Qana’ah dan kafaf adalah kekayaan yang sejati.
Bila kekayaan dan kemiskinan adalah hal yang netral, yang bisa mendatangkan pujian atau bisa mendatangkan celaan sesuai keadaan manusianya, maka Islam juga menegaskan bahwa kekayaan yang hakiki terletak pada sifat al-qana’ah, menerima kadar harta kekayaan yang Allah I karuniakan dengan penuh kerelaan,dan al-kafaf, terpenuhinya kebutuhan primer hidup tanpa mengalami kekurangan maupun kelebihan harta [1]. Berkaitan dengan harta ini Rasulullah r mengkhawatirkan tentang penggunaan harta umatnya, lihat sabda beliau :
سنن الترمذي - (ج 8 / ص 327/ح2256) و مسند أحمد - (ج 35 / ص 339/ح 16826) و الآحاد والمثاني لابن أبي عاصم - (ج 7 / ص 148/ح 2220) و المستدرك على الصحيحين للحاكم - (ج 18 / ص 268/ح 8010) و المعجم الأوسط للطبراني - (ج 7 / ص 393/ح 3423) و صحيح ابن حبان - (ج 13 / ص 447/ح 3292) : حَدَّ ثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مَنِيعٍ حَدَّ ثَنَا الْحَسَنُ بْنُ سَوَّ ارٍ حَدَّ ثَنَا لَيْثُ بْنُ سَعْدٍ عَنْ مُعَاوِ يَةَ بْنِ صَالِحٍ أَنَّ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ جُبَيْرِ بْنِ نُفَيْرٍ حَدَّ ثَهُ عَنْ أَبِيهِ عَنْ كَعْبِ بْنِ عِيَاضٍ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَقُولُ ) إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فـِتْـنَةً وَ فـِتْنـَةُ أُمَّتِي الْمَالُ (
Dari Ka'ab bin 'Iyadl berkata : Aku mendengar nabi Shallallahu 'alaihi wa Salam bersabda: ("Sesungguhnya setiap ummat itu memiliki fitnah dan fitnah ummatku adalah harta.")
صحيح البخاري - (ج 5 / ص 124/ح 1258) : حَدَّ ثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ حَدَّ ثَنَا اللَّيْثُ حَدَّ ثَنِي يَزِيدُ بْنُ أَبِي حَبِيبٍ عَنْ أَبِي الْخَيْرِ عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ خَرَجَ يَوْ مًا فَصَلَّى عَلَى أَهْلِ أُحُدٍ صَلاَ تَهُ عَلَى الْمَيِّتِ ثُمَّ انْصَرَفَ إِلَى الْمِنْبَرِ فَقَالَ ) إِ نِّي فَرَطٌ لَكُمْ وَ أَ نَا شَهِيدٌ عَلَيْكُمْ وَ إِنِّي وَ اللَّهِ َلأَ نْظُرُ إِلَى حَوْضِي اْلآنَ وَ إِ نِّي أُعْطِيتُ مَفَاتِيحَ خَزَ ائِنِ اْلأَرْضِ أَوْ مَفَاتِيحَ اْلأَرْضِ وَ إِنِّي وَ اللَّهِ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمْ أَنْ تُشْرِكُوا بَعْدِي وَ لَكِنْ أَخَافُ عَلَيْكُمْ أَنْ تَنَافَسُوا فِيهَا(
(BUKHARI - 1258) : Dari 'Uqbah bin 'Amir bahwa Nabi Shallallahu'alaihiwasallam pada suatu hari keluar untuk menyolatkan syuhada' perang Uhud sebagaimana shalat untuk mayit. Kemudian Beliau pergi menuju mimbar lalu bersabda: ("...... demi Allah, sekarang aku sedang melihat telagaku (yang di surga) dan aku telah diberikan kunci-kunci kekayaan bumi atau kunci-kunci perbendaharaan bumi (dunia). Demi Allah, sungguh aku tidak khawatir kepada kalian bahwa kalian akan menyekutukan (Allah) kembali sepeninggal aku. Namun yang aku khawatirkan terhadap kalian adalah kalian akan memperebutkan kekayaan / kunci-kunci perbendaharaan bumi ini".)
Lihat contoh-contoh kisah Al Qur’an, terhadap orang yang diamanahi harta kekayaan sebagai nikmat dari Allah I, tapi orang tersebut malah terlena dengan kekayaan dan anugrah Allah I tersebut sehingga jatuh kedalam siksa Allah I, karena mereka tidak puas dengan harta, malah semakin kaya, mereka semakin kikir menunaikan hak-hak Allah I dengan berbuat kebajikan untuk orang yang fakir dan miskin.
Contoh yang jelas sekali, keruksakan akibat harta adalah Qorun :
إِنَّ قَارُونَ كَانَ مِنْ قَوْمِ مُوسَى فَبَغَى عَلَيْهِمْ وَ آَتَيْنَاهُ مِنَ الْكُنُوزِ مَا إِنَّ مَفَاتِحَهُ لَتَنُوءُ بِالْعُصْبَةِ أُو لِي الْقُوَّ ةِ إِذْ قَالَ لَهُ قَوْمُهُ لاَ تَفْرَ حْ إِنَّ اللَّهَ لاَ يُحِبُّ الْفَرِحِينَ ; وَ ابْتَغِ فِيمَا آَتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ اْلآَخِرَ ةَ وَ لاَ تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّ نْيَا وَ أَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ وَ لاَ تَبْغِ الْفَسَادَ فِي اْلأَرْضِ إِنَّ اللَّهَ لاَ يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ ; قَالَ إِ نَّمَا أُو تِيتُهُ عَلَى عِلْمٍ عِنْدِي أَوَ لَمْ يَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ أَهْلَكَ مِنْ قَبْلِهِ مِنَ الْقُرُونِ مَنْ هُوَ أَشَدُّ مِنْهُ قُوَّ ةً وَ أَكْثَرُ جَمْعًا وَ لاَ يُسْأَلُ عَنْ ذُ نُوب ِهِمُ الْمُجْرِمُونَ ; فَخَرَ جَ عَلَى قَوْ مِهِ فِي زِينَتِهِ قَالَ الَّذِينَ يُرِيدُونَ الْحَيَاةَ الدُّ نْيَا يَا لَيْتَ لَنَا مِثْلَ مَا أُو تِيَ قَارُونُ إِ نَّهُ لَذُو حَظٍّ عَظِيمٍ ; وَ قَالَ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ وَ يْلَكُمْ ثَوَ ابُ اللَّهِ خَيْرٌ لِمَنْ آَمَنَ وَ عَمِلَ صَالِحًا وَ لاَ يُلَقَّاهَا إِلاَّ الصَّابِرُونَ ; فَخَسَفْنَا بِهِ وَ بِدَ ارِ هِ اْلأَرْضَ فَمَا كَانَ لَهُ مِنْ فِئَةٍ يَنْصُرُو نَهُ مِنْ دُونِ اللَّهِ وَ مَا كَانَ مِنَ الْمُنْتَصِرِينَ ; وَ أَصْبَحَ الَّذِينَ تَمَنَّوْا مَكَا نَهُ بِاْلأ َمْسِ يَقُولُونَ وَ يْكَأَنَّ اللَّهَ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَ يَقْدِرُ لَوْلاَ أَنْ مَنَّ اللَّهُ عَلَيْنَا لَخَسَفَ بِنَا وَ يْكَأَ نَّهُ لاَ يُفْلِحُ الْكَافِرُونَ ; تِلْكَ الدَّارُ اْلآَخِرَ ةُ نَجْعَلُهَا لِلَّذِينَ لاَ يُرِيدُونَ عُلُوًّ ا فِي اْلأَرْضِ وَ لاَ فَسَادًا وَ الْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ ; مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ خَيْرٌ مِنْهَا وَ مَنْ جَاءَ بِالسَّيِّئَةِ فَلاَ يُجْزَ ى الَّذِينَ عَمِلُوا السَّيِّئَاتِ إِلاَّ مَا كَا نُوا يَعْمَلُونَ ; [القصص/76- 84]
Sesungguhnya Qarun termasuk kaum Musa, [2] tetapi dia berlaku zalim terhadap mereka, dan Kami telah Menganugerahkan kepadanya perbendaharaan harta yang kunci-kuncinya sungguh berat dipikul oleh sejumlah orang yang kuat-kuat. (Ingatlah) ketika kaumnya berkata kepadanya, “Janganlah engkau terlalu bangga. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang membanggakan diri.” ; Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah Dianugerahkan Allah kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah Berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan. ; Dia (Qarun) berkata, “Sesungguhnya aku diberi (harta itu), semata-mata karena ilmu yang ada padaku.” Tidakkah dia tahu, bahwa Allah telah Membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripadanya, dan lebih banyak mengumpulkan harta? Dan orang-orang yang berdosa itu tidak perlu ditanya tentang dosa-dosa mereka ; Maka keluarlah dia (Qarun) kepada kaumnya dengan kemegahannya. Orang-orang yang menginginkan kehidupan dunia berkata, “Mudah-mudahan kita mempunyai harta kekayaan seperti apa yang telah diberikan kepada Qarun, sesungguhnya dia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar” ; Tetapi orang-orang yang dianugerahi ilmu (faham agama) berkata, “Celakalah kamu! Ketahuilah, pahala Allah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, dan (pahala yang besar) itu hanya diperoleh oleh orang-orang yang sabar” ; Maka Kami Benamkan dia (Qarun) bersama rumahnya ke dalam bumi. Maka tidak ada baginya satu golongan pun yang akan menolongnya selain Allah, dan dia tidak termasuk orang-orang yang dapat membela diri ; Dan orang-orang yang kemarin mengangan- angankan kedudukannya (Qarun) itu berkata, “Aduhai, benarlah kiranya Allah yang Melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia Kehendaki di antara hamba-hamba-Nya dan Membatasi (bagi siapa yang Dia Kehendaki di antara hamba-hamba-Nya). Sekiranya Allah tidak melimpahkan karunia-Nya pada kita, tentu Dia telah Membenamkan kita pula. Aduhai, benarlah kiranya tidak akan beruntung orang-orang yang mengingkari (nikmat Allah)” ; Negeri akhirat itu Kami Jadikan bagi orang-orang yang tidak menyombongkan diri dan tidak berbuat kerusakan di bumi. Dan kesudahan (yang baik) [3] itu bagi orang-orang yang bertakwa. Barangsiapa datang dengan (membawa) kebaikan, maka dia akan mendapat (pahala) yang lebih baik daripada kebaikannya itu ; dan barangsiapa datang dengan (membawa) kejahatan, maka orang-orang yang telah mengerjakan kejahatan itu hanya diberi balasan (seimbang) dengan apa yang dahulu mereka kerjakan. (QS Al Qashash (28) : 76-84)
Kisah Qorun ini, diungkapkan Allah I untuk memberikan petunjuk dan pelajaran yang besar bagi orang yang cenderung tunduk pada hukum-hukum Allah I yaitu dalam menggunakan harta yang telah diperolehnya. Juga sebaliknya memberikan pelajaran bagi orang-orang yang enggan membelanjakan hartanya pada jalan Allah I.
Kisah berikutnya adalah kisah pemilik kebun-kebun : Adapun kisah pemilik-pemilik kebun ini, adalah kisah tentang orang yang melarang orang-orang berbuat kebaikan, dan sebaliknya memerintahkan untuk berbuat kikir pada hak-hak Allah I, sehingga akibat perbuatan tersebut Allah I membinasakannya.
إِ نَّا بَلَوْ نَاهُمْ كَمَا بَلَوْ نَا أَصْحَابَ الْجَنَّةِ إِذْ أَقْسَمُوا لَيَصْرِ مُنَّهَا مُصْبِحِينَ ; وَ لاَ يَسْتَـثْـنُونَ ; فَطَافَ عَلَيْهَا طَائِفٌ مِنْ رَ بِّكَ وَ هُمْ نَائِمُونَ ; فَأَ صْبَحَتْ كَالصَّرِيمِ ; فَتَنَادَوْا مُصْبِحِينَ ; أَنِ اغْدُوا عَلَى حَرْثِكُمْ إِنْ كُنْتُمْ صَارِ مِينَ ; فَا نْطَلَقُوا وَ هُمْ يَتَخَافَتُونَ ; أَنْ لاَ يَدْخُلَنَّهَا الْيَوْمَ عَلَيْكُمْ مِسْكِينٌ ; وَ غَدَوْا عَلَى حَرْ دٍ قَادِرِينَ ; فَلَمَّا رَ أَوْهَا قَالُوا إِ نَّا لَضَالُّونَ ; بَلْ نَحْنُ مَحْرُومُونَ ; قَالَ أَوْ سَطُهُمْ أَ لَمْ أَقُلْ لَكُمْ لَوْلاَ تُسَبِّحُونَ ; قَالُوا سُبْحَانَ رَ بِّنَا إِ نَّا كُنَّا ظَالِمِينَ ; فَأَ قْبَلَ بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ يَتَلاَ وَمُونَ ; قَالُوا يَا وَ يْلَنَا إِ نَّا كُنَّا طَاغِينَ ; عَسَى رَ بُّنَا أَنْ يُبْدِلَنَا خَيْرًا مِنْهَا إِ نَّا إِلَى رَ بِّنَا رَاغِبُونَ ; كَذَ لِكَ الْعَذَ ابُ وَ لَعَذَ ابُ اْلآَ خِرَ ةِ أَكْبَرُ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ [القلم/17-33]
Sungguh, Kami telah Menguji mereka (orang musyrik Mekah) sebagaimana Kami telah Menguji para pemilik kebun, ketika mereka bersumpah pasti akan memetik (hasil)nya pada pagi hari ; tetapi mereka tidak menyisihkan (untuk fakir miskin dengan mengucapkan, “Insya Allah”) ; Lalu kebun itu ditimpa bencana (yang datang) dari Tuhan-mu ketika mereka sedang tidur ; Maka jadilah kebun itu hitam seperti malam yang gelap gulita, [4] ; lalu pada pagi hari mereka saling memanggil ; “Pergilah pagi-pagi ke kebunmu jika kamu hendak memetik hasil.” ; Maka mereka pun berangkat sambil berbisik-bisik ; “Pada hari ini jangan sampai ada orang miskin masuk ke dalam kebunmu.” ; Dan berangkatlah mereka di pagi hari dengan niat menghalangi (orang-orang miskin) padahal mereka mampu (menolongnya) ; Maka ketika mereka melihat kebun itu, mereka berkata, “Sungguh, kita ini benar-benar orang-orang yang sesat ; bahkan kita tidak memperoleh apa pun.” ; Berkatalah seorang yang paling bijak di antara mereka, “Bukankah aku telah mengatakan kepadamu, mengapa kamu tidak bertasbih (kepada Tuhan-mu). [5] ; Mereka mengucapkan, “Maha Suci Tuhan kami, sungguh, kami adalah orang-orang yang zalim.” ; Lalu mereka saling berhadapan dan saling menyalahkan ; Mereka berkata, “Celaka kita! Sesungguhnya kita orang-orang yang melampaui batas ; Mudah-mudahan Tuhan Memberikan ganti kepada kita dengan (kebun) yang lebih baik daripada yang ini, sungguh, kita mengharapkan ampunan dari Tuhan kita.” ; Seperti itulah azab (di dunia). Dan sungguh, azab akhirat lebih besar sekiranya mereka mengetahui. [6]
Kebun yang dikisahkan dalam ayat ini, pada asalnya adalah pemilik seseorang yang selalu menunaikan hak-hak Allah I dari hasil kebunnya. Maka ketika ia meninggal dunia, kebun itu diwariskan sehingga menjadi milik anak-anaknya, yang ternyata kikir dan tak mau menunaikan hak-hak Allah I untuk berbuat kebajikan kepada sesama. Akhirnya Allah I mengambil karunia nikmat harta tersebut dengan bencana sebagai azab (berupa kebakaran) atas kekikiran mereka.
صحيح البخاري - (ج 20 / ص 79/ح 5965) و صحيح مسلم - (ج 5 / ص 268/ح 1741) و سنن الترمذي - (ج 8 / ص 377/ح 2295) و سنن ابن ماجه - (ج 12 / ص 167/ح 4127) و مسند أحمد - (ج 15 / ص 56/ح 7015) و صحيح ابن حبان - (ج 3 / ص 355/ح 681) : حَدَّ ثَنَا أَحْمَدُ بْنُ يُو نُسَ حَدَّ ثَنَا أَبُو بَكْرٍ حَدَّ ثَنَا أَ بُو حَصِينٍ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَ يْرَ ةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ ) لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَ ةِ الْعَرَضِ وَ لَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ(
Dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam beliau bersabda: ("Bukanlah kekayaan itu karena banyaknya harta, akan tetapi kekayaan itu adalah kayanya hati.")
مسند أحمد - (ج 22 / ص 79/ح 10535) : حَدَّ ثَنَا كَثِيرٌ حَدَّ ثَنَا جَعْفَرٌ قَالَ سَمِعْتُ يَزِيدَ بْنَ اْلأَصَمِّ يَقُولُ قَالَ أَ بُو هُرَ يْرَ ةَ حَدِيثٌ لاَ أَحْسِبُهُ إِلاَّ رَ فَعَهُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ ) لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَ ةِ الْعَرَضِ وَ لَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ وَ اللَّهِ مَا أَخْشَى عَلَيْكُمْ الْفَقْرَ وَ لَكِنْ أَخْشَى عَلَيْكُمْ التَّكَا ثُرَ وَ لَكِنْ أَخْشَى عَلَيْكُمْ الْعَمْدَ(
(HR. AHMAD - 10535) : Abu Hurairah menjelaskan; sebuan hadits yang aku perkirakan dimarfu'kan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: ("Bukanlah yang disebut kaya itu adalah dengan banyaknya harta, namun kaya itu adalah kaya hati. Demi Allah, aku tidak takut kefakiran melanda kalian, tapi yang aku takutkan adalah harta yang melimpah dan ketergantungan kalian.")
Al Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata : “Sesungguhnya sisi kebaikan harta bukan pada dzat harta itu sendiri, melainkan sesuai dengan tindakan yang dilakukan terhadapnya. Walaupun secara umum harta disebut al-khair (kebaikan). Demikian pula orang yang memiliki harta kekayaan yang banyak bukan berarti ia seorang yang kaya dengan sendirinya, melainkan karena tindakan yang ia lakukan terhadap hartanya. Jika jiwanya kaya, niscaya ia tidak akan pernah berhenti mempergunakan harta kekayaan itu, untuk melakukan berbagai bentuk kewajiban dan ibadah pendekatan diri kepada Allah, baik yang hukumnya wajib maupun sunnah. Sebaliknya jika jiwanya miskin ia akan menahan hartanya dan tidak mau membelanjakannya untuk amalan-amalan kebajikan karena khawatir hartanya akan terkuras. Ia sejatinya miskin sekali, sekalipun secara lahiriah tangannya memegang harta kekayaan, karena ia tidak bisa mengambil manfaat dari hartanya tersebut, baik di dunia maupun di akhirat. Bahkan boleh jadi harta tersebut justru menjadi bencana baginya”.
Imam Abu Ubaid Al-Qasim bin Salam (244 H) berkata : “Al –Arudh, adalah fasilitas-fasilitas hidup selain hewan, tanah dan segala barang lainnya yang tidak bisa ditimbang maupun ditakar”. Pendapat tersebut disebutkan pula oleh Al-Qadhi Iyadh bin Musa Al-Yahshibi dan para ulama lainnya.
Imam Ibnu Bathal mengatakan : “Makna hadits ini, bahwa kekayaan sejati tidak terletak pada banyaknya harta kekayaan. Betapa banyak orang yang dikaruniai kelapangan harta kekayaan namun ia tidak qana’ah, puas dengan harta yang telah dikaruniakan kepadanya. Ia terus saja berusaha keras untuk memperbanyak hartanya tanpa memperdulikan harta tersebut ia dapatkan. Ia seakan-akan orang yang miskin, karena begitu besar ketamakannya kepada harta kekayaan. Kekayaan sejati terletak pada kayanya hati, yaitu orang yang merasa cukup, puas dan ridha dengan kekayaan yang dikaruniakan kepadanya. Ia tidak tamak untuk memperbanyak hartanya, juga tak meminta kepada orang lain dengan mendesaknya, maka ia laksana orang yang kaya”.
Imam Abdillah Al Qurthubi berkata : “Makna hadits ini, bahwa kekayaan yang bermanfaat, atau agung, atau terpuji, adalah kekayaan jiwa. Sebab jika jiwanya merasa kaya, ia tidak mempunyai berbagai keinginan, jiwanya merasa mulia dan agung, sehingga fokus untuk meraih kesucian, kemuliaan dan pujian, usahanya lebih mulia melebihi orang-orang yang fokus meraih kekayaan harta semata yang melahirkan ketamakan. Orang yang fokus meraih harta saja, ia akan terseret untuk melakukan hal-hal yang rendah dan hina, akibat dari kerendahan cita-cita dan kekikirannya, maka akan banyak masyarakat yang mencelanya, harga dirinya akan jatuh, dan akhirnya ia menjadi orang yang lebih hina melebihi setiap orang yang hina dan rendah”
Kesimpulannya, orang yang mempunyai sifat kekayaan jiwa akan menjadi orang yang qana’ah, puas dengan rezeki yang dikaruniakan Allah I kepadanya. Ia tidak akan tamak untuk menambah hartanya bila tidak ada sebuah kebutuhan. Ia juga tidak akan meminta-minta kepada orang lain dengan mendesaknya, Ia ridha dengan harta kekayaan yang Allah I bagikan kepadanya. Seakan-akan ia orang yang senantiasa menemukan kekayaan.
Kebalikannya adalah orang yang mempunyai sifat kemiskinan jiwa. Ia tidak pernah puas dengan rezeki yang dikaruniakan kepadanya. Ia akan senantiasa berusaha untuk menambahnya dari jalan manapun. Jika tambahan yang ia usahakan terlepas, ia akan dirundung kesedihan dan penyesalan. Maka ia seolah-olah orang yang kekurangan harta karena tidak merasa cukup dengan apa yang telah dikaruniakan kepadanya. Ia akan nampak seperti bukan orang yang kaya, karena kekayaan jiwa timbul dari sikap yang ridho dengan ketentuan Allah I dan berserah diri kepada urusanNya, karena ia mengetahui bahwa apa yang ada di sisi Allah I lebih baik dan lebih kekal. Iapun berpaling dari ketamakan dan meminta-minta.
Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqolani berkata : “Kekayaan jiwa diraih dengan kekayaan hati, dengan cara membutuhkan Allah I dalam segala urusannya. Ia menyadari sepenuhnya bahwa Allah I adalah dzat yang Maha Memberi, lagi Maha Menahan. Ia Ridho dengan ketetapanNya, bersyukur atas limpahan nikmatNya, dan bersandar kepadaNya tatkala tertimpa kesusahan hidup. Dari hati yang senantiasa membutuhkan Allah I inilah, timbul jiwa yang merasa kaya dan tidak membutuhkan kepada selain Allah I”.[7]
Orang yang tidak mempunyai sifat qonaah bagaikan orang yang makan dan tidak pernah kenyang. Ia senantiasa menginginkan tambahan harta kekayaan. Ia lalai dari syukur nikmat dan ridho dengan takdir.
صحيح البخاري - (ج 20 / ص 70/ح 5960) : حَدَّ ثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ حَدَّ ثَنَا سُفْيَانُ قَالَ سَمِعْتُ الزُّهْرِيَّ يَقُولُ أَخْبَرَ نِي عُرْوَةُ وَ سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ عَنْ حَكِيمِ بْنِ حِزَ امٍ قَالَ ) سَأَ لْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فَأَعْطَانِي ثُمَّ سَأَ لْتُهُ فَأَعْطَانِي ثُمَّ سَأَ لْتُهُ فَأَعْطَانِي ثُمَّ قَالَ هَذَ ا الْمَالُ وَ رُ بَّمَا قَالَ سُفْيَانُ قَالَ لِي يَا حَكِيمُ إِنَّ هَذَا الْمَالَ خَضِرَ ةٌ حُلْوَ ةٌ فَمَنْ أَخَذَ هُ بِطِيبِ نَفْسٍ بُورِكَ لَهُ فِيهِ وَ مَنْ أَخَذَ هُ بِإِشْرَ افِ نَفْسٍ لَمْ يُبَارَ كْ لَهُ فِيهِ وَ كَانَ كَالَّذِي يَأْكُلُ وَ لاَ يَشْبَعُ وَ الْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى(
(HR. BUKHARI - 5960) : Dari Hakim bin Hizam dia berkata; saya meminta sesuatu kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, lalu beliau memberiku, lalu aku meminta lagi dan beliau pun memberiku, lalu aku memintanya lagi dan beliau pun memberiku, kemudian beliau bersabda: "Harta ini." - Sufyan mengatakan - beliau bersabda kepadaku: ('Wahai Hakim, sesungguhnya harta benda ini kelihatan hijau dan manis, barangsiapa mengambilnya dengan cara yang baik dan berjiwa lapang, maka ia akan diberkahi, dan barangsiapa mengambilnya dengan ketamakan, maka ia tidak akan diberkahi, yaitu seperti orang yang makan dan tak pernah kenyang. Dan tangan yang di atas itu lebih baik daripada tangan di bawah (meminta-minta).')
Inilah kekayaan yang sesungguhnya, adapun kaya rupiah, dinar ataupun dirham, itu hanya kekayaan semu!. Bagi orang yang telah Allah kayakan hatinya, seluruh dunia seakan telah berada dalam genggaman tangannya, karena ia telah berhasil meraih perbendaharaan para nabi, dan barangsiapa berhasil meraih perbendaharaan para nabi maka ia adalah orang yang paling kaya!. Itulah dia yang disebut qana’ah, rasa puas diri dengan karunia yang diberikan Allah. Ia adalah perbendaharaan para nabi yang lebih mahal dari emas murni, lebih bermutu dari intan permata.
Dengan qana’ah, seorang muslim menjadi orang yang paling kaya dan paling bahagia. Tanpa qana’ah, seorang muslim adalah orang yang kekurangan dan tidak bahagia, meskipun ia memiliki emas dan perak yang tak terhitung jumlahnya. Orang yang tamak terhadap kekayaan tidak akan pernah mendapatkan kebahagiaan dengan kekayaan. Orang-orang yang bahagia adalah orang yang mempunyai jiwa qana’ah.
صحيح مسلم - (ج 5 / ص 276/ح 1746) و مسند أحمد - (ج 13 / ص 322/ح 6284) و المستدرك على الصحيحين للحاكم - (ج 16 / ص 474/ح 7249) : حَدَّ ثَنَا أَ بُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّ ثَنَا أَ بُو عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْمُقْرِئُ عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي أَ يُّوبَ حَدَّ ثَنِي شُرَ حْبِيلُ وَ هُوَ ابْنُ شَرِيكٍ عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْحُبُلِيِّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ ) قَدْ أَ فْـلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَ رُزِقَ كَفَافًا وَ قَنَّعَهُ اللَّهُ بِمَا آتَاهُ(
Dari Abdullah bin Amru bin Ash bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: ("Sungguh amat beruntunglah seorang yang memeluk Islam dan diberi rizki yang cukup serta qana'ah terhadap apa yang diberikan Allah.")
سنن ابن ماجه - (ج 12 / ص 171/ح 4131) و سنن الترمذي - (ج 8 / ص 344/ح 2268) و صحيح ابن حبان - (ج 3 / ص 339/ح 673) : حَدَّ ثَنَا سُوَ يْدُ بْنُ سَعِيدٍ وَ مُجَاهِدُ بْنُ مُو سَى قَالاَ حَدَّ ثَنَا مَرْوَ انُ بْنُ مُعَاوِيَةَ حَدَّ ثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ أَبِي شُمَيْلَةَ عَنْ سَلَمَةَ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ مِحْصَنٍ اْلأَ نْصَارِيِّ عَنْ أَبِيهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ ) مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ مُعَافًى فِي جَسَدِهِ آمِنًا فِي سِرْ بِهِ عِنْدَ هُ قُوتُ يَوْ مِهِ فَكَأَ نَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّ نْيَا(
Dari Salamah bin 'Ubaidullah bin Mihshan Al Anshari dari Ayahnya dia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: ("Barangsiapa di pagi hari tubuhnya sehat, aman jiwanya dan memiliki makanan pokok pada hari itu, maka seolah-olah dunia telah dihimpun untuknya.")
Imam Abu Ubaidullah Qurthubi berkata :”Allah I mengumpulkan dalam diri nabiNya tiga kondisi : kemiskinan, kekayaan dan kecukupan. Kondisi pertama adalah awal kehidupan beliau, maka beliau menunaikan kewajiban kondisi tersebut dengan melakukan mujahadah an-nafs, berjuang melawan hawa nafsu. Kemudian terjadi berbagai kemenangan dan penaklukan wilayah, maka beliau terhitung dalam golongan orang-orang yang kaya inilah kondisi kedua. Beliau menunaikan kewajiban kondisi ini dengan menunaikan sedekah kepada orang yang berhak menerimanya, menyantuni orang-orang lemah, lebih mengutamakan kebutuhan orang lain, dan membatasi diri sebatas kekayaan yang mencukupi kebutuhan primer keluarga beliau. Inilah bentuk kecukupan beliau yang beliau amalkan sampai wafat, dan kita sebut kondisi ketiga. Kecukupan adalah kondisi yang selamat dari kekayaan (yang mengakibatkan tindakan) melampaui batas dan kemiskinan yang menyakitkan. Pelakunya terhitung dalam golongan orang-orang yang miskin, karena ia tidak bermewah-mewahan dengan kenikmatan hidup duniawi. Ia bahkan berjuang melawan hawa nafsunya untuk bersabar agar tidak menginginkan kadar yang berlebihan dari sekedar terpenuhinya kebutuhan hidup. Tiada yang membedakan dirinya dengan kondisi kemiskinan, selain ia selamat dari desakan kebutuhan primer hidup yang tidak terpenuhi dan hinanya meminta-minta.”
Imam Yahya bin Syaraf an-Nawawi menjelaskan makna hadits Abdullah bin Amru t diatas dengan mengatakan : “Dalam hadits ini ada keutamaan sifat-sifat ini. Yang dimaksud dengan Al-Kafaf adalah kecukupan, tidak lebih dan tidak kurang”.
Imam Abu Ubaidullah Qurthubi berkata : “Al-Kafaf adalah apa yang memenuhi kebutuhan sekunder dan mencukupi kebutuhan primer, tanpa menyampaikan diri kepada golongan orang-orang yang bermewah-mewahan. Makna hadits ini bahwa orang yang mempunyai sifat-sifat ini berarti telah meraih keinginan dan kebutuhan hidupnya baik di dunia maupun di akhirat”. [8]
Dan inilah kehidupan keluarga Rasulullah r sebagaimana tersebut dalam doa yang selalu beliau panjatkan.
صحيح البخاري - (ج 20 / ص 95/ح 5979) : حَدَّ ثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ حَدَّ ثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ فُضَيْلٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عُمَارَ ةَ عَنْ أَبِي زُرْعَةَ عَنْ أَبِي هُرَ يْرَ ةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ ) اللَّهُمَّ ارْزُقْ آلَ مُحَمَّدٍ قُوتًا(
(HR. BUKHARI - 5979) : Dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu dia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: ("Ya Allah, jadikanlah rizki atas keluarga Muhammad adalah makanan pokok sehari-hari")
Imam Abu Ubaidullah Qurthubi berkata : “Maknanya cukupilah mereka dengan makanan pokok yang tidak memaksa mereka kepada hinanya meminta-minta, kalaupun diberikan kelebihan harta tidak membuat mereka untuk hidup mewah dan berlebihan dalam hal keduniaan. Dalam hadits ini ada argumen bagi para ulama yang berpendapat bahwa kecukupan adalah lebih utama, karena nabi berdoa untuk diri dan keluarga beliau dengan memohon keadaan yang paling utama. Dan Rasulullah r pernah bersabda : “Sebaik-baiknya urusan adalah yang pertengahan”. [9]
Imam Ibnu Bathal berkata : “Dalam hadits ini ada dalil atas keutamaan al-kafaf, kecukupan dan mengambil kekayaan dunia sebatas kebutuhan yang menyampaikannya ke akhirat. Dalam hadits ini juga disebutkan keutamaan zuhud, tidak mengejar harta yang melebihinya demi mengharap kesempurnaan nikmat di akhirat kelak, dan sebagai bentuk mengutamakan kenikmatan yang kekal atas kenikmatan yang tidak kekal dan pasti binasa. Maka sudah selayaknya apabila umat beliau mengambil suri tauladan beliau dalam masalah ini”.
Imam Al Qurthubi berkata : “Makna hadits ini adalah beliau memohon kecukupan, karena makna Al-Quut adalah kecukupan gizi makanan yang diberikan kepada badan dan mencukupi kebutuhan hidup. Dalam keadaan inilah terdapat keselamatan dari bencana-bencana akibat kekayaan maupun kemiskinan”. [10]
[1] Faiz Abdurrahman Al Fauzan, Menjadi Jutawan Dunia Akhirat, roemah buku , cetakan 1, Desember 2007, Solo.
[5] Mensyukuri nikmat-Nya dan tidak meniatkan sesuatu yang bertentangan dengan perintah Allah seperti: meniatkan tidak akan memberi fakir miskin.
[6] Allah Menerangkan, Dia Menguji penduduk Mekah dengan Menganugerahi nikmat yang banyak guna mengetahui bersyukur tidaknya mereka, seperti Allah telah Menguji para pemilik kebun. Akhirnya pemilik kebun insaf dan bertobat kepada Allah. Demikian pula penduduk Mekah yang kemudian insaf dan masuk Islam berbondong-bondong setelah penaklukan Mekah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar