1. Persiapan Nikah ( Etika & Prinsip Kesetaraan)
4.1. Prinsip Kesetaraan laki-laki dan Wanita – lanjutan (bagian c)
Prinsip kesetaraan antara laki-laki dan wanita dibahas disini supaya kita mengetahui dengan jelas konsep tersebut melalui sumber hukum yang tertinggi bagi umat Islam yaitu Al Qur'an dan As-Sunnah, supaya tidak salah memahami seperti pemahaman para wanita ataupun laki-laki yang mengaku modern dengan prinsip kesetaraan gender tapi tidak mengacu kepada hukum Islam, bahkan terkadang merusak kodrat wanita itu sendiri, dan menginjak-nginjak kehormatannya secara jahil. Diantara bukti penghormatan Islam terhadap wanita adalah adanya equalitas (al musaawaah) antara laki-laki dan wanita. Surat An-Nuur ayat 26 diatas membuktikan sebuah penyebutan dari Allah I akan kesetaraan wanita dalam kebaikan dan keburukan dengan laki-laki.
Adapun kesetaraan itu kita bahas dengan meninjau segala persamaan yang ada antara laki-laki dan wanita, diantara persamaan-persamaan itu saya uraikan penjelasan dari DR. Muhammad Sayyid Thanthawi dalam bukunya Adab al-Khiwaar fii al-Islaam terbitan Dar al-Nahdhah, Mesir yang diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia dengan judul Menemukan Format Dialog Dalam Islam oleh Zuhairi Misrawi dan Zamroni Kamali, sebagai berikut :
d. Persamaan dalam Hak-hak Sipil
Barang siapa yang mengamati syariat Islam, maka ia tidak akan menemukan diskriminasi antara kaum pria dan wanita dalam hak-hak sipil seperti jual beli, hak kepemilikan dan pemanfaatannya, serta muamalah lainnya. Hal ini dibuktikan dengan sebuah penjelasan dari firman Allah I, bahwa Islam memerintahkan wali anak yatim agar menjaga dan menginvestasikan harta si anak sampai ia dewasa. Ketika si anak menginjak usia baligh dan dewasa, wali harus mengembalikan semua harta kepada si anak dengan tanpa mengurangi hartanya sedikitpun. Dalam hal ini anak laki-laki dan perempuan mempunyai kedudukan yang sama. Lihat firman berikut :
وَ آَ تُوا الْيَتَامَى أَمْوَ الَهُمْ وَ لاَ تَتَبَدَّلُوا الْخَبِيثَ بِالطَّيِّبِ وَ لاَ تَأْكُلُوا أَمْوَ الَهُمْ إِلَى أَمْوَ الِكُمْ إِ نَّهُ كَانَ حُوبًا كَبِيرًا [النساء/2]
Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar. (QS. An-Nisaa (4) : 2)
وَ ابْتَلُوا الْيَتَامَى حَتَّى إِذَ ا بَلَغُوا النِّكَاحَ فَإِنْ آَ نَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدً ا فَادْفَعُوا إِلَــيْهِمْ أَمْوَ الَهُمْ وَ لاَ تَأْ كُلُوهَا إِسْرَ افًا وَ بِِــِدَ ارً ا أَنْ يَكْبَرُوا وَ مَنْ كَانَ غَنِيًّا فَــلْــيَسْتَعْفِفْ وَ مَنْ كَانَ فَقِيرً ا فَـلْيَأْ كُلْ بِالْمَعْرُوفِ فَإِذَ ا دَفَعْـتُمْ إِلَيْهِمْ أَمْوَ الَهُمْ فَأَشْهِدُوا عَلَـيْهِمْ وَ كَـفَى بِاللَّهِ حَسِيبًا [النساء/6]
Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. Dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. Barangsiapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. Dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu). (QS. An-Nisaa (4) : 6)
Jika seorang wanita telah sampai umur (baligh dan dewasa), Islam membolehkannya melakukan akad jual beli, hibah, wasiat dan perjanjian-perjanjian lainnya. Islam memberi kebebasan luas baginya untuk memiliki dan membelanjakan harta sesuai kehendaknya. Tak seorangpun boleh membelanjakan harta wanita, meskipun suaminya sendiri, kecuali dia mengijinkannya.
Tidak hanya itu Islam juga memberikan kebebasan bagi wanita yang akil baligh untuk memilih pasangan hidupnya. Tidak ada paksaan di dalam masalah ini. Seorang wali tidak boleh memaksanya. Bahkan, Islam menganggap akad nikah yang dilakukan tanpa persetujuan darinya tidak sah. Disamping itu, Islam membolehkan wanita meminta cerai dari suaminya apabila sudah tidak ada kecocokan dalam rumah tangga. Lihat hadits berikut ini :
صحيح البخاري - (ج 16 / ص 100/ح 4741) و صحيح مسلم - (ج 7 / ص 239/ح 2543) و سنن النسائي - (ج 10 / ص 389/ح 3215) و مسند أحمد - (ج 19 / ص 275/ح 9232) و السنن الكبرى للنسائي - (ج 3 / ص 281/ح 5377) : حَدَّ ثَنَا مُعَاذُ بْنُ فَضَالَةَ حَدَّ ثَنَا هِشَامٌ عَنْ يَحْيَى عَنْ أَبِي سَلَمَةَ أَنَّ أَبَا هُرَ يْرَةَ حَدَّ ثَهُمْ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ لاَ تُنْكَحُ اْلأَ يِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ وَ لاَ تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَ كَيْفَ إِذْ نُهَا قَالَ أَنْ تَسْكُتَ
Dari Abu Hurairah t, ia bercerita, bahwa Rasulullah r telah bersabda : "Tidaklah dinikahi wanita janda sehingga ia menyatakan kerelaanya. Dan tidak pula dinikahi seorang gadis, sampai ia diminta izinnya. Lalu mereka bertanya : "Wahai Rasulullah, bagaimana izinnya?". Rasulullah r menjawab : "Izinnya ialah diamnya".
Bahkan Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa wanita yang sudah baligh boleh menikah dengan siapa saja yang dia kehendaki, dengan syarat ada kecocokan diantara keduanya. Dalam hal ini, wali wanita tersebut tidak berhak menolaknya. Yang menjadi alasan Imam Abu Hanifah untuk berpendapat demikian adalah bahwa, selama wanita-wanita itu bebas melakukan perjanjian (akad) jual beli dan lainnya, maka ia juga bebas melakukan akad pernikahan, karena pada prinsipnya, tidak ada perbedaan antara satu akad dengan akad yang lain.
e. Persamaan Tanggung Jawab
Tanggung jawab yang diemban wanita tidak berbeda dengan seorang pria. Keduanya sama, mendapatkan pahala jika melakukan kebaikan dan mendapat siksa jika melakukan keburukan. Lihat firman Allah I dibawah ini :
وَ مَنْ يَعْمَلْ مِنَ الصَّالِحَاتِ مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُ نْثَى وَ هُوَ مُؤْ مِنٌ فَأُولَئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ وَ لاَ يُظْلَمُونَ نَقِيرً ا [النساء/124]
Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun. (QS. An-Nisaa (4) : 124)
الزَّ انِيَةُ وَ الزَّ انِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَ احِدٍ مِنْهُمَا مِئَةَ جَلْدَةٍ وَ لاَ تَأْخُذْ كُمْ بِهِمَا رَ أْ فَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْ مِنُونَ بِاللَّهِ وَ الْيَوْمِ الْآَخِرِ وَ لْيَشْهَدْ عَذَ ا بَهُمَا طَائِفَةٌ مِنَ الْمُؤْمِنِين [النور/2]
Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman. (QS. An-Nuur (24) : 2)
وَ السَّارِقُ وَ السَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَ يْدِ يَهُمَا جَزَ اءً بِمَا كَسَبَا نَكَالاً مِنَ اللَّهِ وَ اللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ [المائدة/38]
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. Al Maaidah (5) : 38)
Dalam hadits juga disebutkan tentang tanggung jawab laki-laki dan perempuan :
صحيح البخاري - (ج 22 / ص 43/ح 6605) و صحيح مسلم - (ج 9 / ص 352/ح 3408) و سنن أبي داود - (ج 8 / ص 145/ح 2539) و سنن الترمذي - (ج 6 / ص 296/ح1267) و المعجم الأوسط للطبراني - (ج 9 / ص 90/ح 4037) و مستخرج أبي عوانة - (ج 14 / ص 49/ح 5679) و مسند أبي يعلى الموصلي - (ج 12 / ص 85/ح 5698) : حَدَّ ثَنَا إِسْمَاعِيلُ حَدَّ ثَنِي مَالِكٌ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُو لَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ أَ لاَ كُلُّكُمْ رَ اعٍ وَ كُلُّكُمْ مَسْئُو لٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَاْلإِمَامُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَ اعٍ وَ هُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَ الرَّجُلُ رَ اعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَ هُوَ مَسْئُو لٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَ الْمَرْأَةُ رَ اعِيَةٌ عَلَى أَهْلِ بَيْتِ زَوْجِهَا وَ وَ لَدِهِ وَ هِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ وَ عَبْدُ الرَّجُلِ رَ اعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَ هُوَ مَسْئُو لٌ عَنْهُ أَ لاَ فَكُلُّكُمْ رَ اعٍ وَ كُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Hadits dari Abdullah Ibnu Umar t : Diriwayatkan dari Nabi r katanya : Rasulullah r telah bersabda : "Kamu semua adalah pemimpin dan kamu semua akan bertanggung jawab (ditanya pertanggung jawabannya) terhadap apa yang kamu pimpin. Seorang pemerintah (Imam / presiden / raja) adalah pemimpin manusia dan dia akan bertanggung jawab (ditanya pertanggung jawabannya) terhadap rakyatnya. Seorang suami adalah pemimpin bagi ahli keluarganya dan dia akan bertanggung jawab (ditanya pertanggung jawabannya) terhadap mereka. Sedangkan seorang isteri adalah pemimpin rumah tangga, suami dan anak-anaknya, dia akan bertanggung jawab (ditanya pertanggung jawabannya) terhadap mereka. Seorang hamba adalah penjaga harta tuannya dan dia juga akan bertanggung jawab (ditanya pertanggung jawabannya) terhadap harta yang dijaganya. Ingatlah, kamu semua adalah pemimpin dan akan bertanggung jawab (ditanya pertanggung jawabannya) terhadap apa yang kamu pimpin".
Singkatnya, setiap orang yang telah akil baligh, baik pria ataupun wanita, pemimpin atau yang dipimpin, bertanggung jawab terhadap semua perkataan dan perbuatannya.
f. Persamaan dalam Kemuliaan
Kemuliaan seorang laki-laki adalah kemuliaan seorang perempuan, dan demikian pula sebaliknya, kemuliaan perempuan adalah kemuliaan laki-laki. Allah I telah memuliakan semua anak cucu Adam u. Lihatlah konteks kata Bani Adam (anak-anak Adam) dalam firman Allah I dibawah ini adalah mencakup laki-laki dan wanita.
وَ لَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آَدَمَ وَ حَمَلْـنَاهُمْ فِي الْـبَرِّ وَ الْبَحْرِ وَ رَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطَّـيِّبَاتِ وَ فَضَّلْنَاهُمْ عَلَى كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَـقْنَا تَفْضِيلاً [الإسراء/70]
Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.(QS. Al-Israa (17) : 70)
Islam memberikan kewajiban yang sama bagi laki-laki dan perempuan untuk menjaga kehormatan. Dia memberikan hukuman bagi orang yang melemparkan tuduhan, baik laki-laki dan perempuan, tanpa disertai bukti kebenaran.
وَ الَّذِينَ يُؤْ ذُونَ الْمُؤْ مِنِينَ وَ الْمُؤْ مِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَا نًا وَ إِ ثْمًا مُبِينًا [الأحزاب/58]
Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mu'min dan mu'minat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata. (QS. Al-Ahzaab (33) : 58)
إِنَّ الَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ الْغَافِلاَتِ الْمُؤْ مِنَاتِ لُعِنُوا فِي الدُّ نْيَا وَ اْلآَخِرَ ةِ وَ لَهُمْ عَذَ ابٌ عَظِيمٌ [النور/23]
Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman (berbuat zina), mereka kena la`nat di dunia dan akhirat, dan bagi mereka azab yang besar, (QS. An-Nuur (24) : 23)
وَ الَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْ تُوا بِأَرْ بَعَةِ شُهَدَ اءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَ لاَ تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَ ةً أَ بَدً ا وَ أُو لَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ (4) إِلاَّ الَّذِينَ تَابُوا مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ وَ أَصْلَحُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (5) [النور/4، 5]
Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik.(4) kecuali orang-orang yang bertaubat sesudah itu dan memperbaiki (dirinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. An-Nuur (24) : 4-5)
Disamping menerima dan menghormati tetangga lelaki, Nabi r juga menerima dan menghormati tetangga wanita. Begitu pula halnya dengan menghormati dan memuliakan tamu. Dan hal in berlaku umum lihat hadits-hadits dibawah ini :
صحيح مسلم - (ج 1 / ص 163/ح67) و موطأ مالك - (ج 5 / ص 457/ح 1454) و صحيح البخاري - (ج 20 / ص 116/ح 5994) و سنن أبي داود - (ج 13 / ص 367/ح 4487) : حَدَّ ثَنِي حَرْمَلَةُ بْنُ يَحْيَى أَ نْبَأَ نَا ابْنُ وَهْبٍ قَالَ أَخْبَرَ نِي يُونُسُ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِي هُرَ يْرَة َ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ مَنْ كَانَ يُؤْ مِنُ بِاللَّهِ وَ الْيَوْمِ اْلآخِرِ فَـلْيَقُلْ خَيْرً ا أَوْ لِيَصْمُتْ وَ مَنْ كَانَ يُؤْ مِنُ بِاللَّهِ وَ الْيَوْمِ اْلآخِرِ فَـلْيُكْرِمْ جَارَهُ وَ مَنْ كَانَ يُؤْ مِنُ بِاللَّهِ وَ الْيَوْمِ اْلآخِرِ فَـلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ .
Diriwayatkan daripada Abu Hurairah t, ia berkata : Rasulullah r bersabda : "Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Kiamat, maka hendaklah dia berkata-kata yang baik atau diam dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Kiamat, maka hendaklah dia memuliakan tetangganya. Begitu juga barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Kiamat, maka hendaklah dia memuliakan tamunya".
Barangkali bukanlah sesuatu yang berlebihan, jika penulis mengatakan bahwa syariat Islam telah menjaga kehormatan wanita, lebih dari penjagaan terhadap yang lainnya. Wanita didalam Islam diibaratkan penopang sebuah keluarga yang harus diutamakan dalam penghormatan dan pemuliaannya. Hal ini dibuktikan dengan hadits dari Rasulullah r adakalanya penghormatan kepada seorang wanita melebihi penghormatan kepada seorang lelaki.
صحيح مسلم - (ج 12 / ص 388/ح 4261) و صحيح البخاري - (ج 18 / ص 363/ح 5514) و سنن ابن ماجه - (ج 8 / ص 176/ح 2697) و مسند أحمد - (ج 18 / ص 262/ح 8720) و مسند أبي يعلى الموصلي - (ج 12 / ص 335) : حَدَّ ثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدِ بْنِ جَمِيلِ بْنِ طَرِيفٍ الثَّقَفِيُّ وَ زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ قَالاَ حَدَّ ثَنَا جَرِ يرٌ عَنْ عُمَارَ ةَ بْنِ الْقَعْقَاعِ عَنْ أَبِي زُرْعَةَ عَنْ أَبِي هُرَ يْرَةَ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فَقَالَ مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَا بَتِي قَالَ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أُ مُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أَ بُوكَ
Diriwayatkan dari Abu Hurairah t, ia berkata : Telah datang seorang lelaki kepada Rasulullah r lalu bertanya : Siapakah manusia yang paling berhak untuk aku layani dengan sebaik mungkin? Rasulullah r bersabda : Ibumu. Beliau ditanya lagi : Kemudian siapa?. Rasulullah r bersabda : Kemudian ibumu. Beliau terus ditanya: Kemudian siapa? Rasulullah r bersabda : Kemudian ibumu. Beliau terus ditanya : Kemudian siapa? Rasulullah r bersabda : Kemudian ayahmu.
g. Persamaan Hak Waris
Pada masa Jahiliyah, wanita dan anak-anak (meskipun laki-laki) tidak mendapatkan bagian harta waris. Orang-orang Jahiliyah mengatakan bahwa hanya orang-orang yang berperang di atas punggung kuda, menghunus tombak, berperang dengan pedang, serta orang-orang yang mendapatkan harta rampasan perang saja yang berhak mendapat warisan.
Kedatangan Islam telah merombak tradisi tersebut. Islam menetapkan bahwa wanita (seperti kaum lelaki) mempunyai hak atas harta waris.
لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَ كَ الْوَ الِدَ انِ وَ اْلأَقْرَ بُونَ وَ لِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَ كَ الْوَ الِدَ انِ وَ اْلأَقْرَ بُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ
أَوْ كَثُرَ نَصِيبًا مَفْرُوضًا [النساء/7]
Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan. (QS. An-Nisaa (4) : 7)
Kemudian syariat Islam menerangkan secara rinci bagian masing-masing. Wanita mendapatkan separuh bagian laki-laki.
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْ لاَدِكُمْ لِلذَّ كَرِ مِثْلُ حَظِّ اْلأُ نْثَيَيْنِ [النساء/11]
Allah mensyari`atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan; (QS. An-Nisaa (4) : 11)
Islam mengatur demikian, karena beban finansial yang dipikul laki-laki lebih besar dibandingkan perempuan. Dan, karena laki-laki diwajibkan memberi nafkah untuk dirinya, anak-anak dan orang-orang yang ada dibaawah tanggung jawabnya. Sedangkan, semua harta milik perempuan menjadi hak miliknya sendiri.
h. Persamaan dalam Kesaksian
Islam menghormati kesaksian seorang wanita dalam masalah khusus yang berkenaan dengan kaum wanita. Kesaksian dua orang wanita sama dengan kesaksian seorang laki-laki. Suatu kesaksian belum dianggap sempurna, jika tidak disertai kesaksian laki-laki.
وَ اسْتَشْهِدُوا شَهِيدَ يْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَ امْرَ أَ تَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَ اءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَ اهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَ اهُمَا اْلأُخْرَى [البقرة/282]
Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi (dari orang-orang lelaki diantaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya.(QS. Al Baqarah (2) : 282)
Ayat diatas menunjukkan makna bahwa Allah I telah menetapkan dua orang perempuan sebagai ganti seorang laki-laki dalam kesaksian. Hal ini dimaksudkan agar salah satu dari dua wanita tersebut mengingatkan temannya, apabila ia lupa. Karena, seorang wanita dengan perasaan yang lembut, mudah terpengaruh oleh sesuatu yang belum terjadi. Kita harus mengerjakan perintah Allah I dan meninggalkan laranganNya, baik kita memahami hikmah di balik perintah dan larangan itu maupun tidak.
Seperti telah diterangkan dimuka Islam tidak membedakan antara laki-laki dan wanita dalam asal penciptaan, kewajiban, menuntut ilmu, hak sosial kemasyarakatan, tanggung jawab, kehormatan, warisan dan persaksian. Tetapi apakah hal ini berarti tidak ada perbedaan sama sekali diantara keduanya?.
Pada hakikatnya, Islam membedakan wanita dan laki-laki dalam beberapa urusan tertentu. Karena hal ini bersangkutan dengan keadilan, kemaslahatan, kebahagiaan dan tabiat keduanya menuntut perbedaan ini. Karena, hakekat diri itu tidak akan berubah. Bagaimanapun laki-laki tetap laki-laki dengan segala spesifikasi dan bentuknya, demikian juga wanita. Sehingga masing-masing harus memahami kodrat penciptaan yang mempunyai peranan dan fungsi yang berbeda, tetapi masing-masing mempunyai peranan penting, yang tidak boleh diabaikan. Pengabaian masalah kodrati ini mengakibatkan kerusakan struktur keluarga yang membahayakan kelangsungan generasi. Bahkan berakibat meluasnya kerusakan dibidang-bidang yang lain. Perbedaan tersebut banyak dijelaskan dalam ayat Al Qur'an :
وَ لاَ تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبُوا وَ لِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبْنَ وَ اسْأَ لُوا اللَّهَ مِنْ فَضْلِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا [النساء/32]
Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian daripada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS. An-Nisaa (4) : 32)
Adapun sebab turunnya ayat ini adalah seperti hadits dibawah ini :
مسند أحمد - (ج 54 / ص 173/ح 25511) : حَدَّ ثَنَا سُفْيَانُ حَدَّ ثَنَا ابْنُ أَبِي نَجِيحٍ عَنْ مُجَاهِدٍ قَالَ قَالَتْ أُمُّ سَلَمَةَ يَا رَسُولَ اللَّهِ يَغْزُو الرِّجَالُ وَ لاَ نَغْزُو وَ لَنَا نِصْفُ الْمِيرَ اثِ فَأَ نْزَ لَ اللَّهُ { وَ لاَ تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ }
Dari Mujahid, ia berkata, telah berkata Ummu Salamah kepada Nabi r : "Ya Rasulullah, para lelaki telah pergi ke medan perang, sedangkan kami tidak. Dan kami hanya mendapat separuh bagian warisan mereka".Maka turunlah ayat diatas (QS. An-Nisaa (4) : 32) tersebut.
Perbedaan lain, misalnya, dalam hal ibadah. Islam menggugurkan kewajiban shalat bagi wanita yang sedang haid dan nifas. Mereka tidak wajib mengqadha shalat yang ditinggalkan setelah suci.
حَدِيثُ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا : أَنَّ امْرَ أَ ةً سَأَ لَتْهَا فَقَالَتْ أَ تَقْضِي إِحْدَ ا نَا الصَّلاَ ةَ أَ يَّامَ مَحِيْضِهَا فَقَالَتْ عَائِشَةُ أَحَرُو رِيَّةٌ أَ نْتِ قَدْ كَانَتْ إِحْدَ ا نَا تَحِيْضُ عَلَى عَهْدِ رَسُوْ لِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ ثُمَّ لاَ تُـؤْمَرُ بِقَضَاءٍ
Hadis Aisyah t : Diriwayatkan dari Muadz t ia berkata : Seorang perempuan bertanya kepada Aisyah t : Apakah salah seorang di antara kami harus mengqadha shalat sewaktu haidh ? Aisyah t berkata : Adakah kamu dari golongan Haruriyyah ? [1] Dahulu ada di antara kami yang didatangi haidh pada masa Rasulullah r tetapi kami tidak diperintahkan mengqadha shalat.[2]
Ulama sepakat atas keharaman shalat fardhu dan sunnah bagi perempuan haid, baik dipermulaannya maupun selama masa haidh berlangsung, kewajiban dipundaknya gugur dan ia tidak perlu mengqodhonya bila telah suci, terlihat dari hadits Aisyah t diatas, diperkuat dengan sabda Rasulullah r :
إِذَ ا أَقْبَلَتِ الحَيْضَةُ فَدَ عِيَ الصَّلاَ ةَ
Bila engkau haidh maka tinggankanlah shalat [3]
Para ulamapun menegaskan bahwa semakna dengan shalat, maka sujud tilawah dan sujud syukur, keduanya haram atas orang yang sedang haidh, begitupula bagi orang yang nifas, termasuk juga haram mengikuti shalat jenazah, karena thaharah adalah salah satu syarat penunaiannya.[4] Dan merekapun diperbolehkan berbuka (tidak puasa) pada siang hari di bulan Ramadhan, tetapi harus menggantinya di bulan Ramadhan.
حَدِيثُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا : عَنْ رَسُوْ لِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ أَ نَّهُ قَالَ يَا مَعْشَرَ الـنِّسَاءِ تَصَدَّقْنَ وَ أَ كْـثِرْنَ اْلاِسْتِغْفَارَ فَإِ نِّي رَ أَ يْتُكُنَّ أَكْـثَرَ أَهْلِ الـنَّارِ فَقَالَتِ امْرَ أَ ةٌ مِنْـهُـنَّ جَزْلَةٌ وَ مَا لَنَا يَا رَسُوْ لَ اللَّهِ أَكْـثَرَ أَهْلِ الـنَّارِ قَالَ تُــكْـثِرْنَ اللَّعْنَ وَ تَـكْـفُرْنَ الْعَشِيرَ وَ مَا رَ أَ يْتُ مِنْ نَاقِصَاتِ عَقْلٍ وَ دِينٍ أَغْلَبَ لِذِي لُبٍّ مِنْكُنَّ قَالَتْ يَا رَسُوْ لَ اللَّهِ وَ مَا نُـقْصَانُ الْعَقْلِ وَ الدِّينِ قَالَ أَمَّا نُـقْصَانُ الْعَقْلِ فَشَهَادَ ةُ امْرَ أَ تَيْنِ تَعْدِلُ شَهَادَ ةَ رَجُلٍ فَهَذَا نُـقْصَانُ الْعَقْلِ وَ تَمْكُثُ اللَّـيَالِي مَا تُصَلِّي وَ تُـفْطِرُ فِي رَمَضَانَ فَهَذَا نُـقْصَانُ الدِّينِ
Diriwayatkan daripada Abdullah bin Umar t, ia berkata : Rasulullah r telah bersabda : Wahai kaum wanita! Bersedekahlah kamu dan perbanyaklah istighfar yaitu memohon ampunan. Karena, aku melihat kaum wanitalah yang terbanyak menjadi penghuni Neraka [5]. Seorang wanita yang cukup pintar di antara mereka bertanya : Wahai Rasulullah, kenapa kami kaum wanita yang terbanyak menjadi penghuni Neraka ?. Rasulullah r bersabda : Kamu banyak mencerca orang (bergunjing / bergosip) dan mengingkari (mengkufuri atas nikmat yang diberikan) suami. Aku tidak melihat orang yang kurang akal dan agamanya yang lebih merusakkan hati laki-laki yang teguh selain daripada golongan kamu. Wanita itu bertanya lagi : Wahai Rasulullah! Apakah maksud kekurangan akal dan agama itu ? Rasulullah r bersabda : Maksud kekurangan akal ialah penyaksian dua orang wanita sama dengan penyaksian seorang lelaki. Inilah yang dikatakan kekurangan akal. Begitu juga wanita tidak mengerjakan sembahyang pada malam-malam yang dilaluinya (karena haidh) kemudian berbuka pada bulan Ramadan (karena haidh). Maka inilah yang dikatakan kekurangan agamanya! [6].
Dari Hadits diatas para ulama sepakat bahwa wanita haidh haram berpuasa baik fardhu ataupun sunnah dan puasa ramadhan harus diqadha pada bulan-bulan berikutnya, serta tidak ada keistimewaan seperti shalat yang tidak harus diqadha. Lihat hadits dibawah ini.
حَدِيثُ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ : كَانَ يَكُونُ عَلَيَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِيَهُ إِلاَّ فِي شَعْبَانَ الشُّغْلُ مِنْ رَسُوْ لِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ أَوْ بِرَسُوْ لِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ
Diriwayatkan dari Aisyah t, ia berkata : Aku mempunyai hutang puasa untuk mengganti puasa di bulan Ramadhan, tetapi aku tidak sempat menggantinya kecuali pada bulan Sya'ban disebabkan sibuk menerima tugas dari Rasulullah r atau sibuk melayani Rasulullah r.[7]
Pada hadits ini, para ulama sepakat mengganti hutang puasa Ramadhan lebih cepat lebih baik, asalkan jangan pada waktu-waktu yang tidak diperbolehkan, seperti hari raya dan hari tasyrik. Bila seorang wanita kedatangan haidh, sedangkan ia dalam keadaan berpuasa, maka batallah puasanya meskipun saat itu maghrib tiba sesaat lagi. Ia harus mengqadha hari itu jika puasa itu fardhu. Asy-Syibramalisi berkata, “Tidaklah wajib baginya untuk menyantap makanan berbuka bila darah haidh dirasakan keluar”. Jadi batas puasa dianggap batal adalah jika darah benar-benar keluar hingga diluar kemaluan. Bila sekadar dirasakan darah mengalir namun belum keluar dan itu terjadi beberapa saat sebelum maghrib, maka puasanya dianggap sempurna, tidak ada masalah dengannya, karena darah didalam rongga tidak ada hukumnya.[8]
Menurut Mazhab Syafi’i. Ia berpendapat bahwa darah yang masih berada didalam farj (kemaluan) sudah dihukumi haid bila terjadi pada masa-masa haid. Yang dimaksud dengan didalam farj adalah bila darah tersebut tidak tampak ketika perempuan haidh duduk diatas dua kakinya. Maka begitu ia sudah berada difarj, kami menghukuminya dengan haidh meskipun haidh belum keluar dari bibir kemaluan. Yang disebut keluar dari bibir kemaluan adalah jika darah itu tampak ketika perempuan haidh duduk diatas kedua kakinya. [9]
Menurut Mazhab Hanafi, bila seorang perempuan merasakan ada darah bergerak dari dalam, kemudian ia meletakkan kapas atau sejenisnya yang membuat darah terhalang keluar ke permukaan kemaluan, itu tidak dihukumi haidh dan bila ia berpuasa maka puasanya tidak batal.[10]
Dalam masalah ekonomi, Islam menunjukkan kasihnya kepada wanita. Semua tanggung jawab ekonomi dibebankan di atas kaum lelaki. Sebelum menikah, kewajiban nafkahnya ditanggung orang tua dan sanak kerabatnya. Tetapi, jika ia telah melangsungkan pernikahan, beban hidupnya menjadi tanggung jawab suaminya, meskipun ia mempunyai harta yang cukup untuk menghidupi dirinya. Sampai dalam kondisi perceraianpun, semua biaya hidup menjadi tanggung jawab suami, selama ia masih dalam masa 'iddah. Ketentuan tentang mahar, makanan, tempat tinggal, pakaian dan sebagainya semuanya diterangkan secara rinci dalam penjelasan selanjutnya dalam risalah nikah ini.
Islam membebankan tanggung jawab rumah tangga diatas pundak kaum lelaki, karena mereka lebih kuat mengemban tanggung jawab ini jika dibandingkan kaum wanita. Mereka juga diberi tugas memberi nafkah semua anggota keluarganya. Tugas dan tanggung jawab kepemimpinan ini dilandasi oleh kasih sayang, bukan dengan kesewenang-wenangan.
وَ عَلَى الْمَوْ لُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَ كِسْوَ تُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لاَ تُكَـلَّفُ نَفْسٌ إِلاَّ وُسْعَهَا [البقرة/233]
Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma`ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. (QS. Al Baqarah (2) : 233)
Yang dimaksud ( الْمَوْ لُودِ لَهُ ) dalam ayat diatas adalah ayah, ( رِزْقُهُنَّ ) maksudnya adalah makanan secukupnya, ( كِسْوَ تُهُنَّ) artinya pakaian. Sedangkan kata ( بِالْمَعْرُوفِ ) adalah tidak terlampau kikir dan tidak berlebih-lebihan.
أَسْكِنُو هُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ وَ لاَ تُضَارُّو هُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ [الطلاق/6]
Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. (QS. Ath-Thalaq (65) : 6)
Kewajiban para suami untuk memenuhi perumahan mereka (para istri) dengan menempatkannya di tempat yang layak yang menyuburkan keimanan dan menyuburkan amal shalih dengan tidak menyakiti perasaan mereka (memperlakukan dengan lembut dan penuh kasih sayang)
وَ لَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنّ َ بِالْمَعْرُوفِ وَ لِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ وَ اللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيم [البقرة/228]
Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma`ruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. Al Baqarah (2) : 228)
Wanita mempunyai hak seperti kaum lelaki. Hanya saja, kaum lelaki mempunyai keistimewaan dan hak yang lebih daripada kaum wanita. Hal itu karena tugas dan tanggung jawab mereka lebih berat dibandingkan kaum wanita.
Dalam bidang pembinaan akhlak dan budi pekerti, Allah I memerintahkan semua wanita yang akil baligh untuk selalu menjaga harga diri dan kehormatannya, serta menutup anggota badannya.
وَ لاَ يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا [النور/ 31]
dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. (QS An-Nuur (24) : 31)
Menurut jumhur fuqaha, yang dimaksud "biasa tampak darinya" adalah bagian wajah dan tangan. Meskipun demikian, Islam tidak melarang kaum wanita mengenakan pakaian yang bagus dan indah, yang cocok dan enak dipandang, tetapi dengan syarat, pakaian tersebut harus menutup aurat. Karena menutup aurat adalah wajib dan tidak boleh ditawar-tawar, diubah-ubah atau diganti. Semua ini harus dijalankan dengan penuh ketaatan dan ketakwaan.
Jika tidak taat dengan seluruh aturan persamaan gender menurut hukum Allah I tersebut, Allah I menegaskan dengan firmannya yang disebut berulang-ulang diantaranya :
وَ مَا كَانَ لِمُؤْ مِنٍ وَ لاَ مُؤْ مِنَةٍ إِذَ ا قَضَى اللَّهُ وَ رَسُولُهُ أَمْرً ا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَ مَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَ رَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلاَ لاً مُبِينًا [الأحزاب/36]
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu'min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. (QS Al Ahzaab (33) : 36)
وَ مَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَ نْزَ لَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ [المائدة/44]
Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah (Hukum Allah), maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (QS Al Maidah (5) : 44)
وَ مَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَ نْزَ لَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ [المائدة/45]
Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah (Hukum Allah), maka mereka itu adalah orang-orang yang dzalim. (QS Al Maidah (5) : 45)
وَ مَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَ نْزَ لَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ [المائدة/47]
Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah (Hukum Allah), maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik. (QS Al Maidah (5) : 44)
Pengulangan ayat ini menunjukkan betapa manusia selalu mengingkari kenyataan hukum Allah I dan selalu membuat aturan yang menurut hawa nafsunya benar dan masuk akal, apakah dia manusia yang diciptakan Allah I mengetahui yang terbaik untuk dirinya atau Allah I yang menciptakannya yang lebih mengetahui?. Sungguh bagi mereka yang berakalah akan mengambil jalan taat kepadaNya tanpa terkecuali.
فَإِنْ تَوَ لَّوْا فَاعْلَمْ أَ نَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُصِيبَهُمْ بِبَعْضِ ذُ نُو بِهِمْ وَ إِنَّ كَثِيرً ا مِنَ النَّاسِ لَفَاسِقُونَ [المائدة/49]
Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik. (QS Al Maidah (5) : 49)
أَ فَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَ مَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ [المائدة/50]
Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin? (QS Al Maidah (5) : 50)
[1] Haruriyah dinisbatkan kepada Harura, yaitu daerah yang terletak 2 mil dari kufah. Kaum Haruri adalah orang dari Madzhab Khawarij Haruri yang berkeyakinan bahwa wanita haidh harus mengqadha shalat. Golongan Haruri ini golongan yang pertama kali memberontak kepada kekhalifahan Ali bin Abi Thalib (kutipan ini diambil dari kitab Fathul Baari “ Syarah Hadits Bukhori”, Kitab Haid, hal 490, Ibnu Hajar Al-Asqalani)
[2] HR. Bukhori, Kitab haidh, hadits no.310 ; HR. Muslim, Kitab haidh, hadits no.506 ; HR. Tirmidzi, Kitab bersuci, hadits no.120 ; HR. Nasa’i, Kitab Haidh, hadits no.379 ; HR. Abu Daud, Kitab bersuci, hadits no.209 ; HR. Ibnu Majah, Kitab bersuci, hadits no 623 ; HR. Ahmad Ibnu Hambal juz 6 hal 32,94,97,120,143,185 dan 231 ; HR. Ad-darimi, Kitab bersuci, hadits no.962,963,968 dan 970.
[3] HR Bukhori dan Muslim ; Fiqih darah perempuan, Muhammad Nuruddin Marbu Banjar Al Makky, bab haidh, halaman 48
[4] Fiqih darah perempuan, Muhammad Nuruddin Marbu Banjar Al Makky, bab haidh, halaman 48
[5] Rasulullah telah melihatnya (diperlihatkan oleh Allah) ketika Allah mengundang-Nya waktu Isra dan Mi’raj.
[6] HR. Bukhori, Kitab haidh, hadits no.293, Kitab zakat no.1369 ; HR. Muslim, Kitab Iman, hadits no.114 ; HR. Nasa’i, Kitab Sembahyang Sunat 2 hari raya, hadits no.1558,1561 ; HR. Abu Daud, dalam sunnahnya, hadits no.4059 ; HR. Ibnu Majah, Kitab Penempatan Hadits, hadits no.1278, bab fitnah no.3993 ; HR. Ahmad Ibnu Hambal juz 2 hal 66 dan juz 3 hal 36,42,54.
[7] HR. Bukhori, Kitab Puasa, hadits no.1814 ; HR. Muslim, Kitab Puasa, hadits no.1933 ; HR. Tirmidzi, Kitab Puasa, hadits no.714 ; HR. Nasa’i, Kitab Puasa, hadits no.2149,2280 ; HR. Abu Daud, Kitab Puasa, hadits no.2047 ; HR. Ibnu Majah, Kitab Puasa, hadits no 1654 ; HR. Ahmad Ibnu Hambal juz 6 hal 124,131,179 ; HR. Malik, Kitab Puasa, hadits no.600
[8] Fiqih darah perempuan, Muhammad Nuruddin Marbu Banjar Al Makky, bab haidh, halaman 59
[9] Fiqih darah perempuan, Muhammad Nuruddin Marbu Banjar Al Makky, bab haidh, halaman 60
[10] Fiqih darah perempuan, Muhammad Nuruddin Marbu Banjar Al Makky, bab haidh, halaman 60 ; Fiqh Al-Haidh halaman 21 ; Al Fiqh ‘ala Al-Madzahib Al-Arbaah 1/126 ; Mughniy al Muhtaj 1/432 ; Fatawa Al Kubra 1/76
Tidak ada komentar:
Posting Komentar