1. An-Najasah (النجاسة), Perihal Najis
a. Pengertian najis dan macamnya
Najis adalah kotoran dimana setiap muslim wajib mensucikan diri dari kotoran tersebut dan mensucikan apa yang terkena kotoran tersebut. Firman Allah I :
وَ ثِيَا بَكَ فَطَهِّرْ [المدثر/4]
dan bersihkanlah pakaianmu, (QS Al Mudatsir (74) : 4)
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّ ابِينَ وَ يُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ [البقرة/222]
Sungguh, Allah Menyukai orang yang tobat dan Menyukai orang yang menyucikan diri. (QS Al Baqarah (2) : 222)
صحيح مسلم - (ج 2 / ص 3/ح 328) و مسند أحمد - (ج 46 / ص 378/ح 21828) و سنن الدارمي - (ج 2 / ص 236/ح 678) : عَنْ أَبِي مَالِكٍ اْلأَشْعَرِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ ) الطُّهُورُ شَطْرُ اْلإِيمَانِ ... (
Dari Abu Malik al-Asy'ari dia berkata, "Rasulullah r bersabda: ("Bersuci adalah setengah dari iman...")
1. Bangkai (الميتة)
Adalah makhluk hidup yang mati begitu saja, atau untuk binatang yang mati tanpa disembelih menurut ketentuan agama. Termasuk didalamnya adalah apa yang dipotong sebagian dari binatang yang hidup, berdasarkan hadits Abu Waqid Al-Laitsi :
سنن أبي داود - (ج 8 / ص 41/ح 2475) و سنن الترمذي - (ج 5 / ص 421/ح 1400) و سنن ابن ماجه - (ج 9 / ص 409/ح 3207) و مسند أحمد - (ج 44 / ص 373/ح 20897) والمستدرك على الصحيحين للحاكم - (ج 17 / ص 458/ح 7705) وسنن الدارقطني - (ج 11 / ص 89/ح 4853) وصحيح ابن خزيمة - (ج 10 / ص 381) : عَنْ أَبِي وَ اقِدٍ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ ) مَا قُطِعَ مِنَ الْبَهِيمَةِ وَ هِيَ حَيَّةٌ فَهِيَ مَيْتَةٌ(
Dari Abu Waqid, ia berkata; Nabi r bersabda: ("Apa yang dipotong dari binatang dalam keadaan hidup, maka sesuatu tersebut adalah bangkai.")
Imam Abu Daud dan Imam Turmudzi mengatakan bahwa hadits tersebut hasan, dan dapat dijadikan hujah dalam mengambil hukum ini.
Yang dikecualikan adalah bangkai-bangkai berikut ini :
a. Bangkai ikan dan belalang (ميتة السمك والجراد), maka dia suci, karena hadits Ibnu Umar t.
مسند أحمد - (ج 12 / ص 2/ح 5465) و سنن ابن ماجه - (ج 10 / ص 51/ح 3305) و السنن الكبرى للبيهقي - (ج 1 / ص 254) و سنن الدارقطني - (ج 11 / ص 30/ح 4794) : حَدَّ ثَنَا سُرَ يْجٌ حَدَّ ثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ زَ يْدِ بْنِ أَسْلَمَ عَنْ زَ يْدِ بْنِ أَسْلَمَ عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ ) أُحِلَّتْ لَنَا مَيْتَتَانِ وَ دَمَانِ فَأَمَّا الْمَيْتَتَانِ فَالْحُوتُ وَ الْجَرَ ادُ وَ أَمَّا الدَّمَانِ فَالْكَبِدُ وَ الطُّحَالُ(
Dari Ibnu Umar t, dia berkata: Rasulullah r bersabda: ("Telah dihalalkan bagi kita dua bangkai dan dua darah: dua bangkai maksudnya ikan dan belalang, dua darah maksudnya hati dan limpa.")
b. Bangkai binatang yang tidak mempunyai darah mengalir seperti semut, lebah dan lain-lain (ميتة ما لا دم له سائل كالنمل والنحل ونحوها), maka ia adalah suci.
Jika binatang tersebut jatuh mengenai sesuatu dan mati disana, maka tidaklah menyebabkan najis.
فقه السنة - (ج 1 / ص 24) :قال ابن المنذر : لا أعلم خلا فا في طهارة ما ذكر إلا ما روي عن الشافعي و المشهور من مذهبه أنه نجس، و يعفى عنه إذا و قع في المائع ما لم يغيره.
Berkata Ibnu Mundzir : “Tidak saya ketahui adanya pertikaian tentang sucinya apa yang disebutkan tadi, kecuali apa yang diriwayatkan dari Syafi’i, dan lebih populer dari madzhabnya adalah najis, hanya dimaafkan bila jatuh dalam benda cair selama benda cair itu tidak berobah karenanya”.
c. Tulang dari bangkai, tanduk, bulu, rambut, kuku dan kulit serta apapun yang sejenis (عظم الميتة وقرنها وظفرها وشعرها وريشها وجلدها، وكل ما هو من جنس) itu hukumnya suci.
Karena hukum asal dari hal-hal yang disebutkan tersebut asalnya adalah suci dan tak ada dalil yang menjelaskan bahwa hal-hal itu adalah najis.
فقه السنة - (ج 1 / ص 24): قال الزهري : في عظام الموتى نحو الفيل و غيره : أدركت ناسا من سلف العلماء يمتشطون بها و يدهنون فيها، لا يرون به بأسا
Berkata Az-Zuhri, mengenai tulang belulang bangkai seperti misalnya gajah dan lain-lain : “Saya dapati dari para ulama salaf menjadikan tulang belulang sebagai bahan dasar sisir dan bahan dasar minyak, yang demikian itu tidak apa-apa”.
صحيح مسلم - (ج 2 / ص 278/ ح 542) و موطأ مالك - (ج 3 / ص 470/ ح 942) و سنن أبي داود - (ج 11 / ص 164/ ح 942) و صحيح البخاري - (ج 5 / ص 350/ ح 1397) و سنن النسائي - (ج 13 / ص 157/ ح 4161 ) و سنن ابن ماجه - (ج 10 / ص 477/ ح 3600 ) و مسند أحمد - (ج 54 / ص 237/ ح25568 ) : حَدَّ ثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى وَ أَ بُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَ عَمْرٌو النَّاقِدُ وَ ابْنُ أَبِي عُمَرَ جَمِيعًا عَنِ ابْنِ عُيَيْنَةَ قَالَ يَحْيَى أَخْبَرَ نَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ ) تُصُدِّقَ عَلَى مَوْلاَ ةٍ لِمَيْمُو نَةَ بِشَاةٍ فَمَاتَتْ فَمَرَّ بِهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فَقَالَ هَلاَّ أَخَذْ تُمْ إِهَابَهَا فَدَ بَغْتُمُوهُ فَانْتَفَعْتُمْ بِهِ فَقَالُوا إِ نَّهَا مَيْتَةٌ فَقَالَ إِ نَّمَا حَرُمَ أَكْلُهَا(
Dari Ibnu Abbas t, ("Hamba milik Maimunah radhiyallahu'anha pernah diberi sedekah seekor kambing, kemudian kambing tersebut mati. (Tidak berapa lama kemudian) Rasulullah r melalui tempat tersebut dan bersabda, "Mengapa kamu tidak mengambil kulit bangkai tersebut dan menyamaknya agar kamu bisa memanfaatkannya?" Mereka berkata, "Ia sudah menjadi bangkai." Beliau bersabda, " yang diharamkan hanyalah memakannya.").
فقه السنة - (ج 1 / ص 24): و عن ابن عباس رضي الله عنهما أنه قر أ هذه الاية : (قُلْ لاَ أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّ مًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلاَّ أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَ مًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِ يرٍ فَإِ نَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَ لاَ عَادٍ فَإِنَّ رَ بَّكَ غَفُورٌ رَحِيمٌ [الأنعام/145] ، و قال : إنما حرم ما يؤكل منها و هو اللحم، فأما الجلد و القد و السن و العظم و الشعر و الصوف فهو حلال)، رواه ابن المنذر وابن حاتم.
Dari Ibnu Abbas t, bahwa ia membacakan QS Al An’am ayat 145 berikut ini : (Katakanlah, “Tidak kudapati di dalam apa yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan memakannya bagi yang ingin memakannya, kecuali daging hewan yang mati (bangkai), darah yang mengalir, daging babi karena semua itu kotor atau hewan yang disembelih bukan atas (nama) Allah. Tetapi barangsiapa terpaksa bukan karena menginginkan dan tidak melebihi (batas darurat) maka sungguh, Tuhan-mu Maha Pengampun, Maha Penyayang.). Kemudian ulasan Ibnu Abbas sebagai berikut : “Yang diharamkan itu hanyalah apa yang dimakan. Mengenai kulit, air kulit, gigi, tulang, rambut dan bulu, maka ia halal”.
Begitu pula sari susu bangkai dan susunya suci, karena para sahabat sewaktu menaklukan negeri Irak, mereka memakan keju orang-orang Majusi, padahal itu dibuat dari susu, sedangkan sembelihan mereka itu dipandang sama dengan bangkai.
فقه السنة - (ج 1 / ص 24) : و قد ثبت عن سلمان الفارسي رضي الله عنه أنه سئل عن شئ من الجبن و السمن و الفراء، فقال : الحلا ل ما أحله الله في كتابه، و الحرام ما حرم الله في كتابه، و ما سكت عنه فهو مما عفا عنه. و من المعلوم أن السؤ ال كان عن جبن المجوس، حينما كان سلمان ائب عمر بن الخطاب على المدائن.
Sebuah riwayat yang berasal dari Salman Al-Farisi, bahwa ia ditanya mengenai sedikit keju, lemak dan bulu, maka jawabnya : “Yang halal adalah apa yang dihalalkan Allah I dalam KitabNya, dan yang haram apa yang diharamkan dalam KitabNya, dan apa-apa yang didiamkanNya, termasuklah barang yang dimaafkanNya”. Dan pertanyaan tersebut diajukan kepadanya mengenai keju orang-orang Majusi, yakni sewaktu Salman menjadi Gubernur Umar bin Khattab di Madain.
2. Darah (دَ مًا)
Baik darah yang mengalir atau darah yang tertumpah, misalnya yang mengalir dari hewan yang disembelih, ataupun darah haidh, tetapi bisa dimaafkan bila sedikit dan tak terhindarkan yaitu yang tertinggal dalam urat. Dari Ibnu Juraij mengenai firman Allah I :
....أَوْ دَ مًا مَسْفُوحًا....[الأنعام/145]
“....darah yang mengalir.....”
Yang dimaksud dengan darah Mafsuha itu adalah darah yang mengucur keluar, sedangkan yang tertinggal dalam urat-urat itu tidaklah apa-apa. Pendapat Juraij ini dikeluarkan dalam hadits Ibnu Mundzir.
فقه السنة - (ج 1 / ص 25) : و عن أبي مجلز في الدم، يكون في مذبح الشاة أو الدم يكون في أعلى القدر؟ قال : لا بأس، إنما نهى عن الدم المسفوح، أخرجه عبد بن حميد و أبو الشيخ
Ketika ditanyakan kepada Abu Miljaz tentang darah yang tertinggal bekas sembelihan domba (dilehernya) atau darah yang dijumpai pada daging dan periuk yang telah masak, ujarnya : “Tidak apa-apa yang dilarang itu hanyalah darah yang tertumpah” (diriwayatkan oleh Abu Hamid dan Abu Syeikh)
فقه السنة - (ج 1 / ص 25) : و عن عائشة رضي الله عنها قالت : كنا نأكل اللحم و الدم خطوط على القدر
Dan dari Aisyah radhiyallahu'anha, ia berkata : “Kami makan daging sedangkan darahnya tampak seperti benang-benangnya yang tersisa dan semuanya ada dalam periuk”.
فقه السنة - (ج 1 / ص 25) : وقال الحسن : ما زال المسلمون يصلون في جراحاتهم، ذكره البخاري
Hasan berkata : “Kaum muslimin tetap melakukan shalat dengan luka-luka mereka” (diriwayatkan oleh Bukhari)
فقه السنة - (ج 1 / ص 25) : و قد صح أن عمر رضي الله عنه صلى و جرحه ينعب دما، قاله الحافظ في الفتح : و كان أبو هريرة رضي الله عنه لا يرى بأسا بالقطرة و القطرتين في الصلاة.
Kemudian ada lagi suatu riwayat yang syah dari Umar bin Khattab bahwa ia shalat sedangkan lukanya masih berdarah (disebutkan oleh Al Hafidz Ibnu hajar Al Asqalani dalam Al Fath-nya). Sementara Abu Hurairah berpendapat tidaklah mengapa dibawa shalat kalau hanya setetes atau dua tetes darah.
Adapun darah nyamuk dan yang menetes dari bisul-bisul, maka dimaafkan berdasarkan atsar, atau riwayat para sahabat tadi.
فقه السنة - (ج 1 / ص 25) : و سئل أبو مجلز عن القيح يصيب البدن و الثوب؟ فقال : ليس بشئ، و إنما ذكر الله الدم و لم يذكر القيح. و قال ابن تيمية : و يجب غسل الثوب من المدة و القيح. و الصديد، قال : و لم يقم دليل على نجاسته، انتهى و الاولى أن يتقيه الانسان بقدر الامكان.
Dan ditanyakan kepada Abu Miljaz mengenai bisul yang ada dalam badan dan terkena pakaian. Jawabnya : Tidaklah apa-apa, karena yang disebutkan Allah hanya darahdan tidak disebutkannya nanah”. Ibnu Taimiyah berkata : “Wajib mencuci pakaian dari nanah beku dan nanah yang bercampur darah”. Kemudian dia melanjutkan : “Dan tidak ditemukan dalil tentang kenajisan nanah tersebut”. Demikianlah perihal darah, dan yang lebih utama adalah sedapat mungkin hendaknya kita menjaga kebersihan dari percikan darah atau nanah.
3. Daging babi (لحم الخنزير)
قُلْ لاَ أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّ مًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلاَّ أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَ مًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِ يرٍ فَإِ نَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَ لاَ عَادٍ فَإِنَّ رَ بَّكَ غَفُورٌ رَحِيمٌ [الأنعام/145]
Katakanlah, “Tidak kudapati di dalam apa yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan memakannya bagi yang ingin memakannya, kecuali daging hewan yang mati (bangkai), darah yang mengalir, daging babi karena semua itu kotor atau hewan yang disembelih bukan atas (nama) Allah. Tetapi barangsiapa terpaksa bukan karena menginginkan dan tidak melebihi (batas darurat) maka sungguh, Tuhan-mu Maha Pengampun, Maha Penyayang. (QS. Al An’am (6) : 145)
Ibnu Abbas menafsirkan surat Al An’am ayat 145 tersebut secara singkat : قُلْ (katakanlah), hai Muhammad! ; لاَ أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ (Aku tidak mendapatkan pada apa yang diwahyukan kepadaku), yakni dalam al-Quran yang diwahyukan kepadaku ; مُحَرَّ مًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ (sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya), yakni makanan yang hendak dimakannya ; إِلاَّ أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَ مًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِ يرٍ فَإِ نَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ (kecuali kalau makanan itu bangkai atau darah yang mengalir atau daging babi, karena semua itu kotor, atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah), yakni binatang yang secara sengaja disembelih atas nama selain Allah I ; فَمَنِ اضْطُرَّ (namun, barangsiapa dalam keadaan terpaksa), yakni terpaksa harus memakan bangkai; غَيْرَ بَاغٍ (sedangkan ia tidak bertindak zalim) kepada kaum Muslimin, dan tidak pula menganggap halal memakan bangkai kecuali dalam keadaan darurat ; وَ لاَ عَادٍ (dan tidak pula melampaui batas), yakni tidak merampok, dan tidak pula menyengaja memakan bangkai kecuali dalam keadaan darurat ; فَإِنَّ رَ بَّكَ غَفُورٌ (maka sesungguhnya Rabb-mu Maha Pengampun) bagi orang yang memakannya sampai kenyang ; رَحِيمٌ (lagi Maha Penyayang) atas keringanan yang diberikan kepadanya (orang yang berada dalam keadaan darurat). Dan tidak sepantasnya ia memakannya sampai kenyang. Namun, kalaupun ia memakannya sampai kenyang, maka Allah I akan Mengampuninya.
Jadi jelaslah!. Allah I mengharamkan babi, karena termasuk binatang yang menjijikan dan tak disukai oleh selera orang yang sehat. Maka kata ganti “itu” kembali kepada tiga jenis yang diharamkan yang disebutkan dalam ayat. Mengenai bulu babi menurut para ulama diperbolehkan untuk dijadikan benang.
4. Muntah, kencing dan kotoran manusia (قئ الادمي وبوله ورجيعه)
Najisnya muntah, kencing, dan kotoran manusia, semuanya ini disepakati oleh seluruh para ulama, akan tetapi jika muntahnya itu sedikit, maka masih dimaafkan.
Keringanan masih diberikan kepada kencing bayi laki-laki yang belum diberi makan, maka mensucikannya dengan dipercikkan air, hal ini berdasarkan hadits berikut :
صحيح مسلم - (ج 2 / ص 138/ح 433) : حَدَّ ثَنِيهِ حَرْمَلَةُ بْنُ يَحْيَى أَخْبَرَ نَا ابْنُ وَهْبٍ أَخْبَرَ نِي يُونُسُ بْنُ يَزِيدَ أَنَّ ابْنَ شِهَابٍ أَخْبَرَهُ قَالَ أَخْبَرَنِي عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُتْبَةَ بْنِ مَسْعُودٍ أَنَّ أُمَّ قَيْسٍ بِنْتَ مِحْصَنٍ وَ كَا نَتْ مِنَ الْمُهَاجِرَ اتِ اْلأُوَ لِ اللاَّ تِي بَا يَعْنَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ وَ هِيَ أُخْتُ عُكَّاشَةَ بْنِ مِحْصَنٍ أَحَدُ بَنِي أَسَدِ بْنِ خُزَ يْمَةَ قَالَ )أَخْبَرَ تْنِي أَ نَّهَا أَتَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ بِا بْنٍ لَهَا لَمْ يَبْلُغْ أَنْ يَأْكُلَ الطَّعَامَ قَالَ عُبَيْدُ اللَّهِ أَخْبَرَ تْنِي أَنَّ ابْنَهَا ذَ اكَ بَالَ فِي حَجْرِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فَدَعَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ بِمَاءٍ فَنَضَحَهُ عَلَى ثَوْ بِهِ وَ لَمْ يَغْسِلْهُ غَسْلاً(
Telah mengabarkan kepadaku Ubaidullah bin Abdullah bin Utbah bin Mas'ud bahwa Ummu Qais binti Mihshan - seorang wanitayang pernah hijrah pertama-tama dan berbaiat kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, dan dia adalah saudari Ukkasyah bin Mihshan, salah seorang dari bani Asad bin Khuzaimah -, Ubaidullah berkata, ("Ummu Qais telah mengabarkan kepadaku bahwa dia pernah datang kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dengan membawa bayi laki-lakinya yang belum makan makanan." Ubaidullah melanjutkan ucapannya, "Ummu Qais kemudian mengabarkan kepadaku bahwa bayinya kencing pada pangkuan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam lalu meminta air seraya memercikkannya pada bajunya, dan beliau tidak mencucinya dengan sebenar-benarnya mencuci.")
Membersihkannya/mensucikannya cukup dengan memercikannya dan pakaiannya sah jika dipakai shalat. Bagaimana jika bagi bayi wanita semua pendapat setuju bayi wanita juga sama selama belum makan makanan seperti bayi laki-laki.
5. Wadi (الودي)
Wadi yaitu air putih kental yang keluar mengiringi kencing. Wadi ini jelas najisnya tanpa perbedaan dari para ulama. Lihat Riwayat Ibnu Mundzir dibawah ini :
فقه السنة - (ج 1 / ص 26) : قالت عائشة : و أما الودي فإنه يكون بعد البول فيغسل ذكره و أنثييه و يتوضأ و لا يغتسل
Aisyah radhiyallahu'anha, berkata : “Adapun wadi ia terdapat bersamaan atau setelah kencing, maka hendaklah seseorang mencuci kemaluannya lalu berwudhu dan tidak usah mandi junub”.
فقه السنة - (ج 1 / ص 26) : عن ابن عباس رضي الله عنهما : المني و الودي و المذي، أما المني ففيه الغسل، و أما المذي و الودي فيهما إسباغ الطهور) رواه الاثرم و البيهقي و لفظه: (و أما الودي و المذي فقال : اغسل ذكرك أو مذاكيرك و توضأ و ضوء ك في الصلاة)
Dari Ibnu Abbas t mengenai mai, wadi dan madzi, ia berkata : “Adapun mani, hendaklah mandi junub, mengenai madzi dan wadi, pada keduanya hanya dengan mencucinya dan berwudhu” (diriwayatkan oleh Atsram dan Baihaqi). Sedangkan pada periwayatan Baihaqi lafadznya : ” Adapun untuk wadi dan madzi, cucilah kemaluannya atau tempat kemaluanmu dan lakukanlah pekerjaan wudhu seperti untuk shalat”.
6. Madzi (المذي)
Madzi adalah air putih kental seperti getah yang keluar sewaktu mengingat senggama atau ketika sedang bercanda. Kadang-kadang keluarnya itu tidak terasa. Terdapat pada laki-laki dan perempuan, biasanya sering terjadi kepada perempuan.
Hukumnya najis menurut kesepakatan ulama, tetapi jika madzi ini mengenai pakaian, cukuplah dengan memercikkan air kepada kain yang terkena madzi, karena madzi ini sejenis najis yang sukar menjaganya sebab sering terkena pakaian pemuda dan pemudi yang sehat, sehingga layak untuk diberi keringanan seperti halnya kecing bayi. Lihat hadits dibawah ini :
صحيح البخاري - (ج 1 / ص 448 /ح 261) و صحيح مسلم - (ج 2 / ص 169/ح 456) : حَدَّ ثَنَا أَ بُو الْوَ لِيدِ قَالَ حَدَّ ثَنَا زَ ائِدَةُ عَنْ أَبِي حَصِينٍ عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ عَلِيٍّ قَالَ ) كُنْتُ رَجُلاً مَذَّ اءً فَأَمَرْتُ رَجُلاً أَنْ يَسْأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ لِمَكَانِ ابْنَتِهِ فَسَأَلَ فَقَالَ تَوَضَّأْ وَ اغْسِلْ ذَكَرَ كَ(
Dari 'Ali t , berkata,: ("Dulu aku adalah seorang yang sering mengeluarkan madzi. Maka aku minta seseorang untuk bertanya kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. karena kedudukan putri Beliau r. Maka orang itu bertanya, lalu Jawab Nabi r: "Baginya wudlu' dan mencuci kemaluannya".)
سنن أبي داود - (ج 1 / ص 263 /ح 180) و سنن ابن ماجه - (ج 2 / ص 118/ح 499) و مسند أحمد - (ج 32 / ص 177/ح 15406) و مصنف ابن أبي شيبة - (ج 8 / ص 424 /ح 110) و سنن الدارمي - (ج 2 / ص 352/ح 748) و صحيح ابن حبان - (ج 5 / ص 205 /ح 1110) و صحيح ابن خزيمة - (ج 2 / ص 35 /ح 294) : حَدَّ ثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّ ثَنَا إِسْمَعِيلُ يَعْنِي ابْنَ إِبْرَ اهِيمَ أَخْبَرَ نَا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَقَ حَدَّ ثَنِي سَعِيدُ بْنُ عُبَيْدِ بْنِ السَّبَّاقِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ سَهْلِ بْنِ حُنَيْفٍ قَالَ ) كُنْتُ أَ لْقَى مِنَ الْمَذْ يِ شِدَّةً وَ كُنْتُ أُكْثِرُ مِنَ ِالاْغْتِسَالِ فَسَأَ لْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ فَقَالَ إِ نَّمَا يُجْزِ يكَ مِنْ ذَ لِكَ الْوُضُوءُ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَكَيْفَ بِمَا يُصِيبُ ثَوْ بِي مِنْهُ قَالَ يَكْفِيكَ بِأَنْ تَأْخُذَ كَفًّا مِنْ مَاءٍ فَتَنْضَحَ بِهَا مِنْ ثَوْ بِكَ حَيْثُ تَرَى أَ نَّهُ أَصَا بَهُ(
Dari Sahl bin Hunaif dia berkata; (Saya selalu mengeluarkan madzi, karena itu saya selalu mandi. Maka saya bertanya kepada Rasulullah r tentang hal tersebut. Beliau menjawab: "Sesungguhnya cukup bagimu berwudhu dari hal tersebut." Aku bertanya kembali; Wahai Rasulullah, lalu bagaimana dengan madzi yang mengenai pakaianku? Beliau menjawab: "Cukuplah kamu ambil air sepenuh telapak tanganmu, lalu percikkan pada bagian pakaian yang kamu ketahui terkena madzi.")
7. Mani (المني)
Sebagian besar para ulama berpendapat bahwa ia najis. Pendapat yang kuat mani adalah suci, tetapi disunahkan mencucinya bila ia basah, dan mengoreknya bila kering.
فقه السنة - (ج 1 / ص 27) : قالت عائشة رضي الله عنها : ( كنت أفرك المني من ثوب رسول الله صلى الله عليه و سلم إذا كان يابسا و أغسله إذا كان رطبا) رواه الدار قطني وأبو عوانة والبزار
Aisyah radhiyallahu'anha, berkata : "Kukorek air mani itu dari kain Rasulullah r apabila ia kering, dan kucuci bila ia basah” (Riwayat Daruquthni, Abu Uwanah dan Al Bazzar).
سنن الدارقطني - (ج 2 / ص 3/ح 457) و السنن الكبرى للبيهقي - (ج 2 / ص 418) : حَدَّ ثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مَخْلَدٍ حَدَّ ثَنَا إِبْرَ اهِيمُ بْنُ إِسْحَاقَ الْحَرْ بِىُّ حَدَّ ثَنَا سَعِيدُ بْنُ يَحْيَى بْنِ الأَزْهَرِ حَدَّ ثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ يُوسُفَ الأَزْرَقُ حَدَّثَنَا شَرِيكٌ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ عَطَاءٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ )سُئِلَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - عَنِ الْمَنِىِّ يُصِيبُ الثَّوْبَ. قَالَ إِ نَّمَا هُوَ بِمَنْزِلَةِ الْمُخَاطِ وَ الْبُزَاقِ وَ إِ نَّمَا يَكْفِيكَ أَنْ تَمْسَحَهُ بِخِرْقَةٍ أَوْ بِإِذْخِرَ ةٍ (
Dari Ibnu Abbas t, ia berkata : (Nabi r ditanya orang mengenai mani yang mengenai pakaian, maka beliau r menjawab : “Air mani seperti ingus dan dahak, maka cukuplah bagimu menghapusnya dengan secarik kain atau daun-daunan”.)
8. Kencing dan tahi binatang yang dimakan dagingnya (بول وروث ما لا يؤكل لحمه)
Kencing dan tahi binatang yang dimakan dagingnya keduanya najis, mari kita perhatikan hadits dibawah ini :
صحيح البخاري - (ج 1 / ص 271/ح 152) و سنن النسائي - (ج 1 / ص 81/ح 42) و سنن ابن ماجه - (ج 1 / ص 375/ح 310) و مسند أحمد - (ج 8 / ص 305/ح 3770) : حَدَّ ثَنَا أَ بُو نُعَيْمٍ قَالَ حَدَّ ثَنَا زُهَيْرٌ عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ قَالَ لَيْسَ أَ بُو عُبَيْدَةَ ذَكَرَهُ وَ لَكِنْ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ اْلأَسْوَ دِ عَنْ أَبِيهِ أَ نَّهُ سَمِعَ عَبْدَ اللَّهِ يَقُولُ ) أَ تَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ الْغَائِطَ فَأَمَرَ نِي أَنْ آتِيَهُ بِثَلاَ ثَةِ أَحْجَارٍ فَوَجَدْتُ حَجَرَ يْنِ وَ الْتَمَسْتُ الثَّالِثَ فَلَمْ أَجِدْ هُ فَأَخَذْتُ رَوْ ثَةً فَأَ تَيْتُهُ بِهَا فَأَخَذَ الْحَجَرَ يْنِ وَ أَ لْـقَى الرَّوْ ثَةَ وَ قَالَ هَذَ ا رِكْسٌ(
Dari 'Abdullah bin Mas’ud, ia berkata, ("Nabi r pergi ke WC, lalu beliau memerintahkan aku membawakan tiga buah batu. Aku hanya mendapatkan dua batu, lalu aku mencari batu yang ketiga, namun aku tidak mendapatkannya hingga aku pun mengambil kotoran hewan yang sudah kering. Kemudian semua itu aku bahwa ke hadapan Nabi. Namun beliau hanya mengambil dua batu dan membuang kotoran hewan yang telah kering tersebut seraya bersabda: "Ini najis.")
فقه السنة - (ج 1 / ص 27) : قال الوليد بن مسلم : قلت للاوزاعي : فأبوال الدواب مما لا يؤكل لحمه كالبغل، والحمار و الفرس؟ فقال : قد كانوا يبتلون بذلك في مغازيهم فلا يغسلونه من جسد أو ثوب. و أما بول و روث ما يؤكل لحمه، فقد ذهب إلى القول بطهارته مالك و أحمد و جماعة من الشافعية. قال ابن تيمية : لم يذهب أحد من الصحابة إلى القول بنجاسته، بل القول بنجاسته قول محدث لا سلف له من الصحابة.انتهى.
Berkata Walid bin Muslim : “Saya tanyakan kepada Auza’i, bagaimana tentang kencing binatang yang tidak dimakan dagingnya seperti bigal, keledai dan kuda?. Jawabnya : Mereka mendapatkan kesulitan disebabkan peperangan, dan tidaklah mereka mencuci yang tekena kencing baik yang mengenai tubuh ataupun kain”.
Mengenai kencing atau tahi hewan yang dimakan dagingnya, diantara ulama yang mengatakannya suci adalah Malik, Ahmad dan segolongan dari ulama madzhab Syafi’i. Berkata Ibnu Taimiyah : “Tak seorangpun diantara sahabat yang mengatakan najis untuk kencing atau tahi hewan yang dimakan dagingnya, bahkan yang mengatakan najis itu adalah ucapan yang di buat-buat yang tak ada dasarnya dikalangan para sahabat dahulu”. Sekian.
صحيح البخاري - (ج 1 / ص 390/ح 226) : حَدَّ ثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ حَرْبٍ قَالَ حَدَّ ثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَ يْدٍ عَنْ أَ يُّوبَ عَنْ أَبِي قِلاَ بَةَ عَنْ أَ نَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ ) قَدِمَ أُ نَاسٌ مِنْ عُكْلٍ أَوْ عُرَ يْنَةَ فَاجْتَوَوْا الْمَدِينَةَ فَأَمَرَهُمْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ بِلِقَاحٍ وَ أَنْ يَشْرَ بُوا مِنْ أَ بْوَ الِهَا وَ أَ لْبَانِهَا(
Dari Anas bin Malik berkata, ("Beberapa orang dari 'Ukl atau 'Urainah datang ke Madinah, namun mereka tidak tahan dengan iklim Madinah hingga mereka pun sakit. Beliau r lalu memerintahkan mereka untuk mendatangi unta dan meminum air seni dan susunya).
Hadits ini menerangkan tentang sucinya air kencing unta, dan para ulama sepakat hal ini dijadikan dalil, dan begitu pula binatang-binatang yang dimakan dagingnya semuanya diqiyaskan kepadanya, artinya suci air kencingnya.
فقه السنة - (ج 1 / ص 28) : قال ابن المنذر: و من زعم أن هذا خاص بأولئك الاقوام لم يصب، إذ ا لخصائص لا تثبت إلا بدليل قال : و في ترك أهل العلم بيع بعار الغنم في أسوا قهم، و استعمال أبوال الابل في أدويتهم قد يما و حديثا من غير نكير، دليل على طهارتها.
Berkata Ibnu Mundzir : “Orang-orang yang mengatakan bahwa ini khusus bagi orang tersebut karena kondisinya saja, tidaklah benar!, karena keistimewaan itu tak dapat diterima kecuali bila ada alasan”. Beliau melanjutkan : “Dibiarkannya oleh para ulama orang-orang yang menjual tahi kambing, unta, dan sapi di pasar-pasar, dan menggunakan kencing unta untuk obat-obatan baik di masa dulu maupun sekarang tanpa dapat disangkal, menjadi bukti atas sucinya barang-barang tersebut”.
فقه السنة - (ج 1 / ص 28) : و قال الشوكاني : الظاهر طهارة الابوال و الازبال من كل حيوان يؤكل لحمه، تمسكا با لاصل، و استصحا با للبراءة الاصلية، و النجاسة حكم شرعي ناقل عن الحكم الذي يقتضيه الاصل و البراءة، فلا يقبل قول مدعيها إلا بدليل يصلح للنقل عنهما، و لم نجد للقائلين بالنجاسة دليلا لذلك.
As-Syaukani berkata : “Pendapat yang terkuat adalah sucinya kencing dan sisa makanan dari setiap hewan yang dimakan dagingnya, hal ini berpegang kepada asalnya dan istihab lil baraatil ashliyah artinya mempertahankan hukum lama yakni kebebasan menurut asalnya. Sedangkan sifat atau keadaan najis itu adalah suatu hukum syara’, yang berpindah dari hukum yang dikehendaki oleh asal dan kebebasan, sehingga ucapan orang yang mengakuinya tak dapat diterima kecuali bila ada dalil yang dapat dipakai alasan untuk memindahkan dari padanya, padahal dari orang-orang yang mengatakannya najis, tidak kita temui alasan tersebut”.
[1] Fiqih Sunnah (Terjemahan Indonesia), Syekh Sayyid Sabiq, Jilid 1, Bab Thaharah, halaman 46-58, Pustaka Al ma'arif, cetakan ke 10, Bandung,1990
Tidak ada komentar:
Posting Komentar