Al Qur'an

يَا بُنَيَّ أَقِمِ الصَّلاَ ةَ وَ أْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَ انْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَ اصْبِرْ عَلَى مَا أَصَا بَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ اْلأُمُور [لقمان/17]

Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). (QS. Lukmaan (31) : 71

SILAHKAN DISEBARKAN

SILAHKAN DIPERBANYAK / DISEBARKAN DENGAN COPY PASTE ASAL SEBUTKAN SUMBERNYA, TERIMA KASIH

Jumat, 26 Agustus 2011

Tafakur Mengenai Harta Kekayaan (Bagian 5)



Banyak Harta tak ingin, tapi miskinpun segan.

Harta kekayaan yang banyak dan melimpah memang membawa fitnah bagi pemiliknya. Demikian pula apabila kekurangan harta kekayaan. Kaya dan miskin, kelebihan dan kekurangan harta, adalah sama-sama ujian dari Allah I. Oleh karena itu, Rasulullah r seringkali memohon perlindungan kepada Allah I dari keburukan, kekayaan, dan kemiskinan. Beliau r juga memohon perlindungan dari himpitan hutang yang membelit kebahagaiaan dan kenyamanan hidup. Beliau r menyamakan bahaya kemiskinan dengan bahaya kekafiran. Lebih dari itu, Beliau r menjelaskan bahwa hutang bisa mendekatkan seseorang kepada sifat-sifat kemunafikan, bagaimana tidak karena ketidak mampuan dia untuk membayar hutang, dia jadi sering berbohong, menghindar dan ingkar janji, karena malu dan tidak mau berterus terang atas ke-tidak berdayaannya.

صحيح البخاري - (ج 19 / ص 451/ح  5886) :  حَدَّ ثَنَا  قُتَيْبَةُ  بْنُ  سَعِيدٍ  حَدَّ ثَنَا  إِسْمَا عِيلُ  بْنُ  جَعْفَرٍ  عَنْ  عَمْرِو  بْنِ أَبِي  عَمْرٍو  مَوْ لَى  الْمُطَّلِبِ  بْنِ  عَبْدِ  اللَّهِ  بْنِ  حَنْطَبٍ  أَ نَّهُ  سَمِعَ  أَ نَسَ  بْنَ  مَالِكٍ  يَقُولُ  قَالَ  رَسُولُ  اللَّهِ صَلَّى  اللَّهُ  عَلَيْهِ  وَ سَلَّمَ    ِلأَ بِي  طَلْحَةَ  الْتَمِسْ  لَنَا  غُلاَ مًا  مِنْ  غِلْمَانِكُمْ   يَخْدُ مُنِي  فَخَرَ جَ   بِي  أَ بُو طَلْحَةَ  يُرْدِ فُنِي   وَ رَ اءَ هُ   فَكُنْتُ   أَخْدُمُ  رَسُولَ  اللَّهِ  صَلَّى  اللَّهُ  عَلَيْهِ  وَ سَلَّمَ  كُلَّمَا  نَزَ لَ  فَكُنْتُ  أَسْمَعُهُ  يُكْثِرُ  أَنْ  يَقُولَ  )اللَّهُمَّ   إِ نِّي  أَعُوذُ  بِكَ  مِنْ  الْهَمِّ  وَ  الْحَزَنِ  وَ  الْعَجْزِ  وَ  الْكَسَلِ  وَ  الْبُخْلِ  وَ  الْجُبْنِ وَ ضَلَعِ  الدَّ يْنِ  وَ  غَلَبَةِ  الرِّجَالِ (

(BUKHARI - 5886) : Dari Anas bin Malik, ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda kepada Abu Thalhah: "Berilah kepadaku seorang pelayan lelaki dari yang kamu miliki, sehingga ia bisa membantuku." Abu Thalhah lalu keluar dengan membawaku (Anas) di belakang boncengannya. Aku (Anas) lalu menjadi pelayan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Setiap kali beliau singgah pada suatu tempat, beliau banyak membaca : ('ALLAHUMMA INNI A'UUDZUBIKA MINAL HAMMI WAL HAZANI WAL 'AJZI WAL KASALI WAL BUKHLI WAL JUBNI WA DLALA'ID DAINI WA  GHALABATIR RIJAALI  (Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari keluh kesah dan kesedihan, dari kelemahan dan kemalasan, dari sifat bakhil dan penakut, dan dari lilitan hutang dan penindasan)'.)

Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqolani berkata : “ (ضَلَعِ  الدَّ يْنِ) Dhala’i ad-dain, maksudnya adalah lilitan hutang-hutang yang berat dan banyak, sehingga orang yang mempunyai hutang tidak mampu untuk mengembalikannya, terlebih lagi dengan adanya tuntutan dari pihak yang mempiutangi. Sebagian Ulama salaf berkata : “Tidaklah kegundahan karena hutang memasuki hati seseorang, kecuali ia menghilangkan sebagian akal sehat. Sehingga akal sehatnya tidak mungkin akan kembali sempurna seperti semula”.

Imam Muhammad bin Yusuf bin Al-Karmani (786 H) berkata : “Doa ini mencakup jawami’ul al-kalim, ucapan yang ringkas namun memuat makna yang luas, karena sesungguhnya jenis keburukan itu hanya ada tiga : (1) Psikis , (2) Fisik, dan (3) Faktor dari luar. Gangguan psikis berasal dari kekuatan dalam jiwa manusia yang terdiri dari tiga hal : (1) Kekuatan akal , (2) Kekuatan emosi, dan (3) Kekuatan syahwat.

 Kegundahan fikiran dan kesedihan hati berkaitan dengan kekuatan akal. Kepengecutan berkaitan dengan kekuatan emosi, kekikiran berkaitan dengan kekuatan syahwat. Kelemahan dan kemalasan berkaitan dengan kekuatan fisik. Kemalasan terjadi dalam diri orang yang anggota badan dan kekuatannya sempurna (normal) serta tidak cacat. Sedangkan kelemahan terjadi dalam diri orang yang sebagian anggota badannya tidak sempurna. Himpitan dan tekanan dari luar berasal dari luar diri seseorang, yang pertama berkaitan dengan harta, sedangkan yang kedu berkaitan dengan kehormatan. Doa ini memuat seluruh unsur ini”. [1]

Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqolani berkata : “ Kesimpulannya ( الهم ) al-hammu (kegundahan) adalah akal manusia senantiasa memikirkan sesuatu hal yang dibencinya yang sedang terjadi saat ini, ( الحزن ) al-huznu (kesedihan) adalah akal manusia senantiasa memikirkan sesuatu hal yang dibencinya yang telah terjadi di waktu yang lalu, ( الْعَجْز ُ) al –‘ajzu (kelemahan) adalah lawan dari kesanggupan,  ( الْكَسَلُ ) al-kasalu (kemalasan) adalah lawan dari ketekunan dan rajin,   (  الْبُخْلُ) al-bukhlu (kekikiran) adalah lawan dari kedermawanan, dan ( الْجُبْنُ ) al-jubnu (kepengecutan) adalah lawan dari keberanian”. [2]  

Dalam hadits yang lain dijelaskan pula : 
 
صحيح مسلم - (ج 13 / ص 225/ح 4877) : حَدَّ ثَنَا  أَ بُو  بَكْرِ  بْنُ  أَبِي  شَيْبَةَ  وَ أَ بُو  كُرَ يْبٍ وَ اللَّفْظُ   ِلأَ بِي  بَكْرٍ  قَالاَ  حَدَّ ثَنَا  ابْنُ  نُمَيْرٍ  حَدَّ ثَنَا  هِشَامٌ  عَنْ  أَبِيهِ  عَنْ  عَائِشَةَ   أَنَّ  رَسُولَ  اللَّهِ  صَلَّى اللَّهُ  عَلَيْهِ  وَ سَلَّمَ  كَانَ   يَدْعُو  بِهَؤُلاَءِ  الدَّعَوَ اتِ ) اللَّهُمَّ  فَإِ نِّي  أَعُوذُ بِكَ  مِنْ  فِتْنَةِ  النَّارِ وَ عَذَ ابِ  النَّارِ  وَ فِتْنَةِ  الْقَبْرِ  وَ عَذَ ابِ  الْقَبْرِ  وَ  مِنْ  شَرِّ  فِتْنَةِ  الْغِنَى  وَ  مِنْ  شَرِّ   فِتْنَةِ   الْفَقْرِ  وَ  أَعُوذُ بِكَ  مِنْ  شَرِّ  فِتْنَةِ  الْمَسِيحِ   الدَّجَّالِ  اللَّهُمَّ اغْسِلْ  خَطَايَايَ   بِمَاءِ  الثَّلْجِ  وَ  الْبَرَدِ  وَ  نَقِّ  قَلْبِي  مِنْ  الْخَطَايَا  كَمَا  نَقَّيْتَ  الثَّوْبَ  اْلأَ  بْيَضَ  مِنَ  الدَّ نَسِ وَ بَاعِدْ  بَيْنِي  وَ  بَيْنَ  خَطَايَايَ  كَمَا  بَاعَدْتَ  بَيْنَ  الْمَشْرِقِ  وَ  الْمَغْرِبِ  اللَّهُمَّ  فَإِ نِّي  أَعُوذُ بِكَ  مِنْ  الْكَسَلِ وَ  الْهَرَمِ  وَ  الْمَأْثَمِ  وَ  الْمَغْرَمِ  (  

(HR. MUSLIM - 4877) : Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah dan Abu Kuraib -dan lafadh ini milik Abu Bakr- mereka berdua berkata; telah menceritakan kepada kami Ibnu Numair telah menceritakan kepada kami Hisyam dari bapaknya dari 'Aisyah bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah membaca doa yang berbunyi: ("Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari fitnah api neraka dan siksanya, dari fitnah kubur dan siksanya, dari fitnah kekayaan, dari fitnah kefakiran, dan aku berlindung kepada-Mu ya Allah dari fitnah Dajjal. Ya Allah, hapuskanlah dosaku dengan air salju dan air embun, bersihkanlah hatiku dari segala kesalahan sebagaimana Engkau bersihkan kain putih dari noda. Ya Allah, jauhkanlah antara aku dan dosaku sebagaimana Engkau jauhkan antara timur dengan barat. Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kemalasan dan kepikunan serta dari dosa dan lilitan hutang.")

Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al Ghazali atau yang dikenal dengan Imam Ghazali (505 H) berkata : “Yang dimaksud dengan fitnah kekayaan adalah kecintaan dan ketamakan manusia untuk mengumpulkan harta kekayaan, sehingga memperolehnya dengan jalan yang tidak halal dan enggan untuk menunaikan hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam harta. Adapun yang dimaksud dengan fitnah kemiskinan adalah kemiskinan yang parah yang tidak disertai oleh sikap kebajikan dan wara’, sehingga manusia tidak segan-segan melakukan hal-hal yang tidak pantas dilakukan oleh orang yang beragama dan mempunyai harga diri. Karena kemiskinannya, ia tidak peduli bila menerjang segala hal yang haram”. [3]

Imam Abu Abdillah Al Qurtubhi berkata : “(الْمَغْرَمِ) Al Maghram artinya hutang. Dalam hadits ini Rasulullah r mengingatkan tentang bahaya yang timbul akibat hutang”. [4]

Hadits-hadits ini mengingatkan kita untuk senantiasa waspada dan bertakwa kepada Allah I, baik saat mendapat limpahan nikmat berupa harta kekayaan, maupun saat diuji dengan kekurangan harta kekayaan. Betapa banyak orang kaya yang lupa daratan dengan kekayaannya. Ia memperoleh harta dengan cara-cara yang melanggar batasan syariat, dan membelanjakannya untuk hal-hal yang diharamkan syariat.

Tidak sedikit pula kaum miskin yang lalai kepada ibadah karena kekurangan harta yang ia alami. Ia boleh jadi berangkat kerja sejak sebelum adzan subuh, dan baru pulang selepas adzan maghrib. Waktu, tenaga, dan fikiran, ia habiskan untuk bekerja dan memenuhi kebutuhan hidupnya. Ia selalu dalam keadaan berpayah-payah sehingga tidak berfikir sedikitpun untuk memenuhi kewajiban-kewajiban ibadah kepada Allah I. Perhatikan hadits berikut :

صحيح البخاري - (ج 16 / ص 203/ح 4799) و صحيح مسلم - (ج 13 / ص 281/ح 4920) وسنن الترمذي - (ج 9 / ص 179/ح 2527) و مسند أحمد - (ج 5 / ص 14/ح 1982) :  حَدَّ ثَنَا  عُثْمَانُ  بْنُ  الْهَيْثَمِ  حَدَّ ثَنَا  عَوْفٌ  عَنْ أَبِي  رَجَاءٍ  عَنْ  عِمْرَ انَ  عَنْ  النَّبِيِّ  صَلَّى  اللَّهُ  عَلَيْهِ  وَ سَلَّمَ  قَالَ ) اطَّلَعْتُ  فِي  الْجَنَّةِ  فَرَ أَ يْتُ  أَكْثَرَ أَهْلِهَا  الْفُقَرَ اءَ  وَ اطَّلَعْتُ  فِي  النَّارِ  فَرَ أَ يْتُ  أَكْثَرَ  أَهْلِهَا  النِّسَاءَ(

Dari Imran dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: ("Aku memperhatikan isi surga, lalu aku mendapatkan bahwa kebanyakan penghuninya adalah orang-orang miskin. Kemudian aku melihat ke dalam neraka, maka aku pun melihat kebanyakan penghuninya adalah para wanita.")

Imam Ibnu Bathal Al Maliki berkata : “ Sabda Rasulullah r : ‘Aku memperhatikan isi surga, lalu aku mendapatkan bahwa kebanyakan penghuninya adalah orang-orang miskin’, tidak berarti orang yang miskin lebih utama daripada orang-orang kaya. Makna hadits ini adalah penjelasan bahwa orang-orang miskin di dunia lebih banyak daripada orang-orang kaya. Rasulullah r memberitahukan tentang kondisi akhirat, hal ini sesuai sebagaimana jika anda mengatakan ‘Kebanyakan penduduk dunia adalah orang-orang miskin’, sebagai sebuah penjelasan tentang realita yang ada. Jadi yang memasukan mereka kedalam surga bukanlah kemiskinan mereka. Mereka bisa masuk surga berkat keshalihan amal mereka, meskipun mereka dalam kondisi miskin. Adapun orang miskin yang tidak shalih, ia bukan orang yang mempunyai keutamaan apapun”. [5]

Imam Ahmad bin Nashr Al-Dawudi berkata : “Kemiskinan dan kekayaan adalah cobaan dari Allah I, dengan keduanya Allah I menguji hamba-hambaNya dalam hal kesyukuran dan kesabaran. Sebagaimana firman Allah I :


إِ نَّا  جَعَلْنَا  مَا  عَلَى  اْلأَرْضِ  زِينَةً   لَهَا   لِنَبْلُوَ هُمْ   أَ  يُّهُمْ   أَحْسَنُ  عَمَلاً  [الكهف/7]

Sesungguhnya Kami telah Menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka, siapakah di antara mereka yang terbaik amalnya. (QS Al Kahfi (18) : 7)


وَ  نَبْلُو كُمْ   بِالشَّرِّ  وَ  الْخَيْرِ  فِتْنَةً   [الأنبياء/35]

Kami akan Menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan yang sebenar-benarnya. (QS Al Anbiyaa (21) : 35)


Diatas telah dijelaskan tentang hadits shahih yang menyebutkan bahwa nabi r berlindung dari keburukan fitnah kekayaan dan keburukan fitnah kemiskinan. Maka kekayaan dan kemiskinan adalah sesuatu yang seimbang, baik dalam keadaan miskin maupun kaya seseorang tetap akan mendapatkan ujian. Ia bisa menjadi orang yang tercela atau terpuji karena sikapnya atas kekayaan dan kemiskinan, dan yang lebih utama adalah al-kafaf, kecukupan (tidak kekurangan dan tidak pula kelebihan). [6]

Dari sini jelaslah betapa bahaya kekayaan dan kemiskinan itu, tergantung kepada kondisi keimanan dan ketakwaan seseorang hamba. Jika dalam keadaan miskin ia lebih mampu untuk beribadah, maka kemiskinan adalah lebih baik baginya. Dan jika dalam kondisi memiliki harta kekayaan berlimpah, ia lebih mampu beribadah, maka kekayaan adalah lebih baik baginya. Oleh karenanya Rasulullah r mendoakan sebagian sahabat agar dikaruniakan kekayaan dan panjang umur, karena dengan hal tersebut mereka lebih mampu untuk beribadah. Lihat tentang doa Rasulullah kepada Anas bin Malik t.


[1]     Ibnu Hajar Al Asqalani, Fathul Barri, 14/266.
[2]     Ibnu Hajar Al Asqalani, Fathul Barri, 14/273.
[3]     Ibnu Hajar Al Asqalani, Fathul Barri, 14/272.
[4]     Ibnu Hajar Al Asqalani, Fathul Barri, 14/376.
[5]     Ibnu Hajar Al Asqalani, Fathul Barri, 14/428.
[6]     Ibnu Hajar Al Asqalani, Fathul Barri, 14/421.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar