Al Qur'an

يَا بُنَيَّ أَقِمِ الصَّلاَ ةَ وَ أْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَ انْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَ اصْبِرْ عَلَى مَا أَصَا بَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ اْلأُمُور [لقمان/17]

Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). (QS. Lukmaan (31) : 71

SILAHKAN DISEBARKAN

SILAHKAN DIPERBANYAK / DISEBARKAN DENGAN COPY PASTE ASAL SEBUTKAN SUMBERNYA, TERIMA KASIH

Selasa, 16 Agustus 2011

Pengetahuan dan Hukum Islam Tentang Riba (Bagian 7)



Alasan Pembenaran Pengambilan Riba di Lapangan Kehidupan

Sekalipun ayat-ayat dan hadits-hadits riba sudah sangat jelas dan tegas, masih saja ada beberapa cendekiawan yang mencoba untuk memberikan pembenaran atas pengambilan bunga uang. Diantaranya karena alasan berikut [1] :
1.  Dalam keadaan darurat, bunga halal hukumnya.
2.  Hanya bunga yang berlipat ganda saja dilarang, sedangkan suku bunga yang wajar dan tidak menzalimi, diperkenankan.
3.  Bank, sebagai lembaga, tidak masuk kategori mukallaf . Dengan demikian, tidak terkena hukum  ayat-ayat dan hadits-hadits riba.

Untuk itu marilah kita bahas alasan-alasan tersebut berdasarkan hukum Syariat Islam apakah tepat alasannya, mengada-ada, atau karena kurangnya pemahaman terhadap kaidah-kaidah hukum tersebut [2].


1.  Darurat

Untuk memahami pengertian darurat, kita seharusnya melakukan pembahasan yang komprehensif tentang pengertian darurat seperti yang dinyatakan oleh syara' (Allah I dan RasulNya) bukan pengertian sehari-hari terhadap istilah ini.

ý       Imam Suyuti dalam bukunya [3], Al-Asybah Wan Nadzair (الاشباه و النظائر ), menegaskan bahwa "darurat adalah suatu keadaan emergency dimana jika seseorang tidak segera melakukan sesuatu tindakan dengan cepat, akan membawanya ke jurang kehancuran atau kematian".

ý       Dalam literature klasik, keadaan emergency ini sering dicontohkan dengan seorang yang tersesat di hutan dan tidak ada makanan lain kecuali daging babi yang diharamkan. Dalam keadaan darurat demikian Allah I menghalalkan daging babi dengan dua batasan.

...فَمَنِ  اضْطُرَّ  غَيْرَ  بَاغٍ  وَ  لاَ  عَادٍ  فَلاَ  إِ ثْمَ  عَلَـيْهِ   إِنَّ  اللَّهَ  غَفُورٌ  رَحِيم  [البقرة/173]
"…Barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia (1) tidak menginginkannya dan (2) tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al Baqarah (2) : 173)

Pembatasan yang pasti terhadap pengambilan dispensasi ini harus sesuai dengan metodologi ushul fiqh, terutama penerapan al-qawaid al-fiqhiyah seputar kadar darurat [4]. Sesuai dengan ayat diatas, para ulama merumuskan kaidah :

)  الضرورات   تقدرها (
"Darurat itu harus dibatasi sesuai kadarnya"

Artinya, darurat itu ada masa berlakunya serta ada batasan ukuran dan kadarnya. Contohnya, seandainya di hutan ada sapi atau ayam, dispensasi untuk memakan daging babi menjadi hilang. Demikian juga seandainya untuk mempertahankan hidup cukup dengan tiga suap, tidak boleh melampaui batas hingga tujuh atau sepuluh suap, apalagi jika dibawa pulang dan dibagi-bagikan kepada tetangga.


2.  Berlipat Ganda

Ada pendapat bahwa bunga hanya dikategorikan riba bila sudah berlipat ganda dan memberatkan, sedangkan bila kecil dan wajar-wajar saja dibenarkan[5]. Pendapat ini berasal dari pemahaman yang keliru atas surat Ali Imran ayat 130.

يَا  أَ يُّهَا  الَّذِينَ   آَمَنُوا  لاَ   تَأْ  كُلُوا  الرِّ بَا   أَضْعَافًا   مُضَاعَفَةً   وَ  اتَّقُوا  اللَّهَ   لَعَلَّكُمْ   تُفْلِحُونَ   [آل عمران/130]
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. (QS. Ali Imraan (3) : 130)

Sepintas surat ini memang hanya melarang riba yang berlipat ganda. Akan tetapi, memahami kembali ayat tersebut secara cermat termasuk mengaitkannya dengan ayat-ayat riba lainnya secara komprehensif, serta pemahaman terhadap fase-fase pelarangan riba secara menyeluruh, akan sampai pada kesimpulan bahwa riba dalam segala bentuk dan jenisnya mutlak diharamkan.

·       Kriteria berlipat ganda dalam ayat ini harus dipahami sebagai hal (حل)  atau sifat dari riba dan sama sekali bukan merupakan syarat. (Syarat berarti kalau terjadi pelipat gandaan maka riba, jika kecil maka bukan riba, tentu saja pemahaman demikian membahayakan pemahaman dan mengaburkan makna ayat yang sebenarnya).

·       Menanggapi hal ini, Dr. Abdullah Draz, dalam salah satu konferensi fiqih Islami di Paris tahun 1978, menegaskan kerapuhan asumsi syarat tersebut. Ia menjelaskan secara linguistik kata (ضعـف) "kelipatan". Sesuatu berlipat minimal 2 kali lebih besar dari semula, sedangkan kata (اضعـاف) adalah bentuk jamak dari kelipatan tadi. Minimal jamak adalah 3. Dengan demikian (اضعـاف) berarti 3 x 2 = 6 kali. Adapun (مـضـاعـفـا) dalam ayat adalah ta'kid (للتاكيد) atau penegasan untuk penguatan.

Dengan demikian menurutnya, kalau berlipat ganda itu dijadikan syarat maka sesuai dengan konsekuensi bahasa, minimum harus 6 kali atau bunga 600 %. Secara operasional dan nalar sehat, angka itu mustahil terjadi dalam proses perbankan maupun simpan pinjam.

·       Menanggapi pembahasan surat Ali Imran ayat 130 ini, Syekh Umar bin Abdul Aziz al-Matruk, penulis buku ar-Riba wal Muamalat al-Mashrafiyyah fi Nadzri ash-Shariah al-Islamiah, menegaskan :
) اما  الاستدلال   باية   آل عمران   و  التعبير   با لاضعاف   فيها  فليس  المقصود  ان   يبلغ   كل  الربا   هذا  المبلغ   بل  المقصود  من   شأن   الربا  عامة   ان   يصبح   كذالك   مع   تعلقب   السنين   و  لهذا  اصبح   هذا   التعبير  و  صفا  عاما  للربا  فى  لغة   الشرع (
"Adapun yang dimaksud dengan ayat 130 surat Ali Imran, termasuk berlipat ganda dan penggunaanya sebagai dalil, sama sekali tidak bermakna bahwa riba harus sedemikian banyak. Ayat ini menegaskan tentang karakteristik riba secara umum bahwa ia mempunyai kecenderungan untuk berkembang dan berlipat sesuai dengan berjalannya waktu. Dengan demikian, redaksi ini (berlipat ganda) menjadi sifat umum dari riba dalam terminologi syara (Allah I dan RasulNya)" [6]

·       Dr. Sami Hasan Hamoud dalam bukunya, Fathwiir al-'Amaali al-Mashrifiyyah bimaa Yattafiqu wasy-Syarii'ah al-Islaamiyyah halaman 138-139 [7], menjelaskan bahwa bangsa Arab di samping melakukan pinjam meminjam dalam bentuk uang dan barang bergerak, juga melakukannya dalam ternak. Mereka bisa meminjamkan ternak berumur 2 tahun (bin makhad) dan minta kembalian berumur 3 tahun (bint labun). Kalau meminjamkan ternak bint labun, meminta kembalian haqqah (berumur 4 tahun). Kalau meminjamkan haqqah, meminta kembalian jadzaah (berumur 5 tahun).

Kriteria tahun dan umur ternak terkadang loncat  dan tidak harus berurutan bergantung pada kekuatan supply and demand (permintaan dan penawaran) di pasar. Dengan demikian, kriteria tahun bisa berlipat dari ternak berumur 1 ke 2, bahkan ke 3 tahun.

Perlu direnungi pula bahwa penggunaan kaidah mafhum mukhalafah dalam konteks Ali Imran : 130 sangatlah menyimpang, baik dari siyaqul kalam, konteks antar ayat, kronologis penurunan wahyu, maupun sabda-sabda Rasulullah r seputar pembungaan uang serta praktik riba pada masa itu.

Secara sederhana, jika kita menggunakan logika mafhum mukhalafah yang berarti konsekuensi secara terbalik – jika berlipat ganda dilarang, kecil boleh ; jika tidak sendirian, bergerombol; jika tidak didalam, diluar; dan sebagainya- kita akan salah kaprah memahami pesan-pesan Allah I.

Sebagai contoh, jika ayat larangan berzina kita tafsirkan secara mafhum mukhalafah.

وَ لاَ  تَقْرَ بُوا الزِّ نَا  إِ نَّهُ   كَانَ   فَاحِشَةً   وَ  سَاءَ   سَبِيلاً   [الإسراء/32]
Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk. (QS. Al Israa (17) : 32)

حُرِّ مَتْ  عَلَيْكُمُ  الْمَيْتَةُ  وَ  الدَّ مُ  وَ  لَحْمُ  الْخِنْزِ يرِ  وَ  مَا  أُهِلَّ   لِغَيْرِ  اللَّهِ   بِه   [المائدة/3]
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah (QS. Al Maaidah (5) : 3)

Janganlah mendekati zina!, yang dilarang adalah mendekati, berarti perbuatan zina sendiri tidak dilarang.

Demikian juga larangan memakan daging babi. Janganlah memakan daging babi!. Yang dilarang memakan dagingnya sedangkan tulang, lemak, dan kulitnya tidak disebutkan secara explisit. Apakah berarti tulang, lemak dan kulit babi halal?

Pemahaman pesan-pesan Allah I seperti ini jelas sangat membahayakan karena seperti dikemukakan di atas, tidak mengindahkan siyaqul kalam, kronologis penurunan wahyu, konteks antar ayat, sabda-sabda Rasulullah r seputar subyek pembahasan, demikian juga disiplin ilmu bayan (بيان), badi' (بديع) dan maa'ni (معانى).

·        Dia atas itu semua harus dipahami sekali lagi bahwa ayat 130 surat Ali Imran diturunkan pada tahun ke 3 H. Ayat ini harus dipahami bersama ayat 278-279 dari surat Al Baqarah yang turun pada tahun 9 H. Para ulama menegaskan bahwa pada ayat terakhir tersebut  (QS Al Baqarah 278-279) merupakan 'ayat sapu jagat' untuk segala bentuk, ukuran, kadar dan jenis riba [8].


3.  Badan Hukum dan Hukum Taklif

Ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa ketika ayat riba turun dan disampaikan di Jazirah Arabia, belum ada bank atau lembaga keuangan, yang ada hanyalah individu-individu [9]. Dengan demikian, Bank, lembaga keuangan dan lain-lain tidak terkena taklif  karena pada saat Nabi hidup belum ada.

Pendapat ini jelas-jelas mempunyai banyak kelemahan, baik dari sisi historis maupun teknis [10].

a.  Tidaklah benar bahwa pada zaman pra Rasulullah r tidak ada "badan hukum" sama sekali. Sejarah Romawi, Persia dan Yunani menunjukkan ribuan lembaga keuangan yang mendapat pengesahan dari pihak penguasa. Dengan kata lain, perseroan mereka telah masuk ke lembaran Negara. Bahkan di Yunani sekitar abad VI sebelum Masehi hingga 1 Masehi telah terdapat beberapa jenis bunga. Besarnya bunga tersebut bervariasi bergantung pada kegunaanya. Secara umum nilai bunga tersebut dikategorikan sebagi berikut :

Pinjaman Biasa
6 % - 18 %
Pinjaman Properti
6 % - 12 %
Pinjaman Antar Kota
7 % - 12 %
Pinjaman Perdagangan dan Industri
12% - 18 %

Pada masa Romawi, sekitar abad V sebelum Masehi sehingga IV Masehi terdapat undang-undang yang membenarkan penduduknya mengambil bunga selama tingkat bunga tersebut sesuai dengan tingkat maksimal yang dibenarkan hukum (maximum legal rate). Nilai suku bunga itu berubah-ubah sesuai dengan berubahnya waktu. Meskipun undang-undang membenarkan pengambilan bunga, tetapi pengambilannya tidak dibenarkan dengan cara bunga berbunga (double countable).

Pada masa Genucia (342 SM), kegiatan pengambilan bunga tidak diperbolehkan. Akan tetapi pada masa Unciaria (88 SM), praktek tersebut diperbolehkan kembali seperti semula. Terdapat empat jenis tingkat bunga pada zaman Romawi, yaitu sebagai berikut :

Bunga Pinjaman Maksimal yang dibenarkan
8 % - 12 %
Bunga Pinjaman Biasa di Roma
4 % - 12 %
Bunga Untuk Wilayah (daerah taklukan Roma)
6 % - 100 %
Bunga Khusus Byzantium
4 % - 12 %

Tradisi tersebut menyebar ke Mesir, Persia, Cina dan menyebar ke Jazirah Arab.

b.  Dalam tradisi hukum, perseroan atau badan hukum sering disebut sebagai juridicial personality atau syakhsiyah hukmiyah. Juridicial personality ini secara hukum adalah sah dan dapat mewakili individu-individu secara keseluruhan.[11]

Dilihat dari sisi mudharat dan manfaat, perusahaan dapat melakukan mudharat jauh lebih besar dari perseorangan. Kemampuan seorang pengedar narkotika dibandingkan dengan sebuah lembaga mafia dalam memproduksi, mengekspor, dan mendistribusikan obat-obat terlarang tidaklah sama; lembaga mafia jauh lebih besar dan berbahaya. Alangkah naifnya bila kita menyatakan bahwa apapun yang dilakukan lembaga mafia tidak dapat terkena hukum taklif karena bukan manusia yang diberi taklif. Memang ia bukan insan Mukallaf, tetapi melakukan fiil mukallaf yang jauh lebih besar dan berbahaya. Demikian juga dengan lembaga keuangan, apa bedanya antara seorang rentenir dan lembaga rente. Kedua-duanya lintah darat yang mencekik rakyat kecil. Bedanya rentenir dalam skala kecamatan atau kabupaten, sedangkan lembaga rente meliputi propinsi, negara bahkan global.


Perbedaan Antara Investasi dan Membungakan Uang

Ada dua perbedaan mendasar antara investasi dengan membungakan uang. Perbedaan tersebut dapat ditelaah dari definisi hingga makna masing-masing [12].

1.  Investasi adalah kegiatan usaha yang mengandung resiko karena berhadapan dengan unsur ketidakpastian. Dengan demikian, perolehan kembaliannya (return) tidak pasti dan tidak tetap.

2. Membungakan uang adalah kegiatan usaha yang kurang mengandung resiko karena peroleh kembaliannya berupa bunga yang relative pasti dan tetap.

Islam mendorong masyarakat kearah usaha nyata dan produktif. Islam mendorong seluruh masyarakat untuk melakukan investasi dan melarang membungakan uang. Sesuai dengan definisi di atas, menyimpan uang di Bank Islam termasuk kategori kegiatan investasi karena perolehan kembaliannya (return) dari waktu ke waktu tidak pasti dan tidak tetap. Besar kecilnya perolehan kembali itu bergantung pada hasil usaha yang benar-benar terjadi dan dilakukan bank sebagai Mudharib atau pengelola dana.

Dengan demikian Bank Islam tidak dapat sekadar menyalurkan uang, Bank Islam harus terus berupaya meningkatkan kembalian atau return of investment sehingga lebih menarik dan lebih memberikan kepercayaan bagi pemilik dana.



Perbedaan Antara Utang Uang dan Utang Barang

Ada dua jenis utang yang berbeda satu sama lainnya, yakni utang yang terjadi karena pinjam meminjam uang dan utang yang terjadi karena pengadaan barang. Utang yang terjadi karena pinjam meminjam uang tidak boleh ada tambahan, kecuali dengan alasan yang pasti dan jelas, seperti biaya materai, biaya notaris dan studi kelayakan. Tambahan lainnya yang sifatnya tidak pasti dan tidak jelas seperti Inflasi (turunnya nilai mata uang karena naiknya harga barang) dan deflasi (naiknya nilai mata uang karena turunnya harga barang), tidak diperbolehkan.

Utang yang terjadi karena pembiayaan pengadaan barang harus jelas dalam satu kesatuan yang utuh atau disebut harga jual. Harga Jual itu sendiri terdiri atas harga pokok barang plus keuntungan yang disepakati. Sekali harga jual telah disepakati, selamanya tidak boleh berubah naik karena akan masuk dalam kategori riba fadhal. Dalam transaksi perbankan syariah yang muncul adalah kewajiban bentuk pengadaan barang, bukan utang uang.[13]



Perbedaan Antara Bunga dan Bagi Hasil

Sekali lagi, Islam mendorong praktek bagi hasil serta mengharamkan riba. Keduanya sama-sama memberi keuntungan bagi pemilik dana, namun keduanya mempunyai perbedaan yang sangat nyata. Perbedaan itu dapat dijelaskan dalam table berikut .

Tabel Perbedaan Antara Bunga dan bagi Hasil
BUNGA
BAGI HASIL
a.Penentuan bunga dibuat pada waktu akad dengan asumsi harus selalu untung
a.Penentuan besarnya rasio/nisbah bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung rugi.
b.Besarnya nilai berdasarkan pada jumlah uang   (modal) yang dipinjamkan
b.Besarnya rasio bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh.
c.Pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan apakah proyek yang dijalankan oleh pihak nasabah untung atau rugi
c.Bagi hasil bergantung pada keuntungan proyek yang dijalankan. Bila usaha merugi, kerugian akan ditanggung bersama oleh kedua belah pihak.
d.Jumlah Pembayaran bunga tidak meningkat sekalipun jumlah keuntungan berlipat atau keadaan ekonomi sedang booming.
d.Jumlah pembagian laba meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah pendapatan.
e.Eksistensi bunga diragukan (kalau tidak dikecam) oleh semua agama, termasuk Islam.
e.Tidak ada yang meragukan keabsahan bagi hasil



[1]  Islamic Banking : Bank Syariah Dari Teori Ke Praktek, Muhammad Syafi'i Antonio, Bab Riba Dalam Perspektif Agama, halaman 54, Gema Insani Press & Tazkia,cetakan ke 1, Jakarta, 2001 (materi ini beliau ambil dari Dawam Rahardjo, "The Question Of Islamic Banking In Indonesia" dan Mohammed Arif  : 'Islamic Banking in South East Asia (Singapore : ISEAS, 1988)
[2]  Islamic Banking : Bank Syariah Dari Teori Ke Praktek, Muhammad Syafi'i Antonio, Bab Riba Dalam Perspektif Agama, halaman 55, Gema Insani Press & Tazkia,cetakan ke 1, Jakarta, 2001
[3]  Islamic Banking : Bank Syariah Dari Teori Ke Praktek, Muhammad Syafi'i Antonio, Bab Riba Dalam Perspektif Agama, halaman 55, Gema Insani Press & Tazkia,cetakan ke 1, Jakarta, 2001 ( Lihat Jalaluddin Abdurahman as-Suyuti (w. 911 H),  al Asybah wan Nazhair fi Qawaid wa Furu' Fiqh asy-Syafiiyah (Beirut : Darul Kutub al-Amaliyah, 1983), hal. 85)
[4]  Islamic Banking : Bank Syariah Dari Teori Ke Praktek, Muhammad Syafi'i Antonio, Bab Riba Dalam Perspektif Agama, halaman 55, Gema Insani Press & Tazkia,cetakan ke 1, Jakarta, 2001 (Lihat juga Wehbah Zuhaili, Nazariyyatu adh-Dharurah ash-Shariyyah (Beirut, Muassasah ar-Risalah, 1985).
[5]  Kahar Masyhur, Beberapa Pendapat tentang Riba (Jakarta : Kalam Mulia, 1999).
[6] الربـا و المعـا ملات  المصرفية  فى  نظر  الشر  يعة  الاسلا مية  , ص  158
[7] لتطوير الاعمال   الامصر فية  بما  يتفق  و الشر  يعة   الاسلا مية  , ص  138 - 139
[8]  Abul 'Ala al-Maududi, Riba (Lahore : Islamic Publication, 1951)
[9]  Islamic Banking : Bank Syariah Dari Teori Ke Praktek, Muhammad Syafi'i Antonio, Bab Riba Dalam Perspektif Agama, halaman 57, Gema Insani Press & Tazkia,cetakan ke 1, Jakarta, 2001 (Ibrahim Hosen, "Kajian Tentang Bunga Bank Menurut Hukum Islam" paper dipresentasikan pada waktu workshop on Bank and Banking Interest, disponsori oleh MUI, Safari Garden Hotel, Cisarua, Bogor, 19-22 Agustus 1990)
[10]  Islamic Banking : Bank Syariah Dari Teori Ke Praktek, Muhammad Syafi'i Antonio, Bab Riba Dalam Perspektif Agama, halaman 58, Gema Insani Press & Tazkia,cetakan ke 1, Jakarta, 2001
[11]  Mustafa Ahmad Zarqa, 1959, Al-Fiqh al-Islami fii Tsaubihi al-jadid; al Mudkhal al Fiqh al Aam (Damaskus : Mathbaa Jamiah Dimasq, 1969) cetakan ke 6
[12]  Islamic Banking : Bank Syariah Dari Teori Ke Praktek, Muhammad Syafi'i Antonio, Bab Riba Dalam Perspektif Agama, halaman 59, Gema Insani Press & Tazkia,cetakan ke 1, Jakarta, 2001
[13] Karnaen A. Perwataatmadja, "Bank yang Beroperasi Sesuai dengan Prinsip Syariah Islam (Pengalaman, Cara Kerja, Permasalahan dalam Pengembangan dan Prestasinya) paper dipresentasikan pada waktu workshop on Bank and Banking Interest, disponsori oleh MUI, Safari Garden Hotel, Cisarua, Bogor, 19-22 Agustus 1990. disadur oleh Muhammad Syafi'i Antonio

Tidak ada komentar:

Posting Komentar