Berbagai Fatwa tentang Riba
1. Majelis Tarjih Muhammadiyah
Majelis Tarjih Muhammadiyah mengambil keputusan mengenai hukum ekonomi / keuangan diluar zakat, meliputi masalah perbankan (1962 dan 1972), keuangan secara umum (1976) dan koperasai simpan pinjam (1989)[1].
Majelis Tarjih Sidoarjo (1968) memutuskan :
a. Riba hukumnya haram dengan nash sharih Al Qur'an dan As-Sunnah;
b. Bank dengan sistem riba hukumnya haram dan bank tanpa riba hukumnya halal;
c. Bunga yang diberikan oleh bank-bank milik Negara kepada para nasabah atau sebaliknya yang selama ini berlaku, termasuk perkara Musytabihat;
d. Menyarankan kepada PP Muhammadiyah untuk mengusahakan terwujudnya konsepsi system perekonomian, khususnya lembaga perbankan yang sesuai dengan kaidah Islam.
Penjelasan keputusan ini menyebutkan bahwa bank Negara, secara kepemilikan dan misi yang diemban, sangat berbeda dengan bank swasta. Tingkat suku bunga pemerintah (pada saat itu) relative lebih rendah dari suku bunga bank swasta nasional. Meskipun demikian kebolehan bunga bank Negara ini masih tergolong musytabihat (dianggap meragukan)[2].
Majelis Tarjih Pekalongan (1972) memutuskan :
a. Mengamanatkan kepada PP Muhammadiyah untuk segera dapat memenuhi keputusan Majelis Tarjih di Sidoarjo tahun 1968 tentang terwujudnya konsepsi sistem perekonomian, khususnya lembaga perbankan yang sesuai dengan kaidah Islam;
b. Mendesak Majelis Tarjih PP Muhammadiyah untuk dapat mengajukan konsepsi tersebut dalam muktamar yang akan datang;
Masalah keuangan secara umum ditetapkan berdasarkan keputusan Muktamar Majelis Tarjih Garut (1976). Keputusan tersebut menyangkut bahasan pengertian uang atau harta, hak milik, dan kewajiban pemilik uang menurut Islam. Adapun masalah koperasi simpan pinjam dibahas dalam Muktamar Majelis Tarjih Malang (1989). Keputusannya : koperasi simpan pinjam hukumnya adalah mubah karena tambahan pembayaran pada koperasi simpan pinjam bukan termasuk riba.
Berdasarkan keputusan Malang tersebut, Majelis Tarjih PP Muhammadiyah, mengeluarkan satu tambahan keterangan, yakni bahwa tambahan pembayaran atau jasa yang diberikan oleh peminjam kepada koperasi simpan pinjam bukanlah riba. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya perlu mengingat beberapa hal. Di antaranya, hendaknya tambahan pembayaran (jasa) tidak melampaui laju inflasi.
2. Lajnah Bahsul Masa'il Nahdlatul Ulama [3]
Mengenai bank dan pembungaan uang. Lajnah memutuskan masalah tersebut melalui beberapa kali sidang. Menurut Lajnah, hukum bank dan hukum bunganya sama seperti hukum gadai. Terdapat tiga pendapat utama sehubungan dengan masalah ini.
a. Haram, sebab termasuk utang yang dipungut rente.
b. Halal, sebab tidak ada syarat pada waktu akad, sedangkan adat yang berlaku tidak dapat begitu saja dijadikan syarat.
c. Syubhat, (tidak tentu halal dan haramnya), sebab para ahli hokum berselisih pendapat tentangnya.
Meskipun ada perbedaan pendapat, Lajnah memutuskan bahwa (pilihan) yang lebih berhati-hati ialah pendapat pertama, yakni menyebut bunga bank adalah haram.
Keputusan Lajnah Bahsul Masa'il yang lebih lengkap tentang masalah bank ditetapkan pada siding di Bandar Lampung (1982). Kesimpulan sidang yang membahas tema Masalah Bank Islam tersebut antara lain sebagai berikut.
a. Para Musyawirin menyadari masih berbeda pendapat tentang hukum bunga bank konvensional.
1) Ada pendapat yang mempersamakan antara bunga bank dan riba secara mutlak, sehingga hukumnya haram. Dengan beberapa variasi antara lain sebagi berikut :
· Bunga itu dengan segala jenisnya sama dengan riba sehingga hukumnya haram.
· Bunga itu sama dengan riba dan hukumnya haram. Akan tetapi, boleh dipungut sementara sistem perbankan yang Islami atau tanpa bunga belum beroperasi.
· Bunga itu sama dengan riba, hukumnya haram. Akan tetapi boleh dipungut sebab ada kebutuhan yang kuat (hajah rajihah).
2) Ada pendapat yang tidak mempersamakan bunga bank dengan riba, sehingga hukumnya boleh. Dengan beberapa variasi keadaan antara lain sebagai berikut :
· Bunga konsumsi sama dengan riba, hukumnya haram. Bunga produktif tidak sama dengan riba, hukumnya halal.
· Bunga yang diperoleh dari tabungan giro tidak sama dengan riba, hukumnya halal.
· Bunga yang diterima dari deposito yang disimpan di bank, hukumnya boleh.
· Bunga bank tidak haram kalau bank itu menetapkan tarif bunganya terlebih dahulu secara umum.
3) Ada pendapat yang menyatakan hukumnya syubhat (tidak identik dengan haram).
b. Menyadari bahwa warga NU merupakan potensi yang sangat besar dalam pembangunan nasional dan dalam kehidupan sosial ekonomi, diperlukan adanya suatu lembaga keuangan yang memenuhi persyaratan sesuai dengan keyakinan warga NU. Karenanya, Lajnah memandang perlu mencari jalan keluar menentukan sistem perbankan yang sesuai dengan hukum Islam, yakni bank tanpa bunga dengan langkah-langkah berikut.
1) Sebelum tercapai cita-cita diatas, hendaknya sistem perbankan yang dijalankan sekarang ini diperbaiki
2) Perlu diatur hal-hal berikut.
a) Penghimpunan dana masyarakat dengan prinsip sebagai berikut.
(1) Al Wadi'ah (simpanan) bersyarat atau dhaman, yang digunakan untuk menerima giro (current account) dan tabungan (saving account) serta titipan dari pihak ketiga atau lembaga keuangan lain yang menganut system yang sama.
(2) Al Mudharabah. Dalam prakteknya konsep ini disebut sebagai investment account atau lazim disebut sebagai deposito berjangka dengan jangka waktu yang berlaku, misalnya 3 bulan, 6 bulan, dan seterusnya, yang pada garis besarnya dapat dinyatakan dalam :
· General Invesment Account (GIA)
· Special Investment Account (SIA)
b) Penanaman dana dan kegiatan usaha.
(1) Pada dasarnya terbagi atas 3 jenis kegiatan, yaitu pembiayaan proyek, pembiayaan usaha perdagangan aatau perkongsian dan pemberian jasa atas dasar upaya melalui usaha patungan, profit and loss sharing, dan sebagainya.
(2) Untuk membiayai proyek, sistem pembiayaan yang dapat digunakan antara lain mudharabah, muqaradhah, musyarakah/syirkah, murabahah, pemberian kredit dengan service charge (bukan bunga), ijarah, bai'udddain, termasuk didalamnya ba'i as-salam, al qardhul hasan (pinjaman kredit tanpa bunga, tanpa service charge) dan ba'i bitsaman aajil.
(3) Bank dapat membuka LC dan menerbitkan surat jaminan. Untuk mengaplikasikannya, bank dapat menggunakan konsep wakalah, musyarakah, murabahah, ijarah, sewa-beli, ba'i as-salam, ba'i al aajil, kafalah (garansi bank), working capital financing (pembiayaan modal) melalui purchase order dengan menggunakan prinsip murabahah.
(4) Untuk jasa-jasa perbankan (banking service) lainnya seperti pengiriman dan transfer uang, jual beli mata uang atau valuta, dan penukaran uang, tetap dapat dilaksanakan dengan prinsip tanpa bunga.
c) Munas mengamanatkan kepada PBNU agar membentuk suatu tim pengawas dalam bidang syariah, sehingga daapat menjamin keseluruhan operasional bank NU tersebut sesuai dengan kaidah-kaidah muamalah Islam.
d) Para Musyawirin mendukung dan menyetujui berdirinya bank Islam NU dengan sistem tanpa bunga.
3. Fatwa MUI
Fatwa MUI (Majelis Ulama Indonesia) akhirnya keluar tahun 2004 seperti dibawah ini [4].
________________________________________________
----------------------------------------------------------------------------------
KEPUTUSAN FATWA
MAJELIS ULAMA INDONESIA
Nomor 1 Tahun 2004
Tentang
BUNGA
(INTEREST/FA'IDAH)
Majelis Ulama Indonesia
MENIMBANG :
· Bahwa umat Islam Indonesia masih mempertanyakan status hukum bunga (interest/fa'idah) yang dikenakan dalam transaksi pinjaman (al-qardh) atau utang-piutang (al-dayn), baik yang dilakukan oleh lembaga keuangan, individu, maupun lainnya;
· Bahwa ijtima 'Ulama Komisi Fatwa se Indonesia pada tanggal 22 Syawal 1424 H / 16 Desember 2003 telah memfatwakan tentang status hukum bunga;
· Bahwa karena itu, Majelis Ulama Indonesia memandang perlu menetapkan fatwa tentang bunga dimaksud untuk dijadikan pedoman.
MENGINGAT :
· Firman Allah I antara lain :
1. Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.(275) Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.(276) Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan sembahyang dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.(277) Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.(278) Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.(279) Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.(280) (QS Al Baqarah (2): 275-280)
2. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. (QS Ali Imran (3) : 130)
· Hadits-hadits Nabi r antara lain :
1. Dari Abdillah Ibnu Mas'ud t,ia berkata : " Rasulullah r melaknat orang yang memakan, orang yang mengambil dan memberikan riba". Rawi berkata : saya bertanya (apakah Rasulullah r juga melaknat) orang yang menuliskan dan dua orang yang menjadi saksinya". Ia (Abdullah t) menjawab :"Kami hanya menceritakan yang kami dengar" (HR. Muslim)
2. Dari Jabir t, ia berkata : "Rasulullah r melaknat yang memakan riba, memberikan, menuliskan dan dua orang yang menyaksikan". Ia berkata : "Mereka berstatus hokum sama".(HR. Muslim)
3. Dari Abu Hurairah t, ia berkata : Rasulullah r bersabda : "Akan datang suatu masa dimana mereka (terbiasa) memakan riba. Barang siapa tidak memakan (mengambilnya), ia akan terkena debunya" (HR al-Nasa'i)
4. Dari Abu Hurairah t, ia berkata : Rasulullah r bersabda : "Riba ada tujuh puluh dosa; dosa yang paling ringan adaaalah (sama) dengan dosa orang yang berzina dengan ibunya" (HR Ibnu Majah)
5. Dari Abdillah Ibnu Mas'ud t, dari Nabi r,beliau bersabda :"Rina mempunyai tujuh puluh tiga pintu (cara,macam) (HR Ibnu Majah)
6. Dari Abdillah Ibnu Mas'ud t : "Rasulullah r melaknat orang yang memakan riba, memberikan, menuliskan dan dua orang yang menyaksikannya". (HR Ibnu Majah)
7. Dari Abu Hurairah t, ia berkata : Rasulullah r bersabda :"Sungguh akan datang pada umat manusia suatu masa dimana tak ada seorangpun diantara mereka kecuali (terbiasa) memakan riba. Barangsiapa tidak memakan (mengambil) nya ia akan terkena debunya. (HR Ibnu Majah)
· Ijma Ulama tentang keharaman riba dan bahwa riba adalah salah satu dosa besar (kabair) (lihat antara lain al Nawawi, al Majmu Syarh al Muhadzabah (t.t. : Dar Al-Fikri, t.t) juz 9 hal 391.
MEMPERHATIKAN :
Pendapat para Ulama ahli fiqh bahwa bunga yang dikenakan dalam transaksi pinjaman (utang-piutang, al-qardh wa al iqtiradh) telah memenuhi criteria riba yang diharamkan Allah, seperti dikemukakan antara lain, oleh :
1. Al-Nawawi berkata, al-Mawardi berkata : Sahabat-sahabat kamu (ulama madzhab Syafi'i) berbeda pendapat tentang pengharaman riba yang ditegaskan oleh al-Qur'an atas dua pandangan. Pertama, pengharaman tersebut bersifat mujmal (global) yang dijelaskan oleh sunnah. Setiap hukum riba yang dikemukakan oleh sunnah adalah merupakan penjelasan (bayan) terhadap kemujmalan al-Qur'an, baik riba naqad maupun riba nasi'ah. Kedua, bahwa pengharaman riba dalam al-Qur'an sesungguhnya hanya mencakup riba nasa' yang dikenal masyarakat Jahiliah dan permintaan tambahan atas harta (piutang) disebabkan penambahan masa (pelunasan). Salah seorang dari mereka apabila jatuh tempo pembayaran piutangnya dan pihak berutang tidak membayarnya, ia menambahkan piutangnya dan menambahkan pula masa pembayarannya. Hal seperti itu dilakukan lagi pada saat jatuh tempo berikutnya. Itulah maksud firman Allah I : "Janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda…". Kemudian sunnah menambahkan riba dalam pertukaran mata uang (naqad) terhadap bentuk riba yang terdapat dalam al-Qur'an;
2. Ibn al-'Araby dalam, Ahkam al-Qur'an;
3. Al –Aini dalam, Umdah al-Qary;
4. Al-Sarakhsyi dalam Al Mabsuth;
5. Ar-Ragib al-Isfahani dalam Al-Mufradat Fi Gharib al-Qur'an;
6. Muhammad Ali al-Shabuni dalam Rawa-I' al-Bayan;
7. Muhammad Abu Zahrah dalam Buhuts fi al-Riba;
8. Yusuf al-Qardhawy dalam fawa'id al-Bunuk;
9. Wahbah al-Zuhaily dalam Al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh;
10. Bunga Uang atas pinjaman (qardh) yang berlaku di atas lebih buruk dari riba yang diharamkan Allah I dalam Al Qur'an, karena dalam riba tambahan hanya dikenakan pada saat jatuh tempo. Sedangkan dalam sistem bunga tambahan sekarang sudah dikenakan langsung saat terjadi transaksi;
11. Ketetapan akan keharaman bunga Bank oleh berbagai forum Ulama Internasional, antara lain :
· Majma'ul Buhuts al Islamiy Negara-negara OKI yang diselenggaarakan di Jeddah tgl 10-16 Rabi'ul Awwal 1406 H / 22 Desember 1985;
· Majma'al-Fiqh Rabithah al-Alam al Islamiy, keputusan 6 Sidang IX yang diselenggarakan di Makkah tanggal 12-19 Rajab 1406 H;
· Keputusan Dar Al Ifta, kerajaan Saudi Arabia , 1979;
· Keputusan Supreme Shariah Court Pakistan 22 Desember 1999;
· Fatwa Dewan Syari'ah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI) tahun 2000 yang menyatakan bahwa bunga tidak sesuai syari'ah;
· Keputusan siding Lajnah Tarjih Muhammadiyah tahun 1968 di Sidoarjo yang menyarankan kepaada PP Muhammadiyah untuk mengusahakan terwujudnya konsepsi system perekonomian khususnya Lembaga Perbankan yang sesuai dengan kaidah Islam;
· Keputusan Munas Alim Ulama dan Konbes NU tahun 1992 di Bandar Lampung yang mengamanatkan berdirinya Bank Islam dengan system tanpa bunga.
· Keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia tentang Fatwa Bunga (interest/fa'idah), tanggal 22 Syaawal 1424 / 16 Desember 2003.
· Keputusan Rapat Komisi Fatwa MUI, tanggal 11 Dzulqa'idah 1424 / 03 Januari 2004 ; 28 Dzulqaidah 1424 / 17 Januari 2004 dan 05 Dzulhijah 1424 / 24 Januari 2004.
Dengan memohon ridha Allah I MEMUTUSKAN
MEMUTUSKAN : FATWA TENTANG BUNGA
(INTEREST / FA'IDAH)
Pertama : Pengertian Bunga (interest) dan Riba.
· Bunga (interest/fa'idah) adalah tambahan yang dikenakan dalam transaksi pinjaman uang (al-qardh) yang diperhitungkan dari pokok pinjaman tanpa mempertimbangkan pemanfaatan/hasil pokok tersebut, berdasarkan tempo waktu, diperhitungkan secara pasti di muka, dan pada umumnya berdasarkan persentase.
· Riba adalah tambahan (ziyadah) tanpa imbalan yang terjadi karena penangguhan dalam pembayaran yang diperjanjikan sebelumnya, dan inilah yang disebut riba nasi'ah.
Kedua : Hukum Bunga (interest)
· Praktek pembungaan uang saat ini telah memenuhi kriteria riba yang terjadi pada jaman Rasulullah r, yakni riba nasi'ah. Dengan demikian, praktek pembungaan ini termasuk salah satu bentuk riba, dan riba haram hukumnya.
· Praktek penggunaan tersebut hukumnya adalah haram, baik dilakukan oleh bank, asuransi, pasar modal, pegadaian, koperasi, dan lembaga keuangan lainnya maupun dilakukan oleh individu.
Ketiga : Bermuamalah dengan lembaga keuangan konvensional.
- Untuk wilayah yang sudah ada kantor / jaringan lembaga keuangan syari'ah dan mudah dijangkau, tidak dipbolehkan melakukan transaksi yang didasarkan kepada perhitungan bunga.
- Untuk wilayah yang belum ada kantor / jaringan lembaga keuangan syari'ah, diperbolehkan melakukan kegiatan transaksi di lembaga keuangan konvensional berdasarkan prinsip dharurat / hajat.
24 Januari 2004 M
MAJELIS ULAMA INDONESIA
KOMISI FATWA
Ketua Sekretaris
KH Ma'ruf Amin Drs. Hasanudin, M.Ag
--------------------------------------------------------------------------------------
_________________________________________________
4. Sidang Organisasi Konferensi Islam (OKI)[5]
Semua peserta siding OKI kedua yang berlangsung di Karachi , Pakistan , Desember 1970, telah menyepakati dua hal utama, yaitu sebagai berikut.
a. Praktek bank dengan system bunga adalah tidak sesuai dengan syari'ah Islam
b. Perlu segera didirikan bank-bank alternative yang menjalankan operasinya sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.
Hasil kesepakatan inilah yang melatar belakangi didirikannya Bank Pembangunan Islam atau Islamic Development Bank (IDB).
5. Mufti Negara Mesir [6]
Keputusan Kantor Mufti Negara Mesir terhadap hokum bunga bank senantiasa tetap konsisten. Tercatat sekurang-kurangnya sejak tahun 1900 hingga 1989, Mufti Negara Republik Arab Mesir memutuskan bahwa bunga bank termasuk salah satu bentuk riba.
6. Konsul Kajian Islam Dunia[7]
Ulama-ulam besar dunia yang terhimpun dalam Konsul Kajian Islam Dunia (KKID) telah memutuskan hukum yang tegas terhadap bunga bank. Dalam konferensi II KKID yang diselenggarakan di universitas Al-Azhar, Kairo, pada bulan Muharram 1385 H / Mei 1965 M, ditetapkan bahwa tidak ada sedikitpun keraguan atas keharaman praktek pembungaan uang seperti yang dilakukan bank-bank konvensional.
Diantara ulama-ulama besar yang hadir pada saat itu adalah Syekh Al Azhar Prof Abu Zahra, Prof. Abdullah Draz, Prof. Dr Mustafa Ahmad Zarqa, Dr. Yusuf Qardhawi, dan sekitar tiga ratus ulama besar dunia lainnya.
Dr. Yusuf Qardhawi, salah seorang peserta aktif dalam konferensi tersebut, mengutaraka langsung kepada Muhammad Syafe'I Antonio pada tanggal 14 Oktober 1999 di Institute Bankir Indonesia, Kemang, Jakarta Selatan bahwa konferensi tersebut disamping dihadiri oleh para ulama juga diikuti oleh para banker dan ekonom dari Amerika, Eropa dan dunia Islam. Yang menarik, menurutnya para banker dan ekonom justru yang paling semangat menganalisis kemudharatan praktek pembungaan uang melebihi hammasah (semangat) para ustadz dan ahli syariah. Mereka menyerukan bahwa harus dicari satu bentuk system perbankan alternatif.
7. Fatwa Lembaga-Lembaga Lain [8]
Senada dengan ketetapan dan fatwa dari lembaga-lembaga Islam dunia di atas, beberapa lembaga berikut ini juga menyatakan bahwa bunga bank adalah salah satu bentuk riba yang diharamkan. Lembaga-lembaga tersebut adalah.
a. Akademi Fiqh Liga Muslim Dunia.
b. Pimpinan Pusat Dakwah, Penyuluhan, Kajian Islam dan Fatwa, Kerajaan Saudi Arabia .
Satu hal yang perlu dicermati, keputusan dan fatwa dari lembaga-lembaga dunia di atas di ambil pada saat bank Islam dan lembaga keuangan Syariah belum berkembang seperti saat ini. Dengan kata lain, para ulama dunia tersebut sudah berani menetapkan hokum dengan tegas sekalipun pilihan-pilihan alternative belum tersedia.
Alangkah malunya kita di mata Allah I dan Rasulullah r, ketika saat ini sudah berdiri dua bank syariah secara penuh (Bank Muamalat dan Bank Syariah mandiri, 78 bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS), Asuransi Takaful Keluarga, Asuransi Takaful Umum, Reksa Dana Syariah, dan Ribuan BMT (dengan segala kelebiahn dan kekurangannya), kita masih belum mebuka hati untuk "bertanggung jawab" terhadap ajaran agama kita.
Untuk mengetahui berapa bank syariat di Indonesia sampai tahun 2007 dari Biro Riset Infobank, Warta BRI No.3 Juni 2005, SPS Feb 2007, SPI 2006, BI adalah tercantum dalam tabel dibawah ini [9] :
Awal Operasi dan Perkembangan Kantor Cabang Bank Syariah di Indonesia
No | Nama Bank Syariah | Kelompok Bank | Resmi Beroperasi | KPO/KC [10] | KCP [11] |
1 | PT Bank Muamalat | BUS [12] | 1992 | 51 | 10 |
2 | PT Bank Syariah Mandiri | BUS | 1998 | 57 | 43 |
3 | PT Bank IFI Syariah [13] | UUS [14] | 1999 | 1 | 0 |
4 | PT Bank Jabar syariah | UUS | 2000 | 5 | 1 |
5 | PT BNI Syariah | UUS | 2000 | 24 | 25 |
6 | PT BRI Syariah | UUS | 2002 | 27 | 16 |
7 | PT Bank danamon Syariah | UUS | 2002 | 7 | 3 |
8 | PT Bank Bukopin Syariah | UUS | 2002 | 5 | 1 |
9 | PT BII Syariah | UUS | 2003 | 1 | 3 |
10 | HSBC Ltd | UUS | 2003 | 0 | 1 |
11 | PT Bank DKI | UUS | 2004 | 1 | 0 |
12 | BPD Riau | UUS | 2004 | 2 | 0 |
13 | BPD Kalimantan Selatan | UUS | 2004 | 2 | 0 |
14 | PT Bank Syariah Mega | BUS | 2004 | 4 | 4 |
15 | PT Bank Niaga | UUS | 2004 | 2 | 5 |
16 | BPD Sumatera Utara | UUS | 2004 | 2 | 0 |
17 | BPD Aceh | UUS | 2004 | 1 | 0 |
18 | PT Permata Bank | UUS | 2004 | 6 | 5 |
19 | PT BTN Syariah | UUS | 2005 | 9 | 0 |
20 | BPD Nusa Tenggara Barat | UUS | 2005 | 1 | 0 |
21 | BPD Kalimantan Barat | UUS | 2005 | 1 | 0 |
22 | BPD Sumatera Selatan | UUS | 2005 | 1 | 0 |
23 | BPD Kalimantan Timur | UUS | 2006 | 1 | 0 |
24 | BPD DIY | UUS | 2007 | 1 | |
Total | 211 | 117 |
[1] Dawam Rahardjo, Islam dan Transformasi Sosio-Ekonomi (Jakarta : Lembaga Study Agama dan Filsafat, 1999)
[2] Pembahasan lebih lanjut mengenai pendapat Majelis Tarjih, lihat Fathurahman Djamil, Metode Ijtihad Majelis Tarjih Muhammadiyah (Jakarta : Logos Publishing House, 1995)
[3] Muhammad Ghafur W, Memahami Bunga dan Riba Ala Muslim Indonesia (Yogyakarta : Biruni Press, 2008) cetakan pertama ; Rifyal Ka'bah, Hukum Islam di Indonesia (Jakarta : Universitas Yarsi, 1999) ; Islamic Banking : Bank Syariah Dari Teori Ke Praktek, Muhammad Syafi'i Antonio, Bab Riba Dalam Perspektif Agama, halaman 63, Gema Insani Press & Tazkia,cetakan ke 1, Jakarta, 2001
[4] Muhammad Ghafur W, Memahami Bunga dan Riba Ala Muslim Indonesia (Yogyakarta : Biruni Press, 2008) cetakan pertama
[5] Islamic Banking : Bank Syariah Dari Teori Ke Praktek, Muhammad Syafi'i Antonio, Bab Riba Dalam Perspektif Agama, halaman 63, Gema Insani Press & Tazkia,cetakan ke 1, Jakarta, 2001
[6] Islamic Banking : Bank Syariah Dari Teori Ke Praktek, Muhammad Syafi'i Antonio, Bab Riba Dalam Perspektif Agama, halaman 66, Gema Insani Press & Tazkia,cetakan ke 1, Jakarta, 2001
[7] Islamic Banking : Bank Syariah Dari Teori Ke Praktek, Muhammad Syafi'i Antonio, Bab Riba Dalam Perspektif Agama, halaman 66, Gema Insani Press & Tazkia,cetakan ke 1, Jakarta, 2001
[8] Islamic Banking : Bank Syariah Dari Teori Ke Praktek, Muhammad Syafi'i Antonio, Bab Riba Dalam Perspektif Agama, halaman 67, Gema Insani Press & Tazkia,cetakan ke 1, Jakarta, 2001
[9] Muhammad Ghafur W, Memahami Bunga dan Riba Ala Muslim Indonesia (Yogyakarta : Biruni Press, 2008) cetakan pertama
[12] BUS adalah Bank Umum Syariah yaitu bank syariah yang beroperasi secara penuh dengan system syariah dan bukan merupakan bagian dari suatu bank konvensional
[14] UUS adalah Unit Usaha Syariah yaitu salah satu bagian atau unit kerja dari bank konvensional yang beroperasi secara syariah. Secara kelembagaan, UUS merupakan bagian dari suatu bank konvensional namun secara operasional ia terpisah dari induknya yang beroperasi secara konvensional tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar