Al Qur'an

يَا بُنَيَّ أَقِمِ الصَّلاَ ةَ وَ أْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَ انْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَ اصْبِرْ عَلَى مَا أَصَا بَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ اْلأُمُور [لقمان/17]

Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). (QS. Lukmaan (31) : 71

SILAHKAN DISEBARKAN

SILAHKAN DIPERBANYAK / DISEBARKAN DENGAN COPY PASTE ASAL SEBUTKAN SUMBERNYA, TERIMA KASIH

Minggu, 20 Februari 2011

Kitab Shaum (Bagian 8) : Shaum & Hukum-hukumnya


Rukun Puasa

Puasa itu mempunyai dua rukun yang menjadi inti dari ibadah tersebut. Tanpa kedua hal itu, maka puasa menjadi tidak berarti.


1. Niat. Niat adalah azam (berketatapan) di dalam hati untuk mengerjakan puasa sebagai bentuk pelaksanaan perintah Allah I dan taqarrub (pendekatan diri) kepada-Nya.

Sabda Rasulullah r :

) إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَ إِ نَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَ ى ( [متفق عليه]

“Sesungguhnya setiap amalan tergantung dengan niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan balasan sesuai dengan niatnya.” [Muttafaqun ‘alaih] [1]

Kedudukan niat ini menjadi sangat penting untuk puasa wajib. Karena harus sudah diniatkan sebelum terbit fajar. Dan puasa wajib itu tidak syah bila tidak berniat sebelum waktu fajar itu.

Sabda Rasulullah r :

) مَنْ لَمْ يُبَيِتْ اَلصِّيَامَ قَبْلَ اْلفَجْرِ فَلاَ صِيَامَ لَهُ( [رواه الخمسة]

“Barang siapa yang tidak berniat ash-shaum di malam hari sebelum terbitnya fajar maka tidak ada shaum baginya.” [H.R. Abu Daud, Tirmidzi, Nasai, Ibnu Majah, dan Ahmad] [2]

Berbeda dengan puasa sunnah yang tidak mensyaratkan niat sebelum terbit fajar. Jadi boleh berniat puasa meski telah siang hari asal belum makan, minum atau mengerjakan sesuatu yang membatalkan puasa.

Hal tersebut sesuai dengan apa yang dilakukan oleh Rasulullah r.

)عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْ مِنِينَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ : قَالَ لِي رَسُولُ اللهِ r ذَ اتَ يَوْمٍ : (( يَا عَائِشَةُ، هَلْ عِنْدَكُمْ شَيْءٌ؟ )) قَالَتْ : فَقُلْتُ : يَا رَسُولَ اللهِ مَا عِنْدَنَا شَيْءٌ؛ قَالَ : (( فَإِنِّي إذن صَائِمٌ )) (

Dari ‘Aisyah t berkata : Rasulullah r bersabda kepadaku pada suatu hari : “Wahai ‘Aisyah, Apakah kamu memiliki sesuatu? Aku menjawab : ‘Saya tidak memiliki apa-apa wahai Rasulullah.’ Beliau r berkata : “Kalau begitu aku bershaum.” [3]



2. Imsak (menahan). Imsak artinya menahan dari makan, minum, hubungan seksual suami istri dan semua hal yang membatalkan puasa, dari sejak fajar hingga terbenamnya matahari.

أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَ أَ نْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَ نَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَا نُونَ أَ نْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَ عَفَا عَنْكُمْ فَا ْلآَنَ بَاشِرُو هُنَّ وَ ابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَ كُلُوا وَ اشْرَ بُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ اْلأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ اْلأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَ لاَ تُبَاشِرُو هُنَّ وَ أَ نْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلاَ تَقْرَ بُوهَا كَذَ لِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آَيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ [البقرة/187]

Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma`af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (QS. Al-Baqarah : 187)

Yang dimaksud dengan benang putih dan benang hitam adalah putihnya siang dan hitamnya malam



Yang Membatalkan Puasa


1. Makan minum secara sengaja. Bila makan dan minum secara sengaja, maka batallah puasanya. Tetapi bila makan dan minum karena lupa, maka tidak membatalkan puasa, asal ketika ingat segera berhenti dari makan dan minum. Termasuk yang membatalkan puasa adalah makan atau minum dengan menyangka bahwa belum terbit fajar, padahal sudah terbit, maka batallah puasanya. Dan makan atau minum dengan menyangka sudah masuk waktu berbuka, padahal ternyata belum, maka puasanya pun batal. Termasuk batal juga bila makan atau minum karena lupa tetapi begitu ingat, tidak berhenti dari makan atau minum.

صحيح البخاري - (ج 7 / ص 17/ح 1797,6176) و صحيح مسلم - (ج 6 / ص 28/ح 1952) و سنن ابن ماجه - (ج 5 / ص 182/ح 1663) ومسند أحمد - (ج 18 / ص 315/ح8773,9125,9992): حَدَّ ثَنَا عَبْدَ انُ أَخْبَرَ نَا يَزِيدُ بْنُ زُرَ يْعٍ حَدَّ ثَنَا هِشَامٌ حَدَّ ثَنَا ابْنُ سِيرِينَ عَنْ أَبِي هُرَ يْرَ ةَ t عَنِ النَّبِيِّ r قَالَ ) إِذَ ا نَسِيَ فَأَكَلَ وَ شَرِبَ فَـلْيُتِمَّ صَوْمَهُ فَإِ نَّمَا أَطْعَمَهُ اللَّهُ وَ سَقَاهُ (

Dari Abu Hurairah t dari Nabi r bersabda: "Jika seseorang lupa lalu dia makan dan minum (ketika sedang berpuasa) maka hendaklah dia meneruskan puasanya karena hal itu berarti Allah U telah memberinya makan dan minum".


2. Hubungan seksual. Hubungan seksual suami istri membatalkan puasa. Dan bila dikerjakan pada saat puasa Ramadhan, maka selain membayar qadha` juga diwajibkan membayar kaffarah. Karena hubungan seksual di siang hari bulan Ramadhan termasuk perbuatan yang merusak kesucian Ramadhan itu. Padahal kita diperintahkan pada saat-saat itu untuk menahan segala nafsu dan dorongan syahwat dengan tidak makan, tidak minum dan tidak melakukan hal-hal yang keji dan mungkar. Tetapi justru pada saat yang semulia itu malah melakukan hubungan seksual di siang hari. Karena itu hukumannya tidak hanya mengganti / mengqadha` puasa di hari lain, tetapi harus membayar denda / kaffarah sebagai hukuman dari merusak kesucian bulan Ramadhan. Bentuk kaffarah itu salah satu dari tiga hal berikut : (a). Memerdekakan budak; (b). Puasa 2 bulan berturut-turut; (c). Memberi makan 60 orang miskin.

صحيح البخاري - (ج 7 / ص 24/ح 1800,1801) : حَدَّ ثَنَا أَ بُو الْيَمَانِ أَخْبَرَ نَا شُعَيْبٌ عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ أَخْبَرَ نِي حُمَيْدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّ أَ بَا هُرَ يْرَ ةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ ) بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوسٌ عِنْدَ النَّبِيِّ r إِذْ جَاءَهُ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلَكْتُ قَالَ مَا لَكَ قَالَ وَ قَعْتُ عَلَى امْرَ أَ تِي وَ أَ نَا صَائِمٌ فَقَالَ r هَلْ تَجِدُ رَ قَبَةً تُعْتِقُهَا قَالَ لاَ قَالَ فَهَلْ تَسْتَطِيعُ أَنْ تَصُومَ شَهْرَ يْنِ مُتَتَابِعَيْنِ قَالَ لاَ فَقَالَ فَهَلْ تَجِدُ إِطْعَامَ سِتِّينَ مِسْكِينًا قَالَ لاَ قَالَ فَمَكَثَ النَّبِيُّ r فَبَيْنَا نَحْنُ عَلَى ذَ لِكَ أُتِيَ النَّبِيُّ r بِعَرَقٍ فِيهَا تَمْرٌ وَ الْعَرَقُ الْمِكْتَلُ قَالَ أَ يْنَ السَّائِلُ فَقَالَ أَ نَا قَالَ خُذْ هَا فَتَصَدَّقْ بِهِ فَقَالَ الرَّجُلُ أَعَلَى أَ فْقَرَ مِنِّي يَا رَسُولَ اللَّهِ فَوَ اللَّهِ مَا بَيْنَ لاَ بَتَيْهَا يُرِيدُ الْحَرَّ تَيْنِ أَهْلُ بَيْتٍ أَ فْقَرُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِي فَضَحِكَ النَّبِيُّ r حَتَّى بَدَتْ أَ نْيَا بُهُ ثُمَّ قَالَ أَطْعِمْهُ أَهْلَكَ (

Telah mengabarkan kepada saya Humaid bin 'Abdurrahman bahwa Abu Hurairah t berkata: "Ketika kami sedang duduk bermajelis bersama Nabi r tiba-tiba datang seorang laki-laki lalu berkata: "Wahai Rasulullah, binasalah aku". Beliau r bertanya: "Ada apa denganmu?". Orang itu menjawab: "Aku telah berhubungan dengan isteriku sedangkan aku sedang berpuasa". Maka Rasulullah r bertanya: "Apakah kamu memiliki budak, sehingga kamu harus membebaskannya?". Orang itu menjawab: "Tidak". Lalu Beliau r bertanya lagi: "Apakah kamu sanggup bila harus berpuasa selama dua bulan berturut-turut?". Orang itu menjawab: "Tidak". Lalu Beliau r bertanya lagi: "Apakah kamu memiliki makanan untuk diberikan kepada enam puluh orang miskin?". Orang itu menjawab: "Tidak". Sejenak Nabi r terdiam. Ketika kami masih dalam keadaan tadi, Nabi r diberikan satu keranjang besar berisi kurma, lalu Beliau r bertanya: "Mana orang yang bertanya tadi?". Orang itu menjawab: "Aku". Maka Beliau r berkata: "Ambillah kurma ini lalu bershadaqahlah dengannya". Orang itu berkata: "Apakah ada orang yang lebih faqir dariku, wahai Rasulullah. Demi Allah, tidak ada keluarga yang tinggal diantara dua perbatasan, yang dia maksud adalah dua gurun pasir, yang lebih faqir daripada keluargaku". Mendengar itu Nabi r menjadi tertawa hingga tampak gigi seri Beliau r. Kemudian Beliau r berkata: "Kalau begitu berilah makan keluargamu dengan kurma ini".


3. Sengaja muntah. Istiqa` atau muntah adalah bila seseorang melakukan sesuatu yang mengakibatkan muntah, maka puasanya batal. Seperti memasukkan jari ke dalam mulut tidak karena kepentingan. Atau membuang lendir dari tenggorokan tetapi malah mengakibatkan muntah. Dan semua pekerjaan lainnya yang pada dasarnya tidak perlu dilakukan tetapi malah mengakibatkan muntah. Semua itu dapat membatalkan puasa karena itu harus dihindari agar tidak melakukannya saat berpuasa. Namun bila muntah karena sebab yang tidak bisa ditolak seperti karena masuk angin atau sakit lainnya, maka puasanya tetap syah.

سنن الترمذي - (ج 3 / ص 162/ح 653) و موطأ مالك - (ج 2 / ص 398/ح595) و سنن ابن ماجه - (ج 5 / ص 186/ح 1666) و مسند أحمد - (ج 21 / ص 102/ح10058) و مصنف ابن أبي شيبة - (ج 2 / ص 454) و السنن الكبرى للبيهقي - (ج 4 / ص 219) و المستدرك على الصحيحين للحاكم - (ج 4 / ص 92/ح 1505) : حَدَّ ثَنَا عَلِيُّ بْنُ حُجْرٍ حَدَّ ثَنَا عِيسَى بْنُ يُونُسَ عَنْ هِشَامِ بْنِ حَسَّانَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ عَنْ أَبِي هُرَ يْرَ ةَ أَنَّ النَّبِيَّ r قَالَ ) مَنْ ذَرَعَهُ الْقَيْءُ فَلَيْسَ عَلَيْهِ قَضَاءٌ وَ مَنِ اسْتَقَاءَ عَمْدً ا فَـلْيَقْضِ (

Dari Abu Hurairah bahwasanya Nabi r bersabda: " Barang siapa yang muntah, maka tidak wajib baginya untuk mengqadla' puasanya, namun bagi siapa yang muntah dengan sengaja, maka wajib baginya untuk mengqhadla' puasanya."


4. Hilang / berubah niatnya. Ketika seseorang dalam keadaan puasa, lalu terbetik dalam hatinya niat untuk berbuka saat itu juga sehingga niat puasanya menjadi hilang atau berubah, maka puasanya telah batal. Meskipun saat itu dia belum lagi makan atau minum. Karena niat merupakan rukun puasa. Bila niat itu hilang, maka hilang pula puasanya. Karena itu niat harus terpasang terus ketika berpuasa dan tidak boleh berubah. Niat itu adalah azam atau tekad. Tekad itu harus ada terus selama menjalankan ibadah puasa. Hilangnya tekan maka hilang pula nilai ibadahnya. Rasulullah r bersabda :

) إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَ إِ نَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَ ى ( [متفق عليه]

“Sesungguhnya setiap amalan tergantung dengan niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan balasan sesuai dengan niatnya.” [Muttafaqun ‘alaih] [4]


5. Murtad. Seseorang yang sedang berpuasa, lalu keluar dari agama Islam / murtad, maka otomatis puasanya batal. Dan bila hari itu juga dia kembali lagi masuk Islam, puasanya sudah batal. Dia wajib mengqadha puasanya hari itu meski belum sempat makan atau minum.

وَ مَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ اْلإِسْلاَ مِ دِينًا فَـلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَ هُوَ فِي اْلآَخِرَ ةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ [آل عمران/85]

Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (amal) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. (QS Ali Imran (3) : 85)


6. Keluarnya mani secara sengaja. Melakukan segala sesuatu yang dapat merangsang birahi hingga sampai keluar air mani menyebabkan puasa menjadi batal. Seperti melakukan onani/masturbasi, atau melihat gambar porno baik media cetak maupun film dan internet. Bahkan bila seseorang dalam keadaan puasa lalu berfantasi dan berimajinasi seksual yang mengakibatkan keluarnya mani, maka puasanya batal dengan sendirinya. Termasuk bercumbu antara suami istri yang mengakibatkan keluarnya mani meski tidak melakukan hubungan seksual, maka puasanya batal meski tidak sampai wajib membayar kaffarah. Karena itu sebaiknya hindari semua hal yang merangsang birahi karena beresiko batalnya puasa. Para Ulama sepakat hukumnya memakai penyandaran kepada hadits orang yang keluar mani, seperti yang berhubungan intim diatas, tapi tidak wajib kaffarah.

Tetapi bila keluar mani dengan sendirinya seperti bermimpi, maka puasanya tidak batal, karena bukan disengaja atau bukan kehendaknya.

سنن أبي داود - (ج 11 / ص 478/3822) و سنن ابن ماجه - (ج 6 / ص 212/ح 2031) و مسند أحمد - (ج 50 / ص 218/ح23562) و مصنف ابن أبي شيبة - (ج 4 / ص 180) و السنن الكبرى للبيهقي - (ج 6 / ص 84) و السنن الكبرى للنسائي - (ج 3 / ص 360/ح 5625) و سنن الدارمي - (ج 7 / ص 112/ح 2351) : حَدَّ ثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّ ثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ أَخْبَرَ نَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ عَنْ حَمَّادٍ عَنْ إِبْرَ اهِيمَ عَنِ اْلأَسْوَ دِ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ ) رُ فِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَ ثَةٍ عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَ عَنِ الْمُبْتَلَى حَتَّى يَبْرَ أَ وَ عَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَكْبُرَ (

Dari 'Aisyah t bahwa Rasulullah r bersabda: "Pena pencatat amal dan dosa itu diangkat dari tiga golongan; orang yang tidur hingga terbangun, orang gila hingga ia waras, dan anak kecil hingga ia balig."


7. Mendapat Haidh atau Nifas. Wanita yang sedang berpuasa lalu tiba-tiba mendapat haidh, maka otomatis puasanya batal. Meski kejadian itu menjelang terbenamnya matahari. Begitu juga wanita yang mendapat darah nifas, maka puasanya batal. Ini adalah merupakan ijma` para ulama Islam atas masalah wanita yang mendapat haidh atau nifas saat sedang berpuasa.

صحيح البخاري - (ج 7 / ص 49/ح1815) : حَدَّ ثَنَا ابْنُ أَبِي مَرْ يَمَ حَدَّ ثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ قَالَ حَدَّ ثَنِي زَ يْدٌ عَنْ عِيَاضٍ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ t قَالَ قَالَ النَّبِيُّ r ) أَ لَيْسَ إِذَ ا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَ لَمْ تَصُمْ (

Dari Abu Sa'id t berkata; Nabi r bersabda: "Apabila (seorang wanita) sedang mengalami haidh, maka dia tidak shalat dan tidak puasa".



Yang Tidak Membatalkan Puasa


1. Makan dan minum karena lupa. Seseorang yang karena lupa tidak sengaja makan dan minum pada saat puasa, maka ketika dia ingat, wajib menghentikan makan dan minumnya itu. Apa yang telah dimakannya itu tidak membatalkan puasanya meski cukup banyak dan lumayan kenyang.

صحيح البخاري - 7 / ص 17/ح 1797,6176) و صحيح مسلم - 6 / ص 28/ح 1952 ) و سنن ابن ماجه - (ج 5 / ص 182/ح 1663 ) و مسند أحمد - (ج 18 / ص 315/ح8773,9125,9992): حَدَّ ثَنَا عَبْدَ انُ أَخْبَرَ نَا يَزِيدُ بْنُ زُرَ يْعٍ حَدَّ ثَنَا هِشَامٌ حَدَّ ثَنَا ابْنُ سِيرِينَ عَنْ أَبِي هُرَ يْرَ ةَ t عَنِ النَّبِيِّ r قَالَ ) إِذَ ا نَسِيَ فَأَكَلَ وَ شَرِبَ فَـلْيُتِمَّ صَوْمَهُ فَإِ نَّمَا أَطْعَمَهُ اللَّهُ وَ سَقَاهُ (

Dari Abu Hurairah t dari Nabi r bersabda: "Jika seseorang lupa lalu dia makan dan minum (ketika sedang berpuasa) maka hendaklah dia meneruskan puasanya karena hal itu berarti Allah U telah memberinya makan dan minum".

سنن أبي داود - (ج 11 / ص 478/3822) و سنن ابن ماجه - (ج 6 / ص 212/ح 2031) و مسند أحمد - (ج 50 / ص 218/ح23562) و مصنف ابن أبي شيبة - (ج 4 / ص 180) و السنن الكبرى للبيهقي - (ج 6 / ص 84) و السنن الكبرى للنسائي - (ج 3 / ص 360/ح 5625) و سنن الدارمي - (ج 7 / ص 112/ح 2351) : حَدَّ ثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّ ثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ أَخْبَرَ نَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ عَنْ حَمَّادٍ عَنْ إِبْرَ اهِيمَ عَنِ اْلأَسْوَ دِ عَنْ عَائِشَةَ t أَنَّ r قَالَ ) رُ فِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَ ثَةٍ عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَ عَنِ الْمُبْتَلَى حَتَّى يَبْرَ أَ وَ عَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَكْبُرَ (

Dari 'Aisyah t bahwa Rasulullah r bersabda: "Pena pencatat amal dan dosa itu diangkat dari tiga golongan; orang yang tidur hingga terbangun, orang gila hingga ia waras, dan anak kecil hingga ia balig."

Namun wajib yang melihat untuk mengingatkan orang yang makan ketika berpuasa karena lupa.


2. Keluar mani dengan sendirinya. Bila pada saat puasa seseorang tidur dan dalam tidurnya itu dia bermimpi yang mengakibatkan keluarnya mani, maka hal itu tidak membatalkan puasanya. Namun bila secara sengaja melakukan hal-hal yang dapat membangkitkan birahi baik melalui fikiran (imaginasi) atau melihat atau mendengarkan hal-hal yang merangsang birahinya hingga mengakibatkan keluarnya mani, maka hal itu membatalkan puasa. Karena semua itu termasuk dalam kategori sengaja. Termasuk bila melalukan onani pada saat puasa.

سنن أبي داود - (ج 11 / ص 478/3822) و سنن ابن ماجه - (ج 6 / ص 212/ح 2031) و مسند أحمد - (ج 50 / ص 218/ح23562) و مصنف ابن أبي شيبة - (ج 4 / ص 180) و السنن الكبرى للبيهقي - (ج 6 / ص 84) و السنن الكبرى للنسائي - (ج 3 / ص 360/ح 5625) و سنن الدارمي - (ج 7 / ص 112/ح 2351) : حَدَّ ثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّ ثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ أَخْبَرَ نَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ عَنْ حَمَّادٍ عَنْ إِبْرَ اهِيمَ عَنِ اْلأَسْوَ دِ عَنْ عَائِشَةَ t أَنَّ r قَالَ ) رُ فِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَ ثَةٍ عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَ عَنِ الْمُبْتَلَى حَتَّى يَبْرَ أَ وَ عَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَكْبُرَ (

Dari 'Aisyah t bahwa Rasulullah r bersabda: "Pena pencatat amal dan dosa itu diangkat dari tiga golongan; orang yang tidur hingga terbangun, orang gila hingga ia waras, dan anak kecil hingga ia balig."

3. Memakai celak mata. Boleh memakai celak mata (alkuhl) pada saat berpuasa dan tidak membatalkannya.

سنن أبي داود - (ج 6 / ص 337/ح2030) : حَدَّ ثَنَا وَهْبُ بْنُ بَقِيَّةَ أَخْبَرَ نَا أَ بُو مُعَاوِيَةَ عَنْ عُتْبَةَ أَبِي مُعَاذٍ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي بَكْرِ بْنِ أَ نَسٍ عَنْ أَ نَسِ بْنِ مَالِكٍ t ) أَ نَّهُ كَانَ يَكْتَحِلُ وَ هُوَ صَائِمٌ (

Telah menceritakan kepada kami Wahb bin Baqiyyah, telah mengabarkan kepada kami Abu Mu'awiyah dari 'Utbah Abu Mu'adz dari Ubaidillah bin Abu Bakr bin Anas dari Anas bin Malik t bahwa ia memakai celak sementara beliau dalam keadaan berpuasa.


4. Berbekam. Berbekam atau hijamah adalah salah satu bentuk pengobatan dimana seseorang diambil darahnya untuk dikeluarkan penyakit. Metode ini dikenal di negeri Arab dan beberapa negeri lainnya. Ada dua hadits yang kelihatannya bertentangan padahal sama sekali tidak, pendapat pertama, bahwa berbekam tidak membatalkan shaum dengan hadits dibawah ini :

صحيح البخاري - (ج 7 / ص 28/ح 1802)و سنن أبي داود - (ج 6 / ص 329/ح2024) و مسند أحمد - (ج 5 / ص 109/ح2077) : حَدَّ ثَنَا مُعَلَّى بْنُ أَسَدٍ حَدَّ ثَنَا وُ هَيْبٌ عَنْ أَ يُّوبَ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ t عَنْهُمَا أَنَّ النَّبِيَّ r ) اِحْتَجَمَ وَ هُوَ مُحْرِمٌ وَ احْتَجَمَ وَ هُوَ صَائِمٌ (

Dari Ibnu 'Abbas t bahwa Nabi r berbekam ketika sedang berihram dan juga berbekam ketika sedang berpuasa.

Pendapat kedua berdasarkan hadits dibawah ini bahwa berbekam membatalkan shaum :

مسند أحمد - (ج 17 / ص 455/ح 8413) و سنن الترمذي - (ج 3 / ص 249/ح 705) : عَنْ أَبِي هُرَ يْرَ ةَ أَنَّ النَّبِيَّ r قَالَ ) أَفْطَرَ الْحَاجِمُ وَ الْمَحْجُومُ (

Dari Abu Hurairah t berkata; Bahwasanya Nabi r bersabda: "Orang yang membekam ataupun yang dibekam batal puasanya."

سنن الدارقطني - (ج 6 / ص 24/ح 2283) : حَدَّ ثَنَا أَ بُو الْقَاسِمِ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ حَدَّ ثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِى شَيْبَةَ حَدَّ ثَنَا خَالِدُ بْنُ مَخْلَدٍ حَدَّ ثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُثَنَّى عَنْ ثَابِتٍ الْبُنَانِىِّ عَنْ أَ نَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ أَوَّلُ مَا كُرِهَتِ الْحِجَا مَةُ لِلصَّائِمِ أَنَّ جَعْفَرَ بْنَ أَبِى طَالِبٍ احْتَجَمَ وَ هُوَ صَائِمٌ فَمَرَّ بِهِ النَّبِىُّ r فَقَالَ ) أَفْطَرَ هَذَانِ ( ثُمَّ رَخَّصَ النَّبِىُّ r بَعْدُ فِى الْحِجَامَةِ لِلصَّائِمِ وَ كَانَ أَ نَسٌ يَحْتَجِمُ وَ هُوَ صَائِمٌ

Dari Anas ia mengatakan, “Pertama, yang aku tidak suka tentang berbekam untuk yang shaum adalah Ja’far bin Abu Thalib yang melakukannya sambil bershaum. Maka nabi melewatinya dan beliau bersabda : “Kedua orang ini telah berbuka shaum”. Kemudian setelah itu beliau member rukhshah (keringanan) tentang berbekam bagi yang shaum. Anas bin malik sendiri periwayat hadits ini berbekam sambil shaum setelah adanya rukhshah.

Keterangan-keterangan dari 2 pendapat ini bisa kita lihat dari segi manfaat dan mudharatnya : Asy-Syaukani mengatakan [5] : “Jika digabung kedua kelompok hadits tersebut maka sesungguhnya berbekam itu hukumnya makruh bagi orang yang akan menjadi lemah apabila melakukannya dan semakin bertambah kemakruhannya apabila kelemahan akibat berbekam itu menjadi sebab ia batal shaum. Tidak berlaku hukum makruh ini apabila berbekam itu tidak mengakibatkan apa-apa. Tetapi dengan pertimbangan diatas alangkah baiknya jika yang sedang shaum menghindari berbekam.”.

Keterangan-keterangan di atas tentu saja berlaku bagi donor darah atau perkara-perkara lainnya yang berpraktek mengeluarkan darah dengan sengaja.

Sungguh sangat jauh dari maksud-maksud hadits tersebut apabila ada seseorang yang mengatakan mengeluarkan darah walaupun tidak disengaja shaumnya batal.


5. Bersiwak. Bersiwak atau membersihkan gigi tidak membatalkan puasa. Namun menurut Imam Asy-Syafi`i, bersiwak hukumnya makruh bila telah melewati waktu zhuhur hingga sore hari. Alasan yang dikemukakan beliau adalah hadits Nabi yang menyebutkan : “Bau mulut orang yang puasa lebih harum di sisi Allah dari aroma kesturi ”. Sedangkan bersiwak atau menggosok gigi akan menghilangkan bau mulut. Namun bila bau mulut mengganggu seperti habis makan makanan berbau, maka sebaiknya bersiwak.

مسند أحمد - (ج 31 / ص 290/ح15124) و سنن الترمذي - (ج 3 / ص 170/ح 657) و سنن الدارقطني - (ج 6 / ص 138/ح2393) : حَدَّ ثَنَا وَ كِيعٌ حَدَّ ثَنَا سُفْيَانُ وَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ عَنْ سُفْيَانَ عَنْ عَاصِمِ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَامِرِ بْنِ رَ بِيعَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ ) رَ أَ يْتُ رَسُولَ اللَّهِ r مَا لاَ أَعُدُّ وَ مَا لاَ أُحْصِي يَسْتَاكُ وَ هُوَ صَائِمٌ وَ قَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ مَا لاَ أُحْصِي يَتَسَوَّكُ وَ هُوَ صَائِمٌ (

Dari Abdullah bin 'Amir bin Rabi'ah dari Bapaknya berkata; saya melihat Rasulullah r hingga jumlah yang saya tidak bisa menghitungnya, yaitu beliau bersiwak sedang beliau dalam keadaan puasa. Sedang 'Abdurrahman berkata dengan redaksi 'Saya tidak bisa menghitungya, yaitu beliau r selalu menjaga bersiwak dalam keadaan berpuasa.

صحيح البخاري - (ج 3 / ص 405/ح 838) : حَدَّ ثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ قَالَ أَخْبَرَ نَا مَالِكٌ عَنْ أَبِي الزِّ نَادِ عَنِ اْلأَ عْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَ يْرَةَ t أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ r ) قَالَ لَوْ لاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي أَوْ عَلَى النَّاسِ َلأَ مَرْ تُهُمْ بِالسِّوَ اكِ مَعَ كُلِّ صَلاَ ةٍ (

Dari Abu Hurairah t, bahwa Rasulullah r bersabda: "Sekiranya tidak memberatkan ummatku atau manusia, niscaya aku akan perintahkan kepada mereka untuk bersiwak (menggosok gigi) pada setiap kali hendak shalat."

صحيح البخاري - (ج 7 / ص 18) : )وَ قَالَتْ عَائِشَةُ عَنِ النَّبِيِّ r السِّوَ اكُ مَطْهَرَ ةٌ لِلْفَمِ مَرْضَاةٌ لِلرَّبِّ(

Dan berkata ‘Aisyah t, dari Nabi r sesungguhnya bersiwak itu penyuci dan pengharum bagi mulut suatu keridhaan untuk Allah

Dari hadits-hadits ini lebih jelas lagi, sebuah amalan sunnah apabila shalat kita bersiwak, apalagi sewaktu shaum dimana bau mulut makin menyengat harus lebih sering sehingga di saat shaum Rasulullah r melakukannya lebih sering lagi sehingga tak terhitung berdasarkan kesaksian Abdurahman maupun Abdullah.


6. Kumur dan istinsyak. Kumur adalah memasukkan air ke dalam mulut untuk dibuang kembali. Sedangkan istinsyak adalah memasukkan air ke dalam lubang hidung untuk dibuang kembali. Keduanya boleh dilakukan saat puasa meski bukan untuk keperluan berwudhu`. Namun harus dijaga jangan sampai tertelan atau masuk ke dalam tubuh, karena akan membatalkan puasa.


7. Mandi dan berenang. Mandi, beranang atau memakai pakaian yang dibasahi agar dingin tidak membatalkan puasa. Begitu juga mengorek kuping atau memasukkan batang pembersih ke dalam telinga. Semua itu tidak termasuk yang membatalkan puasa.


8. Kemasukan asap atau debu. Kemasukan asap dan debu, kemasukan lalat atau sisa rasa obat ke dalam mulut tidak membatalkan puasa, asal sifatnya tidak disengaja dan bukan bikinan. Semua itu tidak membatalkan puasa karena tidak mungkin menghindar dari hal-hal kebetulan seperti itu.


9. Copot gigi, telinga kemasukan air. Orang yang copot giginya tanpa sengaja dan kemasukan air di telinga tidak batal puasanya.


10. Janabah dan bercumbu. Jatuhnya seseorang kepada kondisi janabah tidak membatalkan puasanya, kecuali bila sengaja. Karena itu bila mimpi basah di siang hari bulan ramadhan dan tetap dalam keadaan junub hingga siang hari, tidak membatalkan puasa. Bercumbu dengan istri tidak membatalkan puasa selama tidak sampai keluar mani. Begitu juga menciumnya atau memeluknya tidak membatalkan puasa. Maksudnya diperbolehkan selama tidak memancing gairah syahwat/birahi.

صحيح مسلم - (ج 5 / ص 406/ح1851) : حَدَّ ثَنِي عَلِيُّ بْنُ حُجْرٍ حَدَّ ثَنَا سُفْيَانُ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَ ةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ ) كَانَ رَسُولُ اللَّهِ r يُقَبِّلُ إِحْدَى نِسَائِهِ وَ هُوَ صَائِمٌ ثُمَّ تَضْحَكُ (

Dari Aisyah t, ia berkata; "Rasulullah r mencium salah seorang isterinya saat beliau sedang berpuasa." Aisyah kemudian tertawa.

صحيح البخاري - (ج 7 / ص 9/ح 1792) : حَدَّ ثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ حَرْبٍ قَالَ عَنْ شُعْبَةَ عَنْ الْحَكَمِ عَنْ إِبْرَ ا هِيمَ عَنِ اْلأَسْوَدِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ ) كَانَ النَّبِيُّ r يُقَبِّلُ وَ يُبَاشِرُ وَ هُوَ صَائِمٌ وَ كَانَ أَمْلَكَكُمْ ِلإِرْ بِهِ ( وَ قَالَ قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ { مَآرِبُ } حَاجَةٌ قَالَ طَاوُسٌ { غَيْرِ أُو لِي اْلإِرْ بَةِ } اَْلأَ حْمَقُ لاَ حَاجَةَ لَهُ فِي النِّسَاءِ

Dari 'Aisyah t berkata: "Nabi r mencium dan mencumbu (isteri-isteri Beliau r) padahal Beliau r sedang berpuasa. Dan Beliau r adalah orang yang paling mampu mengendalikan nafsunya dibandingkan kalian". Dan Al Aswad berkata; Ibnu 'Abbas t berkata, istilah ma"aarib maknanya adalah keperluan (seperti dalam QS Thoha ayat 18) artinya hajat. Dan berkata, Thowus (seperti dalam QS An-Nuur ayat 31) artinya: orang tua yang sudah tidak punya keinginan (syahwat) lagi terhadap wanita.

صحيح البخاري - (ج 7 / ص 14/ح 1795 ) : حَدَّ ثَنَا أَحْمَدُ بْنُ صَالِحٍ حَدَّ ثَنَا ابْنُ وَهْبٍ حَدَّ ثَنَا يُونُسُ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عُرْوَ ةَ وَ أَبِي بَكْرٍ قَالَتْ عَائِشَةُ ) كَانَ النَّبِيُّ r يُدْرِكُهُ الْفَجْرُ فِي رَمَضَانَ مِنْ غَيْرِ حُلْمٍ فَيَغْتَسِلُ وَ يَصُومُ (

Dari 'Urwah dan Abu Bakar, 'Aisyah t berkata: "Nabi r pernah mendapati masuknya waktu fajar di bulan Ramadhan dalam keadaan Beliau r junub, lalu Beliau r mandi dan shaum".


11. Suntik. [6] Dalam kondisi sakit, terkadang pasien harus disuntik dengan obat, suplemen dll maka suntikan obat & suplemen itu tidak membatalkan puasa. Berbeda dengan infus, maka ada dua pendapat yang satu membatalkan, sedangkan pendapat yang lain tidak membatalkan, tetapi ulama terbanyak mengatakan infuse mengakibatkan batalnya puasa karena infus berfungsi sebagai pengganti makanan, walaupun dimasukkan tidak pada jalan semestinya.


12. Menghirup aroma wangi. Boleh menghirup atau mencium aroma wangi dari parfum atau wangi-wangian dan tidak membatalkan puasa.




Hal-hal yang membolehkan berbuka


Dalam keadaan tertentu, syariah membolehkan seseorang tidak berpuasa. Hal ini adalah bentuk keringanan yang Allah I berikan kepada umat Muhammad r. Bila salah satu dari keadaan tertentu itu terjadi, maka bolehlah seseorang meninggalkan kewajiban berpuasa.


1. Safar (perjalanan). Seorang yang sedang dalam perjalanan, diperbolehkan untuk tidak berpuasa. Keringanan ini didasari oleh Firman Allah I :

وَ مَنْ كَانَ مَرِ يضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّ ةٌ مِنْ أَ يَّامٍ [البقرة/185]

Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. (QS Al Baqarah (2) : 185)

Sedangkan batasan jarak minimal untuk safar yang diperbolehkan berbuka adalah jarak dibolehkannya qashar dalam shalat, yaitu 47 mil atau 89 km. Sebagian ulama mensyaratkan bahwa perjalanan itu telah dimulai sebelum mulai berpuasa (waktu shubuh). Jadi bila melakukan perjalanan mulai lepas Maghrib hingga keesokan harinya, bolehlah dia tidak puasa pada esok harinya itu.

Namun ketentuan ini tidak secara ijma` disepakati, karena ada sebagian pendapat lainnya yang tidak mensyaratkan jarak sejauh itu untuk membolehkan berbuka. Misalnya Abu Hanifah yang mengatakan bahwa jaraknya selama perjalanan tiga hari tiga malam. Sebagian mengatakan jarak perjalanan dua hari. Bahkan ada yang juga mengatakan tidak perlu jarak minimal seperti apa yang dikatakan Ibnul Qayyim.

Meski berbuka diperbolehkan, tetapi harus dilihat kondisi berat ringannya. Bila perjalanan itu tidak memberatkan, maka meneruskan puasa lebih utama. Dan sebaliknya, bila perjalanan itu memang sangat berat, maka berbuka lebih utama. Berbeda dengan keringanan dalam menjama` atau mengqashar shalat dimana menjama` dan mengqashar lebih utama, maka dalam puasa harus dilihat kondisinya. Meski dibolehkan berbuka, sesungguhnya seseorang tetap wajib menggantinya di hari lain. Jadi bila tidak terlalu terpaksa, sebaiknya tidak berbuka.

صحيح مسلم - (ج 5 / ص 449/ح 1889) : حَدَّ ثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّ ثَنَا لَيْثٌ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَ ةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَ نَّهَا قَالَتْ ) سَأَلَ حَمْزَ ةُ بْنُ عَمْرٍو اْلأَسْلَمِيُّ رَسُولَ اللَّهِ r عَنِ الصِّيَامِ فِي السَّفَرِ فَقَالَ إِنْ شِئْتَ فَصُمْ وَ إِنْ شِئْتَ فَأَفْطِرْ(

Dari Aisyah t, bahwa ia berkata; Hamzah bin Amru Al Aslami bertanya kepada Rasulullah r tentang berpuasa dalam perjalanan, maka beliau r menjawab: "Jika kamu mau berpuasalah dan jika tidak berbukalah."

صحيح مسلم - (ج 5 / ص 450/ح 1890) : حَدَّ ثَنَا أَ بُو الرَّ بِيعِ الزَّهْرَ انِيُّ حَدَّ ثَنَا حَمَّادٌ وَ هُوَ ابْنُ زَ يْدٍ حَدَّ ثَنَا هِشَامٌ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ حَمْزَ ةَ بْنَ عَمْرٍ و اْلأَسْلَمِيَّ ) سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ r فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِ نِّي رَجُلٌ أَسْرُدُ الصَّوْمَ أَفَأَصُومُ فِي السَّفَرِ قَالَ صُمْ إِنْ شِئْتَ وَ أَفْطِرْ إِنْ شِئْتَ (

Dari Aisyah t, bahwasanya; Hamzah bin Amru Al Aslami bertanya kepada Rasulullah r, "Wahai Rasulullah, saya seorang laki-laki yang kuat berpuasa dalam perjalanan. Apakah aku harus berpuasa dalam perjalanan?" Beliau r menjawab: "Berpuasalah jika kamu mau, dan berbukalah jika kamu ingin berbuka."

صحيح مسلم - (ج 5 / ص 452/ح 1892) : حَدَّ ثَنَا دَ اوُدُ بْنُ رُشَيْدٍ حَدَّ ثَنَا الْوَ لِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ عَبْدِ الْعَزِ يزِ عَنْ إِسْمَعِيلَ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ عَنْ أُمِّ الدَّرْدَ اءِ عَنْ أَ بِي الدَّرْدَ اءِ t قَالَ ) خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ r فِي شَهْرِ رَمَضَانَ فِي حَرٍّ شَدِ يدٍ حَتَّى إِنْ كَانَ أَحَدُ نَا لَيَضَعُ يَدَهُ عَلَى رَ أْسِهِ مِنْ شِدَّ ةِ الْحَرِّ وَ مَا فِينَا صَائِمٌ إِلاَّ رَسُولُ اللَّهِ r وَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ رَوَ احَةَ(

dari Abu Darda' t, ia berkata; "Kami pernah keluar bersama Rasulullah r di bulan Ramadlan saat terik matahari begitu menyengat hingga salah seorang dari kami meletakkan tangannya di atas kepala. Di antara kami tidak ada yang berpuasa kecuali Rasulullah r dan Abdullah bin Rawahah."

صحيح مسلم - (ج 5 / ص 445/1886) : حَدَّ ثَنَا أَ بُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ أَخْبَرَ نَا أَ بُو مُعَاوِيَةَ عَنْ عَاصِمٍ عَنْ مُوَرِّقٍ عَنْ أَ نَسٍ t قَالَ ) كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ r فِي السَّفَرِ فَمِنَّا الصَّائِمُ وَ مِنَّا الْمُفْطِرُ قَالَ فَنَزَ لْنَا مَنْزِلاً فِي يَوْمٍ حَارٍّ أَكْثَرُ نَا ظِلاً صَاحِبُ الْكِسَاءِ وَ مِنَّا مَنْ يَتَّقِي الشَّمْسَ بِيَدِهِ قَالَ فَسَقَطَ الصُّوَّ امُ وَ قَامَ الْمُفْطِرُونَ فَضَرَ بُوا اْ لأَ بْنِيَةِ وَ سَقَوْا الرِّكَابَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ r ذَ هَبَ الْمُفْطِرُونَ الْيَوْمَ بِاْلأَجْرِ (

Dari Anas t, ia berkata; Dulu kami pernah bepergian bersama Nabi r, dan di antara kami ada yang melaksanakan puasa dan ada pula yang tidak berpuasa. Kemudian di hari yang sangat terik itu kami berhenti di suatu tempat dan orang yang bisa berteduh hanyalah orang yang mempunyai pakaian, bahkan di antara kami ada orang berlindung dari sinar matahari hanya dengan tangannya saja. Maka orang-orang yang berpuasa pun berjatuhan, dan sebaliknya orang yang tidak berpuasa masih tetap tegar, masih mampu menghancurkan bangunan dan masih kuat memberi minum hewan tunggangan mereka. Maka Rasulullah r pun bersabda: "Hari ini mereka yang berbuka telah menuai pahala."


2. Sakit. Orang yang sakit dan khawatir bila berpuasa akan menyebabkan bertambah sakit atau kesembuhannya akan terhambat, maka dibolehkan berbuka puasa. Bagi orang yang sakit dan masih punya harapan sembuh dan sehat, maka puasa yang hilang harus diganti setelah sembuhnya nanti. Sedangkan orang yang sakit tapi tidak sembuh-sembuh atau kecil kemungkinannya untuk sembuh, maka cukup dengan membayar fidyah, yaitu memberi makan fakir miskin sejumlah hari yang ditinggalkannya.


3. Hamil dan Menyusui. Wanita yang hamil atau menyusui di bulan Ramadhan boleh tidak berpuasa, namun wajib menggantinya di hari lain.

Ada beberapa pendapat berkaitan dengan hukum wanita yang haidh dan menyusui dalam kewajiban mengganti puasa yang ditnggalkan. Pertama, mereka digolongkan kepada orang sakit. Sehingga boleh tidak puasa dengan kewajiban menggadha` (mengganti) di hari lain. Kedua, mereka digolongkan kepada orang yang tidak kuat/mampu. Sehingga mereka dibolehkan tidak puasa dengan kewajiban membayar fidyah. Ketiga, mereka digolongkan kepada keduanya sekaligus yaitu sebagai orang sakit dan orang yang tidak mampu, karena itu selain wajib mengqadha`, mereka wajib membayar fidyah. Pendapat terahir ini didukung oleh Imam As-Syafi`i t.

Namun ada juga para ulama yang memilah sesuai dengan motivasi berbukanya. Bila motivasi tidak puasanya karena khawatir akan kesehatan / kekuatan dirinya sendiri, bukan bayinya, maka cukup mengganti dengan puasa saja. Tetapi bila kekhawatirannya juga berkait dengan anak yang dikandungnya atau bayi yang disusuinya, maka selain mengganti dengan puasa, juga membayar fidyah.

سنن الترمذي - (ج 3 / ص 154/ح 649) و سنن النسائي - (ج 7 / ص 461/ح 2238) و سنن ابن ماجه - (ج 5 / ص 173/ح 1657) و مسند أحمد - (ج 39 / ص 53/ح 18270) : حَدَّ ثَنَا أَ بُو كُرَ يْبٍ وَ يُوسُفُ بْنُ عِيسَى قَالاَ حَدَّ ثَنَا وَ كِيعٌ حَدَّ ثَنَا أَ بُو هِلاَ لٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَوَ ادَ ةَ عَنْ أَ نَسِ بْنِ مَالِكٍ رَجُلٌ مِنْ بَنِي عَبْدِ اللَّهِ بْنِ كَعْبٍ قَالَ أَغَارَتْ عَلَيْنَا خَيْلُ رَسُولِ اللَّهِ r فَأ َتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ r فَوَجَدْ تُهُ يَتَغَدَّى فَقَالَ ادْنُ فَكُلْ فَقُلْتُ إِ نِّي صَائِمٌ فَقَالَ ادْنُ أُحَدِّ ثْكَ عَنِ الصَّوْمِ أَوْ الصِّيَامِ إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى وَ ضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ الصَّوْمَ وَ شَطْرَ الصَّلاَ ةِ وَ عَنِ الْحَامِلِ أَوْ الْمُرْضِعِ الصَّوْمَ أَوْ الصِّيَامَ وَ اللَّهِ لَقَدْ قَالَهُمَا النَّبِيُّ r كِلْتَيْهِمَا أَوْ إِحْدَ اهُمَا فَيَا لَهْفَ نَفْسِي أَنْ لاَ أَكُونَ طَعِمْتُ مِنْ طَعَامِ النَّبِيِّ r قَالَ وَ فِي الْبَاب عَنْ أَبِي أُمَيَّةَ قَالَ أَ بُو عِيسَى حَدِيثُ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ الْكَعْبِيِّ حَدِيثٌ حَسَنٌ وَ لاَ نَعْرِفُ ِلأَنَسِ بْنِ مَالِكٍ هَذَ ا عَنِ النَّبِيِّ r غَيْرَ هَذَ ا الْحَدِيثِ الْوَ احِدِ وَ الْعَمَلُ عَلَى هَذَ ا عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ و قَالَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ الْحَامِلُ وَ الْمُرْضِعُ تُفْطِرَ انِ وَ تَقْضِيَانِ وَ تُطْعِمَانِ وَ بِهِ يَقُولُ سُفْيَانُ وَ مَالِكٌ وَ الشَّافِعِيُّ وَ أَحْمَدُ و قَالَ بَعْضُهُمْ تُفْطِرَ انِ وَ تُطْعِمَانِ وَ لاَ قَضَاءَ عَلَيْهِمَا وَ إِنْ شَاءَ تَا قَضَتَا وَ لاَ إِطْعَامَ عَلَيْهِمَا وَ بِهِ يَقُولُ إِسْحَقُ

Dari bani Abdullah bin Ka'ab berkata, Pasukan Rasulullah r menyerbu kaum kami secara diam-diam, lalu saya mendatangi beliau r dan ternyata beliau r sedang makan siang, lantas beliau r bersabda: " Mendekat dan makanlah." saya menjawab, saya sedang berpuasa, beliau r bersabda lagi: "Mendekatlah niscaya akan saya jelaskan kepadamu tentang puasa, sesungguhnya Allah Ta'ala tidak mewajibkan puasa atas musafir dan memberi keringanan separoh shalat untuknya juga memberi keringan bagi wanita hamil dan menyusui untuk tidak berpuasa". Sungguh Nabi r telah menyebut keduanya (yaitu wanita hamil dan menyusui), sangat disayangkan jika diriku tidak memakan makanannya Nabi r. (perawi) berkata, dalam bab ini (ada juga riwayat -pent) dari Abu 'Umayyah. Abu 'Isa berkata, hadits Anas bin Malik Al Ka'bi merupakan hadits hasan, ini adalah satu-satunya hadits yang diriwayatkan oleh Anas dari Nabi r. Sebagian Ahli ilmu berpendapat bahwa wanita hamil dan menyusui yang berbuka wajib mengqadla' puasa dan memberi makan (fakir miskin), hal ini sebagaimana perkataan Sufyan, Malik, Syafi'i dan Ahmad. Dan sebagian mereka berpendapat bahwa wanita hamil dan menyusui yang berbuka wajib memberi makan namun tidak wajib mengqadla' puasanya, hal ini sebagaimana perkataan Ishaq.


4. Lanjut Usia. Orang yang lanjut usia dan tidak kuat lagi untuk berpuasa, maka tidak wajib lagi berpuasa. Hanya saja dia wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan fakir miskin sejumlah hari yang ditinggalkannya itu.

وَ عَلَى الَّذِينَ يُطِيقُو نَهُ فِدْ يَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرً ا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَ أَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ [البقرة/184]

Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (QS Al Baqarah (2) : 184)


5. Lapar dan Haus yang sangat. Islam memberikan keringanan bagi mereka yang ditimpa kondisi yang mengharuskan makan atau minum untuk tidak berpuasa. Namun kondisi ini memang secara nyata membahayakan keselamatan jiwa sehingga makan dan minum menjadi wajib. Seperti dalam kemarau yang sangat terik dan paceklik berkepanjangan, kekeringan dan hal lainnya yang mewajibkan seseorang untuk makan atau minum.

وَ لاَ تُلْقُوا بِأَ يْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ وَ أَحْسِنُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ [البقرة/195]

Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. (QS Al Baqarah (2) : 195)

Namun kondisi ini sangat situasional dan tidak bisa digeneralisir (disamakan merata secara umum). Karena keringanan itu diberikan sesuai dengan tingkat kesulitan. Semakin besar kesulitan maka semakin besar pula keringanan yang diberikan. Sebaliknya, semakin ringan tingkat kesulitan, maka semakin kecil pula keringanan yang diberikan.

Ini mengacu pada kaidah fiqih yang berbunyi : Bila tingkat kesulitan suatu masalah itu luas (ringan), maka hukumnya menjadi sempit (lebih berat). Dan bila tingkat kesulitan suatu masalah itu sempit (sulit), maka hukumnya menjadi luas (ringan). Kedaruratan itu harus diukur sesuai dengan kadarnya (ukuran berat ringannya).


6. Dipaksa atau terpaksa. Orang yang mengerjakan perbuatan karena dipaksa dimana dia tidak mampu untuk menolaknya, maka tidak akan dihukum oleh Allah I. Karena semua itu diluar niat dan keinginannya sendiri. Termasuk di dalamnya adalah orang puasa yang dipaksa makan atau minum atau hal lain yang membuat puasanya batal. Sedangkan pemaksaan itu beresiko pada hal-hal yang mencelakakannya seperti akan dibunuh atau disiksa dan sejenisnya.

سنن ابن ماجه - (ج 6 / ص 217/ح 2035) و السنن الكبرى للبيهقي - (ج 6 / ص 84) :حَدَّ ثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُصَفَّى الْحِمْصِيُّ حَدَّ ثَنَا الْوَ لِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ حَدَّ ثَنَا اْلأَوْزَ اعِيُّ عَنْ عَطَاءٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنِ النَّبِيِّ r قَالَ ) إِنَّ اللَّهَ وَ ضَعَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأَ وَ النِّسْيَانَ وَ مَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ (

Dari Ibnu Abbas t dari Rasulullah r, beliau r bersabda :Sesungguhnya Allah I mengabaikan (memberi keleluasaan) dari umatku : kekeliruan, kelupaan dan apa saja yang dipaksakan kepada mereka.

Ada juga kondisi dimana seseorang terpaksa berbuka puasa, misalnya dalam kondisi darurat seperti menolong ketika ada kebakaran, wabah, kebanjiran, atau menolong orang yang tenggelam. Dalam upaya seperti itu, dia terpaksa harus membatalkan puasa, maka hal itu dibolehkan selama tingkat kesulitan puasa itu sampai pada batas yang membolehkan berbuka. Namun tetap ada kewajiban untuk mengganti puasa di hari lain.


7. Pekerja Berat. Orang yang karena keadaan harus menjalani profesi sebagai pekerja berat yang membutuhkan tenaga ekstra terkadang tidak sanggup bila harus menahan lapar dalam waktu yang lama. Seperti para kuli angkut di pelabuhan, pandai besi, pembuat roti dan pekerja kasar lainnya.

وَ لاَ تُلْقُوا بِأَ يْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ وَ أَحْسِنُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ [البقرة/195]

Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. (QS Al Baqarah (2) : 195)

Bila memang dalam kondisi yang membahayakan jiwanya, maka kepada mereka diberi keringanan untuk berbuka puasa dengan kewajiban menggantinya di hari lain. Tetapi mereka harus berniat dahulu untuk puasa serta makan sahur seperti biasanya. Pada siang hari bila ternyata masih kuat untuk meneruskan puasa, wajib untuk meneruskan puasa. Sedangkan bila tidak kuat dalam arti yang sesungguhnya, maka boleh berbuka. Namun wajib menngganti di hari lain serta tetap menjaga kehormatan bulan puasa dengan tidak makan di tempat umum.


[1] Al-Bukhari hadits no. 1 dan Muslim hadits no.1097

[2] Abu Daud Kitabush Shiyaam, bab 71, hadits no. 2454, Shohih Sunan Abi Daud hadits no. 2454 . Hadits ini masih diperbincangkan di kalangan ‘ulama dalam hal marfu’ atau mauqufnya. Al-Imam Al Al-Bukhari, At-Tirmidzi, An-Nasai, Abu Daud, Abu Hatim, dan Al-Baihaqi menguatkan bahwa hadits ini adalah mauquf serta Asy-Syaikh Muqbil bin hadi Al Wadi’I dalam kitabnya Ijabatus Sa’il hal.175 soal no. 102 menyatakan :”…hadist ini adalah Muthorib sehingga tidak bisa dijadikan sebagi hujah. Sedangkan Al-Hakim, Ibnu Hazm, Abdul Haq, Ibnul Jauzi, dan As-syaukani menguatkan bahwa hadits ini adalah marfu’serta di shohihkan oleh Asy-Syaikh Al Albani dalam kiabnya .Al Irwa’ jilid 4 hal. 25-30 hadist no. 914 - 915.

[3] HR. Muslim 1154

[4] Al-Bukhari hadits no. 1 dan Muslim hadits no.1097

[5] Sunan ad-Daraqutniy, II : 182 Bab Al Qublah liss shaim

[6] Yusuf Qardhawi, Fiqih Puasa, Era Intermedia, hal 128-130,cetakan keenam, Juli 2006.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar