Al Qur'an

يَا بُنَيَّ أَقِمِ الصَّلاَ ةَ وَ أْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَ انْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَ اصْبِرْ عَلَى مَا أَصَا بَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ اْلأُمُور [لقمان/17]

Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). (QS. Lukmaan (31) : 71

SILAHKAN DISEBARKAN

SILAHKAN DIPERBANYAK / DISEBARKAN DENGAN COPY PASTE ASAL SEBUTKAN SUMBERNYA, TERIMA KASIH

Jumat, 18 Februari 2011

Kitab Shaum (Bagian 1) : MEMAHAMI PERINTAH ALLAH TENTANG SHAUM

Bagian 1 ini catatan dari Ust. Saifuddin Asm

SURAT ALBAQARAH AYAT 183

يَا أَ يُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ [البقرة/183]

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa, (QS Al Baqarah (2) : 183)

Tafsir sekilas :

Perkataan كُتِبَ (kutiba) adalah bentuk majhul dari كَتَبَ (kataba). كَتَبَ (kataba) berarti menulis dan كُتِبَ (kutiba) berarti ditulis . Kemudian jika disambungkan dengan perkataan ('alaa) berarti fardlu. Oleh karena itu كُتِبَ عَلَيْكُم (kutiba 'alaikum) berarti difardlukan atas kamu sekalian. Yang dimaksud dengan كُمْ (kum); kamu sekalian disini adalah terkait dengan yang diseru yaitu orang-orang mu'min. Artinya shaum itu hanya difardlukan atas orang-orang mu'min. Oleh karena itu syarat sah shaum adalah mu'min. Orang kafir tidak akan diterima shaumnya.

Perkataan الصِّيَامُ (Ash-Shiam) adalah bentuk isim Masdar dari صَامَ - يَصُومُ , menurut bahasa berarti الإمساك (menahan) atau الترك (meninggalkan). Menurut Al-Raghib, perkataan صِيام (shiam) dan صَوم (shaum) menurut bahasa artinya mencakup pada menahan diri dari perkataan, perbuatan, gerakan, perjalanan dan makanan, sehingga kuda yang ditambat pun bisa disebut الصائم yang shaum. Al-Shabuni memberikan definisi bahwa shaum itu ialah:

الإِمْسَاكُ عَنِ الطَّعَامِ وَ الشَّرَ ابِ وَ الجِمَاعِ مَعَ النِّيَّةِ مِنْ طُـلًوعِ الفَجْرِ إِلَى غُرُوبِ الشَّمْسِ وَ كَمَالُهُ بِاْجْتِنَابِ المَحْظُورَ اتِ وَ عَدَمِ الوَ قُوعِ فِى المُحَرَّ مَاتِ.

"Menahan diri dari makan, minum dan jima' dengan niat ibadah shaum, sejak terbit fajar hingga terbenam matahari. Kesempurnaan shaum adalah dengan menjauhi segala yang dilarang dan mengindari perbuatan yang diharamkan".


Menurut pengertian ini, yang dimaksud shaum itu ialah menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkannya seperti makan, minum dan jima' dengan dilandasi niat ibadah yang dimanifestasikan pula pada pencegahan diri dari perbuatan yang tidak diridhai Allah I.

Dengan demikian, menahan lapar dan dahaga pun, kalau tidak dilandasi ibadah tidak termasuk shaum.


Dalam definisi di atas juga ditekankan bahwa shaum itu waktunya adalah sejak terbit fajar hingga terbenam matahari. Oleh karena itu jika menahan lapar dan dahaga yang dilaksanakan di luar waktu tersebut, maka tidak termasuk shaum. Ibnu Katsir, memberikan definisi shaum adalah sebagai berikut :

الإِمْسَاكُ عَنِ الطَّعَامِ وَ الشَّرَ ابِ وَ الوِقَاعِ بِنِيَّةٍ خاَلِصَةٍ لِلَّهِ عَزَّ وَ جَلَّ لِمَا فِيْهِ مِنْ زَكَاةِ النُّفُوسِ وَ طَهَارَ تِهَا وَ تَنْفِيَتِهَا مِنَ الإِخْتِلاَطِ الرَّدِ يْعَةِ وَ الأَخْلاَقِ الرَّذِ يْلَةِ.

"Shaum adalah menahan diri dari makan, minum dan senggama, dengan niat ikhlas karena Allah Azza Wajalla, yang mengandung hikmah mensucikan jiwa dan membersihkannya dari perbuatan yang tercela dan akhlak yang buruk".


Ibadah shaum telah difardlukan pula kepada umat terdahulu, sebagaimana ditandaskan firman-Nya:

كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ....

"Sebagaimana telah difardlukan atas orang sebelum kamu......".

Yang dimaksud dengan "orang sebelum kamu", adalah para Nabi dan umatnya, sejak Nabi Adam u sampai Nabi Muhammad r. Ayat ini menunjukkan bahwa shaum itu merupakan ibadah yang sangat tua, bukan hanya difardlukan kepada Nabi Muhammad r saja, melainkan umat terdahulu pun telah menerima perintah shaum. Penegasan ini juga mengandung arti dorongan agar kaum muslimin bisa melaksanakan ibadah shaum dengan sebaik-baiknya.


Ibadah shaum pada awalnya difardlukan atas umat terdahulu, seperti Nabi Nuh u, yaitu tiga hari setiap bulan , Nabi Dawud u shaum selang sehari. Setelah turun ayat ini, tahun kedua Hijrah, maka yang diwajibkan itu adalah shaum Ramadhan, dan shaum tiga hari tiap bulan itu menjadi tathawwu yang hukumnya sunnat. Dengan demikian ungkapan sebagaimana difardlukan kepada umat terdahulu itu hukumnya, bukan waktunya. Adapun sasaran yang dituju oleh shaum adalah Taqwa, sebagaimana ditegaskan-Nya; لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ "Agar kalian bertaqwa".


Kalimat ini merupakan penegasan tentang sasaran dan fungsi shaum difardlukan. Artinya ibadah itu harus mempunyai hikmah membentuk manusia taqwa. Taqwa dalam arti sempit adalah menahan diri dari perbuatan yang melanggar aturan Allah I, karena shaum itu pada dasarnya pengendalian. Dengan demikian, tinggi rendahnya nilai ibadah shaum terletak pada kemampuan mengendalikan diri dari perbuatan yang melanggar aturan Allah I dan Rasul-Nya. Selama ibadah shaum itu belum membekas pada pengendalian diri, selama itu pula nilainya masih rendah. Rasul r bersabda:

مَنْ لَمْ يَدْعِ قَولَ الزُّورِ وَ العَمَلَ بِهِ فلَيْسَ ِللهِ حَاجَةٌ فِى أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَ شَرَ ا بَهُ.

"Barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapan kotor, maka tidak ada hajat bagi Allah dalam meninggalkan makan dan minumnya". HR. Bukhari (w.256H), dan Abu Dawud (w.275H).


Penyarah hadits berpendapat bahwa yang dimaksud dengan فَلَيْسَ لِلّهِ حَاجَةٌ tidak ada hajat bagi Allah I pada hadits tersebut berarti tidak ada hak menerima pahala dari Allah I. Dengan kata lain, orang yang shaumnya tidak membekas pada pengendalian diri dari perbuatan dosa tidak akan mendapat pahala dari Allah I.


Al-Ghazali membagi derajat shaum kepada tiga macam yaitu: Shaum Umum, Shaum Khushush, dan Shaum Khushushul-khushush.


Shaum Umum (shaum orang-orang awam) ialah shaum yang dilakukan dengan hanya lapar dan dahaga dan tidak membekas pembinaan diri. Shaum Khushush (shaum utama) ialah yang dilakukan bukan hanya menahan lapar dan dahaga, tapi juga disertai dengan menahan pandangan, lisan, tangan, kaki dan anggota badan lainnya dari perbuatan dosa. Shaum Khushushul-khushush (shaum paling utama) ialah shaum yang dilakukan bukan hanya mengendalikan perut, farji, dan anggota badan lainnya dari perbuatan dosa, tapi juga mengendalikan pikiran dan perasaan dari hal-hal duniawi, sehingga pikiran dan perasaan tersebut hanya semata-semata terpusat kepada Allah I.

Selanjutnya Al-Ghazali memberikan penjelasan tentang langkah-langkah yang harus ditempuh agar ibadah shaum itu bernilai baik, yaitu:

(1). Menahan pandangan dari sesuatu yang tercela dan dari hal-hal yang melengahkan diri dari dzikir.

(2). Menahan lidah dari omongan yang tidak baik seperti dusta, mengumpat dan mengadu-domba.

(3). Menahan pendengaran dari hal-hal yang dibenci Allah I.

(4). Menjaga anggota badan dari berbagai perbuatan dosa dan mengendalikan perut dari makan yang subhat.

(5) Menyedikitkan makan waktu buka walaupun makanan yang halal.

(6). Hati, pikiran dan perasaan hendaknya senantiasa terkait dengan khauf (rasa takut) dan roja' (pengharapan) kepada Allah I.


Jika penjelasan di atas diperhatikan, maka derajat shaum itu harus diraih dengan meningkatkan diri dari perbuatan yang tidak diridhai Allah
I. Perbuatan tersebut, mencakup ucapan pendengaran, penglihatan, maupun perasaan.



SURAT ALBAQARAH AYAT 184

أَ يَّامًا مَعْدُودَ اتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِ يضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّ ةٌ مِنْ أَ يَّامٍ أُخَرَ وَ عَلَى الَّذِينَ يُطِيقُو نَهُ فِدْ يَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرً ا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَ أَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ [البقرة/184]

(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.

(QS Al Baqarah (2) : 184)

Tafsir sekilas :

1. أَ يَّا مًا مَّعْدُودَ اتٍ ; "hari-hari yang telah ditentukan".

Kalimat ini merupakan keterangan waktu untuk kalimat sebelumnya. Dengan demikian lengkapnya pengertian itu ialah: "Telah difardlukan kepadamu ibadah shaum pada hari-hari yang telah ditetapkan bilangannya". Yang dimaksud hari-hari yang telah ditentukan ialah: bulan Ramadlan sebagaimana terungkap pada ayat lanjutannya pada ayat 185.

2.فَمَنْ كَان َ منكم مَرِيْضًا أَو عَلَى سَفَرٍ فِعِدَّةٌ مِنْ أ َيَّامٍ أُخَرَ ; "Barangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan dan tidak shaum, maka hendaklah menggantinya di hari lain".

Dalam ayat ini tidak ditemukan batasan sakit atau pun perjalanan. Sakit yang bagaimana yang membolehkan buka. Perjalanan bagaimana dan sejauh mana jaraknya yang membolehkan buka itu.

Asy-Syaukani, mengatakan bahwa sakit dikaitkan dengan shaum terdapat dua hal. Jika sakit itu menimbulkan bahaya tatkala memaksakan shaum, maka buka adalah azimah (kemestian). Sedangkan jika shaum tidak membahayakan, melainkan hanya dirasakan masyaqah (dirasakan berat), maka buka itu hanyalah rukhshah (keringanan). Demikian pula kaitannya dengan safar (perjalanan). Bukan jarak yang menentukan boleh atau tidaknya berbuka, melainkan mendatangkan masyaqah ataukah tidak.


Menurut al-Qasimi, sakit dan perjalanan yang membolehkan buka shaum adalah yang menimbulkan masyaqah. Artinya, walau agak sehat, tetapi jika diperkirakan bertambah sakit, maka boleh memilih buka dibandiing dengan memaksakan. Buka bagi orang sakit dan dalam perjalanan adalah rukhshah. Jika seseorang melakukan shaum walau di perjalanan atau dalam keadaan sakit, maka sudah memenuhi kewajiban. Jika mereka berbuka, juga tidak mengapa, asalkan mengqadla di hari lain. Umar ibn al-Khathab
t menerangkan:

غَزَ وْ نَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فِي رَمَضَانَ غَزْوَ تَيْنِ يَوْمَ بَدْرٍ وَ الْـفَتْحِ فَأَفْطَرْ نَا فِيهِمَا

Kami mengalami perang bersama Rasul SAW di bulan Ramadlan dua kali, yaitu perang Badr dan Perang Fath Makkah, maka kami buka shaum pada kedua peristiwa tersebut.(Hr. al-Turmudzi).


Sedangkan pada perjalanan lainnya (bukan pada peperangan), Rasulullah r tetap menjalankan shaum, sebagaimana dikemukakan oleh Abdullah bin Abi Awfa sebagai berikut :

سِرْ نَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ وَ هُوَ صَائِمٌ

Kami bepergian bersama Rasulullah r, dan beliau tetap menjalankan shaum. (Hr. al-Bukhari)


Berdasar kedua hadits ini, batasan perjalanan itu ditentukan oleh tingkat kesulitannya, bukan oleh jaraknya yang ditempuh. Jika mengambil alternative untuk berbuka ketika diperjalanan, konsekuensinya mesti qadla di hari lain.


Kapan mengganti atau qadla shaum itu harus dilaksanakan?


Dalam ayat ditegaskan فَعِدَّةٌ مِن أيَّام أُخَر (qadla di hari lain). Kalimat ini mengisyaratkan tidak ditentukan hari yang mana atau bulan apa, yang penting jumlahnya harus terpenuhi sesuai dengan utangnya.


Sering ditemukan pertanyaan, mana yang paling baik jika sakit atau perjalanan, apakah shaum tepat waktu atau buka untuk qadla di lain waktu. Hamzah Al-Aslami bertanya kepada Rasul r mana yang paling baik? Beliau r bersabda:

إِنْ شِئْتَ فَصُمْ وَ إِنْ شِئْتَ فَأَ فْطِرْ

Shaumlah jika kau mau, dan buka jika kau mau. (HR. al-Bukhari)


Hadits ini mengisyaratkan boleh memilih antara tetap shaum di perjalanan atau berbuka, tergantung kepada kemampuan dan kemauan.

3. وَ عَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُو نَهُ فِدْ يَةٌ طَعَامُ مِسْكِيْنٍ : "Orang yang tidak mampu shaum hendaklah memberi makan orang miskin.

Perkataan يُطِيْقُونَهُ yang bentuk mashdarnya طَاقَة berarti "bisa shaum tapi repot". Menurut al-Asfahani, perkataan الطَّاقَة berarti نَفْي القُدْرَة kehilangan kekuatan, atau "sesuatu yang tidak bisa dikerjakan manusia kecuali dengan susah payah." Perkataan يُطِيْقُونَهُ , juga mencakup orang-orang yang tidak dimungkinkan untuk qadla, seperti yang sudah lanjut usia, wanita hamil, atau menyusui.


Ibnu Abbas pernah ditanya tentang wanita hamil dan wanita menyusui dalam masalah shaum. Jawabnya, bahwa wanita hamil dan menyusui itu derajatnya sama dengan orang yang sudah lanjut usia. Mereka boleh meninggalkan shaum tapi wajib membayar fidyah yang diserahkan kepada orang miskin. Jadi ayat ini merupakan keringanan bagi orang yang tidak mampu shaum tepat waktu (di bulan Ramadlan), tidak pula di hari lain (untuk mengqadlanya). Kewajiban mereka untuk menggantinya adalah فَفِدْ يَةٌ طَعَام مِسْكِيْن fidyah dengan memberi makan orang miskin.


Ukuran fidyah, menurut Ibnu Abbas, minimal 1/2 (setengah) sha' dari makanan pokok; 1/2 sha' adalah kurang lebih 1,75 liter. Satu hari diganti dengan satu ukuran tersebut. Ulama lain menentukan ukuran fidyah itu berdasar kepada kafarat sumpah, yaitu مِنْ أوْسَطِ تُطْعِمُوْن أهْلِيْكُم seukuran dengan yang biasa dimakan sehari.


Sebagian ahli tafsir berpendapat bahwa ayat ini dimansuh oleh ayat berikutnya. Tatkala ayat ini turun, kaum muslimin mempunyai penafsiran yang berbeda. Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa shaum itu sebagai takhyir. Artinya kaum muslimin diperbolehkan memilih antara shaum dan fidyah. Untuk menetapkan hukum, maka turun ayat perintah shaum bagi sipapun yang menyaksikan hilal ramadlan.

4. فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خُيْرٌلَّهُ : "Barangsiapa yang menambah kebaikan, maka kebaikan pula untuknya".

Ayat ini masih berkaitan erat dengan masalah fidyah. Artinya, barangsiapa yang menambah fidyah sehingga melebihi ukuran biasa, maka itulah yang lebih baik. Menurut Al-Maraghi, pelaksanaan tathawwu' (melebihkan ibadah) di sini, antara lain dengan cara:

(1) Berfidyah dengan melebihi ukuran semestinya.

(2) Memberi fidyah kepada satu orang miskin dengan melebihi kebutuhannya.

(3) Melaksanakan shaum disertai fidyah.


5. وَ أَنْ تَصُومُوْ ا خَيْرٌ لَكُمْ : "Shaum adalah lebih baik bagimu"

Menurut Asy-Syaukani, ayat ini menunjukan bahwa shaum itu lebih baik dari pada fidyah, sebagaimana telah terungkap hadits-hadits yang begitu banyak menerangkan keutamaan shaum.

6. إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ : "Jika kamu mengetahui"

Perkataan تَعْلَمُونَ "mengetahui" di sini bisa diartikan mengetahui tentang ilmu keagamaan, bisa juga diartikan mengetahui tentang akibat atau keutamaan yang dihadapi. Dengan kata lain, shaum itu lebih baik dilakukan, jika telah diketahui dampaknya. Oleh karena itu jika shaum dipandang tidak membahayakan, walau dalam keadaan sakit atau di perjalanan, maka lebih baik dilakukan daripada fidyah atau qadla.



SURAT ALBAQARAH AYAT 185

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُ نْزِلَ فِيهِ الْقُرْآَ نُ هُدًى لِلنَّاسِ وَ بَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَ الْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَـلْيَصُمْهُ وَ مَنْ كَانَ مَرِ يضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّ ةٌ مِنْ أَ يَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَ لاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَ لِتُكْمِلُوا الْعِدَّ ةَ وَ لِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَ ا كُمْ وَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ [البقرة/185]

(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur. (QS Al Baqarah (2) : 185)

Tinjauan Historis :

عَنْ سَلَمَةَ بْنِ اْلأَ كْوَ عِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَ نَّهُ قَالَ كُنَّا فِي رَمَضَانَ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ مَنْ

شَاءَ صَامَ وَ مَنْ شَاءَ أَ فْطَرَ فَافْتَدَى بِطَعَامِ مِسْكِينٍ حَتَّى أُ نْزِلَتْ هَذِهِ اْلآ يَةُ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمْ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

Diriwayatkan dari Salamah bin al-Akwa', ia menerangkan bahwa di masa Rasulullah r, (tatkala ayat 184 turun) kaum muslimin ada yang menyimpulkan bolehnya memilih antara shaum dan fidyah (yang mau shaum melakukan shaum, yang tidak mau mereka menggantinya dengan fidyah), akhirnya turun ayat 185 ini yang menegaskan bahwa barangsiapa yang menyaksikan awal bulan hendaklah shaum. Dengan demikian kekeliruan kaum muslimin tersebut dimansukh oleh ayat 185 ini. (HR. Bukhari - Muslim)

Hubungan dengan ayat sebelumnya :

1. Pada ayat 184 dikemukakan bahwa shaum itu mesti dilakukan pada أياما معدودات (hari-hari yang ditentukan bilangannya), maka pada ayat ini dijelaskan oleh شَهْر رمضان sebagai bulan diturunkan al-Qur`an.

2. Pada ayat 184 diungkap keringanan bagi yang sakit, dan di perjalanan yang tidak memungkinkan shaum tepat waktu untuk mengantinya di hari lain. Jika tidak memungkinkan diganti pada hari lain, maka daat menggantinya dengan membayar fidyah yang diberikan pada orang miskin. Pada ayat 185 dikemukakan latar belakang keringanan tersebut yaitu demi memberikan kemudahan bagi umat yang beriman.

Tafsir sekilas :

1. شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِى أُ نْزِلَ فِيْهِ القُرْآنُ : "Bulan Ramadlan; bulan yang di dalamnya diturunkan al-Quran".

Perkataan شَهْر berarti bulan yang menunjukkan waktu. Istilah yang menunjukkan jenis bulan yang bersinar, adalah قَمَر. Nama رَمَضَان untuk bulan sudah dikenal sejak para nabi terdahulu. Kalimat شَهْرُ رَمَضَانَ merupakan penjelasan dari أَيَّامًا مَّعْدُودَاتٍ yang tertera pada ayat sebelumnya. Tegasnya, bahwa hari-hari yang ditentukan itu adalah bulan Ramadhan. Kemudian diterangkan pula bahwa bulan Ramadhan itu adalah bulan diturunkannya al-Qur'an, dengan kalimat الَّذِى أُنْزِلَ فِيْهِ القُرْآنُ.


Perkataan
الْقُرآن pada ayat ini bisa dipahami sebagian dari al-Qur`an, bisa semuanya, bisa juga bermakna ayat tertentu dari al-Qur`an. Ibn Abbas (Shahabat, 3sH - 68H) menerangkan bahwa al-Qur`an diturunkan ke langit dunia sekaligus pada bulan Ramadlan, kemudian disampaikan kepada Rasulullah r oleh Jibril secara berangsur, terkadang satu ayat, dua ayat, satu surat dua surat atau tiga surat.

Ada yang berpendapat bahwa pada bulan Ramadlan, tepatnya Lailah al-Qadr, al-Qur'an diturunkan sekaligus dari Lauh al-Mahfud ke Bait al-Izzah. Setelah itu baru diturunkan melalui Malaikat Jibril kepada Rasulullah r secara berangsur-angsur disesuaikan dengan peristiwa yang terjadi.


Al-Zarqani, menerangkan bahwa al-Qur`an diturunkan melalui tiga tahap:

(1) Dari Allah I diturunkan melalui firman-Nya ke al-Lauh al-Mahfuzh yang hakikatnya hanya diketahui oleh-Nya.

(2) Dari Lauh al-Mahfuzh ke Bait al-Izzah, langit dunia (baca: Qs. Ad –Dukhan (44) : 3, Qs. Al Qadr (97) : 1, Qs. Al Baqarah (2) : 185), yang menurut sebagian riwayat selama dua puluh malam ramadlan,

(3) diturunkan kepada Rasul SAW melalui Mala`ikat Jibril al-Amin, (baca: Qs. Asy-Syu’araa’ (26) : 193 - 195) secara berangsur dengan jangka waktu lebih dari 22 tahun.


Para ahli sejarah sepakat bahwa susunan al-Qur`an dalam mushhaf kini, sesuai dengan susunan yang di lauh al-Mahfuzh. Al-Qur`an tidak disusun berdasar urutan turun ayat, melainkan urutan surat. Itulah yang diajarkan Rasulullah
r, yang bisa dijadikan dasar pula dalam sistematika pembacaan dan pengajarannya. Bulan Ramadlan pada ayat ini disebut sebagai bulan diturunkannya al-Qur`an mengandung isyarat agar setiap muslim meningkatkan kegiatannya dalam membaca dan mengkaji wahyu Allah I, tidak terpisahkan dengan pelaksanaan shaum. Rasulullah r bersabda:

وَ مَا اجْتَمَعَ قَوْ مٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَ يَتَدَ ارَسُو نَهُ بَيْنَهُمْ إِلاَّ نَزَ لَتْ عَلَيْهِمُ السَّـكِينَةُ وَ غَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَ حَفَّتْهُمُ الْمَلاَ ئِكَةُ

Tidaklah suatu kelompok berkumpul di salah satu rumah dari rumah Allah I, lalu membaca kitab Allah I, mempelajarinya secara mendalaminya, dan mendiskusikan isinya di antara mereka, kecuali Allah I akan menurunkan bagi mereka ketentraman dan rahmat yang melimpah. Mereka juga dikerumuni Malaikat, yang mendo'akan. (HR. Muslim).

Berdasar hadits ini, ibadah yang paling tinggi nilainya yang dilakukan di Masjid bukan wiridan, tapi membaca dan mengkaji isi al-Qur`an, serta mendiskusikan isinya.

2. هُدًى لِلنَّاسِ وَ بَيِّنَاتٍ مِنَ الهُدَى وَ الفُرْقَانِ : "Sebagai petunjuk bagi manusia, dan penjelas dari petunjuk itu, serta pembeda antara yang hak dan bathil".

Ayat ini menginformasikan tentang fungsi al-Qur'an diturunkan sebagai Hudan, Bayinat, dan Furqan.


Hudan di sini berarti petunjuk, pembimbing dan pemimpin manusia agar senantiasa berada pada jalan yang benar, lurus dan terhindar dari jalan yang sesat. Bayyinat Minal-Huda berarti argumentasi dan dalil-dalil yang menjelaskan dan memperkuat petunjuk itu. Sedangkan Furqan pembeda dan pemisah antara yang hak dan yang bathil. Demikian jelaslah bahwa fungsi al-Qur'an diturunkan itu sangat penting.


Dengan Hudan, manusia dibimbing agar senantiasa berada pada jalan lurus dan benar serta terhindar dari kesesatan dan kesalahan. Dengan Bayyinat, manusia mengetahui dalil-dalil dan argumentasi yang mendorong untuk meyakini petunjuk itu tidak hanya keyakinan iman tapi juga keyakinan ilmiyah. Dengan Furqan, manusia bisa membedakan dan memisahkan mana al-Haq dan mana al-Bathil.


Selanjutnya diharapkan agar manusia, tidak hanya membedakan dan memisahkan, tapi juga menegakkan kebenaran dan memberantas kebathilan.

3. : فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ "Karena itu barangsiapa di antaramu menyaksikan bulan Ramadlan hendaklah shaum pada bulan itu".

Jalalain mengartikan Syahida pada ayat ini dengan حَضَرَ yang berarti hadir. Oleh karena itu kalimat tersebut, bisa diartikan: "Barangsiapa diantaramu berada di tempat tinggal pada bulan Ramadlan, maka wajib atasnya melaksanakan shaum". Sebagaimana dikemukakan di atas kalimat ini berkaitan dengan adanya kaum muslimin yang berpendapat bahwa shaum itu sebagai pilihan bukan kemestian.

Apakah akan mengeluarkan fidyah ataukah melaksanakan shaum. Kaum muslimin yang kaya saat itu ada yang melakukan shaum ada pula yang memilih fidyah. Ayat ini merupakan koreksi anggapan tersebut.


Dengan demikian setelah ayat ini turun, setiap orang yang tidak terkena uzur, wajiblah melakukan shaum. Konsekuensi bagi yang tidak melakukan shaum tanpa udzur adalah dosa sebagaimana ditegaskan dalam hadits yang lalu
:

مَنْ أفْطَر يَوْ مًا مِن رَمضَان مِنْ غَيْرِ عُذْرِ وَ لاَ مَرَضٍ لَمْ يَقْضِهِ صِيَامُ الدَّهْر وَ إنْ صَامَه

Barangsipa yang berbuka pada satu hari di bulan Ramadlan, tanpa ada uzur, bukan karena sakit, maka dia tidak akan bisa membayarnya walau satu tahun, walau dia mengadlanya terus menerus. (HR. al-Bukhari & HR Al-Daylami)

4. وَمَنْ كَانَ مَرِيْضًا أَو عَلَى سَفَرٍ فِعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَر : “Barangsiapa yang sakit atau di perjalanan lalu berbuka, maka wajib mengganti shaumnya di hari lain”.

Dengan ditegaskannya oleh kalimat: فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ maka bisa terjadi, kaum muslimin akan bersusah payah memaksakan diri untuk melaksanakan shaum walaupun sakit dan di perjalanan, sebab tidak ada pengecualian. Oleh karena itulah Allah Maha bIjaksana laimat diatas dirangkaikan dengan kalimat وَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ sebagai keringanan dan peluang bagi yang tidak mampu shaum tepat waktu, untuk mengambil alternatif lain.


Dengan demikian ayat ini merupakan penegasan kembali bahwa jika sakit atau di perjalanan tidak perlu memaksakan diri, boleh saja meninggalkan shaum asalkan menggantinya di waktu yang lain. Jadi pengulangan ayat ini merupakan penegasan kembali, bahwa rukhshah tetap bisa dipergunakan tatkala uzur tiba.

5. يُرِيْدُ اللهُ بِكُمُ اليُسْرَ وَلاَ يُرِيْدُ بِكُمُ العُسْرَ : "Allah menghendaki kemudahan dan tidak menghendaki kesukaran bagimu".

Dalam ayat ini tersirat adanya fungsi shaum yang disertai segala aspeknya, bahwa peraturan Qadla dan Fidyah pun merupakan bukti kemurahan Allah I bagi hamba-Nya.
Jelaslah bahwa adanya rukhshah itu untuk kemudahan bukan untuk kesukaran. Oleh karena itu jika ada seseorang bepergian dan tidak merasa berat untuk shaum, maka pilihlah mana yang mendatangkan kemudahan. Jika dirasakan bahwa qadla itu lebih berat dibanding tepat pada waktunya, maka tentu yang harus dipilih adalah tepat waktu. Boleh jadi dalam rombongan perjalanan, tidak sama pilihannya ada yang shaum terus, ada pula yang berbuka.

عَنْ أَ نَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ كُنَّا نُسَافِرُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فَـلَمْ يَعِبْ الصَّائِمُ عَلَى الْمُفْطِرِ وَ لاَ الْمُفْطِرُ عَلَى الصَّائِمِ
Anas bin Malik meriwayatkan: Kami bepergian bersama Nabi r, di antara kami ada yang tetap shaum ada pula yang berbuka; yang shaum tidak mencela yang berbuka, yang berbuka tidak mencela yang tetap shaum. (HR. Bukhari dan Muslim).


Al-Sya'bi menegaskan, jika ada alternatif yang boleh dipilih, maka yang paling mudah itulah yang paling tepat dipilih, karena itulah yang paling mendekati kebenaran.

6. وَ لِتُكْمِلُوْا العِدَّ ةَ وَ ِلِتُكَبِّرُوْا اللهَ عَلَى مَا هَدَى كُمْ وَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ : Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur”.

Kalimat لِتُكْمِلُوْا العِدَّةَ agar kamu menyempurnakan hitungan, masih berkaitan erat dengan masalah qadla shaum. Artinya hendaklah teliti dan cermat menghitungnya sehingga jangan sampai ada yang terlewat, bahkan berkaitan pula dengan fidyah, sehingga tidak satu hari pun yang tidak difidyahi.

Namun jika dikaitkan dengan ayat-ayat sebelumnya, kewajiban menyempurnakan hitungan itu mencakup atas segala aspek ibadah Ramadlan, baik yang berkaitan dengan shaum, Qiam al-Lail, zakat fitrah ataupun ibadah lainnya.

Menurut Al-Qasimi, pengunci ayat ini merupakan penjelasan tentang latar belakang Allah I dalam memberikan bimbingan kaifiyat ibadah. Ulama lain berpendapat bahwa kalimat ini berisi perintah takbir tatkala selesai menunaikan shaum. Itulah sebabnya Iedul Fitri dimakmurkan dengan takbir.


Bahkan menurut Daud al-zhahiri hukum takbir Ied itu adalah wajib, sebab arti asal dari amr itu menunjukkan kewajiban. Kemudian ditegaskan pula dengan kalimat:
عَلَى مَا هَدَىكُمْ yang menunjukkan bahwa segala ibadah itu mesti mengikuti dan atas dasar petunjuk Allah I. Selanjutnya ayat ini dikunci dengan kalimat وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ "agar kalian bersyukur”. Sebab ibadah yang dilatar belakangi rasa syukur, akan mudah dilaksanakan, serta merasa ringan tanpa beban, karena penuh kesadaran dan kerelaan.




SURAT ALBAQARAH AYAT 186

وَ إِذَا سَأَ لَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِ نِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَ ةَ الدَّ اعِ إِذَ ا دَعَانِ فَـلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَ لْيُؤْ مِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ [البقرة/186]

Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo`a apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah) Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran. (QS Al Baqarah (2) : 186)

Tinjauan Historis :

Ibnu Abi Hatim menerangkan bahwa seorang dusun Arab menghadap Rasulullah r dan bertanya:

يَا رَسُولَ اللهِ أَ قَرِ يْبٌ رَ بُّنَا فَنُنَاجِيْهِ أَمْ بَعِيْدٌ فَنُنَادِيْهِ.

"Wahai Rasulullah! Apakah Tuhan kita itu dekat, maka kami akan berbisik kepada-Nya, ataukah Tuhan itu jauh, maka kami akan memanggil-Nya?”.

Kemudian Rasulullah r terdiam, dan turunlah ayat ini sebagai jawabannya. Menurut Abu al-Fadll, dalam sanadnya terdapat, al-Shult, rawi yang lemah.


Namun menurut al-Suyuthi, terdapat beberapa jalur yang lain yang meriwayatkannya. Dalam riwayat lain, dari Ibn Abbas diterangkan bahwa ayat ini turun berkaitan dengan kedatangan Yahudi kepada Rasulullah r, mereka bertanya kepada Rasulullah r : Hai Muhammad bagaimana Tuhan bisa mendengar do'a kita, bukankah dikatakan bahwa jarak antara langit dan bumi itu 500 (lima ratus) tahun perjalanan?, maka sebagai jawabannya turun ayat 186 ini.


Ibn al-Jawzi (508-597H) menerangkan bahwa terdapat lima riwayat yang dianggap sebagai asbab al-Nuzul Qs.2:186, yaitu :

(1) Orang Arab Dusun (Badui) yang bertanya tentang cara do'a apakah mesti keras ataukah tidak, sebagaimana dikemukakan al-Shult yang merujuk pada حاكم - حكيم Hakim,

(2) Orang Yahudi yang mengatakan bagaimana mungkin Tuhan bisa mendengar do'a karena jarak langit dan bumi hingga 500 (lima ratus) tahun perjalanan, sebagaimana dikemukakan Abu Shalih yang merujuk Ibn Abbas,

(3) Adanya seseorang yang bertanya tentang waktu ijabah do'a, sebagaimana dikemukan oleh Atha,

(4) Ada seorang shahabat yang bertanya tentang dimana Allah I berada, sebagaimana dikemukakan oleh al-Hasan,

(5) Ada seorang shahabat yang berpendapat bahwa di malam hari shaum dilarang jima dan makan setelah tidur, kemudian terlanjur melakukannya dan merasa dosa, dan bertanya kepada Rasul r tentang bagaimana taubatnya, sebagaimana dikemukakan oleh Muqatil.

(6) Abu al-Fadl, menerangkan bahwa penyebab yang ke (6) berkaitan dengan perintah do'a, kemudian shahabat bertanya pada Rasulullah r tentang caranya mesti bagaimana, sebagaimana dikemukakan oleh Qatadah.

Tafsir sekilas :

وَ إِذَ ا سَأَ لَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِ نِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَـلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَ لْيُؤْ مِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ

Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo`a apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah) Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran. (QS Al Baqarah (2) : 186)


Qs.2:186 ini tercantum dalam rangkaian ibadah shaum Ramadlan. Oleh karena itu tidak bisa dipisahkan, bahwa Ramadlan juga merupakan bulan berdo'a. Namun dikemukakan dalam satu riwayat bahwa pada peristiwa Perang Haibar (Muharam, 7 H), ada kaum muslimin yang berdo'a dengan keras, sehingga turun ayat ini dan Rasulullah berseru, “Wahai manusia rendahkanlah suaramu, kamu berdo'a kepada yang Maha Mendengar, Maha dekat dan yang selalu bersamamu”.

Dalam uraian terdahulu telah diungkapkan bahwa betapa pentingnya berdo'a di kala shaum. Ayat ini sebagai jaminan bagi orang mukmin yang berdo'a, bahwa mereka akan dikabulkan Allah I Rasulullah r bersabda:

إنَّ لِلصَّائِمِ عِنْدَ فِطْرِ هِ لَدَعْوَ ة مَا تُرَدُّ

Sesungguhnya bagi yang shaum, ketika bukanya ada hak do'a yang tidak tertolak.

(HR Ibn Majah (207-275H)).


Ibn Umar menerangkan bahwa menerima sabda Rasulullah r :

إنَّ لِكُلِّ مُؤ مِنٍ دَعْوَ ةُ مُسْتَجَا بَةٌ عِنْدَ إفْطَار ِهِ إمَّا اِنْ يُعْجَل لَهُ فِي دُ نْيَاهُ اوْ يُدَّخَر لَهُ فِي آخِرَ ته

Sesungguhnya bagi mukmin ada hak dikabulkan do'a tatkala berbuka shaum, apakah langsung di dunia ataukah ditangguhkan di akhirat. (HR al-Bayhaqi (384-458H)).

Ditegaskan pula bahwa Allah I itu dekat, jika orang mukmin itu selalu memenuhi seruan-Nya dan meningkatkan iman, maka akan berada pada jalan yang benar. Ditinjau dari Asbab al-Nuzul ayat ini merupakan jawaban bagi orang yang beranggapan bahwa Allah I itu jauh, sehingga berteriak dalam berdo'a atau memakai perantara. Menurut ayat ini, Allah I itu dekat, tidak perlu berteriak-teriak dalam berdo'a dan tidak perlu memakai perantara. Menurut al-Maraghi, orang yang sengaja mengeraskan suara dalam berdo'a adalah bertentangan dengan aturan Allah I.


Syarat Berdo'a

Secara tersirat, ayat ini pun memberikan bimbingan tentang syarat berdo'a yang akan dikabulkan Allah I, yang dapat dirumuskan sebagai berikut:


1. Meyakini bahwa Allah I itu dekat.


Ayat tersebut menekankan فَإنِّى قَرِيْبٌ Aku dekat. hal ini mengajarkan agar yang berdo'a merasa yakin bahwa Allah I itu Maha dekat . Dengan merasa dekat kepada Allah I, maka akan berbisik kepada-Nya dengan penuh kekhusyuan dan penuh harapan. Dalam ayat lain ditegaskan :

وَ لَقَدْ خَلَقْنَا اْلإِ نْسَانَ وَ نَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ وَ نَحْنُ أَ قْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ
"Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia, dan Kami mengetahui apa yang dibisikkan dalam hatinya. Kami lebih dekat kepadanya dibanding urat lehernya". (Qs. Qaaf(50):16).

Jika dikatakan bahwa Allah I itu lebih dekat dari urat leher, maka tidak ada yang lebih dekat kepada orang mu'min selain Allah I. Oleh karena itu tak sepantasnya berteriak-teriak dalam berdo'a, karena Allah I mengetahui apa yang dibisikkan manusia.

2. Optimis Dikabulkan

Dalam ayat di atas ditegaskan, أُجِيْبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ ini mendorong hamba-Nya agar bersangka baik kepada Allah I dan optimis do'a nya akan dikabulkan. Rasulullah r bersabda:

لاَ يَزَ الُ يُسْتَجَابُ لِلعَبْدِ مَا لَمْ يَدْعُ بِإِ ثْمٍ أَو قَطِيْعَةِ رَحِمٍ مَا لَمْ يُسْتَعْجَلْ.

"Tidak henti-hentinya do'a seorang hamba Allah akan dikabulkan sepanjang tidak berdoa untuk keburukan dan memutuskan silaturrahim, selama do'anya tidak Isti'jal atau tergesa-gesa.

(HR Muslim , dari Abu Hurairah,)


Para sahabat bertanya, apa yang dimaksud Isti'jal dalam do'a . Rasulullah r menjawab:

يَقُولُ : قَدْ دَعَوتُ قَدْ دَعَوتُ فَلَمْ أَرَ يَسْتَجِيبُ لِى

"Dia mengatakan: Aku selalu berdo'a. aku selalu berdo'a, tapi aku tidak melihat celah-celah untuk dikabulkan".


Oleh karena itu janganlah berburuk sangka kepada Allah
I dalam berdo'a. Yakini bahwa Allah I selalu mengabulkan do'a hamba-Nya, apakah dikabulkan dengan segera atau ditangguhkan, tentu saja tergantung pada kebijaksanaan yang Maha Bijaksana. Dalam Hadits juga ditekankan bahwa yang dikabulkan itu adalah do'a yang baik tidakاثم (Itsm) / berbuat dosa dan tidak memutuskan tali silaturahim. Oleh karena itu jika belum dirasakan pengabulan doa, seyogyanya introspeksi, jangan-jangan yang diminta itu membawa bahaya.



3.
Istijabah


Dalam ayat tersebut ditegaskan فَلْيَسْتَجِيْبُوْا لِى ini mengandung arti bahwa kaum muslimin harus istijabah dalam berdo'a. Istijabah disini berarti memenuhi seruan Allah I. Jika manusia mengharapkan do'anya terkabulkan Allah I, maka seruan Allah I pun harus dikabulkan terlebih dahulu. Memenuhi seruan Allah I berarti memenuhi segala tuntunan-Nya baik yang berupa perintah ataupun yang berupa larangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar