Al Qur'an

يَا بُنَيَّ أَقِمِ الصَّلاَ ةَ وَ أْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَ انْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَ اصْبِرْ عَلَى مَا أَصَا بَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ اْلأُمُور [لقمان/17]

Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). (QS. Lukmaan (31) : 71

SILAHKAN DISEBARKAN

SILAHKAN DIPERBANYAK / DISEBARKAN DENGAN COPY PASTE ASAL SEBUTKAN SUMBERNYA, TERIMA KASIH

Jumat, 18 Februari 2011

Kitab Shaum (Bagian 3) : Shaum & Hukum-hukumnya


Fadhilah Ash-Shaum secara umum - lanjutan


4. Parit penghalang dari adzab An-Nar.

Hadits dari shahabat Abu Umamah Al-Bahili t, dari Rasulullah r bersabda :

} مَنْ صَامَ يَوْ مًا فِي سَبِيلِ اللهِ جَعَلَ اللهُ بَيْنَهُ وَ بَيْنَ النَّارِ خَنْدَ قًا كَمَا بَيْنَ السَّمَاءِ وَ الأَرْضِ { [رواه الترمذي]

“Barangsiapa yang bershaum (berpuasa) sehari di jalan Allah, niscaya Allah jadikan antara dia dengan An-Nar sebuah parit penghalang (yang lebarnya) sejauh langit dan bumi.” [At-Tirmidzi] [1]



5. Allah menjauhkan darinya api Jahannam sejauh perjalanan seratus tahun

Hadits dari shahabat ‘Uqbah bin ‘Amir t, bahwa Rasulullah r bersabda :

} مَنْ صَامَ يَومًا فِي سَبِيلِ اللهِ بَاعَدَ اللهُ مِنْهُ جَهَنَّمَ مَسِيْرَ ةَ مِا ئَةِ عَامٍ { [رواه النسائي و ابن أبي عاصم و الطبراني]

“Barangsiapa yang bershaum (berpuasa) sehari di jalan Allah, niscaya Allah jauhkan api Jahannam darinya sejauh perjalanan seratus tahun.” [An-Nasa`i, Ibnu Abi ‘Ashim, Ath-Thabarani] [2]

Masalah : Dalam hadits shahabat ‘Uqbah bin ‘Amir t ini disebutkan “sejauh perjalanan seratus tahun”. Sementara dalam hadits shahabat Abu Sa’id Al-Khudri t disebutkan “sejauh 70 tahun”. Secara zhahir perbedaan ini memunculkan suatu pertanyaan.

Untuk menjawabnya, ada dua jawaban :

a. Penyebutan bilangan tujuh puluh (70) bukan sebagai batasan mutlak, tetapi dalam rangka menggambar betapa sangat jauhnya jarak tersebut. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Al-Imam Al-Qurthubi dan dipertegas oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar.

- Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah berkata :

و رد ذكر السبعين لإرادة التكثير كثيرا

Penyebutan bilangan tujuh puluh (70) pada hadits di atas dalam rangka menggambarkan betapa sangat jauhnya.”

Kemudian Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menegaskan :

و يؤيده أن النسائي أخرج الحديث المذكورعن عقبة بن عامر و الطبراني عن عمرو بن عبسة و أبو يعلى عن معاذ بن أنس فقالوا جميعا في رواياتهم } مائة عام {.

Memperkuat pernyataan Al-Qurthubi di atas, An-Nasa`i meriwayatkan hadits tersebut dari shahabat ‘Uqbah bin ‘Amir, demikian juga Ath-Thabarani meriwayatkannya dari shahabat ‘Amr bin ‘Abasah, dan Abu Ya’la meriwayatkan dari shahabat Mu’adz bin Anas, semuanya menyebutkan dalam periwayatan mereka : (bilangan) “Seratus tahun”“. [3]

Jawaban senada juga diucapkan oleh Al-Imam As-Sindi dalam Syarh Sunan An-Nasa`i, bahwa penyebutan bilangan tujuh puluh atau seratus tahun bukan sebagai batasan mutlak, tetapi dalam rangka menggambar betapa sangat jauhnya jarak tersebut. [4]

b. Ada kemungkinan, Allah I hendak menambah fadhilah dan pahala bagi orang yang bershaum sehingga menyempurnakan jauhnya jarak tersebut menjadi seratus tahun perjalanan setelah sebelumnya sejauh tujuh puluh tahun. Jawaban kedua ini disampaikan oleh Al-Imam As-Sindi rahimahullah dalam Syarh Sunan An-Nasa`i. [5]

Terkait dengan fadhilah di atas, ada beberapa hadits yang sering diriwayatkan namun secara sanad lemah. Di antara hadits-hadits tersebut :

- Hadits dari shahabat Abu Hurairah t, bahwa Rasulullah r bersabda :

} مَنْ صَامَ يَوْ مًا ابْتِغَاءَ وَجْهِ اللهِ تَعَالَى، بَعَّدَ هُ اللهُ U مِنْ جَهَنَّمَ كَبُعْدِ غُرَ ابٍ طَارَ وَ هُوَ فَرْ خٌ حَتَّى مَاتَ هَرِمًا { [رواه أحمد، أبو يعلى، و البيهقي، و الطبراني]

“Barangsiapa yang bershaum (berpuasa) dalam rangka mengharap wajah Allah, niscaya Allah jauhkan dia dari neraka jahannam sejauh perjalanan terbang burung Gagak, semenjak burung Gagak tersebut baru menetas hingga mati di usia yang tua. ”

[Ahmad, Abu Ya’la, Al-Baihaqi, dan Ath-Thabarani] [6]

- Hadits dari shahabat Abu Umamah t bahwa Rasulullah r berkata :

} مَنْ صَامَ يَوْماً فِي سَبِيلِ اللهِ ؛ بَعَّدَ اللهُ وَجْهَهُ عَنِ النَّارِ مِا ئَةَ عَامٍ، رَكْضَ الفَرَسِ الجَوَّادِ المُضَمَّرِ { [رواه عبد الرزاق و الطبراني]

“Barangsiapa yang bershaum (berpuasa) sehari di jalan Allah, niscaya Allah jauhkan api Jahannam darinya sejauh perjalanan seratus tahun, dengan kecepatan kuda tunggangan gesit dan kuat.[7] [’Abdurrazzaq dan Ath-Thabarani] [8]



6. Shaum menghapus dosa dari segala fitnah (kerusakan)harta, tetangga atau keluarga

Hadits Hudzaifah t yang disebutkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dalam Shahihnya, Bab : Ash-Shaum Kaffarah, bahwasannya Rasulullah r berkata:

} فِـتْـنَةُ الرَّجُلِ فِي أَهْلِهِ وَ مَالِهِ وَ جَارِ هِ تُكَـفِّرُهَا الصَّلاَ ةُ وَ الصِّيامُ وَ الصَّدَ قَةُ { (متفق عليه)

“Dosa yang dilakukan seseorang karena terfitnah oleh keluarga, harta, atau tetangganya dihapuskan oleh shalat, shaum, dan shadaqahnya.” [Muttafaqun ‘alaihi] [9]



7. Dua Kegembiraan bagi orang yang shaum

Hadits Abu Hurairah t dan Abu Sa’id Al-Khudri t, bahwa Rasulullah r bersabda :

} لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ يَفْرَحُهُمَا إِذَ ا أَ فْطَرَ فَرِ حَ بِفِطْر ِهِ وَ إِذَ ا لَقِيَ رَ بَّهُ فَرِ حَ بِصَوْمِهِ { [متفق عليه]

“Bagi orang yang bershaum (berpuasa) dua kegembiraan : Jika berbuka dia bergembira dengan berbukanya tersebut, jika bertemu Rabbnya (Allah) dia bergembira dengan (pahala) shaumnya.” [Muttafaqun ‘alaihi, dengan lafazh Muslim] [10]



8. Shaum sebagai perisai untuk melawan syahwat pandangan dan kemaluan

Hadits ‘Abdullah bin Mas’ud t, bahwa Rasulullah r bersabda :

} مَنِ اسْتَطَاعَ الْبَاءَ ةَ فَـلْـيَـتَـزَ وَّ جْ ، فَإِ نَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَ أَحْصَنُ لِـلْـفَرْجِ ، وَ مَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ، فَإِ نَّهُ لَهُ وِجَاءٌ { [متفق عليه]

“Barangsiapa yang telah mampu menikah hendaknya segera menikah, karena sesungguhnya pernikahan itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Namun barangsiapa yang belum mampu maka hendaknya dia berpuasa, karena sesungguhnya shaum tersebut berfungsi sebagai perisai baginya. [Muttafaqun ‘alaihi] [11]

Dari hadits di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa di antara hikma ash-shaum berfungsi sebagai perisai seorang hamba dari kejahatan syahwatnya. Sekaligus sebagai salah satu jalan keluar bagi para pemuda yang belum mampu melakukan pernikahan.



9. Shaum memberikan syafaat kepada pelakunya

Hadits ‘Abdullah bin ‘Amr t, bahwa Rasulullah r bersabda :

} الصِّيَامُ و القُرآ نُ يَشْفَعَانِ لِلْعَبْدِ يَوْمَ القِيَامَةِ، يَقُولُ الصِّيَامُ : أَي رَبِّ إِ نِّي مَنَعْتُهُ الطَّعَامَ وَ الشَّهَوَ اتِ بِالنَّهَارِ فَشَفَّعْنِي فِيهِ ؛ يَقُولُ القُرْآ نُ : رَبِّ مَنَعْتُهُ النَّوْمَ بِاللَّيْلِ فَشَفِّعْنِي فِيهِ فَيُشَفَّعَانِ {

“Ash-Shiyam dan Al-Qur`an keduanya memberikan syafa’at untuk hamba tersebut pada Hari Kiamat. Berkata Ash-Shiyam : “Wahai Rabb, sesungguhnya aku telah menghalanginya dari makanan dan syahwat pada siang hari, maka terimalah syafa’atku untuknya.” Al-Qur`an pun berkata : Wahai Rabbku, aku telah menghalanginya dari tidur pada malam hari, maka terimalah syafa’atku untuknya. Maka keduanya memberikan syafa’at untuk hamba tersebut [Ahmad dan Ath-Thabarani] [12]

Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata :

أي : يشفعهما الله فيه و يدخله الجنة، قال المناوي : } و هذا القول يحتمل أنه حقيقة بأن يجسد ثوابهما و يخلق الله فيه النطق (وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ)، و يحتمل أن على ضرب من المجاز و التمثيل {. قلت : و الأول هو الصواب الذي ينبغي الجزم به هنا و في أمثاله من الأحاديث التي فيها تجسيد الأعمال و نحوها، كمثل تجسيد الكنـز شجاعا أقرع، و نحوه كثير. و تأويل مثل هذه النصوص ليس من طريقة السلف y، بل هو طريقة المعتزلة و من سلك سبيلهم من الخلف، و ذلك مما ينا في أول شروط الإيمان (الَّذِينَ يُؤْ مِنُونَ بِالْغَيْبِ) البقرة : ٣، فحذار أن تحذ و حذو هم، فتضل و تشقي، و العياذ بالله. اهـ

Maksudnya adalah : Al-Qur`an dan Ash-Shiyam keduanya diizinkan oleh Allah untuk memberi syafa’at kepada orang tersebut sekaligus memasukkannya ke dalam Al-Jannah. Al-Munawi berkata : “Ada kemungkinan bahwa maksud perkataan di atas adalah secara hakekat sebenarnya, yaitu dengan Allah rupakan dalam bentuk fisik ganjaran kedua amalan tersebut, kemudian Allah ciptakan untuk keduanya kemampuan untuk berbicara.

(وَ اللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِ يرٌ)

“dan Allah Maha mampu atas segala sesuatu.”

Ada juga kemungkinan bahwa hal itu hanya sebatas permisalan dan majaz.

Menanggapi pernyataan Al-Munawi di atas, Asy-Syaikh Al-Albani berkata : “Kemungkinan pertama itulah yang benar dan harus dipastikan dalam permasalahan dan yang semisalnya dari berbagai bentuk hadits yang di dalamnya disebutkan tentang dirupakannya amalan dalam bentuk jasad (fisik) dan yang semisalnya. …. sementara penta’wilan (permisalan maksud hadits dari makna sebenarnya kepada makna majaz) terhadap nash-nash seperti ini bukanlah metode generasi salaf y, bahkan itu adalah metode kelompok Al-Mu’tazilah dan pihak-pihak yang mengikuti jejak mereka dari kalangan kaum khalaf. Cara penakwilan seperti itu sangat bertentangan dengan syarat pertama keimanan, yaitu :

(الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ) البقرة: ٣،

“orang-orang yang berimana kepada hal-hal ghaib” [Al-Baqarah : 3]

Maka waspadalah engkau dari sikap mengikuti jejak mereka (kaum mu’tazilah) yang menyebabkan engkau menjadi sesat dan celaka. Wal’iyyadzubillah. –selesai–



10. Doanya tidak tertolak

Hadits dari shahabat Abu Hurairah t, bahwa Rasulullah r bersabda :

} ثَلاَثَةٌ لاَ تُرَدُّ دَعْوَتُهُمْ : الإِمَامُ الْعَادِلُ، وَالصَّائِمُ حَتَّى يُفْطِرَ، وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ … {

“Tiga pihak tidak akan ditolak do’a mereka : Seorang pemimpin yang adil, seorang yang bershaum hingga dia berbuka, dan do`a seorang yang terzhalimi,” [At-Tirmidzi dan Ibnu Majah] [13]

Dari hadits di atas, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa do’a seorang yang bershaum ketika dia sedang menunaikan shaumnya hingga datangnya waktu ifthar adalah do`a yang mustajab. Sementara hadits dari shahabat Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

} لِكُلِّ صَائِمٍ عِنْدَ فِطْرِ هِ دَعْوَ ةٌ مُسْتَجَا بَةٌ {

“Setiap orang yang bershaum memiliki do`a yang mustajab ketika dia berifthar (berbuka).” [Ibnu ‘Adi] [14]

Diriwayatkan pula oleh Al-Imam Ibnu Majah dan Al-Hakim dari shahabat ‘Abdillah bin ‘Amr bin Al-’Ash dengan lafazh :

} إِنَّ لِلصَّائِمِ عِنْدَ فِطْرِ هِ دَعْوَ ةٌ لاَ تُرَدُّ {

“Sesungguh orang yang bershaum memiliki do`a yang tidak ditolak ketika dia berifthar”

Al-Imam Ibnul Qayyim dalam kitab beliau Zadul Ma’ad mengisyarahkan tentang lemahnya hadits ini. Asy-Syaikh Al-Albani menyatakan bahwa hadits ini lemah. [15]




Fadhilah Shaum Ramadhan


1. Shaum Ramadhan sebagai penghapus dosa selama tidak melakukan dosa besar

Hadits dari shahabat Abu Hurairah t , sesungguhnya Rasulullah r berkata :

} اَلصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ، وَالْجُمُعَةُ إِلَى الْجُمْعَةِ، وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ مُكَفِّرَاتُ مَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْـتَـنَبَ الْكَبَائِرَ { [رواه مسلم]

“Shalat lima waktu, Jum’at ke Jum’at berikutnya, Ramadhan ke Ramadhan berikutnya merupakan penghapus dosa-dosa selama masih meninggalkan dosa-dosa besar.” [HR. Muslim] [16]

Namun keutamaan dan fungsi Ramadhan sebagai penghapus dosa sangat bergantung kepada sikap dan kemauan hamba untuk menjauhi Al-Kaba`ir , yaitu dosa-dosa besar. Hal ini sebagaimana ditegaskan pula oleh Allah I dalam firman-Nya :

إِنْ تَجْتَنِبُوا كَبَائِرَ مَا تُنْهَوْنَ عَنْهُ نُكَفِّرْ عَنْكُمْ سَيِّئََا تِكُمْ وَ نُدْ خِلْكُمْ مُدْخَلاً كَرِ يمًا [النساء/31]

“Jika kalian menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kalian mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahan kalian (dosa-dosamu yang kecil) dan kami masukkan kalian ke tempat yang mulia (Al-Jannah).” [An-Nisa` : 31]

Berkata Asy-Syaikh As-Sa’di t tentang ayat di atas :

Tentu ini merupakan bentuk keutamaan dan kebaikan Allah I terhadap hamba-hamba-Nya yang mu`min. Allah I menjanjikan kepada mereka bahwa jika mereka menjauhi dosa-dosa besar yang terlarang, maka pasti Dia akan mengampuni seluruh dosa dan kesalahannya, serta akan memasukkan mereka ke tempat yang mulia dan penuh kebaikan, yaitu Al-Jannah yang meliputi segala keindahan yang belum pernah dilihat oleh mata, dan belum pernah di dengar oleh telinga, bahkan belum pernah terbetik dalam sanubari manusia.

Termasuk pula dalam upaya menjauhkan diri dari Al-Kaba`ir adalah menunaikan berbagai kewajiban, yang apabila ditinggalkan maka pelakunya tergolong telah melakukan dosa besar, seperti shalat lima waktu, dan shalat Jum’at, serta shaum Ramadhan, sebagaimana sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam:

Antara shalat lima waktu, dan shalat Jum’at ke Jum’at berikutnya, serta antara Ramadhan ke Ramadhan berikutnya berfungsi sebagai penghapus dosa-dosa yang terjadi di antara keduanya selama masih dijauhi dosa-dosa besar

Definisi Al-Kaba`ir adalah sebuah dosa yang diancam dengan hukuman pidana di dunia, atau ancaman adzab di akhirat, atau penafian (penolakan) iman dari pelakunya, serta terkena laknat dan marah Allah I atasnya.” [17]

Dari keterangan di atas, setidaknya ada dua kesimpulan yang bisa kita ambil :

1. Bahwa shaum Ramadhan tidak akan berfungsi sebagai penebus dosa atau penghapus kesalahan kecuali apabila pelakunya berupaya meninggalkan Al-Kaba`ir (dosa-dosa besar).

2. Bahwa kita harus mengetahui definisi dan batasan Al-Kaba`ir, sehingga dengan itu kita dapat menghindarkan diri kita darinya, dan tentunya hal itu tidak mungkin tercapai kecuali dengan thalabul ‘ilmi (menuntut ilmu syar’i).



2. Shaum Ramadhan sebagai penghapus dosa-dosa yang telah lalu

Hadits dari shahabat Abu Hurairah t, bahwa Rasulullah r bersabda :

} وَ مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَا نًا وَ احْتِسَا بًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّ مَ مِنْ ذَ نْبِهِ {

“Barangsiapa berpuasa Ramadhan karena dorongan iman dan mengharap (pahala) maka pasti Allah ampuni dosa-dosanya yang telah lalu . [Muttafaqun ‘alaihi] [18]

Hadits ini memiliki kemiripan dengan hadits yang sebelumnya, yaitu bagi orang yang shaum pada bulan Ramadhan akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. Namun keutamaan tersebut memang hanya bisa diraih dengan dua syarat :

a. Shaum yang dia lakukan karena keimanan, yaitu dia meyakini (mengimani) bahwa shaum Ramadhan merupakan syari’at yang haq (benar dan pasti) yang datangnya dari Allah I dan telah diwajibkan kepada kaum mu`minin.

b. Shaum yang dia lakukan berdasarkan sikap ihtisab (mengharapkan) pahala dan ridha Allah I. Sehingga mendorong dia untuk melakukannya dengan penuh keikhlasan, tanpa ada unsur kepentingan duniawi.

Sehingga barangsiapa yang melakukan shaum Ramadhan tanpa dilandasi dua sikap di atas, dia tidak akan mendapatkan keutamaan yang dijanjikan.

Terkait dengan permasalahan di atas, ada beberapa hadits dha’if yang perlu diketahui, antara lain :

a. Hadits dari shahabat Abu Hurairah t secara marfu’ dengan lafadz :

} وَ مَنْ قَامَ لَيْلَةَ القَدْرِ إِيمَا نًا وَ احْتِسَا بًا؛ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّ مَ مِنْ ذَ نْبِهِ وَ مَا تَأَ خَّرَ {. رواه النسائي في الكبرى

“Barangsiapa yang beribadah pada malam lailatul qadr karena dorongan iman dan mengharap (pahala) maka pasti Allah ampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan yang akan datang. [An-Nasa`i] [19]

Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata : Hadits ini dengan tambahan lafazh وَ مَا تَأَخَّرَ adalah hadits yang Syadz (ganjil).

b. Hadits dari shahabat Abu Sa’id Al-Khudri t bahwa Rasulullah r bersabda :

} من صام رمضان و عرف حدوده، و تحفظ مما كان ينبغي أن يتحفظ منه، كفر ما قبله { . رواه أحمد والبيهقي

“Barangsiapa yang bershaum di bulan Ramadhan dan mengetahui batas-batas (syar’i) nya, serta dia berupaya menjaga diri dari segala sesuatu yang semestinya ia menjaga dirinya dari hal itu, maka pasti akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” [Ahmad dan Al-Baihaqi]

Hadits ini adalah hadits yang lemah, sebagaimana ditegaskan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Tamamul Minnah. [20] Karena pada sanadnya ada seorang perawi yang majhul, yaitu ‘Abdullah bin Quraith. Al-Imam Al-Haitsami berkata, bahwa perawi ini telah disebutkan oleh Ibnu Abi Hatim namun beliau tidak menyebutkan tentangnya, baik jarh (cercaan) atau pun ta’dil (rekomendasi). Disebutkan dalam kitab Ta’jilul Manfa’ah bahwa Al-Husaini berkata tentang perawi ini dalam kitab Rijalul Musnad : bahwa dia adalah seorang perawi yang majhul.



[1] At-Tirmidzi 1624. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 563.

[2] An-Nasa`i no. 2254, Ibnu Abi ‘Ashim dalam Kitabul Jihad I/88/2, Ath-Thabarani dalam Al-Kabir no. 927. Dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani v dalam Ash-Shahihah no. 2565.

[3] Fathul Bari syarh hadits no. 2840.

[4] Lihat Syarh Sunan An-Nasa`i oleh Al-Imam As-Sindi, syarh hadits no. 2565.

[5] Lihat Syarh Sunan An-Nasa`i oleh Al-Imam As-Sindi, syarh hadits no. 2565.

[6] Ahmad II/526 Karena pada sanadnya ada ‘Abdullah bin Lahi‘ah seorang perawi yang lemah, sekaligus ayahnya yaitu Lahi‘ah, dia seorang perawi yang majhulul hal sebagaimana dinyatakan oleh Ibnul Qaththan; Al-Hafizh juga berkata tentangnya : mastur. Dalam sanadnya juga ada rawi yang mubham, yaitu gurunya Lahi‘ah. Hadits ini didha’ifkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani v dalam Adh-Dha’ifah no. 1330.

[7] Tentang makna (Al-Jawad) dan (Al-Mudhammar) lihat Fathul Bari syarh hadits no. 2870, 6553; dan Syarh Shahih Muslim oleh An-Nawawi, syarh hadits no. 2828.

[8] ‘Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf (V/301/9683), Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jamul Kabir (VIII/233/7806). Asy-Syaikh Al-Albani dalam Adh-Dha’ifah no. 6910 berkata tentang hadits ini : “Munkar dengan konteks secara lengkap seperti di atas. Karena pada sanadnya terdapat kelemahan yang berentet, ada tiga perawi yang semuanya dha’if (lemah), yaitu : ‘Ali bin Yazid, ‘Ubaidullah bin Zahr, dan Al-Mutharrih.”

Dalam kitabnya Taqribut Tahdzib, Al-Hafizh berkata tentang ‘Ali bin Yazid bin Abi Hilal : dha’if (lemah).

Kemudian tentang ‘Ubaidullah bin Zahr, beliau berkata : Saduqun Yukhthi’ (jujur namun berbuat kesalahan dalam periwayatan hadits).

Adapun tentang Mutharrih bin Yazid, beliau berkata : dha’if (lemah).

Oleh karena itu Al-Imam Al-Haitsami v dalam kitabnya Majma’uz Zawa`id melemahkan hadits di atas dengan sebab keberadaan Mutharrih bin Yazid ini. beliau berkata : “Hadits ini diriwayatkan oleh Ath-Thabarani dalam Al-Kabir, namun dalam sanadnya terdapat Mutharrih, dia adalah seorang perawi yang dha’if.” (lihat Adh-Dha’ifah no. 6910).

[9] HR. Bukhari No. 1895 , HR. Muslim No. 144.

[10] HR. Bukhari No.1904, HR. Muslim No. 1151.

[11] HR. Bukhari No. 1905, HR. Muslim No. 1400.

[12] Ahmad dan Ath-Thabarani dalam Al-Kabir. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani Shahihul Jami’ish Shaghir no. 3882. Adapun dalam Shahihut Targhib no. 984 beliau menyatakan : Hasan Shahih. Lihat pula Tamamul Minnah hal. 394-395.

[13] HR. At-Tirmidzi No. 3598, HR. Ibnu Majah No. 1752.

[14] Ibnu ‘Adi. Pada sanad ada seorang perawi yang bernama Muhammad bin Ishaq Al-Balkhi. Ibnu ‘Adi berkata tentangnya : “Al-Balkhi ini adalah seorang perawi yang haditsnya tidak menyerupai hadits para perawi yang jujur.” Asy-Syaikh Al-Albani berkata bahwa Al-Imam Shalih Jazarah dan selainnya menyatakan bahwa orang ini pendusta. Lihat penjelasan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Adh-Dha’ifah no. 4325.

[15] Lihat Al-Irwa` no. 921.

[16] HR. Muslim No. 233.

[17] Tafsir As-Sa’di surat An-Nisa` : 31.

[18] HR. Bukhari No. 1901, HR. Muslim No. 760.

[19] HR. An-Nasa`i dalam As-Sunanul Kubra. Lihat Adh-Dha’ifah no. 5083.

[20] Lihat Tamamul Minnah hal. 395.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar