Al Qur'an

يَا بُنَيَّ أَقِمِ الصَّلاَ ةَ وَ أْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَ انْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَ اصْبِرْ عَلَى مَا أَصَا بَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ اْلأُمُور [لقمان/17]

Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). (QS. Lukmaan (31) : 71

SILAHKAN DISEBARKAN

SILAHKAN DIPERBANYAK / DISEBARKAN DENGAN COPY PASTE ASAL SEBUTKAN SUMBERNYA, TERIMA KASIH

Sabtu, 27 Agustus 2011

Etika Dialog : Menjaga Diri Dari Perdebatan Dan Berbantah-bantahan




Kebanyakan manusia, jika duduk dengan temannya atau dengan kelompoknya, maka cenderung untuk mengumbar lisan. Kadang-kadang salah satu diantara mereka memancing permasalahan. Yang lain menanggapi. Lalu terjadilah perdebatan atau berbantah-bantahan. Padahal berbantah-bantahan itu termasuk perbuatan yang dilarang. Bukankah Rasulullah r telah bersabda :

سنن الترمذي - (ج 7 / ص 273/ح 1918) و  مسند أبي يعلى الموصلي - (ج 15 / ص 298/ح 7323)  :   حَدَّ ثَنَا  زِيَادُ  بْنُ   أَ يُّوبَ   الْبَغْدَ ادِيُّ  حَدَّ ثَنَا  الْمُحَارِ بِيُّ  عَنِ  اللَّيْثِ  وَ  هُوَ   ابْنُ   أَبِي  سُلَيْمٍ عَنْ   عَبْدِ الْمَلِكِ   عَنْ   عِكْرِمَةَ  عَنِ ابْنِ  عَبَّاسٍ  عَنِ  النَّبِيِّ   صَلَّى  اللَّهُ   عَلَيْهِ  وَ  سَلَّمَ   قَالَ  )  لاَ   تُمَارِ   أَخَاكَ   وَ  لاَ   تُمَازِحْهُ   وَ  لاَ   تَعِدْ هُ   مَوْعِدَ ةً   فَتُخْلِفَهُ (

Dari Ibnu Abbas t, ia mendapatkan khabar dari Nabi r, beliau bersabda : ("Janganlah kamu berbantah-bantahan dengan saudaramu, janganlah kamu bersenda gurau dengannya dan janganlah kamu berjanji kepadanya dengan suatu janji, lalu kamu tidak menepatinya")

إحياء علوم الدين - أبو حامد الغزالي - (ج 2 / ص 317)  :   قال  النَّبِيِّ   صَلَّى  اللَّهُ   عَلَيْهِ  وَ  سَلَّمَ  )  ذَرُوا   اْلمِرَ اءَ   فَإِنَّهُ   لاَ   تُفْهَمَ   حِكْمَتُهُ   وَ  لاَ  تُؤْمَنُ   فِتْنَتُهُ  (
Selanjutnya Rasulullah r bersabda : ("Tinggalkanlah berbantah-bantahan, karena berbantah-bantahan itu, tidak dapat difahami hikmahnya dan tidak dapat dijamin aman dari fitnahnya".[1])

إحياء علوم الدين - أبو حامد الغزالي - (ج 2 / ص 317)  :  قال النَّبِيِّ   صَلَّى  اللَّهُ   عَلَيْهِ  وَ  سَلَّمَ  ) مَنْ   تَرَ كَ   اْلمِرَ اءَ  وَ  هُوَ   يُحِقُّ    بُنِيَ  لَهُ   بَيْتٌ  فِي   أَعْلىَ   اْلجَنَّةِ  وَ  مَنْ   تَرَ كَ   اْلمِرَ اءَ  وَ  هُوَ   مُبْطِلٌ     بُنِيَ  لَهُ    بَيْتٌ  فِي   رَ بْضِ  اْلجَنَّةِ (
Selanjutnya Rasulullah r bersabda : ("Barang siapa meninggalkan berbantah-bantahan, padahal ia dipihak yang benar, maka Allah akan membangunkan rumah untuknya di surga yang paling tinggi. Dan barang siapa meninggalkan berbantah-bantahan, sedangkan ia di pihak yang salah maka ia akan dibangunkan rumah di tengah-tengah surga".[2])

إحياء علوم الدين - أبو حامد الغزالي - (ج 2 / ص 317)  :   عن   أم   سلمة   رضي   الله  عنها  قالت :   قال  رسول   الله  صلى  الله  عليه   و سلم  )  إِنَّ   أَ وَّ لُ  مَا عَهِدَ  إِلَيَّ  رَ بِّي   وَ  نَهَانِي  عَنْهُ   بَعْدَ  عِبَادَ ةِ   اْلأَوْثَانِ   وَ  شَرْ بِ   اْلخَمْر  ِمُلاَحَاةُ   الرِّجَالِ (
Dari Ummi Salamah t menerangkan bahwa Rasulullah r bersabda : ("Sesungguhnya yang pertama kali diberitahukan Tuhan kepadaku dan dilarang untuk melakukannya setelah menyembah berhala dan meminum khamr adalah menantang orang".[3])

سنن الترمذي - (ج 11 / ص 51/ح 3176) و سنن ابن ماجه - (ج 1 / ص 55/ح 47) و مسند أحمد - (ج 45 / ص 138/ح 21143) و المستدرك على الصحيحين للحاكم - (ج 8 / ص 345/ح 3632)  :  حَدَّ ثَنَا  عَبْدُ  بْنُ  حُمَيْدٍ  حَدَّ ثَنَا  مُحَمَّدُ  بْنُ   بِشْرٍ   الْعَبْدِ  يُّ  وَ  يَعْلَى   بْنُ  عُبَيْدٍ  عَنْ  حَجَّاجِ  بْنِ  دِينَارٍ  عَنْ أَبِي  غَالِبٍ  عَنْ  أَبِي  أُمَامَةَ   قَالَ   قَالَ  رَسُولُ   اللَّهِ   صَلَّى  اللَّهُ   عَلَيْهِ  وَ  سَلَّمَ  ) مَا  ضَلَّ   قَوْمٌ    بَعْدَ  هُدًى  كَا نُوا   عَلَيْه  ِ إِلاَّ   أُوتُوا  الْجَدَ لَ (
Dari Abu Umamah t, dia berkata, telah bersabda Rasulullah r : ("Tidaklah suatu kaum menjadi tersesat ,setelah diberi petunjuk oleh Allah atasnya, kecuali mereka mendatangi (membiasakan) perdebatan".)

إحياء علوم الدين - أبو حامد الغزالي - (ج 2 / ص 317)  :  و قال  أيضاً  ) لاَ  يَسْتَكْمِلُ  عَبْدُ  حَقِيْقَةُ  اْلإِ يْمَانِ  حَتَّى  يَدَعَ   اْلمِرَ اءَ  وَ إِنْ  كَانَ مُحِقّاً (
Rasulullah r juga bersabda : (Tidaklah sempurna hakikat iman seseorang hamba, sehingga ia meninggalkan perbuatan berbantahan meskipun ia di pihak yang benar".[4])

إحياء علوم الدين - أبو حامد الغزالي - (ج 2 / ص 317)  : و قال  عمر  بن  عبد  العزيز  رحمة  الله  عليه  :  من  جعل  دينه  عرضة   للخصو مات  أكثر  التنقل.
Umar bin Abdul Aziz Rahmatullah alaihi berkata : ("Barang siapa menjadikan agamanya sebagai alat permusuhan, niscaya ia banyak berpindah-pindah tempat")

و قال  مسلم  بن  يسار :  إياكم  و المراء  فإنه  ساعة  جهل  العالم  و  عندها   يبتغي  الشيطان  زلته.  و قيل: ما  ضل  قوم  بعد إذ هداهم  الله  إلا  بالجدل.
Muslim bin Yasar t berkata : ("Jauhilah berbantah-bantahan sesungguhnya berbantah-bantahan itu adalah saat bodohnya orang alim (orang yang berilmu) dan pada saat itulah syetan mengharapkan tergelincirnya (ke arah dosa)" )

إحياء علوم الدين - أبو حامد الغزالي - (ج 2 / ص 317)  : و قال  مالك  بن  أنس  رحمة  الله  عليه :   ليس  هذا  الجدل  من  الدين   في   شيء. و  قال  أيضاً :  المراء  يقسي  القلوب  و  يورث  الضغائن.
Malik bin Anas t berkata : ("Perdebatan itu tidak termasuk agama sedikitpun". Kemudian dia berkata lagi : "Berbantah-bantahan itu mengeraskan hati dan menimbulkan kedengkian".)

إحياء علوم الدين - أبو حامد الغزالي - (ج 2 / ص 317)  : و قال  بلال  بن  سعد :   إذا  رأيت  الرجل   لجوجاً   مما رياً  معجباً  برأيه   فقد  تمت خسارته.
Bilal bin Sa'ad t berkata : ("Apabila kamu melihat dan mengetahui seseorang yang keras kepala, suka berbantah-bantahan, dan membanggakan pendapatnya, maka telah sempurnalah kerugiannya".)

إحياء علوم الدين -  أبو حامد الغزالي -  (ج 2 / ص 317)  : و  قال   عمر  رضي  الله  عنه :   لا  تتعلم  العلم  لثلاث   و  لا   تتركه   لثلاث.  لا تتعلمه  لتتمارى  به، و  لا   لتباهي  به،  و  لا   لترائي  به.  و  لا  تتركه  حياء  من  طلبه،  و  لا  زهادة   فيه، و  لا رضا  بالجهل به.
Umar bin Khatab t berpesan : ("Janganlah kamu mempelajari ilmu karena tiga hal dan janganlah kamu meninggalkan ilmu karena tiga hal, yaitu : Janganlah kamu mempelajari ilmu untuk berbantah-bantahan dengannya, janganlah kamu mempelajari ilmu untuk berbangga-banggaan dengannya, dan  janganlah kamu mempelajari ilmu untuk riya dengannya. Dan janganlah kamu tinggalkan belajar ilmu karena malu mempelajarinya, janganlah kamu meninggalkan belajar suatu ilmu karena zuhud terhadap ilmu, dan janganlah meninggalkan belajar karena ridha terhadap kebodohan".)

إحياء علوم الدين -  أبو حامد الغزالي -  (ج 2 / ص 317)  : و قال  عيسى  عليه  السلام  من  كثر  كذبه  ذهب  جماله  و من  لاحى   الرجال سقطت   مروءته   و  من  كثر همه   سقم   جسمه  و  من   ساء   خلقه  عذب  نفسه.
Nabi Isa bersabda : ("Barang siapa yang banyak berbohong maka hilanglah keindahannya. Barang siapa yang suka berbantah-bantahan maka runtuhlah harga dirinya. Barang siapa yang banyak susahnya maka sakitlah tubuhnya. Barang siapa yang buruk budi pekertinya, pasti ia menyiksa dirinya".)

إحياء علوم الدين -  أبو حامد الغزالي -  (ج 2 / ص 317)  : و  قيل  لميمون  بن  مهران : ما لك  لا  تترك  أخاك  عن  قلى؟  قال :  لأ ني  لا أشاريه  و  لا   أماريه.
Seseorang bertanya kepada Maimun bin Mahran, ("Mengapa temanmu tidak meninggalkanmu ketika ia marah?". Maimun menjawab, "Karena aku tidak melawan dan tidak membantahnya".)

Sesungguhnya keterangan tentang keburukan berbantah-bantahan dan berdebat itu lebih banyak daripada yang telah disebutkan. Dan batasan tentang berbantah-bantahan adalah setiap pertentangan mengenai perkataan orang lain, dengan cara menampakkan atau mencari-cari kelemahan dan kekurangannya, baik mengenai uraian kata, pengertian yang dimaksud, atau mengenai maksud orang yang berkata, sehingga meninggalkan kesan ingkar dan pertentangan.

Setiap kali kita mendengar perkataan yang benar, maka hendaklah kita benarkan. Jika perkataan yang kita dengar itu salah dan berbau kebohongan, serta tidak ada kaitannya dengan urusan agama, maka hendaklah kita tahan lisan kita untuk diam. Adapun kesalahan perkataan orang lain baik dari segi kaidah nahwu dan hambarnya uraian bahasannya, maka kita harus memakluminya, kadang-kadang karena keterbatasan ilmu pengetahuannya, atau ada kalanya karena kesalahan kecil yang terjadi dengan terselipnya lidah. Maka bagaimanapun juga tidak ada alasan bagi kita untuk mempertentangkan perkataan tersebut.

Adapun sebuah contoh kalimat perdebatan (pertentangan) mengenai makna perkataan, misalnya sebagai berikut : "Pendapatku tidaklah seperti apa yang kau katakan dan pengertianmu salah dari segi ini dan itu".

Sedangkan sebuah contoh perdebatan mengenai maksud perkataan adalah seperti berikut : "Perkataan ini memang benar, tetapi bukan mencari kebenaran yang kamu maksudkan dengan perkataan itu, melainkan dengan perkataan itu kamu mempunyai maksud tertentu untuk mencari-cari pembenaran". Dan perkataan-perkataan lainnya yang senada.

Jenis perdebatan seperti ini jika terjadi di forum-forum ilmiah disebut diskusi atau bedah tuntas, atau dialog. Ini juga tercela jika didalamnya hanya berisi untuk menjatuhkan dan melecehkan seseorang, golongan atau kelompok, sehingga memperlebar jurang perbedaan dan tidak mempersatukan.

Adapun batasan berdebat adalah mengajukan ta'bir (dasar) dengan maksud agar orang lain terdiam, sehingga tampaklah kekurangan dan kelemahannya dengan menyudutkan pola fikirnya, pola amalnya dan hasil amalannya, sehingga tampaklah keteledoran dan kebodohan orang tersebut.

Tanda-tanda orang berdebat adalah jika memberikan keterangan tentang kebenaran, ia menggunakan cara yang tidak disukai lawan bicaranya. Dengan demikian ia dapat menunjukkan kesalahan atau kelemahan lawannya. Dengan begitu maka nampaklah kelebihan pada dirinya. Perbuatan itulah yang terkadang tidak kita sadari, dan membuat kita tidak bisa menghindar dari perdebatan jika dilayani, kecuali diam dari setiap apa yang tidak berdosa jika didiamkan.

Adapun faktor yang mendorong untuk berdebat adalah (1) karena ada rasa ambisi memamerkan kelebihan ilmu dan kepintarannya, dan (2) berambisi pula untuk menjatuhkan orang lain dengan cara menampakkan kelemahannya atau kekurangan lawan bicaranya.

Kedua ambisi tersebut merupakan nafsu batiniyah yang sangat kuat dan menguasai perasaan seseorang. Memamerkan kelebihan merupakan sebagian dari sifat merasa sok suci, sok benar, dan sok pahlawan. Sifat itu adalah desakan kedurhakaan seseorang karena menilai dirinya terlalu tinggi, sekaligus bentuk ketakjuban terhadap dirinya sendiri, dan mengagungkan dirinya. Bukankah mengagungkan diri termasuk sifat ketuhanan, sehingga dia jatuh kedalam kemusyrikan dan ketakaburan. Sedangkan menjatuhkan orang lain merupakan desakan sifat kebuasan (kebinatangan). Bukankah sifat kebinatangan ini menuntut untuk mencabik-cabik, membinasakan dan menyakiti orang lain.

Sifat kebuasan dan kebinatangan yang kita miliki itu sesungguhnya akan membahayakan diri kita. Dua sifat itu akan tumbuh dengan subur, jika kita selalu memberi makanan dengan perbuatan berbantah-bantahan dan berdebat. Karena itu orang yang rajin berbantah-bantahan dan berdebat, secara tidak langsung memperkuat sifat-sifat tersebut. Hal itu melampaui batas-batas makruh. Bahkan merupakan perbuatan maksiat ketika kita menyakiti atau menyinggung perasaan orang lain.

Sesungguhnya perdebatan itu tidak bisa terlepas dari tindakan menyakiti hati orang lain yang menjadi lawan bicara kita, serta dapat membangkitkan kemarahan lawan bicara kita. Disamping itu dapat menyeret orang – yang sebenarnya menghindari perdebatan - untuk ikut bergabung dan berusaha memenangkan perkataan dengan segala cara, baik dengan cara benar ataupun dengan cara tercela.

Ujung-ujungnya, kita akan mencela dan memojokkan lawan bicara kita. Akibatnya timbullah pertengkaran antara kita dengan orang yang diajak berdebat, seperti halnya dua ekor anjing, dimana keduanya saling menerkam dan menggigit dengan berbagai cara menggunakan kecerdikannya.

Adapun cara mengatasinya adalah dengan menghancurkan kesombongan yang mendorong untuk memamerkan kelebihan kita. Menghancurkan ambisi kebinatangan kita yang mendorong untuk menjatuhkan dan mempermalukan orang lain. Sesungguhnya cara yang paling mudah untuk mengobati penyakit ini adalah dengan memberantas dan menghindari sebab-sebab yang dapat menimbulkannya.

Kebiasaan berdebat akan menjadi watak yang bisa menetap dalam jiwa kita. Hal itu akan sangat memberatkan diri kita untuk bisa bersabar dalam menahan lisan kita (sabar sehingga kita bisa diam). Sebagaimana dikisahkan bahwa Abu Hanifah t, pernah menegur kepada Dawud At-thai t, beliau berkata : "Mengapa engkau duduk di pojok begitu?". Dawud At-Thai t menjawab, "Sesungguhnya aku memerangi diriku dengan meninggalkan perdebatan". Abu Hanifah t berkata lagi, "Datangilah majelis-majelis dan dengarkanlah apa yang dikatakannya serta tahanlah dirimu,  janganlah engkau berbicara". Dawud At-Thai t lalu menjalankan nasehat Abu Hanifah t, ternyata tidak ada peperangan yang lebih berat daripada hal itu, dia (Dawud At-Tha.i t) ingin mendebat dan menyalahkan apa yang diucapkan orang dalam majelis. Karena Dawud At-Thai t , adalah orang yang dapat mendengarkan kesalahan orang lain, serta mampu membuka kesalahan orang itu, dan dia sulit  untuk menahan dirinya untuk tidak berbicara. Rasulullah r bersabda :

) مَنْ   تَرَ كَ   اْلمِرَ اءَ  وَ  هُوَ   يُحِقُّ    بُنِيَ  لَهُ   بَيْتٌ  فِي   أَعْلىَ   اْلجَنَّةِ  وَ  مَنْ   تَرَ كَ   اْلمِرَ اءَ  وَ  هُوَ   مُبْطِلٌ     بُنِيَ  لَهُ    بَيْتٌ  فِي   رَ بْضِ  اْلجَنَّةِ (
 "Barang siapa yang meninggalkan berbantah-bantahan, padahal dia di pihak yang benar, pasti dibangunkan untuknya rumah di surga yang paling tinggi. Dan barang siapa meninggalkan berbantah-bantahan, sedangkan ia di pihak yang salah maka ia dibangunkan rumah di tengah-tengah surga".[5]

Sering kita jumpai bahwa perdebatan itu biasanya terjadi karena perbedaan pemahaman madzhab atau perbedaan pemahaman akidah. Sesungguhnya perdebatan itu, merupakan watak dasar seseorang. Jika kita menduga bahwa hal itu berpahala, pasti semakin kuat keinginan kita untuk selalu memperdebatkan segala sesuatu. Maka dengan alasan membela agama supaya benar dan lurus , ditambah dengan watak dasar tersebut, akan mendukung kita sehingga menguatkan keinginan berdebat.

Sebaiknya kita menahan lisan kita dari ahli qiblat (yaitu orang yang tekun menjalankan shalat). Jika kita melihat sebagian dari mereka berbuat bid'ah, hendaklah menasehatinya ditempat yang sepi (ketika sendirian), lalu berbicaralah dengan cara yang lemah lembut dan tidak memancing perdebatan. Lihatlah hadits Rasulullah r berikut.

قال رَسُولُ   اللَّهِ  صلى  الله  عليه  و سلم  ) رَحِمَ   اللهُ   مَنْ   كَفَّ   لِسَانِهِ   عَنْ   أَهْلِ   اْلقِبْلَةِ   إِلاَّ  بِأَحْسَنِ   مَا  يَقْدِرُ  عَلَيْهِ (
Rasulullah r bersabda : "Allah menyayangi orang yang menahan lisannya dari ahli kiblat, kecuali dengan (perkataan) sebaik-baiknya sehingga ia mampu mengatasinya". Menurut Hisyam bin Urwah, bahwa Rasulullah r mengulang-ngulang sabdanya tersebut sampai tujuh kali [6]

Orang yang memenangkan perdebatan biasanya akan diterima dalam sebuah kelompok, dimuliakan dan dipuji-puji. Orang yang membiasakan berdebat dalam setiap kesempatan, maka sifat yang merusak di dalam dirinya lebih kuat dari pada sifatnya yang membangun. Artinya bahaya yang lebih besar lebih menguasai dirinya daripada manfaat yang dapat menyelamatkan agamanya. Karena kebiasaanya itu, ia tidak dapat mengelak dari perdebatan. Apalagi jika sifat itu telah bercampur aduk dengan kepentingan kedudukan, sehingga sifat sombong, riya, cinta jabatan dan berbangga diri muncul secara berlebihan. Ingatlah memberantas satu persatu dari sifat-sifat buruk tersebut sangat berat, lalu bagaimana memberantas sifat-sifat buruk tadi jika semuanya bersatu?.


[1] HR At-Thabrani dari hadits Abu Darda' ; Anas bin Malik ; Abu Umamah dan Wailah bin Al Asqa
[2] HR At-Turmudzi dan Ibnu Majah dari hadits Anas
[3] HR Ibnu Abid dunya dari Abu Hurairah
[4] HR Ibnu Abid dunya dari Abu Hurairah
[5] HR At-Turmudzi dan Ibnu Majah dari hadits Anas
[6] HR Ibnu Abid dunya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar