Al Qur'an

يَا بُنَيَّ أَقِمِ الصَّلاَ ةَ وَ أْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَ انْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَ اصْبِرْ عَلَى مَا أَصَا بَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ اْلأُمُور [لقمان/17]

Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). (QS. Lukmaan (31) : 71

SILAHKAN DISEBARKAN

SILAHKAN DIPERBANYAK / DISEBARKAN DENGAN COPY PASTE ASAL SEBUTKAN SUMBERNYA, TERIMA KASIH

Minggu, 20 Februari 2011

Kitab Shaum (Bagian 7) : Shaum & Hukum-hukumnya


Syarat Puasa

Syarat puasa terbagi menjadi dua macam. Pertama adalah syarat wajib puasa, dimana bila syarat-syarat ini terpenuhi, seseorang menjadi wajib hukumnya untuk berpuasa. Kedua adalah syarat syah puasa, dimana seseorang syah puasanya bila memenuhi syarat-syarat itu.



1. Syarat Wajib.

Syarat wajib maksudnya adalah hal-hal yang membuat seorang menjadi wajib untuk melakukan puasa. Bila salah satu syarat ini tidak terpenuhi pada diri seseorang, maka puasa Ramadhan itu menjadi tidak wajib atas dirinya. Meski kalau dia mau, dia tetap diperbolehkan untuk berpuasa.

Diantara syarat-syarat yang mewajibkan seseorang harus berpuasa antara lain yaitu :


o Baligh.

Anak kecil yang belum baligh tidak wajib berpuasa. Namun orang tuanya wajib untuk memerintahkannya puasa ketika berusia 7 tahun dan bila sampai 10 tahun boleh dipukul. Persis seperti pada masalah shalat.

سنن أبي داود - (ج 2 / ص 88/ح 418) و مسند أحمد - (ج 13 / ص 440/ح 6402) و مصنف ابن أبي شيبة - (ج 1 / ص 382) و السنن الكبرى للبيهقي - (ج 3 / ص 84) و المستدرك على الصحيحين للحاكم - (ج 2 / ص 212/ح 666) و سنن الدارقطني - (ج 2 / ص 481/ح 899) : حَدَّ ثَنَا مُؤَ مَّلُ بْنُ هِشَامٍ يَعْنِي الْيَشْكُرِيَّ حَدَّ ثَنَا إِسْمَعِيلُ عَنْ سَوَّ ارٍ أَبِي حَمْزَ ةَ قَالَ أَ بُو دَ اوُد وَ هُوَ سَوَّ ارُ بْنُ دَ اوُدَ أَ بُو حَمْزَ ةَ الْمُزَ نِيُّ الصَّيْرَ فِيُّ عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ ) مُرُوا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَ ةِ وَ هُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ وَ اضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَ هُمْ أَ بْنَاءُ عَشْرٍ وَ فَرِّ قُو ا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ (

Dari 'Amr bin Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya t, ia berkata, Rasulullah r bersabda : "Perintahkanlah anak-anak kalian yang sudah berumur tujuh tahun untuk mengerjakan shalat, dan pukullah mereka karena meninggalkannya ketika mereka sudah berumur sepuluh tahun. Serta pisahkanlah mereka (darimu)[1] berikan tempat tidur untuk mereka".

Meski demikian, secara hukum anak-anak termasuk yang belum mendapat beban / taklif untuk mengerjakan puasa Ramadhan, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits :

سنن أبي داود - (ج 11 / ص 478/3822) و سنن ابن ماجه - (ج 6 / ص 212/ح 2031) و مسند أحمد - (ج 50 / ص 218/ح23562) و مصنف ابن أبي شيبة - (ج 4 / ص 180) و السنن الكبرى للبيهقي - (ج 6 / ص 84) و السنن الكبرى للنسائي - (ج 3 / ص 360/ح 5625) و سنن الدارمي - (ج 7 / ص 112/ح 2351) : حَدَّ ثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّ ثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ أَخْبَرَ نَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ عَنْ حَمَّادٍ عَنْ إِبْرَ اهِيمَ عَنِ اْلأَسْوَ دِ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ ) رُ فِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَ ثَةٍ عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَ عَنِ الْمُبْتَلَى حَتَّى يَبْرَ أَ وَ عَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَكْبُرَ (

Dari 'Aisyah t bahwa Rasulullah r bersabda: "Pena pencatat amal dan dosa itu diangkat dari tiga golongan; orang yang tidur hingga terbangun, orang gila hingga ia waras, dan anak kecil hingga ia balig."

Sengaja saya letakkan pembahasan tentang anak pada bagian ini, karena saya sering mendengar sebagian orang tua melarang anak-anaknya yang belum baligh untuk ikut bershaum di bulan Ramadhan. Dengan alasan karena mereka belum baligh dan dalam rangka menjaga kesehatan mereka. untuk itu saya tampilkan beberapa contoh dan teladan dari para shahabat Rasulullah r, sekaligus saya sertakan beberapa pernyataan para ‘ulama tentang hal itu.

Perlu diketahui bahwa Al-Imam Al-Bukhari telah meletakkan bab khusus dalam Kitabush Shaum dari Shahihil Bukhari dengan judul :

باب : صَوْمِ الصِّبْيَانِ (Bab : Tentang Shaum bagi anak-anak kecil)

Kemudian beliau (Al-Imam Al-Bukhari) menyebutkan hadits dari shahabat Ar-Rubayyi’ binti Mu’awwidz tentang awal disyari’atkannya shaum ‘asyura, dengan lafazh :

) أَرْسَلَ النَّبِيُّ r غَدَ اةَ عَاشُورَ اءَ إِلَى قُرَ ى الأَ نْصَارِ مَنْ أَصْبَحَ مُفْطِرًا فَلْيُتِمَّ بَقِيَّةَ يَوْمِهِ وَ مَنْ أَصْبَحَ صَائِمًا فَليَصُمْ قَالَتْ فَكُنَّا نَصُومُهُ بَعْدُ وَ نُصَوِّ مُ صِبْيَا نَنَا وَ نَجْعَلُ لَهُمُ اللُّعْبَةَ مِنَ الْعِهْنِ فَإِذَ ا بَكَى أَحَدُهُمْ عَلَى الطَّعَامِ أَعْطَيْنَاهُ ذَ اكَ حَتَّى يَكُونَ عِنْدَ الإِفْطَارِ(

Bahwa Rasulullah r mengutus (utusannya) ke kampung-kampung kaum Anshar pada pagi hari ‘Asyura (yaitu hari ke-10 bulan Muharram) (dengan pesan) : “Barangsiapa yang memasuki pagi hari ini dalam keadaan dia tidak bershaum, maka hendaknya dia menyempurnakan waktu yang tersisa dari hari tersebut (dengan bershaum), dan barangsiapa yang memasuki pagi hari ini dalam keadaan bershaum, maka hendaknya dia melanjutkan shaumnya.” Kemudian dia (Ar-Rubayyi’) berkata : “Sehingga sejak hari itu kami melakukan shaum pada hari tersebut (’Asyura) dan memerintahkan anak-anak kami untuk bershaum. Untuk itu kami membuat mainan (anak-anak) yang terbuat dari wol. Jika salah satu di antara anak-anak kecil tersebut menangis karena ingin makan, kami berikan kepada dia mainan tersebut hingga datangnya waktu ifthar (berbuka).”

Dalam riwayat Muslim (1136) dengan lafazh :

فَإِذَ ا سَأَ لُونَا الطَّعَامَ أَعْطَيْنَاهُمُ اللُّعْبَةَ تُلْهِيهِمْ حَتَّى يُتِمُّوا صَوْمَهُمْ

Jika mereka (anak-anak kami) meminta makanan maka kami berikan kepada mereka mainan tersebut dalam rangka melalaikan mereka (dari makanan yang mereka minta) hingga mereka menyumpurnakan shaumnya (pada hari itu).

Ketika menjelaskan hadits di atas, Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata :

Jumhur (’ulama) berpendapat bahwasanya shaum tidak wajib atas anak-anak yang belum baligh. Namun segolongan ‘ulama dari kalangan salaf berpendapat bahwa hukumnya mustahab, di antara mereka Al-Imam Ibnu Sirin dan Az-Zuhri. pendapat ini adalah pendapat yang dipilih oleh Al-Imam Asy-Syafi’i, bahwa anak-anak kecil yang belum baligh diperintahkan untuk bershaum dalam rangka berlatih jika memang mereka mampu. Para ‘ulama dari madzhab Asy-Syafi’i memberi batasan umur dengan tujuh atau sepuluh tahun. Al-Imam Ishaq (bin Rahawaih) memberi batasan umur dengan dua belas tahun. Sementara Al-Imam Ahmad –dalam salah satu riwayat– memberi batasan dengan sepuluh tahun dahulu (Khalifah) ‘Umar bin Al-Khaththab mengatakan kepada orang-orang dewasa yang tidak bershaum di bulan Ramadhan, dalam rangka mencela mereka : “Bagaimana anda tidak bershaum sementara anak-anak kecil kami bershaum?!” [2]


o Berakal.

Orang gila tidak wajib puasa bahkan tidak perlu menggantinya atau tidak perlu mengqadha`nya. Kecuali bila melakukan sesuatu secara sengaja yang mengantarkannya kepada kegilaan, maka wajib puasa atau wajib menggantinya.

سنن أبي داود - (ج 11 / ص 478/3822) و سنن ابن ماجه - (ج 6 / ص 212/ح 2031) و مسند أحمد - (ج 50 / ص 218/ح23562) و مصنف ابن أبي شيبة - (ج 4 / ص 180) و السنن الكبرى للبيهقي - (ج 6 / ص 84) و السنن الكبرى للنسائي - (ج 3 / ص 360/ح 5625) و سنن الدارمي - (ج 7 / ص 112/ح 2351) : حَدَّ ثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّ ثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ أَخْبَرَ نَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ عَنْ حَمَّادٍ عَنْ إِبْرَ اهِيمَ عَنِ اْلأَسْوَ دِ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ ) رُ فِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَ ثَةٍ عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَ عَنِ الْمُبْتَلَى حَتَّى يَبْرَ أَ وَ عَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَكْبُرَ (

Dari 'Aisyah t bahwa Rasulullah r bersabda: "Pena pencatat amal dan dosa itu diangkat dari tiga golongan; orang yang tidur hingga terbangun, orang gila hingga ia waras, dan anak kecil hingga ia balig."

Hal yang sama berlaku pada orang yang mabuk, bila mabuknya disengaja, maka wajib mengganti qadla dan kiffarat. Tapi bila mabuknya tidak disengaja, maka tidak wajib atasnya puasa.



o Sehat.

Orang yang sedang sakit tidak wajib melaksanakan puasa Ramadhan. Namun dia wajib menggantinya di hari lain ketika nanti kesehatannya telah pulih.

وَ مَنْ كَانَ مَرِ يضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّ ةٌ مِنْ أَ يَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَ لاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ [البقرة/185]

Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.(QS Al Baqarah (2) : 185)

Jenis penyakit yang membolehkan seseorang tidak menjalankan kewajiban puasa Ramadhan adalah penyakit yang akan bertambah parah bila berpuasa. Atau ditakutkan penyakitnya akan terlambat untuk sembuh.



o Mampu.

Allah I hanya mewajibkan puasa Ramadhan kepada orang yang memang masih mampu untuk melakukannya. Sedangkan orang yang sangat lemah atau sudah jompo dimana secara pisik memang tidak mungkin lagi melakukan puasa, maka mereka tidak diwajibkan puasa.

وَ عَلَى الَّذِينَ يُطِيقُو نَهُ فِدْ يَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ [البقرة/184]

Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. (QS Al Baqarah (2) : 184)



o Tidak dalam perjalanan (bukan musafir).

Orang yang dalam perjalanan ada keringanan tidak wajib puasa. Tapi wajib atasnya mengqadha` puasanya.

صحيح مسلم - (ج 5 / ص 451/ح 1891) : حَدَّ ثَنِي أَ بُو الطَّاهِرِ وَ هَارُونُ بْنُ سَعِيدٍ اْلأَ يْلِيُّ قَالَ هَارُونُ حَدَّ ثَنَا و قَالَ أَ بُو الطَّاهِرِ أَخْبَرَ نَا ابْنُ وَهْبٍ أَخْبَرَ نِي عَمْرُو بْنُ الْحَارِثِ عَنْ أَبِي اْلأَسْوَدِ عَنْ عُرْ وَ ةَ بْنِ الزُّ بَيْرِ عَنْ أَبِي مُرَ اوِ حٍ عَنْ حَمْزَ ةَ بْنِ عَمْرٍو اْلأَسْلَمِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَ نَّهُ قَالَ ) يَا رَسُولَ اللَّهِ أَجِدُ بِي قُوَّ ةً عَلَى الصِّيَامِ فِي السَّفَرِ فَهَلْ عَلَيَّ جُنَاحٌ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ هِيَ رُخْصَةٌ مِنَ اللَّهِ فَمَنْ أَخَذَ بِهَا فَحَسَنٌ وَ مَنْ أَحَبَّ أَنْ يَصُومَ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِ قَالَ هَارُونُ فِي حَدِيثِهِ هِيَ رُخْصَةٌ وَ لَمْ يَذْ كُرْ مِنَ اللَّهِ (

Dari Hamzah bin Amru Al Aslami t, bahwa ia berkata, "Wahai Rasulullah, aku kuat untuk berpuasa dalam perjalanan. Berdosakah jika aku berpuasa?" Rasulullah r menjawab: "Berbuka puasa saat dalam perjalanan merupakan rukhshah (keringanan) dari Allah I. Siapa yang mengambilnya maka itu adalah baik, namun siapa yang lebih suka untuk berpuasa, maka tidak ada dosa atasnya." Harun berkata dalam haditsnya, "Itu adalah rukhshah." namun ia tidak menyebutkan; "Dari Allah I."




2. Syarat Syah

Sedangkan syarat syah adalah syarat yang harus dipenuhi agar puasa yang dilakukan oleh seseorang itu menjadi syah hukumnya di hapadan Allah I.


o Niat.

Pembahasan tentang niat terkait dengan ibadah shaum terbagi menjadi dua pembahasan :

1. Hukum niat dalam shaum wajib, baik Ramadhan maupun shaum wajib lainnya seperti : shaum qadha`, kaffarah, maupun nadzar.

2. Hukum niat dalam shaum nafilah atau tathawwu’ (sunnah).

Untuk jenis yang pertama, para ulama berijma’ bahwa niat shaum wajib dilakukan pada malam hari, berdasarkan keumuman hadits shahabat ‘Umar bin Al-Khaththab t, bahwa Rasulullah r besabda :

) إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَ إِ نَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَ ى ( [متفق عليه]

“Sesungguhnya setiap amalan tergantung dengan niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan balasan sesuai dengan niatnya.” [Muttafaqun ‘alaih] [3]

Kemudian berdasarkan hadits dari shahabat Hafshoh dan shahabat Ibnu ‘Umar dengan lafazh :

) مَنْ لَمْ يُبَيِتْ اَلصِّيَامَ قَبْلَ اْلفَجْرِ فَلاَ صِيَامَ لَهُ( [رواه الخمسة]

“Barang siapa yang tidak berniat ash-shaum di malam hari sebelum terbitnya fajar maka tidak ada shaum baginya.” [H.R. Abu Daud, Tirmidzi, Nasai, Ibnu Majah, dan Ahmad] [4]

Namun para ulama’ berbeda pendapat dalam niat shaum Ramadhan : apakah cukup dilakukan di awal bulan, atau harus dilakukan pada setiap malamnya.

Ada beberapa pendapat, antara lain :

1. Jumhur ulama berpendapat wajibnya niat di setiap malam bulan Ramadhan[5], berdasarkan dalil-dalil di atas. Pendapat ini dirajihkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ul Fatawa jilid 25 hal. 120, beliau berkata :

Adapun pendapat ketiga : maka untuk shaum yang bersifat wajib tidak sah kecuali dengan berniat pada malam harinya, berdasarkan hadits Hafshoh dan Ibnu ‘Umar, karena seluruh waktu (sejak terbit fajar hingga terbenam matahari) diwajibkan shaum padanya., sementara hukum niat (untuk hari ini) tidaklah dapat mengikuti niat (untuk hari) yang telah berlalu. Sementara shaum nafilah (sunnah) maka boleh baginya berniat dimulai pada siang hari, sebagaimana ditunjukkan hadits : “Kalau begitu aku bershaum”. Ini adalah pendapat yang paling benar, dan pendapat ini merupakan pendapat Al-Imam Asy-Syaafi’i dan Al-Imam Ahmad.”

2. Sebagian ulama yang lain yaitu Al-Imam Malik, Al-Laits, Ash-Shan’ani, dan yang lainnya berpendapat cukupnya sekali niat di awal bulan selama tidak terputus oleh ‘udzur (halangan) seperti sakit atau safar. Jika terdapat halangan yang mengharuskan dia berbuka pada salah satu hari bulan Ramadhan, maka wajib baginya untuk memperbaharui niatnya. Pendapat ini dirajihkan oleh Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dalam Asy-Syarhul-Mumti’ jilid 6 hal. 369.

Perhatian : namun bagi orang yang tidak mengetahui berita masuknya bulan Ramadhan kecuali pada siang hari, maka boleh baginya memulai niat shaum pada siang hari. Kondisi ini adalah kondisi yang diperkecualikan. Dalil yang menunjukkan atas hal itu adalah hadits dari shahabat Salamah bin Al-Akwa’ t :

) بَعَثَ رَسُولُ اللهِ r رَجُلاً مِنْ أَسْلَمَ يَوْمَ عَاشُورَ اءَ، فَأَمَرَ هُ أَنْ يُؤَذِّنَ فِي النَّاسِ : مَنْ كَانَ لَمْ يَصُمْ فَلْيَصُمْ، وَ مَنْ كَانَ أَكَلَ فَلْيُتِمَّ صِيَامَهُ إِلَى اللَّيْلِ(

“Rasulullah r mengutus seseorang dari Aslam pada Hari ‘Asyura, maka beliau memerintahkannya untuk mengumumkan kepada khalayak : ‘Barangsiapa yang sebelumnya tidak bershaum maka hendak bershaum (mulai sekarang), barangsiapa yang sebelumnya sudah makan, maka hendaknya ia menyempurnakan shaumnya hingga malam.” [6]

Bentuk pendalilan dari hadits di atas adalah : adanya kesamaan hukum shaum ‘asyura -yang kala itu masih bersifat wajib atas kaum muslimin- dengan shaum Ramadhan. Sehingga hukum memulai niat shaum pada siang hari bagi yang belum mendengar berita tentang masuknya shaum Ramadhan adalah boleh dan sah, sebagaimana boleh dan sahnya pada shaum ‘asyura kala itu. Pendapat di atas adalah pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah.

Pendapat Syaikhul Islam di atas, diikuti pula oleh Ibnul Qayyim dalam Tahdzibus Sunan dan Zadul Ma’ad dan Asy-Syaukani dalam Nailul Authar.

Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Ash-Shahihah. [7]

Jika telah diketahui hukum di atas, perlu diketahui bahwa hukum tersebut juga berlaku bagi anak kecil yang baligh di siang hari Ramadhan, atau seorang gila yang sadar, dan seorang kafir yang masuk Islam pada siang hari Ramadhan. Bagi mereka semua boleh untuk memulai niat shaum Ramadhan pada siang hari, dan sah shaum mereka tanpa harus mengqadha` (mengganti) pada hari lain. [8]

Kalau ada yang mengatakan bahwa, pada peristiwa shaum ‘asyura Rasulullah r memerintahkan pihak-pihak yang memulai niat shaumnya pada siang hari untuk mengqadha’ pada hari lain, sebagaimana dalam hadits dari shahabat Salamah bin Al-Akwa’ yang diriwayatkan oleh Al-Imam Abu Dawud dengan lafazh :

) أَنَّ أَسْلَمَ أَ تَتِ النَّبِيَّ e فَقَالَ : ) صُمْتُمْ يَوْ مَكُمْ هَذَ ا؟ ( قَالُوا : لا. قَالَ : ) فَأَ تِمُّوا بَقِيَّةَ يَوْ مِكُمْ وَ اقْضُوهُ ( قَالَ أَ بُو دَاوُد : يَعْنِي يَوْمَ عَاشُورَ اءَ(

Bahwa Aslam datang kepada Nabi r , beliau bersabda : “Apakah kalian bershaum pada hari ini?” para shahabat menjatab : ‘Tidak.’ Beliau r bersabda : “Maka sempurnakanlah shaum pada sisa hari ini, kemudian qadha’ (pada hari lain)!”

Al-Imam Abu Dawud menerangkan : yaitu para hari ‘Asyura. [9]

Maka jawabannya adalah :

Hadits dengan riwayat Abu Dawud di atas adalah hadits yang lemah. Sebagaimana ditegaskan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Dha’if Sunan Abi Dawud. Bahkan dalam Adh-Dha’ifah beliau menegaskan bahwa hadits di atas dengan lafazh seperti itu adalah hadits yang munkar. [10]

3. Sementara hukum niat pada jenis shaum yang kedua, yaitu shaum nafilah atau sunnah, tidak wajib dilakukan pada malam hari. Maksudnya, apabila seseorang memulai niat shaum sunnah pada pagi atau siang hari maka boleh dan sah shaumnya. Dalam hal ini ada beberapa dalil, di antaranya : hadits dari shahabat ‘Aisyah radhiallahu ‘anha:

)عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْ مِنِينَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ : قَالَ لِي رَسُولُ اللهِ r ذَ اتَ يَوْمٍ : (( يَا عَائِشَةُ، هَلْ عِنْدَكُمْ شَيْءٌ؟ )) قَالَتْ : فَقُلْتُ : يَا رَسُولَ اللهِ مَا عِنْدَنَا شَيْءٌ؛ قَالَ : (( فَإِنِّي إذن صَائِمٌ )) (

Dari ‘Aisyah t berkata : Rasulullah r bersabda kepadaku pada suatu hari : “Wahai ‘Aisyah, Apakah kamu memiliki sesuatu? Aku menjawab : ‘Saya tidak memiliki apa-apa wahai Rasulullah.’ Beliau r berkata : “Kalau begitu aku bershaum.” [11]

Dalam riwayat An-Nasa`i dengan lafazh :

) هَلْ عِنْدَكُمْ غَدَاءٌ (

“Apakah kamu memiliki makan siang?” [12]

Perhatikan lafazh : (( فَإِنِّي إذن صَائِمٌ )) lafazh ini menunjukkan bahwa beliau r memulai niat shaum sunnah pada siang hari. Hal ini lebih dipertegas oleh riwayat An-Nasa`i, karena makanan yang beliau minta adalah Al-Ghada` yaitu makan siang.

Atas dasar itu, Al-Imam An-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim meletakkan sebuah bab yang berjudul :

باب جواز صوم النافلة بنية من النهار قبل الزوال وجواز فطر الصائم نفلا من غير عذر

Bab : tentang bolehnya shaum Nafilah dengan niat mulai siang hari sebelum tergelincirnya Matahari, dan bolehnya berbuka bagi orang yang bershaum nafilah tanpa ada ‘udzur.

Mungkin saja akan ada yang mengatakan bahwa sebenarnya Rasulullah r telah melakukan niat untuk bershaum sejak malam harinya, namun ketika siang hari beliau r kelelahan dan merasa tidak kuat untuk melanjutkan shaum sehingga beliau r bertanya kepada istrinya apakah ada makanan. Namun setelah dijawab bahwa tidak didapati makanan, maka beliau r melanjutkan shaumnya.

Menjawab pernyataan di atas, Al-Imam An-Nawawi menegaskan dalam syarh Muslim dengan mengatakan : bahwa penakwilan semacam di atas adalah bentuk penakwilan yang salah dan terlalu dipaksakan.

Dalam kitab Syarh Al-Iqna’ diterangkan bahwa tempat niat adalah hati maka barang siapa yang terbetik dalan hatinya untuk bershaum di keesokan harinya maka telah berniat dan cukup makan dan minum (ketika sahur) sebagai niatnya. [13]

Kesimpulan :

Bila seseorang berpuasa tapi lupa atau tidak berniat, maka puasanya tidak syah. Maksudnya puasa wajib bulan Ramadhan atau puasa wajib nazar atau puasa wajib qadha` harus dimulai sebelum terbit fajar. Namun bila puasa sunnah, maka niatnya tidak harus sejak terbit fajar, boleh dilakukan di siang hari ketika tidak mendapatkan makanan.



o Beragama Islam.

Puasa orang bukan muslim baik kristen, katolik, hindu, budha atau agama apapun termasuk atheis tidak syah. Bila mereka tetap berpuasa, maka tidak mendapatkan balasan apa-apa.

صحيح البخاري - (ج 1 / ص 11/ح 7) و صحيح مسلم - (ج 1 / ص 102/ح 20) : حَدَّ ثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ مُوسَى قَالَ أَخْبَرَ نَا حَنْظَلَةُ بْنُ أَبِي سُفْيَانَ عَنْ عِكْرِ مَةَ بْنِ خَالِدٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ ) بُنِيَ اْلإِسْلاَ مُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَ ةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَ إِقَامِ الصَّلاَ ةِ وَ إِيتَاءِ الزَّ كَاةِ وَ الْحَجِّ وَ صَوْمِ رَمَضَانَ (

Dari Ibnu Umar berkata: Rasulullah r bersabda: "Islam dibangun diatas lima (landasan); persaksian tidak ada ilah selain Allah dan sesungguhnya Muhammad utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, haji dan puasa Ramadlan".



o Suci dari haidh dan nifas.

Wanita yang mendapat haidh dan nifas, bila tetap berpuasa, maka puasanya tidak syah.

صحيح البخاري - (ج 2 / ص 3/ح 293) : حَدَّ ثَنَا سَعِيدُ بْنُ أَبِي مَرْ يَمَ قَالَ أَخْبَرَ نَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ قَالَ أَخْبَرَ نِي زَ يْدٌ هُوَ ابْنُ أَسْلَمَ عَنْ عِيَاضِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ ) خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فِي أَضْحَى أَوْ فِطْرٍ إِلَى الْمُصَلَّى فَمَرَّ عَلَى النِّسَاءِ فَقَالَ يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ تَصَدَّقْنَ فَإِ نِّي أُرِيتُكُنَّ أَكْثَرَ أَهْلِ النَّارِ فَقُلْنَ وَ بِمَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ تُكْثِرْنَ اللَّعْنَ وَ تَكْفُرْ نَ الْعَشِيرَ مَا رَ أَ يْتُ مِنْ نَاقِصَاتِ عَقْلٍ وَ دِينٍ أَذْهَبَ لِلُبِّ الرَّجُلِ الْحَازِ مِ مِنْ إِحْدَ اكُنَّ قُلْنَ وَ مَا نُقْصَانُ دِينِنَا وَ عَقْلِنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ أَ لَيْسَ شَهَادَ ةُ الْمَرْأَ ةِ مِثْلَ نِصْفِ شَهَادَ ةِ الرَّجُلِ قُلْنَ بَلَى قَالَ فَذَ لِكِ مِنْ نُقْصَانِ عَقْلِهَا أَ لَيْسَ إِذَ ا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَ لَمْ تَصُمْ قُلْنَ بَلَى قَالَ فَذَ لِكِ مِنْ نُقْصَانِ دِينِهَا (

Dari Abu Sa'id Al Khudri ia berkata, "Rasulullah r pada hari raya 'Iedul Adlha atau Fitri keluar menuju tempat shalat, beliau melewati para wanita seraya bersabda: "Wahai para wanita! Hendaklah kalian bersedekahlah, sebab diperlihatkan kepadaku bahwa kalian adalah yang paling banyak menghuni neraka." Kami bertanya, "Apa sebabnya wahai Rasulullah?" beliau r menjawab: "Kalian banyak melaknat dan banyak mengingkari pemberian suami. Dan aku tidak pernah melihat dari tulang laki-laki yang akalnya lebih cepat hilang dan lemah agamanya selain kalian." Kami bertanya lagi, "Wahai Rasulullah, apa tanda dari kurangnya akal dan lemahnya agama?" Beliau r menjawab: "Bukankah persaksian seorang wanita setengah dari persaksian laki-laki?" Kami jawab, "Benar." Beliau r berkata lagi: "Itulah kekurangan akalnya. Dan bukankah seorang wanita bila dia sedang haid dia tidak shalat dan puasa?" Kami jawab, "Benar." Beliau r berkata: "Itulah kekurangan agamanya."



o Pada hari yang dibolehkan puasa.

Bila melakukan puasa pada hari-hari yang dilarang, maka puasanya tidak syah bahkan haram untuk dilakukan. Diantara hari-hari yang secara khusus dilarang untuk berpuasa adalah :


1. Hari Raya Idul Fithri 1 Syawwal.


2. Hari Raya Idul Adha tanggal 10 ZulHijjah.

صحيح البخاري - (ج 7 / ص 113/ح1854) : حَدَّ ثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ أَخْبَرَ نَا مَالِكٌ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ أَبِي عُبَيْدٍ مَوْلَى ابْنِ أَزْهَرَ قَالَ شَهِدْتُ الْعِيدَ مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَقَالَ ) هَذَ انِ يَوْمَانِ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ عَنْ صِيَامِهِمَا يَوْمُ فِطْرِ كُمْ مِنْ صِيَا مِكُمْ وَ الْيَوْمُ اْلآخَرُ تَأْكُلُونَ فِيهِ مِنْ نُسُكِكُمْ قَالَ أَ بُو عَبْد اللَّهِ قَالَ ابْنُ عُيَيْنَةَ مَنْ قَالَ مَوْلَى ابْنِ أَزْهَرَ فَقَدْ أَصَابَ وَ مَنْ قَالَ مَوْ لَى عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ فَقَدْ أَصَابَ (

Dari Abu 'Ubaid, maula Ibnu Azhar berkata; Aku mengikuti shalat 'Ied bersama 'Umar bin Al Khaththob t lalu dia berkata: "Inilah dua hari yang Rasulullah r melarang puasa padanya, yaitu pada hari saat kalian berbuka dari puasa kalian ('Iedul Fithri) dan hari lainnya adalah hari ketika kalian memakan hewan qurban kalian ('Iedul Adhha) ". Dan Abu 'Abdullah Al Bukhariy berkata; Ibnu 'Uyainah berkata; Siapa yang berkata bahwa Abu 'Ubaid adalah maula Ibnu Azhar berarti dia telah berkata benar dan juga siapa yang berkata bahwa dia adalah maula 'Abdurrahman bin 'Auf, dia juga telah berkata benar.


3. Hari Tasyrik yaitu tanggal 11, 12 dan 13 bulan Zulhijjah

صحيح البخاري - (ج 7 / ص 120/ح1859) : حَدَّ ثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّ ثَنَا غُنْدَرٌ حَدَّ ثَنَا شُعْبَةُ سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عِيسى بْنِ أَبِي لَيْلَى عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ عُرْوَ ةَ عَنْ عَائِشَةَ وَ عَنْ سَالِمٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ قَالاَ ) لَمْ يُرَ خَّصْ فِي أَ يَّامِ التَّشْرِيقِ أَنْ يُصَمْنَ إِلاَّ لِمَنْ لَمْ يَجِدَ الْهَدْيَ (

Dari 'Urwah dari 'Aisyah t dan dari Salim dari Ibnu 'Umar t keduanya berkata: "Tidak diperkenankan untuk berpuasa pada hari tasyriq kecuali bagi siapa yang tidak mendapatkan hewan korban (Al Hadyu) ketika menunaikan haji".


4. Puasa sehari saja pada hari Jumat, tanpa didahului dengan hari sebelum atau sesudahnya. Kecuali ada kaitannya dengan puasa sunnah lainnya seperti puasa sunah nabi Daud, yaitu sehari berpuasa dan sehari tidak. Maka bila jatuh hari Jumat giliran untuk puasa, boleh berpuasa.

صحيح البخاري - (ج 7 / ص 104/ح 1848) : حَدَّ ثَنَا أَ بُو عَاصِمٍ عَنِ ابْنِ جُرَ يْجٍ عَنْ عَبْدِ الْحَمِيدِ بْنِ جُبَيْرِ بْنِ شَيْبَةَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَبَّادٍ قَالَ ) سَأَ لْتُ جَابِرً ا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ نَـهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ الْجُمُعَةِ قَالَ نَعَمْ زَ ادَ غَيْرُ أَبِي عَاصِمٍ يَعْنِي أَنْ يَنْفَرِدَ بِصَوْمٍ (

Dari 'Abdul Hamid bin Jubair bin Syaibah dari Muhammad bin 'Abbad berkata; "Aku bertanya kepada Jabir t apakah benar Nabi r telah melarang puasa pada hari Jum'at? Dia menjawab : "Benar". Selain 'Abu 'Ashim, para perawi menambahkan: "Yakni apabila mengkhususkan hari Jum'at untuk berpuasa".


5. Puasa sunnah pada paruh kedua bulan Sya`ban, yaitu mulai tanggal 15 Sya`ban hingga akhir. Namun bila puasa sunah diawali dari awal bulan dan hampir memenuhi bulan Sya`ban, justru merupakan sunnah. Sedangkan puasa wajib seperti qadha` puasa Ramadhan wajib dilakukan bila memang hanya tersisa hari-hari itu saja.

صحيح البخاري - (ج 7 / ص 47/ح 1814) : حَدَّ ثَنَا أَحْمَدُ بْنُ يُونُسَ حَدَّثَنَا زُهَيْرٌ حَدَّ ثَنَا يَحْيَى عَنْ أَبِي سَلَمَةَ قَالَ سَمِعْتُ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا تَقُولُ ) كَانَ يَكُونُ عَلَيَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِيَ إِلاَّ فِي شَعْبَانَ قَالَ يَحْيَى الشُّغْلُ مِنَ النَّبِيِّ أَوْ بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ (

Dari Abu Salamah berkata; Aku mendengar 'Aisyah t berkata: "Aku berhutang puasa Ramadhan dan aku tidak bisa mengqadha'nya kecuali pada bulan Sya'ban". Yahya berkata: "Karena dia sibuk karena atau bersama Nabi r ".

سنن أبي داود - (ج 6 / ص 278/ح 1990) و السنن الكبرى للبيهقي - (ج 4 / ص 209) و مستخرج أبي عوانة - (ج 6 / ص 46/ح 2186) و صحيح ابن خزيمة - (ج 7 / ص 422) : حَدَّ ثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّ ثَنَا عَبْدُ الْعَزِ يزِ بْنُ مُحَمَّدٍ قَالَ قَدِمَ عَبَّادُ بْنُ كَثِيرٍ الْمَدِ ينَةَ فَمَالَ إِلَى مَجْلِسِ الْعَلاَ ءِ فَأَخَذَ بِيَدِ هِ فَأَقَا مَهُ ثُمَّ قَالَ اللَّهُمَّ إِنَّ هَذَا يُحَدِّثُ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَ يْرَ ةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ ) إِذَ ا ا نْتَصَفَ شَعْبَانُ فَلاَ تَصُومُوا فَقَالَ الْعَلاَ ءُ اللَّهُمَّ إِنَّ أَبِي حَدَّ ثَنِي عَنْ أَبِي هُرَ يْرَ ةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ بِذَ لِكَ (

Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa'id, telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz bin Muhammad, ia berkata; 'Abbad bin Katsir datang ke Madinah kemudian ia datang ke Majelis Al 'Ala` dan menggandeng tangannya dan mengajaknya berdiri, kemudian berkata; ya Allah, orang ini telah menceritakan dari ayahnya dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah r berkata: "Apabila telah berlalu setengah dari bulan Sya'ban, maka janganlah kalian berpuasa!" kemudian Al 'Ala` berkata; ya Allah, sesungguhnya ayahku telah menceritakan kepadaku dari Abu Hurairah dari Nabi r seperti itu.


6. Puasa pada hari Syak, yaitu tanggal 30 Sya`ban bila orang-orang ragu tentang awal bulan Ramadhan karena hilal (bulan) tidak terlihat.

سنن أبي داود - (ج 6 / ص 256/ح 1976) : حَدَّ ثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ الْعَتَكِيُّ حَدَّ ثَنَا حَمَّادٌ حَدَّ ثَنَا أَ يُّوبُ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ ) الشَّهْرُ تِسْعٌ وَ عِشْرُونَ فَلاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْ هُ وَ لاَ تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ ثَلاَ ثِينَ قَالَ فَكَانَ ابْنُ عُمَرَ إِذَ ا كَانَ شَعْبَانُ تِسْعًا وَ عِشْرِينَ نَظَرَ لَهُ فَإِنْ رُ ئِيَ فَذَ اكَ وَ إِنْ لَمْ يُرَ وَ لَمْ يَحُلْ دُونَ مَنْظَرِ هِ سَحَابٌ وَ لاَ قَتَرَ ةٌ أَصْبَحَ مُفْطِرًا فَإِنْ حَالَ دُونَ مَنْظَرِ هِ سَحَابٌ أَوْ قَتَرَةٌ أَصْبَحَ صَائِمًا قَالَ فَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يُفْطِرُ مَعَ النَّاسِ وَ لاَ يَأْخُذُ بِهَذَ ا الْحِسَابِ حَدَّ ثَنَا حُمَيْدُ بْنُ مَسْعَدَ ةَ حَدَّ ثَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ حَدَّ ثَنِي أَيُّوبُ قَالَ كَتَبَ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ إِلَى أَهْلِ الْبَصْرَ ةِ بَلَغَنَا عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ نَحْوَ حَدِيثِ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ زَ ادَ وَ إِنَّ أَحْسَنَ مَا يُقْدَرُ لَهُ أَ نَّا إِذَ ا رَ أَ يْنَا هِلاَ لَ شَعْبَانَ لِكَذَ ا وَ كَذَ ا فَا لصَّوْ مُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ لِكَذَ ا وَ كَذَا إِلاَّ أَنْ تَرَوْا الْهِلاَ لَ قَبْلَ ذَ لِكَ(

Dari Ibnu Umar, ia berkata; Rasulullah r bersabda: "Satu bulan adalah dua puluh sembilan, maka janganlah kalian berpuasa hingga melihatnya dan janganlah berbuka (berhari raya) hingga melihatnya, kemudian apabila tertutup awan maka hitunglah tiga puluh." Sulaiman berkata; dan Ibnu Umar apabila Bulan Sya'bah adalah dua puluh sembilan maka ia berpuasa, apabila terlihat maka itulah Ramadhan, dan apabila tidak terlihat dan tidak terhalangi oleh awan serta debu maka pagi harinya ia dalam keadaan berbuka, dan apabila terhalang awan atau debu untuk melihatnya maka di pagi hari dalam keadaan berpuasa. Ia berkata; dan Ibnu Umar berbuka bersama orang-orang dan tidak mengambil perhitungan ini. Telah menceritakan kepada kami Humaid bin Mas'adah, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab, telah menceritakan kepadaku Ayyub, ia berkata; Umar bin Abdul Aziz menulis surat kepada penduduk Bashrah mengatakan; telah sampai kepada kami dari Rasulullah r …. Seperti hadits tersebut Ibnu Umar, dari Nabi r. Ia menambahkan; dan sesungguhnya sebaik-baik hitungan adalah apabila kami melihat Hilal Sya'ban demikian dan demikian maka puasa insya Allah demikian dan demikian, kecuali apabila kalian melihat Hilal sebelum itu.



[1] Pisahkan mereka yang laki-laki dan perempuan walaupun bersaudara, dengan masing-masing tempat tidur, supaya aurat mereka tidak saling melihat ketika ada yang tertidur ataupun terjaga.

[2] Fathul Bari syarh hadits no. 1960.

[3] Al-Bukhari hadits no. 1 dan Muslim hadits no.1097

[4] Abu Daud Kitabush Shiyaam, bab 71, hadits no. 2454, Shohih Sunan Abi Daud hadits no. 2454 . Hadits ini masih diperbincangkan di kalangan ‘ulama dalam hal marfu’ atau mauqufnya. Al-Imam Al Al-Bukhari, At-Tirmidzi, An-Nasai, Abu Daud, Abu Hatim, dan Al-Baihaqi menguatkan bahwa hadits ini adalah mauquf serta Asy-Syaikh Muqbil bin hadi Al Wadi’I dalam kitabnya Ijabatus Sa’il hal.175 soal no. 102 menyatakan :”…hadist ini adalah Muthorib sehingga tidak bisa dijadikan sebagi hujah. Sedangkan Al-Hakim, Ibnu Hazm, Abdul Haq, Ibnul Jauzi, dan As-syaukani menguatkan bahwa hadits ini adalah marfu’serta di shohihkan oleh Asy-Syaikh Al Albani dalam kiabnya .Al Irwa’ jilid 4 hal. 25-30 hadist no. 914 - 915.

[5] Lihat Fathul Bari syarh hadits no. 1924.

[6] HR. Muslim 1135

[7] Lihat Ash-Shahihah VI/251-254; penjelasan hadits no. 2624.

[8] Ibid.

[9] HR. Abu Dawud 529.

[10] Lihat Dha’if Sunan Abi Dawud no. 529, Adh-Dha’ifah no. 5199.

[11] HR. Muslim 1154

[12] An-Nasa`i 2324, Asy-Syaikh Al-Albani v berkata dalam Shahih Sunan An-Nasa`i : Hasan Shahih

[13] Taudhiihul Ahkaam jilid 4 hal. 141.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar