Al Qur'an

يَا بُنَيَّ أَقِمِ الصَّلاَ ةَ وَ أْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَ انْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَ اصْبِرْ عَلَى مَا أَصَا بَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ اْلأُمُور [لقمان/17]

Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). (QS. Lukmaan (31) : 71

SILAHKAN DISEBARKAN

SILAHKAN DIPERBANYAK / DISEBARKAN DENGAN COPY PASTE ASAL SEBUTKAN SUMBERNYA, TERIMA KASIH

Sabtu, 05 Februari 2011

Risalah Nikah (Menuju Keluarga Yang Diridhai dan Dicintai Allah) (Bagian 2)



2. Anjuran Nikah dan Status Hukum Nikah

Status Hukum Nikah


v Berhukum Wajib

فقه السنة - (ج 2 / ص 15) : الزواج الواجب : يجب الزواج على من قدر عليه و تاقت نفسه إليه و خشي العنت. لا ن صيانة النفس و إعفافها عن الحرام واجب، و لا يتم ذلك إلا بالزواج. قال القرطبي : المستطيع الذي يخاف الضرر على نفسه و دينه من العزوبة لا يرتفع عن ذلك إلا بالتزوج، لا يختلف في وجوب التزويج عليه. فإن قلت نفسه إليه و عجز عن الانفاق على الزوجة فانه يسعه قول الله تعالى : ( و ليستعفف الذين لا يجدون نكاحا حتى يغنيهم الله من فضله).و ليكثر من الصيام، لما رواه الجماعة عن ابن مسعود رضي الله عنه : ان رسول الله صلى الله عليه و سلم قال : (يا معشر الشباب، من استطاع منكم الباءة فليتزوج، فإنه أغض للبصر وأحصن للفرج، ومن لم يستطع فعليه بالصوم، فإنه له وجاء).

Dalam Fiqih Sunnahnya Sayid Sabiq : Bagi yang sudah mampu kawin, nafsunya telah mendesak dan takut terjerumus kedalam perzinahan maka wajib bagi dia untuk kawin. Karena menjauhkan diri dari yang haram adalah wajib, sedangkan untuk menghindari hal itu tidak dapat dilakukan dengan baik / sempurna kecuali dengan jalan kawin. Imam Qurtubiy berkata : "Seorang bujangan yang sudah mampu kawin dan takut dirinya dan agamanya jadi rusak, sedangkan tidak ada jalan untuk menyelamatkan diri kecuali dengan kawin, maka tak ada perselisihan pendapat tentang wajibnya ia kawin. Jika nafsunya telah mendesaknya, sedangkan ia tidak mampu membelanjai istrinya maka Allah I nanti akan melapangkan rizkinya, seperti firman Allah I dibawah ini :

وَ لْـيَسْـتــَعْفِفِ الَّذِ ينَ لاَ يَجِدُونَ نِكَاحًا حَـتَّى يُـغْـنِـيَـهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ [النور/33]

Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri) nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. (QS. An-Nuur (24) : 33)

Hendaklah orang yang seperti ini banyak berpuasa, sebagaimana keterangan hadits jama'ah dibawah ini :

صحيح مسلم - (ج 7 / ص 174/ح 2386) و صحيح البخاري - (ج 15 / ص 496/ح 4677) و سنن النسائي - (ج 10 / ص 301/ح 3158) و سنن ابن ماجه - (ج 5 / ص 438/ح 1835) و مسند أحمد - (ج 7 / ص 446/ح 3411) و سنن الدارمي - (ج 6 / ص 421/ح 2220) و مستخرج أبي عوانة - (ج 8 / ص 267/ح 3238) و مسند أبي يعلى الموصلي - (ج 10 / ص 455/ح 5069) و سنن سعيد بن منصور - (ج 2 / ص 13/ح 472) : حَدَّ ثَنَا أَ بُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَ أَ بُو كُرَ يْبٍ قَالاَ حَدَّ ثَنَا أَ بُو مُعَاوِيَةَ عَنِ اْلأَعْمَشِ عَنْ عُمَارَ ةَ بْنِ عُمَيْرٍ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ يَزِيدَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ قَالَ اِ نَّ رَ سُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ ) يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَ ةَ فَـلْيَتَزَوَّ جْ فَإِ نَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَ أَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَ مَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِ نَّهُ لَهُ وِجَاءٌ (

Hadits dari Abdullah Ibnu Mas'ud t, ia berkata, sesungguhnya Rasulullah r bersabda : "Hai golongan pemuda!. Bila diantara kamu ada yang mampu untuk menikah maka menikahlah, karena nanti matanya akan lebih terjaga dan kemaluannya akan lebih terpelihara. Dan bilamana ia belum mampu menikah, hendaklah ia berpuasa, karena puasa itu ibarat pengebiri (perisai)".

Menurut Miftah Faridl : Wajib artinya perintah untuk dilakukan dan dosa kalau ditinggalkan yaitu bagi seseorang yang sudah mempunyai calon (suami/istri) dan sanggup memberi nafkah lahir dan bathin serta takut terjerumus berbuat dosa (zinah) kalau tidak melaksanakan nikah [1].


v Berhukum Sunnah

فقه السنة - (ج 2 / ص 16) : الزواج المستحب : أما من كان تائقا له و قادرا عليه و لكنه يأمن على نفسه من اقتراف ما حرم الله عليه الزواج يستحب له، و يكون أولى من التخلي للعبادة، فإن الرهبانية ليست من الاسلام في شئ. ر وى الطبر اني عن سعد بن أبي وقاص أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال : ( إن الله أبدلنا بالرهبا نية الحنيفية السمحة). وروى البيهقي من حديث أبي أمامة : أن النبي صلى الله عليه وسلم قال : ( تزوجوا فإني مكاثر بكم الامم، و لا تكونوا كرهبانية النصارى). و قال عمر لابي الزوائد: إنما يمنعك من التزوج عجز أو فجور. وقال ابن عباس : لا يتم نسك الناسك حتى يتزوج.

Dalam Fiqih Sunnahnya Sayid Sabiq : Adapun bagi orang yang nafsunya telah mendesak lagi mampu kawin, tetapi masih dapat menahan dirinya dari berbuat zinah, maka sunnahlah bagi dia untuk kawin. Kawin baginya lebih utama daripada tekun rajin beribadah selain kawin, karena menjalani hidup sebagai pendeta sedikitpun tidak dibenarkan didalam Islam. Thabraniy meriwayatkan dari Sa'ad bin Abi Waqash t bahwa Rasulullah r bersabda :

إِ نَّ اللهَ أَ بْدَ لَنَا بِــِا لرَّ هْبَانــِيَّةِ اْلحَنِيْفِيَّةَ السَّمْحَةَ

"Sesungguhnya Allah menggantikan cara kependetaan dengan cara yang lurus lagi ramah (kawin) kepada kita".

Baihaqy meriwayatkan hadits dari Abu Umamah t bahwa nabi r bersabda :

تـَزَوَّجُوْا فـَـإِ نــِّي مُكَاثـِرٌ بِكُمُ اْلاُ مَمَ، وَ لاَ تَكُوْ نـــُوْا كَرُهْبَانِـيَّـةِ النَّـصَارَى

"Kawinlah kalian. Karena aku akan membanggakan banyaknya jumlah kalian pada umat-umat lain. Dan janganlah kalian seperti pendeta-pendeta Nasrani".

Umar bin Khatab t berkata kepada Abu Zawaaid : "Kamu tidak mau kawin karena jiwamu yang lemah atau karena kedurhakaanmu saja?". Ibnu Abbas t berkata : "Ibadah seseorang belumlah sempurna, sebelum ia kawin".

Menurut Miftah Faridl : Sunnah artinya anjuran untuk dilakukan walaupun tidak dosa kalau tidak dilakukan, yaitu bagi mereka yang sudah mempunyai calon (suami/istri) dan sanggup memberikan nafkah lahir dan bathin tetapi tidak akan terjun berbuat dosa (zinah) kalau tidak melaksanakan nikah [2].


v Berhukum Haram

فقه السنة - (ج 2 / ص 17) : الزواج الحرام : و يحرم في حق من يخل بالزوجة في الوطء و الانفاق، مع عدم قدرته عليه و توقانه إليه. قال الطبري : فمتى علم الزواج أنه يعجز عن نفقة زوجته، أو صداقها أو شئ من حقوقها الواجبة عليه، فلا يحل له أن يتزوجها حتى يبين لها، أو يعلم من نفسه القدرة على أداء حقو قها. و كذلك لو كانت به علة تمنعه من الاستمتاع، كان عليه أن يبين كيلا يغر المرأة من نفسه. و كذلك لا يجوز أن يغرها بنسب يدعيه و لا مال و لا صناعة يذكرها و هو كاذب فيها. و كذلك يجب على المرأة إذا علمت من نفسها العجز عن قيامها بحقوق الزوج، أو كان بها علة تمنع الاستمتاع ، من جنون، أو جذام، أو برص، أو داء في الفرج، لم يجز لها أن تغره، و عليها أن تبين له ما بها في ذلك. كما يجب على بائع السلعة أن يبين ما بسلعته من العيوب. و متى و جد أحد الزوجين بصاحبه عيبا فله الرد. فإن كان العيب بالمرأة ردها الزوج و أخذ ما كان أعطاها من الصداق. و قد روي أن النبي صلى الله عليه و سلم تزوج امرأة من بني بياضة فوجد بكشحها برصا فردها و قال : (د لستم علي).

Dalam Fiqih Sunnahnya Sayid Sabiq : Bagi seseorang yang tidak mampu memenuhi nafkah lahir dan bathinnya kepada pasangannya serta nafsunya tidak mendesak, maka diharamkan ia kawin. Thabariy berkata : "Bila seorang lelaki dengan sadar tidak mampu membelanjai pasangannya atau membayar maharnya atau memenuhi hak pasangannya, maka ia tidak diperbolehkan kawin, sebelum ia dengan terus terang menjelaskan keadaannya kepada pasangannya, atau sampai datang saatnya ia mampu memenuhi hak-hak pasangannya. Begitu pula kalau karena sesuatu hal ia menjadi lemah, tidak mampu menggauli pasangannya, maka wajiblah ia menerangkan dengan terus terang, agar wanita calon pasangannya tidak merasa tertipu olehnya". Juga si lelaki tidak boleh berbohong / mengecoh dengan menyebutkan keturunan, harta dan pekerjaannya secara palsu. Sebaliknya pula bagi perempuan bila ia sadar dirinya tidak mampu untuk memenuhi hak-hak pasangannya, atau ada hal-hal yang menyebabkan dia tidak bisa melayani kebutuhan batinnya, karena sakit jiwa, kusta, atau mukanya bopeng atau penyakit lain pada kemaluannya maka ia tidak boleh mendustainya, tetapi wajiblah ia menerangkan semuanya itu kepada pasangannya atau calon pasangannya. Ibaratnya seperti seorang pedagang yang wajib menerangkan keadaan barang-barangnya bilamana ada aibnya. Bila ternyata salah satu pasangan mengetahui aib pada lawannya, maka ia berhak membatalkan. Jika yang aib perempuannya, maka suaminya boleh membatalkannya dan dapat mengambil kembali maharnya yang diberikannya. Lihat riwayat hadits dibawah ini :

و قد روي أن النبي صلى الله عليه و سلم تــَزَ وَّجَ اِمْرَ أَ ةً مِنْ بَنِيْ بَيَاضَةَ فَوَجَدَ بِكَشْحِهَا بَرَصًا فَرَدَّهَا وَ قَالَ دَ لَسْتُمْ عَلَيَّ

Dan sungguh dalam suatu riwayat Nabi r mengawini seorang perempuan dari Bani Bayadhah yang kemudian diketahui ditubuhnya berpenyakit (seperti burik dan kusta), lalu beliau r batalkan, seraya bersabda : "Kalian semua (Orang-orang Bani Bayadhah) telah menipu saya".

سبل السلام - (ج 5 / ص 15/ح 948) : وَ عَنْ زَ يْدِ بْنِ كَعْبِ بْنِ عُجْرَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ : ) تَزَ وَّ جَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ الْعَالِيَةَ مِنْ بَنِي غِفَارٍ ، فَلَمَّا دَخَلَتْ عَلَيْهِ وَ وَضَعَتْ ثِيَا بَهَا ، رَ أَى بِكَشْحِهَا بَيَاضًا ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ : الْبَسِي ثِيَا بَك ، وَ الْحَقِي بِأَهْلِك ، وَ أَمَرَ لَهَا بِالصَّدَ اقِ ( رَوَاهُ الْحَاكِمُ

Dari Zaid bin Ka'ab bin Ajrah dari ayahnya yang berkata : Rasulullah r menikahi 'Aliyah dari Bani Ghafar. Ketika beliau mengunjunginya dan ia melepaskan pakaiannya, beliau melihat warna putih pada iganya, maka beliau r berkata : "Kenakan pakaianmu dan kembalilah kepada keluargamu". Dan beliau memerintahkan agar kepadanya diberikan (dikembalikan) maharnya.

Menurut Miftah Faridl : Pernikahan itu haram artinya perintah untuk ditinggalkan (terlarang) untuk dilakukan dan dosa kalau melakukannya, yaitu bagi mereka yang berniat jahat dalam melaksanakan pernikahannya seperti bermaksud menyakiti pasangannya atau keluarganya [3].


v Berhukum Makruh

فقه السنة - (ج 2 / ص 18) : الزواج المكروه : و يكره في حق من يخل بالزوجة في الوطء و الانفاق، حيث لا يقع ضرر بالمرأة، بأن كانت غنية و ليس لها رغبة قوية في الوطء. فان انقطع بذلك عن شئ من الطاعات أو الاشتغال بالعلم اشتدت الكراهة.

Dalam Fiqih Sunnahnya Sayid Sabiq : Makruh kawin bagi seseorang yang lemah syahwat dan tidak mampu memberi belanja pasangannya, walaupun tidak merugikan pasangan, karena ia kaya dan tidak mempunyai keinginan syahwat yang kuat. Juga bertambah makruh hukumnya jika karena penyakit lemah syahwat itu ia berhenti melakukan sesuatu ibadah atau menuntut suatu ilmu.

Menurut Miftah Faridl : Pernikahan itu makruh, artinya anjuran untuk ditinggalkan tetapi tidak berdosa kalau dilakukan seperti bagi seseorang yang tidak berhajat sama sekali untuk menikah dan tidak percaya pada dirinya untuk dapat melaksanakan ketentuan nikah serta tanpa nikahpun tidak akan berbuat zinah [4].


v Berhukum Mubah

فقه السنة - (ج 2 / ص 18) : الزواج المباح : و يبا ح فيما إذا انتفت الدو اعي و الموانع.

Dalam Fiqih Sunnahnya Sayid Sabiq : Bagi laki-laki yang tidak terdesak oleh alasan-alasan yang mewajibkan segera kawin atau karena alas an-alasan yang mengharamkan untuk kawin, maka hukumnya mubah.

Begitu pula dengan uraian yang sama seeperti Sayid Sabiq menurut pendapat H.S.A Alhamdani [5].


Status Hukum Larangan Membujang Bagi Orang Yang Mampu Menikah

Islam melarang hidup membujang, yaitu enggan untuk menikah padahal dia mampu dengan maksud untuk tekun ibadah, menjauhkan diri dari kesenangan dunia dan menghindarkan diri dari kewajiban mengasuh anak dan kepentingan-kepentingan lainnya yang bersangkutan dengan keluarga.

فقه السنة - (ج 2 / ص 18) : رواه الطبراني : عَنْ اِ بْنُ عَبَّاسٍ ) أَنَّ رَجُلاً شَكَا إِلَى رسول الله صلى الله عليه و سلم اَ لْعُزُ وْ بَةَ فَقَالَ : أَلاَ أَخْتَصِيْ ؟ فَقَالَ : (لَيْسَ لَنَا مَنْ خَصَى أَوْ اِخْتَصَى(.

Hadits Riwayat Thabraniy dari Ibnu Abbas ia berkata : Seorang lelaki datang kepada Rasulullah r menanyakan tentang membujang. Tanyanya : "Bolehkah saya berkebiri?". Jawabnya : "Bukanlah umatku orang yang mengebiri dan yang minta dikebiri".

صحيح البخاري - (ج 16 / ص 10/ح 4685) و صحيح مسلم - (ج 7 / ص 176/ح 2488) و سنن الترمذي - (ج 4 / ص 258/ح 1003) و سنن ابن ماجه - (ج 5 / ص 442/ح 1838) و مسند أحمد - (ج 4 / ص 13/ح 1503) و مستخرج أبي عوانة - (ج 8 / ص 270/ح 3240) و مسند أبي يعلى الموصلي - (ج 2 / ص 264/ح 757) و البحر الزخار ـ مسند البزار - (ج 3 / ص 296/ح 956) و مسند سعد بن أبي وقاص - (ج 1 / ص 102/ح 92) : حَدَّ ثَنَا أَحْمَدُ بْنُ يُونُسَ حَدَّ ثَنَا إِبْرَ اهِيمُ بْنُ سَعْدٍ أَخْبَرَ نَا ابْنُ شِهَابٍ سَمِعَ سَعِيدَ بْنَ الْمُسَيَّبِ يَقُولُ سَمِعْتُ سَعْدَ بْنَ أَبِي وَ قَّاصٍ يَقُولُ ) رَدَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ عَلَى عُثْمَانَ بْنِ مَظْعُونٍ التَّبَتُّلَ وَ لَوْ أَذِنَ لَهُ َلاَ خْتَصَيْنَا (

Dari Sa'ad bin Abi Waqash t berkata : Rasulullah r menolak Utsman bin Madz'un t untuk membujang. Andaikata dia dibolehkan membujang, tentu (kami para sahabat) akan berkebiri saja.

Dari hadits diatas Sa'ad bin Abi Waqash t memerangkan bahwa membujang itu benar-benar dilarang oleh Nabi r, karena kalau diijinkan maka para sahabat sekarang sudah pada berkebiri. Dan membujang yang dimaksud oleh Utsman bin Madz'un ialah mengharamkan dirinya untuk kawin, memakai wangi-wangian dan mengharamkan pula menikmati segala kenikmatan hidup. Dalam hubungan dengan hal ini maka turunlah ayat berikut :

يَا أَ يُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لاَ تُحَرِّمُوا طَيِّبَاتِ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكُمْ وَ لاَ تَعْتَدُوا إِنَّ اللَّهَ لاَ يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ [المائدة/87]

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (QS. Al Maidah (5) : 87)

Orang yang membujang, berbuat seperti rahib dan tidak mau kawin berarti mengharamkan apa yang telah dihalalkan oleh Allah, dan Rasulullahpu menegaskan pula tidak ada kerahiban didalam Islam, Thabraniy meriwayatkan dari Sa'ad bin Abi Waqash t bahwa Rasulullah r bersabda :

إِ نَّ اللهَ أَ بْدَ لَنَا بِــِا لرَّ هْبَانــِيَّةِ اْلحَنِيْفِيَّةَ السَّمْحَةَ

"Sesungguhnya Allah menggantikan cara kependetaan dengan cara yang lurus lagi ramah (kawin) kepada kita".

Baihaqy meriwayatkan hadits dari Abu Umamah t bahwa nabi r bersabda :

تـَزَوَّجُوْا فـَـإِ نــِّي مُكَاثـِرٌ بِكُمُ اْلاُ مَمَ، وَ لاَ تَكُوْ نـــُوْا كَرُهْبَانِـيَّـةِ النَّـصَارَى

"Kawinlah kalian. Karena aku akan membanggakan banyaknya jumlah kalian pada umat-umat lain. Dan janganlah kalian seperti pendeta-pendeta Nasrani".

Ada salah pemahaman dari orang-orang yang membujang karena mereka berpegang kepada hadits maudhu (palsu) seperti hadits-hadits dibawah, yang tidak jelas keabsahan periwayatnya dan dari kabar yang sanadnya kadang-kadang ganjil dengan isi hadits yang menyesatkan :

صحيح وضعيف الجامع الصغير - (ج 14 / ص 461/ح 6664) : خَيْرُ كُمْ فِي اْلِمِائَـتَيْنِ كُلِّ خَفِيْفٌ اْلحَاذُّ الَّذِ ي لاَ أَهْلَ لَهُ وَ لاَ وَ لَدٌ .

تخريج السيوطي : عن حذيفة , تحقيق الألباني ( موضوع )

"Sebaik-baik kamu di masa 200 tahun mendatang (sejak masa nabi) yaitu orang-orang yang ringan, tidak beristri dan tidak punya anak".

Ditahrij oleh Asy-Syuyuthiy dari Hudaifah, Ditahkik oleh Al Albaniy bahwa hadits tersebut Maudhu (palsu) yang tidak pernah disabdakan Rasulullah r dan disinyalir disebarkan oleh musuh-musuh Islam supaya orang muslim tidak berkembang dan bertambah kuat, tetapi dikebiri dengan dalil hadits palsu ini.

المحلى - (ج 9 / ص 440) : من طريق حذيفة أنه قال : إِذَ ا كَانَ سَنَةُ خَمْسَ وَ مِا ئَةٍ فَلَاَنْ يُرَ بــِّى أَحَدُ كُمْ جُرْوَ كَلْبٍ خَيْرٌ مِنْ أَنْ يُرَ بــِّىَ وَ لَدًا

"Bila tiba tahun 150, orang yang mengasuh anak anjing akan lebih baik daripada mengasuh (memelihara) anak".

Begitu pula dengan hadits yang kedua ini, betapa isi haditsnya tidak mencerminkan akhlak Rasulullah r, dan bertentangan dengan hadits yang menyuruh kawin dan memperbanyak keturunansupaya bisa dibanggakan jumlahnya serta kualitas kekuatan, dan bertentangan pula dengan perintah Allah I dalam QS Al Maidah ayat 87 diatas. Sayangnya sampai saat ini masih banhyak dari orang yang mengaku sufi-sufian memakai dalil ini yang tidak jelas, mereka tersesat karena tidak mengetahui ilmu hadits dengan baik dan benar.

Kawin adalah suatu keharusan bagi manusia, dan perkara ini tidak dapat diabaikan begitu saja. Orang yang tidak mau kawin atau enggan kawin dikarenakan tidak dapat memenuhi nafkah, seperti makan sehari-hari, pakaian, tempat tinggal dan sebagainya atau karena lemah phisiknya atau karena sakit sehingga tidak dapat menunaikan kewajiban biologisnya atau karena sebab lain yang memaksanya menghindari kawin. Apabila tidak kawin dengan sebab-sebab diatas tidaklah tercela tetapi enggan kawin dengan niat tidak baik, atau untuk mengelak dari tugas hidup dan tidak mau berketurunan, inilah yang tercela dan menyia-nyiakan hidupnya di dunia, yang berarti menentang fitrah Allah I yang telah menetapkan adanya perkawinan, dan kawin adalah sunnah yang fitrah sesuai naluri manusia [6].


Status Hukum Pernikahan Yang Dibatalkan oleh Islam

Ada beberapa bentuk perkawinan yang dibatalkan di dalam masyarakat Arab Jahiliyah setelah datangnya Islam, yaitu :

1. فقه السنة - (ج 2 / ص 8) : نكاح الخدن : كانوا يقولون : ما استتر فلا بأس به و ما ظهر فهو لؤم. و هو المذكور في قو ل الله تعالى : (و لا متخذات أخدان).

1. Nikah Al Khindn atau disebut pergundikan, pergundikan ini selama dilakukan secara tersembunyi, masyarakat tidak menganggap apa-apa, tetapi kalau dilakukan terang-terangan dianggap tercela. Perkawinan semacam ini seperti yang disebutkan dalam firman Allah :

وَ لاَ مُتَّخِذَ اتِ أَخْدَ انٍ [النساء/25]

dan bukan (pula) perempuan-perempuan yang mengambil upah (gundik)

2. فقه السنة - (ج 2 / ص 8) : نكاح البدل : و هو أن يقول الرجل للرجل : أنزل لي عن امرأتك و أنزل لك عن امر أتي و أزيدك.

2. Nikah Badal atau tukar istri/suami istilah modern adalah swinger atau tukar pasangan, jika seorang laki-laki mengatakan kepada temannya : Ambillah istriku dan kuambil istrimu dengan kutambah sekian. Bahkan untuk zaman sekarang ini mereka bertukar pasangan untuk sementara waktu tidak lagi tukar tambah seperti zaman dulu, dan mereka kembali lagi kerumahnya masing-masing sesuai pasangan asalnya setelah berpesta pora dihotel yang ditentukan dengan keanggotaan yang tetap dan diatur oleh EO (Event Organizer) yang terkenal dikalangan mereka sendiri.

3. فقه السنة - (ج 2 / ص 8) : رواه الدار قطني عن أبي هرير ة بسند ضعيف جدا. و ذكرت عائشة غير هذين النوعين فقالت : كان النكاح في الجاهلية على أربعة أنحاء : (1) نكاح الناس اليوم : يخطب الرجل إلى الرجل و ليته أو ابنته، فيصدقها ثم ينكحها. (2) و نكاح آخر : كان الرجل يقول لامرأته إذا طهرت من طمثها، أرسلي إلى فلان فاستضعي منه ، ويعتزلها زوجها حتى يتبين حملها.فإذا تبين، أصاب إذا أحب. و إنما يفعل ذلك رغبة في نجابة الولد. ويسمى هذا النكاح الاستبضاع. (3) ونكاح آخر : يجتمع الرهط (ما دون العشرة) على المرأة فيد خلون، كلهم يصيبها، فإذا حملت و وضعت، ومر عليها ليال، أرسلت إليهم، فلم يستطع رجل منهم أن يمتنع، حتى يجتمعوا عندها، فتقول لهم : قد عرفتم ما كان من أمركم، و قد ولدت، فهو ابنك يا فلان، تسمي من أحبت باسمه فيلحق به ولدها، لا يستطيع أن يمتنع منه الرجل. (4) و نكاح رابع : يجتمع ناس كثير، فيد خلون على المرأة لا تمتنع ممن جاءها و هن البغايا ينصبن على أبو ابهن رايات تكون علما، فمن أرادهن دخل عليهن. فإذا حملت إحدا هن و وضعت، جمعوا لها، و دعوا لهم القافة ثم ألحقوا ولدها بالذي يرون، فالتاط به و دعي ابنه، لا يمتنع من ذلك. فلما بعث محمد صلى الله عليه وسلم بالحق، هدم نكاح الجاهلية إلا نكاح الناس اليوم. وهذا النظام الذي أبقى عليه الاسلام، لا يتحقق إلا بتحقق أركانه من الايجاب والقبول، وبشرط الاشهاد. وبهذا يتم

العقد الذي يفيد حل استمتاع كل من الزوجين بالاخر على الوجه الذي شرعه الله.وبه تثبت الحقوق والواجبات التي تلزم كلا منها

3. Daruquthniy meriwayatkan dari Abu Hurairah t dengan sanad yang lemah, ia menerangkan bahwa 'Aisyah t menyebutkan bentuk perkawinan lain, selain daru dua macam perkawinan yang tersebut diatas. Katanya : "Perkawinan di jaman jahiliyah itu ada 4 macam, yaitu ;

(1) Perkawinan Pinang ; Seorang lelaki meminang melalui seorang lelaki yang menjadi wali atau anak perempuannya sendiri secara langsung menerima pinangan, lalu ia berikan maharnya, kemudian menikahinya.

(2) Perkawinan Istibdha', atau perkawinan pinjam (gadai) ; Seorang suami berkata kepada istrinya sesudah ia bersih dari haidnya : "Pergilah kepada si fulan untuk berkumpul dengannya". Sedangkan suaminya sendiri berpisah dari istrinya sampai ternyata istrinya hamil oleh si fulan. Sesudah hamil sang suami dapat mengumpulinya jika mau dan suka. Perkawinan seperti ini dilakukan untuk mendapatkan keturunan yang pandai. Perkawinan ini disebut juga "perkawinan untuk mencari bibit unggul".

(3) Sejumlah orang laki-laki (dibawah 10 orang) secara bersama-sama mengumpuli seorang perempuan ; Jika nantinya ia hamil dan melahirkan setelah berlalu beberapa malam ia kirimkan anak itu kepada salah seorang diantara mereka, dan si lelaki tidak dapat menolaknya, sampai akhirnya mereka dikumpulkan di rumah wanita tersebut, dan wanita itu berkata kepada mereka yang mengumpulinya : "Kalian telah tahu masalahnya. Saya telah melahirkan nak ini. Dan hai fulan, anak ini adalah anakmu", ia sebut nama lelaki yang ia cintai, lalu anaknya dinisbatkan sebagai keturunan dari si lelaki tersebut, dan lelaki yang disebut tidak boleh menolaknya.

(4) Perempuan-perempuan yang tidak menolak untuk digauli oleh banyak lelaki ; Mereka ini disebut pelacur, didepan rumah-rumah mereka dipasang bendera, siapapun boleh masuk. Bila salah satu diantaranya ada yang hamil, semua laki-laki yang pernah datang kepadanya disuruh berkumpul dan memanggil seorang dukun ahli firasat untuk meneliti anak siapa dia, lalu diberikanlah kepada laki-laki yang serupa dengannya dan tidak boleh menolak.

Sesudah Nabi Muhammad r menjadi Rasul semua bentuk perkawinan tersebut dihapus, kecuali kawin pinang saja. Perkawinan yang masih tetap dilaksanakan oleh Islam ini hanya sah, bilamana rukun-rukunnya seperti ijab qabul dan kehadiran para saksi dipenuhi. Dengan terpenuhinya rukun-rukunnya, maka aaqad yang menghalalkan suami istri hidup bersenang-senang sebagaimana ditentukan Islam menjadi sah. Dan selanjutnya masing-masing suami- istri punya tanggung jawab dan hak-hak yang lazim.



[1] Drs Miftah Faridl, Keluarga Bahagia – Peraturan dan Pembinaan Keluarga, Halaman 4, Pustaka, 1406 H-1986 M, Cetakan II, Bandung

[2] Drs Miftah Faridl, Keluarga Bahagia – Peraturan dan Pembinaan Keluarga, halaman 5, Pustaka, 1406 H-1986 M, Cetakan II, Bandung

[3] Drs Miftah Faridl, Keluarga Bahagia – Peraturan dan Pembinaan Keluarga, halaman 5, Pustaka, 1406 H-1986 M, Cetakan II, Bandung

[4] Drs Miftah Faridl, Keluarga Bahagia – Peraturan dan Pembinaan Keluarga, halaman 5, Pustaka, 1406 H-1986 M, Cetakan II, Bandung

[5] HSA Alhamdani , Risalah Nikah – Hukum Perkawinan Islam, halaman 20,Pustaka Amani, 1989, Cetakan III, Jakarta.

[6] HSA Alhamdani , Risalah Nikah – Hukum Perkawinan Islam, halaman 21,Pustaka Amani, 1989, Cetakan III, Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar