khair, bahwa sekalipun rezeki berjumlah banyak, tetap merupakan sebuah kebaikan. Keburukan hanya menimpa kepada rezeki, ketika pemilik harta terjangkiti penyakit kekikiran dan memuaskan hawa nafsunya saja dengan rezeki harta tersebut. Keburukan dari harta ini sangat jelas diterangkan oleh Rasulullah r, bahwa keburukan harta itu bagi yang kikir membelanjakannya di jalan Allah I dan berjuang dengan harta tersebut, keburukan harta itu bagi yang kikir menolong orang yang berhak menerimanya dari golongan fakir, miskin, yatim dan yang lainnya, serta hanya memperturutkan keinginan nafsunya dengan sekehendaknya untuk hal-hal yang tak disyariatkan, mengakibatkan rezeki harta tersebut jatuh kepada seburuk-buruknya rezeki.

Disimpulkan pula dari hadits ini, bahwa sesuatu yang telah ditetapkan oleh Allah sebagai sebuah kebaikan, tidak akan berubah menjadi sebuah keburukan. Demikian pula sebaliknya. Hanya saja dikhawatirkan, orang yang telah dikaruniai rizki yang melimpah, tidak berhati-hati dalam mempergunakan ‘al khair ’ yang telah dimilikinya. Akibatnya ‘al khair ’tersebut justru mengakibatkan datangnya keburukan.

Dalam riwayat mursal dari Sa’id Al Maqbari yang diriwayatkan oleh Imam Sa’id bin Manshur menggunakan lafadz , “Apakah ia merupakan sebuah kebajikan ?, Apakah ia merupakan sebuah kebajikan ?, Apakah ia merupakan sebuah kebajikan ?”. Pertanyaan ini merupakan sebuah bentuk pertanyaan pengingkaran.

Maksudnya, sesungguhnya harta bukanlah kebaikan yang sejati, sekalipun disebut al-khair. Harta menjadi sebuah kebaikan sejati, ketika diinfakkan untuk jalan kebenaran. Demikian pula harta menjadi keburukan sejati, ketika kewajiban-kewajiban dalam harta tidak ditunaikan, dan harta justru dipergunakan untuk jalan  kebathilan. [8]

Al hafizh Ibnu Hajar Al-Astqalani (852 H) berkata : “Dalam hadits ini harta kekayaan dinamakan al-khair (kebaikan). Hal ini dikuatkan oleh firman Allah I :

وَ  إِ نَّهُ   لِحُبِّ   الْخَيْرِ  لَشَدِ يدٌ  [العاديات/8]
dan sesungguhnya (manusia itu sangat bakhil) karena cintanya ( yang mendalam) kepada  Al-Khair, yaitu harta kekayaan yang benar-benar berlebihan. (QS Al ‘Adiyaat (100) : 8)

Karena sangat pentingnya harta kekayaan ini, Allah I menganjurkan kaum beriman untuk khawatir bila meninggalkan anak keturunan mereka dalam keadaan lemah. Baik lemah dalam hal materi dan harta kekayaan duniawi, maupun lemah dalam hal iman dan harta kekayaan rohani. Allah I berfirman :

وَ  لْيَخْشَ  الَّذِينَ  لَوْ تَرَكُوا  مِنْ  خَلْفِهِمْ  ذُرِّ يَّةً   ضِعَافًا  خَافُوا  عَلَيْهِمْ  فَلْيَـتَّـقُوا  اللَّهَ  وَ   لْيَقُولُوا  قَوْ لاً  سَدِيدًا  [النساء/9]
Dan hendaklah takut (kepada Allah), yaitu orang-orang yang sekiranya (mati akan) meninggalkan di belakang mereka keturunan yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan)nya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah, dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar. (QS An-Nisaa (4) : 9)


Ibnu Abbas, Mujahid, dan para ulama salaf berkata : “Ayat ini berkenaan dengan seseorang yang akan meninggal. Ia (orang yang akan meninggal) memberikan wasiat yang membahayakan kepada para ahli warisnya, dan ada orang lain yang mendengar wasiat tersebut. Allah memerintahkan orang lain ini untuk takut kepada Allah, dan mencegah wasiat orang yang akan meninggal tersebut, dan membimbingnya menuju tindakan yang benar. Ia (walaupun orang lain dalam keluarga tersebut) hendaknya memperhatikan nasib para ahli waris orang yang akan meninggal ini, sebagaimana tindakan yang ia mesti lakukan terhadap para ahli waris dari keluarganya sendiri, yang ia khawatirkan nasib dari mereka terlunta-lunta karena kekurangan”.

Makna ayat ini ditegaskan dalam kisah sebuah hadits yang shahih dari Imam Bukhari.

صحيح البخاري - (ج 12 / ص 325 /ح 3643) : حَدَّ ثَنَا  يَحْيَى  بْنُ  قَزَعَةَ  حَدَّ ثَنَا  إِبْرَ اهِيمُ  عَنْ الزُّهْرِيِّ  عَنْ  عَامِرِ  بْنِ  سَعْدِ  بْنِ  مَالِكٍ  عَنْ  أَبِيهِ  قَالَ ) عَادَ نِي  النَّبِيُّ  صَلَّى  اللَّهُ  عَلَيْهِ  وَ سَلَّمَ  عَامَ  حَجَّةِ  الْوَدَاعِ   مِنْ  مَرَضٍ  أَشْفَيْتُ  مِنْهُ  عَلَى  الْمَوْتِ  فَقُلْتُ   يَا رَسُولَ  اللَّهِ  بَلَغَ  بِي  مِنْ  الْوَجَعِ  مَا  تَرَى  وَ  أَ نَا  ذُو  مَالٍ وَ لاَ  يَرِ ثُنِي  إِلاَّ ابْنَةٌ  لِي  وَ احِدَةٌ   أَفَأَ تَصَدَّقُ  بِثُلُثَيْ  مَالِي  قَالَ  لاَ  قَالَ  فَأَتَصَدَّقُ   بِشَطْرِ هِ  قَالَ  الثُّلُثُ   يَا سَعْدُ وَ الثُّلُثُ  كَثِيرٌ  إِ نَّكَ   أَنْ  تَذَرَ  ذُرِّ يَّتَكَ  أَغْنِيَاءَ  خَيْرٌ  مِنْ  أَنْ تَذَرَهُمْ  عَالَةً   يَتَكَفَّـفُونَ  النَّاسَ  وَ  لَسْتَ   بِنَافِقٍ نَفَقَةً  تَبْتَغِي   بِهَا  وَجْهَ   اللَّهِ  إِلاَّ   آجَرَ كَ   اللَّهُ   بِهَا  حَتَّى  اللُّقْمَةَ   تَجْعَلُهَا  فِي امْرَ أَتِكَ  قُلْتُ   يَا  رَسُولَ  اللَّهِ أُخَلَّفُ  بَعْدَ  أَصْحَابِي  قَالَ  إِ نَّكَ  لَنْ  تُخَلَّفَ  فَتَعْمَلَ  عَمَلاً   تَبْتَغِي   بِهَا  وَجْهَ  اللَّهِ   إِلاَّ  ازْدَدْتَ  بِهِ  دَرَجَةً  وَ رِفْعَةً  وَ  لَعَلَّكَ   تُخَلَّفُ  حَتَّى   يَنْتَفِعَ  بِكَ   أَقْوَ امٌ   وَ  يُضَرَّ بِكَ   آخَرُونَ  اللَّهُمَّ   أَمْضِ   ِلأَصْحَابِي  هِجْرَ تَهُمْ   وَ  لاَ   تَرُدَّهُمْ   عَلَى  أَعْقَابِهِمْ  (

(HR. BUKHARI - 3643) : Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Qaza'ah telah menceritakan kepada kami Ibrahim dari Az Zuhri dari 'Amir bin Sa'ad bin Malik dari bapaknya berkata ;

( "Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menjengukku pada waktu hajji wada' ketika aku sakit yang tidak menyebabkan kematian.

Aku berkata; "Wahai Rasulullah, aku rasakan sakitku semakin parah. Bagaimana pendapat anda, aku memiliki banyak harta namun aku tidak memiliki orang yang akan mewarisinya kecuali satu anak perempuanku. Apakah aku boleh mensedekahkan dua pertiga hartaku?".

Beliau menjawab: "Tidak".

Dia berkata; "Apakah boleh aku bersedekah seperduanya?".

Beliau menjawab: "Sepertiga, wahai Sa'ad. Dan sepertiga itu sudah banyak. Sesungguhnya bila kamu meninggalkan keturunanmu dalam keadaan berkecukupan itu lebih baik daripada kamu meninggalkan mereka dalam keadaan miskin, lalu mereka mengemis meminta-minta kepada manusia. Dan tidaklah kamu menafkahkan suatu nafaqah (harta) semata-mata mencari wajah (ridla) Allah melainkan Allah pasti akan memberimu balasannya, sekalipun satu suap makanan yang kamu berikan pada mulut istrimu."

Aku bertanya; "Wahai Rasulullah, apakah aku diberi umur panjang setelah shahabat-shahabatku?.

Beliau bersabda: "Tidaklah sekali-kali engkau diberi umur panjang lalu kamu beramal shalih melainkan akan bertambah derajat dan kemuliaanmu. Dan semoga kamu diberi umur panjang sehingga orang-orang dapat mengambil manfaat dari dirimu dan juga mungkin dapat mendatangkan madlorot bagi kaum yang lain. Ya Allah sempurnakanlah pahala hijrah shahabat-shahabatku dan janganlah Engkau kembalikan mereka ke belakang." )


[1]  Faiz Abdurrahman Al Fauzan, Menjadi Jutawan Dunia Akhirat, roemah buku , cetakan 1, Desember 2007, Solo.
[2]  Orang yang belum sempurna akalnya ialah anak yatim yang belum balig (dewasa) atau orang dewasa yang tidak dapat mengatur harta bendanya
[3]  Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur’an Al-‘Azhiim, 1/558
[4]  Wasiat itu tidak melebihi sepertiga dari selu-ruh harta orang yang berwasiat. Ayat ini khusus untuk ahli waris dinasakh (diganti hukumnya) dengan ayat tentang waris Q.S. 4 an-Ni-sā’: 11
[5]   Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur’an Al-‘Azhiim, 4/664 : 
[6]   Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur’an Al-‘Azhiim, 1/264 :  Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir Al Quranul Hakim, 11/274.
[7]   Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur’an Al-‘Azhiim, 4/664
[8]   Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fath Al-Baari, Syarh Shahih Al Bukhari, 14/377-378.