Al Qur'an

يَا بُنَيَّ أَقِمِ الصَّلاَ ةَ وَ أْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَ انْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَ اصْبِرْ عَلَى مَا أَصَا بَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ اْلأُمُور [لقمان/17]

Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). (QS. Lukmaan (31) : 71

SILAHKAN DISEBARKAN

SILAHKAN DIPERBANYAK / DISEBARKAN DENGAN COPY PASTE ASAL SEBUTKAN SUMBERNYA, TERIMA KASIH

Jumat, 18 Februari 2011

Kitab Shaum (Bagian 2) : Shaum & Hukum-hukumnya


1. Definisi Ash-Shaum

Perbedaan arti dari Puasa dan Ash-Shaum


Kita sering menerjemahkan Ash-Shaum atau Shiyam dengan puasa, padahal puasa berasal dari kata upawasa istilah agama Hindu. Seperti tertulis dalam kitabnya, sebagaimana yang dikutip oleh Ust. Shiddiq Amien (Alm) dari buku Candravid 4:9 “Upawasa itu pada hari kamu dilahirkan, ketika kamu menginginkan sesuatu, ketika kamu menyatakan kecintaan antara Athman dan Brahman, tetapi cucilah rambutmu sebelum melakukannya itu”. Pengaruh cuci rambut sebelum puasa ini tertular kepada sebagian umat Islam yang melakukan keramas dan menabuh rebana sehari sebelum Ramadlan atau menjelang Idul Fitri.


Puasa ada pada setiap agama, sebab ibadah dengan menahan diri dari suatu pekerjaan itu adalah latihan yang sangat efektif untuk mempertahankan jiwa raga. Sehingga kaum penyembah berhala, agama Mesir kuno, Yunani, Romawi, Yahudi dan Kristen mengenal bentuk ibadah ini. Tetapi ibadah ini bagi mereka bukan merupakan kewajiban melainkan sangat terpuji bagi yang melaksanakannya. Atau dijadikan syarat untuk mencapai tujuan atau meraih keinginan. Misalnya melakukan puasa pada kelahiran (wedal) seseorang yang diharapkan cintanya. Puasa juga dilakukan untuk meredam kemarahan dewa atau makhluk penguasa yang marah, misalnya ketika gunung meletus atau air laut mengamuk. Dilakukan juga dengan memakai sesajian untuk makhluk yang tak jelas wujudnya itu.


Kaum Kristen juga melakukan puasa selama 40 hari, dihitung sejak kematian Yesus sampai kenaikannya. Puasa Kristen berbeda-beda menurut madzhab dan pendetanya masing-masing; ada yang tidak memakan daging dan tidak minum susu selama 40 hari itu, ada juga yang hanya mengurangi makan saja.

Dan kata shaum berasal dari bahasa arab (صام – يصوم – صوما و صياما) (صائم صائمون و صيام)

SHAAMA – YASHUUMU adalah bentuk kata kerja sedangkan SHAUM atau SHIYAM adalah bentuk pekerjaan. Orang yang melakukan shaum disebut SHAAIM bentuk jamaknya SHAAIMUNA atau SHAAIMINA kadang menggunakan kata SHAYYAAM.



Definisi secara bahasa (lughoh)

Ash-Shaum ( الصَّوْم ) bermakna ( الإِمْسَاكُ ) yang artinya menahan. Maka atas dasar itulah Al Imam Abu 'Ubaid mengatakan dalam bukunya Gharibul Hadits :

كُـلُّ مُمْسِكٍ عَنْ كَلاَ مٍ أَوْ طَعَامٍ أَوْ سَيْرٍ فَـهُـوَ صَائِمٌ

“Semua orang yang menahan diri dari berbicara atau makan, atau berjalan maka dia dinamakan Sha`im (orang yang sedang bershaum).” [1]

Kemudian lihat firman Allah I :

إِ نِّي نَذَرْتُ لِلرَّ حْمَنِ صَوْ مًا فَـلَنْ أُ كَـلِّمَ الْيَوْمَ إِ نْسِيًّا [مريم/26]

"Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini". (QS. Maryam (19) : 26)

Shahabat Anas bin Malik t dan Ibnu ‘Abbas r berkata : صَوْمًا maknanya adalah صَمْـتـَا yaitu menahan diri dari berbicara.[2]





Definisi secara Istilah (terminologi)

‘Ibarah (ungkapan) para ‘ulama berbeda dalam mendefinisikan ash-shaum secara tinjauan syar’i, masing-masing definisi tersebut saling melengkapi. Sehingga sampai pada kesimpulan bahwa definisi ash-shaum adalah :

إِمْسَاكُ الْمُكَــلَّــفِ عَنِ اْلمُـفَـطِّرَ اتِ بِـنـِيَّـةِ الـتــّـَـعَـبُّدِ للهِ مِنْ طُلُو عِ اْلفَجْرِ إِلَى غُرُوبِ الشَّمْسِ

Usaha seorang mukallaf untuk menahan diri dari berbagai pembatal ash-shaum disertai dengan niat beribadah kepada Allah, dimulai sejak terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari.

Penjelasan tentang definisi :

a. Pernyataan Al Mukallaf adalah bahwa ash-shaum secara syariat dilakukan oleh para mukallaf yaitu orang-orang yang telah terkena kewajiban ibadah dari setiap muslim yang sudah baligh dan sehat akalnya.

b. Pernyataan : "disertai dengan niat beribadah kepada Allah", menunjukkan bahwa ash-shaum harus disertai dengan niat shaum sebagai bentuk ibadah kepada Allah I .

c. Pernyataan : "dimulai sejak terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari", berdasarkan dalil qur’an :

وَ كُلُوا وَ اشْرَ بُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ اْلأَ بْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ اْلأَسْوَ دِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْل [البقرة/187]

dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (QS. Al Baqarah (2) : 187)

Pengertian lainnya sebagai tambahan pengetahuan adalah Ash-shaum atau shiyam menurut syara’ yang dikemukakan oleh Imam Ahmad Musthofa al-Maraghiy, yaitu:

الامساك عن الا كل و الشرب و غشيان النساء من الفجر الى المغرب احتسابا لله, و اعدادا للنفس و تهيئة لها لتقوى الله بمراقبته فى السر و العلن
“Menahan diri tidak makan, tidak minum, tidak hubungan suami istri dari mulai fajar sampai maghrib dengan mengharap pahala dari Allah (ikhlas), dan mempersiapkan jiwa untuk taqwa kepada-Nya dengan muraqabah dalam keadaan sembunyi maupun terang-terangan”.

Yang dimaksud dengan muraqabah adalah pengetahuan seorang hamba akan perhatian dan tatapan Allah I kepadanya, sehingga apapun yang ia lakukan, dimanapun, dan kapanpun ia menyadarinya bahwa Allah I akan memperhitungkan segala amalnya.


Pengertian shiyam ini sesuai dengan firman Allah I dan sabda Rasulullah r:

يا أيها الذين ءامنوا كتب عليكم الصيام كما كتب على الذين من قبلكم لعلكم تتقون
Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan atas kamu shaum, sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertaqwa”. (QS. Al-Baqarah:183).



2. Sejarah Turunnya Ash-Shaum

Awal turunnya kewajiban shaum Ramadhan adalah pada bulan Sya’ban tahun kedua Hijriyah, atas dasar ini para ulama berijma’ bahwa Rasulullah r menunaikan ibadah shaum di bulan Ramadhan selama hidupnya sebanyak sembilan kali. [3]

Ibnul Qayyum, mengatakan dalam Zadul Ma'ad bahwa difardhukannya shaum Ramadhan melalui 3 tahapan :

1. Kewajiban yang bersifat takhyir (pilihan).

2. Kewajiban secara qath'i (mutlak) akan tetapi jika seseorang yang shaum kemudian tertidur sebelum berbuka maka diharamkan baginya makan dan minum sampai hari berikutnya. (karena saat itu setelah buka langsung shaum kembali).

3. Tahapan terakhir, yaitu yang berlangsung sekarang dan berlaku sampai hari kiamat sebagai nasikh (penghapus) hukum sebelumnya. [4]


Tahapan awal berdasarkan firman Allah I :

وَ عَلَى الَّذِينَ يُطِيقُو نَهُ فِدْ يَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّ عَ خَيْرً ا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَ أَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ [البقرة/184]

Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (QS. Al Baqarah (2) : 184)

Berkata Al Hafizh Ibnu Katsir : 'Adapun orang yang sehat dan mukmin (tidak bepergian/musafir) serta mampu menjalankan ash-shaum diberikan pilihan antara menunaikan ash-shaum dan membayar fidyah. Jika mau maka dia bershaum dan bila tidak maka dia membayar fidyah yaitu dengan memberi makan setiap hari kepada satu orang miskin. Kalau dia memberi lebih dari satu orang miskin maka lebih baik baginya. [5]

Ibnu 'Umar t ketika membaca ayat ini (فِدْ يَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ) mengatakan bahwa ayat ini mansukh (dihapus hukumnya), untuk mereka yang mampu melaksanakan tanpa ada halangan kesehatan maupun pekerjaan yang berat. [6]

Dan Atsar dari Salamah ibnu al-Akwa tatkala turunya ayat ini berkata : "Barang siapa hendak bershaum maka silahkan bershaum dan jika tidak maka silahkan berbuka dengan membayar fidyah". Kemudian turunlah ayat yang berikutnya yang memansukh (menhapuskan) hukum tersebut diatas. [7]

Secara dhahir, bunyi ayat ini : (وَ عَلَى الَّذِينَ يُطِيقُو نَهُ فِدْ يَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ) mansukh (dihapus) dengan ayat : (فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ) sebagaimana pendapat jumhur ulama. [8]

Tetapi dalam sebuah atsar Ibnu ‘Abbas t, beliau berkata : “Ayat ini bukanlah mansukh melainkan rukhshoh (keringanan) bagi orang tua (laki-laki maupun perempuan) yang lemah supaya memberi makan seorang miskin untuk setiap harinya.” [9]

Berkata Al-Hafizh Ibnu Katsir : “Mansukhnya ayat (وَ عَلَى الَّذِينَ يُطِيقُو نَهُ فِدْ يَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ) adalah benar yaitu khusus bagi orang yang sehat lagi mukim dengan diwajibkannya ash-shaum atasnya. Berdasarkan firman Allah I (فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ) adapun bagi orang tua yang lemah dan tidak mampu bershaum maka wajib baginya untuk berifthor (berbuka) dan tidak ada qadha` (shaum pengganti) baginya”. [10]



Dan inilah tahapan kedua.

Tetapi jika seseorang bershaum kemudian tertidur di malam harinya sebelum berbuka maka diharamkan baginya makan, minum dan jima’ sampai hari berikutnya.

Tahapan ini kemudian mansukh (dihapuskan) hukumnya berlandaskan hadits Al Barra’ t:

كَانَ أَصْحَا بُ مُحَمَّدٍ r إِذَ ا كَانَ الرَّجُلُ صَائِمًا فَحَضَرَ اْلإِفْطَارُ فَنَامَ قَبْلَ أَنْ يُفْطِرَ لَمْ يَأْ كُلْ لَيْلَـتَهُ وَ لاَ يَوْمَهُ حَتَّىيُمْسِيَ وَ إِنَّ قَيْسَ بْنَ صِرْ مَةَ الأَ نْصَارِي كَانَ صَائِمًا فَلَمَّا حَضَرَ اْلإِفْطَارُ أَ تَى اِمْرَ أَ تَه فَقَالَ لَهَا : أَعِنْدَ كِ طَعَامٌ ؟ قَالَتْ : لاَ لكِنْ أَ نْطَلِقُ فَأَطْلُبُ لَكَ وَ كَانَ يَوْمَهُ يَعْمَلُ فَغَلَبَتْهُ عَيْنَاهُ فَجَاءَتْ اِمْرَ أَ تُهُ فَـلَمَّا رَ أَ تْهُ قَالَتْ : خَيْبَةً لَكَ ! فَلَمَّا اِنْتَصَفَ النَّهَارُ غُشِيَ عَلَيْهِ فَذُ كِرَ ذَلِكَ لِلنَّبِي r فَنَزَ لَتْ هَذِهِ اْلأَ يَةُ : (أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ) فَفَرِحُوا بِهَا فَرْحًا شَدِيْدً ا فَنَزَ لَتْ ( وَ كُلُوا وَ اشْرَ بُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ اْلأَ بْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ اْلأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ) [رواه البخاري وأبو داود]

“Dahulu Shahabat Rasulullah r jika salah seorang di antara mereka shaum kemudian tertidur sebelum dia berifthar (berbuka) maka dia tidak boleh makan dan minum di malam itu dan juga siang harinya sampai datang waktu berbuka lagi. Dan (salah seorang shahabat yaitu), Qois bin Shirmah Al Anshory dalam keadaan shaum, tatkala tiba waktu berbuka, datang kepada istrinya dan berkata : apakah kamu punya makanan ? Istrinya menjawab : “Tidak, tapi akan kucarikan untukmu (makanan).” - dan Qois pada siang harinya bekerja berat sehingga tertidur (karena kepayahan)- Ketika istrinya datang dan melihatnya (tertidur) ia berkata : ” Rugilah Engkau (yakni tidak bisa makan dan minum dikarenakan tidur sebelum berbuka) !” Maka ia pingsan di tengah harinya. Dan ketika dikabarkan tentang kejadian tersebut kepada Rasulullah r, maka turunlah ayat :

أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّ فَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ

“Telah dihalalkan bagi kalian pada malam hari bulan shaum (Ramadhan) untuk berjima’ (menggauli) istri-istri kalian.”

dan para shahabat pun berbahagia sampai turunnya ayat yang berikutnya yaitu :

وَ كُلُوا وَ اشْرَ بُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ اْلأَ بْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ اْلأَسْوَ دِ مِنَ الْفَجْرِ

Dan makan serta minumlah sampai jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.” [11]


Fadhilah Ash-Shaum secara umum

1. Hadits dari shahabat Abu Hurairah t, bahwa Rasulullah r berkata :

}اَلصِّيَامُ جُنَّةٌ فَلاَ يَرْفُثْ وَ لاَ يَجْهَلْ وَ إِنِ امْرُؤٌ قَاتَلَهُ أَوْ شَاتَمَهُ فَـلْيَقُلْ إِ نِّي صَائِمٌ - مَرَّ تَيْنِ - وَ الَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَخُلُوفُ فَمِّ الصَّائِمِ أَطْـيَبُ عِنْدَ اللهِ تَعَالىَ مِنْ رِيْحِ اْلمِسْكِ، يَتْرُ كُ طَعَامَهُ وَ شَرَ ا بَهُ وَ شَهْوَ تَهُ مِنْ أَجْلِي، اَلصِّيَامُ لِي وَ أَ نَا أَجْزِ ي بِهِ، وَ الْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا { [متفق عليه]

“Ash-Shiyam adalah perisai. Maka hendaklah seseorang tidak berkata (berbuat) keji dan tidak berbuat jahil. [12] Dan bila ada yang mengajak bertengkar atau mencelanya maka katakan : “Sesungguhnya saya sedang shaum” - dua kali - Dan demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, Sungguh bau mulut orang yang shaum lebih harum daripada bau misk di sisi Allah, Dia meninggalkan makanan, minuman, dan syahwatnya karena Aku. Dan Aku sendiri yang akan membalas amalan baiknya (ash-shaum) dan ketahuilah bahwa satu kebaikan dilipat gandakan balasannya sampai sepuluh kali lipat. ” [Muttafaq ‘alaih]. [13]

Dalam hadits di atas, ada beberapa fadhilah yang dapat kita petik :


a. Bahwa Ash-Shaum berfungsi sebagai perisai.

Dijelaskan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam An-Nasa`i dari shahabat Aisyah dan ‘Utsman bin Abil ‘Ash, bahwa Ash-Shaum adalah perisai dari An-Nar (api neraka). Lafazh hadits tersebut adalah :

عَنْ مُطَرِّفٍ قَالَ دَخَلْتُ عَلَى عُثْمَانَ بْنِ أَبِي الْعَاصِ، فَدَعَا بِلَـبَنٍ، فَقُلْتُ : إِ نِّي صَائِمٌ ؛ فَقَالَ : سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ r يَقُولُ : } الصَّوْمُ جُنَّةٌ مِنَ النَّارِ كَجُنَّةِ أَحَدِكُمْ مِنَ الْقِتَالِ {

Dari Mutharrif berkata : Aku datang menemui ‘Utsman bin Abil ‘Ash, kemudian beliau hendak menghidangkan susu untukku. Maka aku berkata : “Sesungguhnya aku sedang bershaum. Maka beliau (’Utsman bin Abil ‘Ash) berkata : Sungguh aku telah mendengar Rasulullah r bersabda : “Ash-Shaum adalah perisai dari An-Nar (api neraka), seperti perisai salah seorang dari kalian dalam peperangan.” [14]

Dalam hadits lain, dari shahabat Jabir t bahwa Rasulullah r bersabda :

}إِ نَّمَا الصِّيَامُ جُنَّةٌ يَسْتَجِنُّ بِهَا الْعَبْدُ مِنَ النَّارِ { [رواه أحمد]

“Sesungguhnya shaum itu adalah perisai yang dengannya seorang hamba melindungi diri dari (adzab) An-Nar.” [HR. Ahmad] [15]


b. Aroma mulut seseorang yang sedang bershaum lebih baik di sisi Allah dibandingkan aroma wangi misk.

عَنْ أَبِي هُرَ يْرَ ةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ } يَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَ جَلَّ ..فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ{

Dari Abu Hurairah t dari Nabi r, beliau bersabda: " Allah Azza wa Jalla berfirman : “…….Dan sungguh, bau mulut orang yang berpuasa jauh lebih wangi di sisi Allah daripada bau minyak kesturi." [16]


c. Ibadah shaum yang dilakukan karena Allah, maka pahalanya akan dibalas secara langsung oleh Allah sendiri.

حَدَّ ثَنَا أَ بُـو نُـعَيْمٍ حَدَّ ثَنَا اْلأَعْمَشُ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَ يْرَ ةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ } يَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَ جَلَّ الصَّوْمُ لِي وَ أَ نَا أَجْزِ ي بِهِ يَدَعُ شَهْوَ تَهُ وَ أَ كْلَهُ وَ شُرْ بَهُ مِنْ أَجْلِي {

Dari Abu Hurairah t dari Nabi r, beliau bersabda: "Allah Azza wa Jalla berfirman: 'Puasa adalah milik-Ku, dan Aku sendirilah yang mengganjarinya, orang yang berpuasa itu meninggalkan syahwatnya, makan dan minumnya karena Aku." [17]



2. Pintu khusus bagi orang-orang yang bershaum, yaitu pintu Ar-Rayyan.

Hadits dari shahabat Sahl bin Sa’d t, Nabi r berkata :

} إِنَّ فِي الْجَنَّةِ بَابًا يُقَالُ لَهُ الرَّ يَّانُ يَدْخُلُ مِنْهِ الصَّائِمُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، لاَ يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُ هُمْ، يُقَالُ : أَ يْنَ الصَّائِمُونَ ؟ فَيَقُوْ مُونَ لاَ يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُ هُمْ فَإِذَ ا دَخَلَوا أُغْلِقَ فَـلَمْ يَدْخُلْ مِنْهُ أَحَدٌ{. [متفق عليه]

“Sesungguhnya di Jannah ada sebuah pintu yang dinamakan Ar-Rayyan yang masuk melaluinya pada Hari Kiamat hanyalah orang-orang yang bershaum (berpuasa). Tidak akan masuk seorang pun melaluinya selain mereka, kemudian diserukan, “Manakah orang-orang yang bershaum (berpuasa)?” maka merekapun berdiri. Tidak ada seorang pun yang akan masuk melalui pintu Ar-Rayyan kecuali mereka. Setelah mereka masuk semua, maka pintu itupun ditutup, sehingga tidak ada lagi yang bisa masuk melaluinya.” [Muttafaqun ‘Alaih]. [18]

Dalam riwayat riwayat lain dengan tambahan :

} مَنْ دَخَلَ فِيهِ شَرِبَ وَ مَنْ شَرِبَ لَمْ يَظْمَأْ أَ بَدًا { [رواه النسائي و أحمد]

“Barangsiapa yang masuk melaluinya, pasti dia akan minum, dan barangsiapa yang minum maka pasti dia tidak akan pernah haus selamanya.” [An-Nasa`i dan Ahmad] [19]



3. Dijauhkan wajahnya dari An-Nar sejauh tujuh puluh (70) tahun.

Hadits dari shahabat Abu Sa’id Al-Khudri t, bahwa Rasulullah r berkata :

}مَا مِنْ عَبْدٍ يَصُوْمُ يَوْمًا فِي سَبِيْلِ اللهِ إِلاَّ بَاعَدَ اللهُ بِذَ لِكَ وَجْهَهُ عَنِ النَّارِ سَبْعِيْنَ خَرِيْفًا{ [متفق عليه]

“Tidaklah seseorang bershaum sehari di jalan Allah melainkan Allah akan menjauhkan wajahnya dengan shaumnya tersebut dari an-nar di hari kiamat, sejauh 70 tahun.”

[Muttafaq ‘alaih] [20] ([8])

Sebagian ‘ulama mengkhususkan makna Fi sabilillah dengan jihad, antara lain Al-Imam Ibnul Jauzi. Al-Imam Al-Bukhari pun menyebutkan hadits ini dalam Kitabul Jihad was Sair dengan judul bab : Keutamaan Ash-Shaum di jalan Allah. Begitu pula Al-Imam An-Nawawi dalam Syarh Muslim meletakkan bab pada hadits ini dengan judul : Keutamaan Ash-Shiyam Fi Sabilillah bagi yang mampu tanpa adanya kemudharatan dan pengabaian tugas.

Sehingga atas dasar itu keutamaan yang terkandung dalam hadits di atas hanya khusus bagi yang bershaum ketika berjihad fi sabilillah.

Namun Al-Imam Al-Qurthubi menegaskan bahwa makna Fi Sabilillah di sini adalah : ketaatan kepada Allah secara umum. Sehingga makna hadits adalah : “Barangsiapa yang bershaum dengan mengharapkan wajah Allah”. Atas dasar itu keutamaan tersebut tidak hanya terbatas pada shaum ketika berjihad fi sabilillah.

Al-Imam Al-Hafizh Ibnu Hajar menegaskan bahwa 2 kemungkinan makna di atas memungkinkan sebagaimana makna hadits di atas, sekaligus sebagai makna hadits berikut ini. [21]



[1] Gharibul Hadits (I/325-326, 327). Lihat Subulus Salam karya Ash-Shan’ani, awal Kitabush Shiyam.

[2] Lihat Tafsir Ibnu Katsir tafsir surat Maryam ayat 26.

[3] Lihat Kitab Taudhiihul Ahkam, Kitabush shiyam Jilid 3 hal 123 (secara makna).

[4] Lihat Zadul Ma’ad Kitabus Shiyam jilid 2 hal.20

[5] Tafsir Ibnu Katsir jilid 1, hal. 180 (Surat Al-Baqarah ayat 184)

[6] HR Bukhari Kitabut Tafsiir hadits no.4506.

[7] HR. Bukhari Kitabut Tafsir hadits no.4507; Muslim Kitabush Shiyam hadist no. 149 dan Abu Dawud Kitabush Shiyam, bab 2, hadist no.2312

[8] Lihat Syarh Shahih Muslim An-Nawawi : Kitabush Shiyam hadits no. 149 - [ 1145 ]

[9] Al-Bukhari Kitabut Tafsir hadits no. 4505

[10] Lihat Tafsir Ibnu Katsir (II/281) dalam menafsirkan QS Al-Baqarah : 183 -185.

Penjelasan : Maka dengan ayat (…وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيْقُونَهُ فِدْيَةٌ) masih tetap berlaku hukumnya untuk orang yang lanjut usia dan tidak mampu untuk bershaum, dengan cara membayar fidyah. Namun bagi orang yang muda belia yang muqim (tidak musafir) tetap wajib atasnya ash-shaum.

[11] Al-Bukhari Kitabush Shaum hadits no. 1915 dan Abu Dawud Kitabush Shiyaam, bab 1, hadits no. 2311.

[12] Perbuatan jahil maksudnya adalah perbuatan yang biasa dilakukan oleh orang jahil seperti berteriak-teriak atau berbuat kedunguan ( اَلسَّفَه ), dan lain-lain (lihat Fathul Bari Kitabush Shaum hadits no. 1894).

[13] Al-Bukhari 1894, Muslim 1151.

[14] An-Nasa`i no. 2231. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan An-Nasa`i no. 2231.

[15] HR. Ahmad, dari shahabat Jabir, dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahihut Targhib wat Tarhib no. 981. Lihat pula Shahihul Jami’ish Shaghir no. 4308.

[16] HR. Bukhari, dari shahabat Abu Hurairah, no. 6938 ; HR. Ahmad, dari shahabat Abu Hurairah, no. 8749; HR. Ibnu Majah, dari shahabat Abu Hurairah, no. 1628.

[17] HR. Bukhari, dari shahabat Abu Hurairah, no. 6938 ; HR. Ahmad, dari shahabat Abu Hurairah, no. 8749; HR. Ibnu Majah, dari shahabat Abu Hurairah, no. 1628. Hal ini tidak berarti bahwa orang yang bershaum disyari’atkan untuk membiarkan bau mulutnya. Bahkan tetap disunnahkan bagi orang yang bershaum untuk bersiwak, sebagaimana pernah dijawab oleh shahabat Mu’adz bin Jabal dalam sebuah atsar yang disebutkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam kitab beliau Irwa`ul Ghalil I/106 .

[18] HR.Al-Bukhari No.1896, HR. Muslim No. 1152.

[19] An-Nasa`i no. 2236, Ahmad V/336. dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan An-Nasa`i no. 2236.

[20] HR. Al-Bukhari No. 2840, HR. Muslim No 1153.

[21] Lihat Fathul Bari syarh hadits no. 2840.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar