سنن الترمذي – (ج 8 / ص 308/ح 2247) و مسند أحمد – (ج 36 / ص 464/ح 17339) : عَنْ أَ بُو كَبْشَةَ اْلأَ نَّمَارِيُّ أَ نَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَقُولُ ....إِ نَّمَا الدُّ نْيَا ِلأَرْ بَعَةِ نَفَرٍ : (1) عَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ مَالاً وَ عِلْمًا فَهُوَ يَـتَّـقِي فِيهِ رَ بَّهُ وَ يَصِلُ فِيهِ رَحِمَهُ وَ يَعْلَمُ لِلَّهِ فِيهِ حَقًّا فَهَذَا بِأَفْضَلِ الْمَنَازِلِ , (2) وَ عَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ عِلْمًا وَ لَمْ يَرْزُقْهُ مَالاً فَهُوَ صَادِقُ النِّيَّةِ يَقُولُ لَوْ أَنَّ لِي مَالاً لَعَمِلْتُ بِعَمَلِ فُلاَ نٍ فَهُوَ بِنِيَّتِهِ فَأَجْرُهُمَا سَوَ اءٌ ، (3) وَ عَبْدٍ رَزَ قَهُ اللَّهُ مَالاً وَ لَمْ يَرْزُقْهُ عِلْمًا فَهُوَ يَخْبِطُ فِي مَالِهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ لاَ يَتَّقِي فِيهِ رَ بَّهُ وَ لاَ يَصِلُ فِيهِ رَحِمَهُ وَ لاَ يَعْلَمُ لِلَّهِ فِيهِ حَقًّا فَهَذَا بِأَخْبَثِ الْمَنَازِلِ ،(4) وَ عَبْدٍ لَمْ يَرْزُقْهُ اللَّهُ مَالاً وَ لاَ عِلْمًا فَهُوَ يَقُولُ لَوْ أَنَّ لِي مَالاً لَعَمِلْتُ فِيهِ بِعَمَلِ فُلاَ نٍ فَهُوَ بِنِيَّتِهِ فَوِزْرُ هُمَا سَوَ اءٌ
Dari Abu Kabsyah Al Anmari, ia mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda: ......”Sesungguhnya di kolong langit (dunia) ini diisi oleh 4 (empat) jenis manusia :
Pertama, seorang hamba yang dikarunia Allah harta dan ilmu, dengan ilmu dan hartanya ia bertakwa kepada Allah, menyambung silaturrahim (tali kekerabatan), dan ia mengetahui hak-hak Allah pada ilmu dan harta yang dimilikinya, manusia jenis ini adalah manusia yang memiliki kedudukan yang paling mulia,
Kedua, selanjutnya hamba yang dikaruniai Allah ilmu tapi tidak diberi harta, niatnya tulus dan jujur, ia berkata : ‘Seandainya saja aku memiliki harta niscaya aku akan melakukan seperti amalan si fulan (yang tahu hak-hak Allah dalam ilmu dan hartanya)’, maka ia mendapatkan apa yang ia niatkan, pahala mereka berdua (gol 1 dan 2) adalah sama,
Ketiga, selanjutnya hamba yang dikaruniai harta oleh Allah tapi tidak diberi ilmu, ia menggunakan hartanya serampangan tanpa landasan ilmu (syariat), ia mempergunakan hartanya tidak dalam rangka membina ketakwaan kepada Allah, tidak menyambungkan silaturrahim (tali kekerabatan) serta tidak mengetahui hak-hak Allah pada hartanya, ini adalah kedudukan yang terburuk,
Keempat, selanjutnya orang yang tidak diberi Allah harta atau pun ilmu, ia bekata : ‘Seandainya aku punya harta tentu aku akan melakukan seperti yang dilakukan si fulan (yang serampangan mengelola hartanya)’, dan niatnya kuat benar (jika punya harta ia serampangan menggunakannya), dosa keduanya (gol 3 dan 4) adalah sama.”
Marilah kita bahas ke 4 (empat) jenis manusia ini :
Manusia Jenis Kedua :
Dunia dihadapan Orang yang Kaya Ilmu dan Miskin Harta
Jenis orang yang kedua ini, dia mengerti ilmu syariat, dia tahu kewajiban ilmunya dan dia memahami keutamaan belajar ilmu syariat dan mengajarkan syariat sesuai Al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah r tentang keutamaannya ke duanya (belajar dan mengajarkan ilmu syariat). Kemudian dengan pengetahuannya ini diapun tahu mana yang hak dan mana yang bathil, mana yang halal dan mana yang haram.
Dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah mengenai keutamaan belajar ilmu syariat / pengetahuan agama, dari sekian banyak dalil-dalil itu, inilah sedikit diantaranya :
فَـلَوْ لاَ نَـفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْ قَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَ لِيُنْذِرُوا قَوْ مَهُمْ إِذَ ا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ [التوبة/122]
Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. (QS At Taubah (9) :122)
فَاسْأَ لُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ [النحل/43]
Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.(QS An-Nahl (16) :43)
كَمَا أَرْسَلْنَا فِيكُمْ رَسُولاً مِنْكُمْ يَتْلُو عَلَيْكُمْ آَ يَاتِنَا وَ يُزَكِّيكُمْ وَ يُعَلِّمُكُمُ الْكِتَابَ وَ الْحِكْمَةَ وَ يُعَلِّمُكُمْ مَا لَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ [البقرة/151]
Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan ni`mat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah (As Sunnah), serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui. (QS Al Baqarah (2) : 151)
وَ أَ نْزَلَ اللَّهُ عَلَيْكَ الْكِتَابَ وَ الْحِكْمَةَ وَ عَلَّمَكَ مَا لَمْ تَكُنْ تَعْلَمُ وَ كَانَ فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكَ عَظِيمًا [النساء/113]
Dan (juga karena) Allah telah menurunkan Kitab dan hikmah kepadamu, dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui. Dan adalah karunia Allah sangat besar atasmu. (QS An-Nisa (4) :113)
وَ قُلْ رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا [طه/114]
dan katakanlah: "Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan." (QS Thaha (206) :114)
يَا أَ يُّهَا الَّذِينَ آَ مَنُوا إِذَ ا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ وَ إِذَ ا قِيلَ انْشُزُوا فَانْشُزُوا يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا مِنْكُمْ وَ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَ اللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ [المجادلة/11]
Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majelis", maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS Al Mujadilah (58) : 11)
وَ لاَ تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَ تَكْتُمُوا الْحَقَّ وَ أَ نْتُمْ تَعْلَمُونَ [البقرة/42]
Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui. (QS Al Baqarah (2) : 42)
سنن أبي داود - (ج 10 / ص 49/ح 3157) و سنن الترمذي - (ج 9 / ص 243/ح 2570) و سنن ابن ماجه - (ج 1 / ص 259/ح 219) و مسند أحمد - (ج 17 / ص 7/ح 7965) و المستدرك على الصحيحين للحاكم - (ج 1 / ص 291/ح 275) و سنن الدارمي - (ج 1 / ص 383/ح 352) و صحيح ابن حبان - (ج 1 / ص 163/ح 84) : عَنْ أَ بِي الدَّرْدَ اءِ قَالَ فَإِ نِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَقُولُ ) مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَطْلُبُ فِيهِ عِلْمًا سَلَكَ اللَّهُ بِهِ طَرِيقًا مِنْ طُرُقِ الْجَنَّةِ (
Hadits dari Abu Darda t, Rasulullah r bersabda : ('Barang siapa menempuh jalan untuk menuntut ilmu maka Allah U akan menunjukkan jalan-jalannya untuk ke Syurga ')
سنن أبي داود - (ج 10 / ص 49/ح 3157) : ) وَ إِنَّ الْمَلاَ ئِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضًا لِطَالِبِ الْعِلْمِ(
Hadits dari Abu Darda t, Rasulullah r bersabda : ("Sesungguhnya malaikat itu membentangkan sayapnya bagi orang yang menuntut ilmu karena ridha terhadap apa yang ia lakukan".)
سنن ابن ماجه - (ج 1 / ص 254/ ح 215) : عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ ) يَا أَ بَا ذَرٍّ َلأَنْ تَغْدُ وَ فَتَعَلَّمَ آيَةً مِنْ كِتَابِ اللَّهِ خَيْرٌ لَكَ مِنْ أَنْ تُصَلِّيَ مِا ئَةَ رَكْعَةٍ وَ َلأَنْ تَغْدُ وَ فَتَعَلَّمَ بَا بًا مِنْ الْعِلْمِ عُمِلَ بِهِ أَوْ لَمْ يُعْمَلْ خَيْرٌ لَكَ مِنْ أَنْ تُصَلِّيَ أَ لْفَ رَكْعَةٍ(
Hadits dari Abu Dzar t, bahwa Rasulullah r bersabda: ("Hai Abu Dzar sungguh engkau berpagi-pagi (keluar dari rumah), lalu engkau pelajari satu ayat saja dari kitab Allah I itu lebih baik bagi engkau daripada shalat seratus rakaat. Dan sungguh bahwa engkau sungguh bersegera meninggalkan rumah, lalu engkau pelajari satu bab dari ilmu agama, diamalkan atau tidak diamalkan itu lebih baik daripada shalat seribu rakaat")
إحياء علوم الدين - (ج 1 / ص 8) : و قال صلى الله عليه و سلم ) بَابٌ مِنَ اْلعِلْمِ يَتَعَلَّمُهُ الرَّجُلُ خَيْرٌ لَهُ مِنَ الدُّ نْيَا وَ مَا فِيْهَا("
Rasulullah r bersabda : ("Satu bab dari ilmu yang dipelajari oleh seseorang adalah lebih baik baginya dari pada dunia dan seisinya".)
إحياء علوم الدين - (ج 1 / ص 8) : و قال عليه الصلا ة و السلام ) العلم خزائن مفاتيحها السؤال، ألا فاسألوا فإنه يؤجر فيه أربعة. السائل و العالم و المستمع و المحب لهم (
Rasulullah r bersabda : ("Ilmu itu gudang, kuncinya adalah bertanya. Ketahuilah maka bertanyalah. Sungguh dalam mempelajari ilmu akan diberikan pahalanya kepada empat jenis manusia : yaitu penanya, orang yang berilmu, pendengar dan orang yang senang kepada mereka".)
المعجم الأوسط للطبراني - (ج 12 / ص 102/ح 5524) : عن جابر قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم )لا ينبغي للعالم أن يسكت على علمه ، و لا ينبغي للجاهل أن يسكت على جهله (
Hadits dari Jabir t, Rasulullah r bersabda : ("Tidak selayaknya bagi orang yang berilmu untuk diam atas ilmunya, dan tidak seyogyanya bagi orang bodoh diam atas kebodohannya").
سنن الدارمي - (ج 1 / ص 397/ح362) و الإبانة الكبرى لابن بطة - (ج 1 / ص 40/ح 37) و الترغيب في فضائل الأعمال وثواب ذلك لابن شاهين - (ج 1 / ص 239/ح 214) و جامع بيان العلم وفضله لابن عبد البر - (ج 1 / ص 196/ح 180) : عَنِ الْحَسَنِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم ) مَنْ جَاءَ هُ الْمَوْتُ وَ هُوَ يَطْلُبُ الْعِلْمَ لِيُحْيِىَ بِهِ الإِسْلاَمَ فَبَيْنَهُ وَ بَيْنَ النَّبِيِّينَ دَرَجَةٌ وَ احِدَةٌ فِى الْجَنَّةِ (.
Hadits dari Hasan, Rasulullah r bersabda : ("Barang siapa didatangi kematian dimana ia sedang menuntut ilmu untuk menghidupkan agama Islam maka antara ia dan para Nabi di Syurga adalah satu derajat / tingkatan").
Manusia jenis kedua ini diapun menyadari, bahwa ilmu itu andalannya maka dia ajarkan ilmu syari’ah ini tanpa pamrih, tetapi dengan niat karena Allah I, sebagai satu-satunya jalan pengabdian. Dalil-dalil keutamaan mengajar diantaranya :
وَ لِيُنْذِرُوا قَوْ مَهُمْ إِذَ ا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُون [التوبة/122]
Dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. (QS At-Taubah (9) :122)
Yang dimaksudkan adalah mengajar dan memberikan petunjuk, dari hasil pengalaman yang dia peroleh setelah menimba ilmu atau berjuang meninggikan kalimat Allah I di tempat lain.
وَ إِذْ أَخَذَ اللَّهُ مِيثَاقَ الَّذِينَ أُو تُوا الْكِتَابَ لَـتُـبَـيِّـنُـنَّـهُ لِلنَّاسِ وَ لاَ تَكْتُمُو نَهُ [آل عمران/187]
Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu): "Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan jangan kamu menyembunyikannya." (QS Ali Imran (3) : 187)
Firman diatas mewajibkan kita semua untuk mengajarkan ilmu Allah U dan RasulNya.
وَ إِنَّ فَرِيقًا مِنْهُمْ لَيَكْتُمُونَ الْحَقَّ وَ هُمْ يَعْلَمُونَ [البقرة/146]
Dan sesungguhnya sebahagian di antara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui. (QS Al Baqarah (2) : 146)
Firman Allah I ini menunjukkan haramnya menyembunyikan ilmu, bahkan Allah U akan memberikan sangsinya bagi mereka yang menyembunyikan ilmu dan kebenaran untuk dirinya sendiri :
وَ مَنْ يَكْتُمْهَا فَإِ نَّهُ آَثِمٌ قَلْبُهُ [البقرة/283]
Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya. (QS Al Baqarah (2) : 283)
Dan Rasulullah r pun bersabda :
إحياء علوم الدين - (ج 1 / ص 9) : قال صلى الله عليه و سلم ) مَا آتَى اللهُ عَالِماً عِلْماً إِلاَّ وَ أَخَذَ عَلَيْهِ مِنَ اْلمِيْثَاقِ مَا أَخَذَ عَلَى النَّبِيِّيْنَ أَنْ يُـبَـيّـِنُـوْ هُ لِلنَّاسِ وَ لاَ يَكْتُمُوْهُ (
("Allah tidaklah memberikan ilmu kepada seorang 'alim melainkan Allah mengambil janji atasnya seperti apa yang diambilNya dari para Nabi, yaitu agar mereka menerangkannya kepada manusia dan tidak menyembunyikannya") (HR. Abu Na'im dari Ibnu Mas'ud juga dari Abu Hurairah)
Kelemahan jenis manusia kedua ini, dia tidak mempunyai harta yang cukup, tetapi dengan ilmunya tersebut dia mengerti bahwa bagian dia untuk mengejar amalan adalah memburu pahala dengan ilmunya, dan memburu pahala dengan harta jika ada rezeki titipan dari Allah I, kalau tidak ada dia tetap meniatkannya. Dengan kata lain mereka : memburu derajat amalan harta dengan niat.
Orang jenis ini faham sekali, diantara hamba-hamba Allah I yang beriman, terdapat banyak orang yang tidak dikaruniai kelapangan dan kelebihan harta. Bahkan, jumlah mereka jauh lebih banyak dari kaum beriman yang dikaruniai kelapangan harta kekayaan. Namun Allah I tetap melimpahkan rahmat dan karuniaNya yang tiada terhitung jumlahnya, dengan melimpahkan karunia ilmu syar’i kepada mereka.
Di satu sisi mereka bersabar atas ujian tersebut, karena mereka meyakini harta adalah bagian dari rezeki sekaligus ujian dari Allah I. Lewat harta, Allah I menguji keimanan dan amal shalih para hambaNya sehingga terpisah golongan yang bersyukur dari golongan yang kufur, golongan yang membelanjakan hartanya dalam rangka ketaatan, dari golongan yang menghambur-hamburkan hartanya semata-mata demi memenuhi tuntutan hawa nafsu dan bujuk rayu setan.
Di sisi lain mereka juga menyadari bahwa harta bagi seorang mukmin adalah kesempatan emas. Yaitu kesempatan emas untuk meraih sebuah kehidupan ideal, tidak saja di dunia namun juga di akhirat kelak. Kelebihan dan kelapangan harta membuka kesempatan beramal yang luas bagi seorang mukmin.
Dengan kelebihan harta, seorang mukmin bisa menunaikan berbagai bentuk ibadah maaliyah yang bersifat pribadi, seperti membayarkan zakat, menunaikan haji, membayar fidyah bagi yang tidak mampu melakukan shaum Ramadhan, membayar kafarah zhihar, kafarah melanggar sumpah, menafkahi anggota keluarganya. Dengan hartanya pula, seorang mukmin bisa mempererat tali persaudaraan dengan saudara seiman yang mengalami kekurangan, seperti menyantuni fakir miskin, anak-anak yatim, janda, ibnu sabil, melunasi hutang saudara seiman, dll.
Jadi, harta di tangan seorang yang dikaruniai ilmu syar’i akan menjadi jembatan penyebrangan, yang akan mengantarkannya kepada keridhoan hati manusia dan keridhoan Allah I. Jembatan inilah yang akan mempercepat dan mempermudah langkahnya menuju syurga di akhirat kelak.
Sangat wajar apabila golongan mukmin yang dikaruniai ilmu ini, mengangankan dikaruniai harta seperti saudaranya yang kaya ilmu dan kaya harta. Mereka menengok amal-amal saudara seiman mereka yang kaya. Mereka iri, sebuah iri yang positif yang didorong oleh semangat berburu amal dan mengejar ridho Allah I. Sebuah iri, angan-angan, cita-cita dan harapan yang dibingkai oleh motif fastabiqu al-khairat.
Kita lihat dalam sejarah para sahabat Muhajirin dan sebagian sahabat Anshar yang miskin mendatangi Rasulullah r karena mengadukan ketertinggalan mereka dalam beramal dengan oarang shaleh yang kaya.lihat hadits berikut ini :
صحيح البخاري - (ج 3 / ص 347/ح 798) : حَدَّ ثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَبِي بَكْرٍ قَالَ حَدَّ ثَنَا مُعْتَمِرٌ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ عَنْ سُمَيٍّ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَ يْرَ ةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ )جَاءَ الْفُقَرَ اءُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فَقَالُوا ذَهَبَ أَهْلُ الدُّ ثُورِ مِن اْلأَمْوَ الِ بِالدَّرَجَاتِ الْعُلاَ وَ النَّعِيمِ الْمُقِيمِ يُصَلُّو نَ كَمَا نُصَلِّي وَ يَصُومُونَ كَمَا نَصُومُ وَ لَهُمْ فَضْلٌ مِنْ أَمْوَ الٍ يَحُجُّونَ بِهَا وَ يَعْتَمِرُونَ وَ يُجَاهِدُونَ وَ يَتَصَدَّ قُونَ (
(HR. BUKHARI - 798) : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abu Bakar berkata, telah menceritakan kepada kami Mu'tamir dari 'Ubaidullah dari Sumayyah dari Abu Shalih dari Abu Hurairah berkata, ("Pernah datang para fuqara kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam seraya berkata, "Orang-orang kaya, dengan harta benda mereka itu, mereka mendapatkan kedudukan yang tinggi, juga kenikmatan yang abadi. Karena mereka melaksanakan shalat seperti juga kami melaksanakan shalat. Mereka shaum sebagaimana kami juga shaum. Namun mereka memiliki kelebihan disebabkan harta mereka, sehingga mereka dapat menunaikan 'ibadah haji dengan harta tersebut, juga dapat melaksnakan 'umrah bahkan dapat berjihad dan bersedekah.")
Dalam Riwayat Muslim dikisahkan pula :
صحيح مسلم - (ج 3 / ص 259/ح 936) :) ذَ هَبَ أَهْلُ الدُّ ثُورِ بِالدَّرَجَاتِ الْعُلَى وَ النَّعِيمِ الْمُقِيمِ فَقَالَ وَ مَا ذَاكَ قَالُوا يُصَلُّونَ كَمَا نُصَلِّي وَ يَصُومُونَ كَمَا نَصُومُ وَ يَتَصَدَّقُونَ وَ لاَ نَتَصَدَّقُ وَ يُعْتِقُونَ وَ لاَ نُعْتِقُ (
(HR. MUSLIM - 936) : ("Orang-orang kaya telah memborong derajat-derajat ketinggian dan kenikmatan yang abadi." Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bertanya: "Maksud kalian?" Mereka menjawab: "Orang-orang kaya shalat sebagaimana kami shalat, dan mereka berpuasa sebagaimana kami berpuasa, namun mereka bersedekah dan kami tidak bisa melakukannya, mereka bisa membebaskan budak dan kami tidak bisa melakukannya.")
Beruntung Allah yang Maha Kaya lagi Maha Pemurah mengaruniakan ilmu kepada mereka. Ilmu syar’i membimbing meraka untuk mencapai pahala yang sama, meski dengan amalan yang berbeda. Pangkal kesemuanya ini adalah niat didalam hati mereka yang ingin melakukan hal yang sama dengan orang yang kaya dan sholeh, niatannya itu iri inginmemburu derajat yang tinggi di hadapan Allah I, sebuah niat yang tulus, ikhlas dan jujur.
Seandainya ia dikaruniai kelapangan harta seperti muslim yang kaya ilmu dan kaya harta, niscaya ia akan mempergunakan hartanya tersebut sesuai dengan tuntunan ilmu yang dikaruniakan kepadanya. Ia akan mempergunakan hartanya secara benar, dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah I. Ia akan rajin bersedekah, menunaikan haji dan umrah, gemar membiayai dakwah dan jihad fi sabilillah, dan program-program kebajikan lain.
Dalam Islam, rasa iri dan angan-angan positif seperti ini disebut ghibtah, dan ia merupakan sebuah amalan hati yang shalih daan berpahala. Rasulullah r memuji ghibtah sebagai salah satu bentuk iri hati yang diperbolehkan :
صحيح البخاري - (ج 15 / ص 437/ح 4638) : حَدَّ ثَنَا عَلِيُّ بْنُ إِبْرَ اهِيمَ حَدَّ ثَنَا رَوْ حٌ حَدَّ ثَنَا شُعْبَةُ عَنْ سُلَيْمَانَ سَمِعْتُ ذَكْوَانَ عَنْ أَبِي هُرَ يْرَ ةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ لاَ حَسَدَ إِلاَّ فِي اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ عَلَّمَهُ اللَّهُ الْقُرْآنَ فَهُوَ يَتْلُوهُ آنَاءَ اللَّيْلِ وَ آنَاءَ النَّهَارِ فَسَمِعَهُ جَارٌ لَهُ فَقَالَ لَيْتَنِي أُو تِيتُ مِثْلَ مَا أُو تِيَ فُلاَنٌ فَعَمِلْتُ مِثْلَ مَا يَعْمَلُ وَ رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالاً فَهُوَ يُهْـلِكُهُ فِي الْحَقِّ فَقَالَ رَجُلٌ لَيْتَنِي أُو تِيتُ مِثْلَ مَا أُو تِيَ فُلاَ نٌ فَعَمِلْتُ مِثْلَ مَا يَعْمَلُ
(BUKHARI - 4638) : Telah menceritakan kepada kami Ali bin Ibrahim Telah menceritakan kepada kami Rauh Telah menceritakan kepada kami Syu'bah dari Sulaiman Aku mendengar Dzakwan dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : ("Tidak diperbolehkan hasad (iri hati) kecuali pada dua perkara, yaitu : Pertama, iri hati kepada seseorang yang telah memahami Al Qur`an atas karunia Allah, sehingga ia selalu membacanya tiap malam dan siang, sampai tetangga yang mendengarnya berkata : 'Duh.., sekiranya aku diberikan sebagaimana apa yang diberikan kepada si Fulan, niscaya aku akan melakukan apa yang dilakukannya.' Kedua, iri hati kepada seseorang yang diberi karunia harta oleh Allah, sehingga ia dapat membelanjakannya pada kebenaran, lalu orang-orang pun berkata : .. 'Seandainya aku diberi karunia sebagaimana si Fulan, maka niscaya aku akan melakukan amalan sebagaimana yang dilakukannya.'")
Angan-angan dan rasa iri mereka tumbuh dari sebuah niat yang ikhlas dan jujur. Tidak selamanya manusia miskin, juga tak selamanya manusia kaya. Kejujuran angan-angan dan iri hati orang-orang mukmin yang lebih sering mengalami kekurangan harta ini, akan terbukti ketika dalam beberapa kesempatan, Allah I memberi karunia kelapangan harta kepada mereka.
Mereka tidak akan menggunakan jurus “Aji Mumpung”, atau jurus “Selagi Ada”, untuk berfoya-foya, menikmati kelezatan sesaat. Tidak, sama sekali tidak demikian!. Kesempatan merasakan harta karunia Allah I yang jarang ada itu akan mereka maksimalkan untuk mengejar derajat yang tinggi dan mengejar pahala-pahala saudara-saudara mukmin mereka yang kaya, dengan amalan sedekah, menolong orang yang susah, membuat senang orang yang lemah, para janda, dan kegiatan lainnya berupa kebajikan yang menggunakan harta.
Contoh Para Sahabat Yang Kaya Ilmu dan Miskin Harta, tetapi Amalan Hartanya Luar Biasa
1. Abu Ubaidah Amir bin Abdullah bin Al-Jarrah Al-Fihri Al-Quraisyi
Niat para sahabat yang di uji dengan kesempitan harta amatlah tulus, dan hal itu bisa kita saksikan dalam kehidupan sehari-hari mereka. Sahabat Abu Ubaidah Amir bin Abdullah bin Al-Jarrah Al-Fihri Al-Quraisyi, adalah pemimpin tertinggi pasukan Islam di Syam. Ia adalah komandan yang pertama kali digelari Amir Al-Umara’, Jendral tertinggi dan panglima besar.
Pada masa kepemimpinannya, umat Islam berhasil mengalahkan pasukan imperium Romawi dalam pertempuran Yarmuk. Ia pula yang memimpin seluruh komandan Islam yang menaklukkan Baitul Maqdis, Damaskus, dan kota-kota penting lainnya di Syam.
Meski demikian, di rumahnya hanya ada selembar tikar, sebuah guci airwudhu, peralatan makan, dan persenjataan perang. Sama sekali tidak ada meja, kursi, dan ranjang, apalagi perabotan rumah tangga yang mewah dan mahal.
Khalifah Umar sempat berlinangan air mata menyaksikan kesederhanaan hidup panglima tertingginya. Beliaupun mengirimkan utusan membawa dua kantong uang, masing-masing berisi 400 (empat ratus) dinar. Sebuah diberikan kepada keluarga Abu Ubaidah bin Al-Jarrah dan sebuah lagi untuk keluarga Mu’adz bin Jabal.
Di waktu pagi, kantung uang santunan negara tersebut diterima oleh Abu Ubaidah bin Al-Jarrah dan Mu’adz bin Jabal. Ternyata, diwaktu sore semuanya sudah habis dibagi-bagikan kepada fakir miskin. Tak satu kepingpun yang dinikmati oleh keluarga kedua sahabat utama ini. Mendengar hal itu, khalifah Umar hanya mampu memanjatkan syukur : “Segala puji bagi Allah yang masih menyisakan orang-orang seperti mereka di tengah-tengah umat ini”.[1]
Dan pengaruh kedua sahabat ini (Abu Ubaidah bin Al-Jarrah dan Mu’adz bin Jabal) sangat banyak pada kalangan masyarakat Islam saat itu, mereka menjadi panutan di bidang pemahaman ilmu agama, walaupun hidup mereka sederhana. Kesederhanaan mereka bukan karena mereka tidak bisa bekerja atau malas bekerja, akan tetapi kesederhanaan mereka karena harta yang dia peroleh dengan kefahaman ilmu, hartanya banyak dipakai untuk hal yang paling utama setelah kewajiban pokok kepada keluarga ditunaikan, yaitu untuk jihad fi sabilillah.
2. Sa’id bin Amir bin Khudzaim
Sa’id bin Amir bin Khudzaim, adalah bawahan Panglima Islam Abu Ubaidah Amir bin Abdullah bin Al-Jarrah Al-Fihri Al-Quraisyi dan merupakan seorang komandan, beliau memang mengikuti dan meneladani atasannya yang sederhana tetapi berjuang dengan ilmu dan terkadang dengan harta yang dia miliki di saat lapang. Sa’id bin Amir bin Khudzaim, adalah seorang pemimpin Bani Jumah.
Bersama Mu’awiyah bin Abi Sufyan, ia memimpin penaklukan propinsi Qaisariyah. Penaklukan propinsi ini memakan waktu yang cukup lama, melalui sebuah peperangan dahsyat yang menewaskan lebih dari 80.000 pasukan Romawi dan memukul mundur lebih dari 100.000 sisanya. Dalam pertempuran ini Sa’id bin Amir bin Khudzaim mengalami luka yang sangat parah.
Sepeninggal Abu Ubaidah, Ia (Sa’id bin Amir bin Khudzaim) diangkat oleh khalifah Umar sebagai gubernur di propinsi Himsha, wilayah Syam. Tidak berapa lama setelah pengangkatan itu, delegasi penduduk Himsha datang ke Madinah.
“Tulislah untukku daftar nama warga kalian yang miskin, agar aku berikan santunan dari harta kaum muslimin”. Perintah khalifah Umar kepada mereka. Maka merekapun menulisnya sesuai permintaan khalifah, dan ketika khalifah membacanya ditemukan nama Sa’id bin Amir .
Maka khalifah bertanya : “Siapa ini Sa’id bin Amir ?”, penuh selidik!!!!.
“Ia adalah gubernur kami”. Jawab mereka.
“Yang benar saja, gubernur kalian miskin?”. Tanya khalifah.
“Ya!. Demi Allah, sering kali berlalu beberapa hari tanpa ada asap yang mengepul dari dapur rumah gubernur!”. Ujar mereka menerangkan.
Khalifah menangis mendengar pengakuan mereka. Beliau mengirimkan sebuah kantung berisi 1000 (seribu) dinar sebagai santunan bagi Sa’id bin Amir. Ketika delegasi penduduk Himsha menyerahkan kantung itu kepadanya, ia justru gemetar serta mengucapkan : “Inna lillahi wa inna ilaihi raaji’uun”.
Istrinya kaget dan bertanya : “Ada berita apa?. Apakah amir Al-mukminin Umar telah meninggal?”.
“Musibah yang menimpa lebih besar dari pada itu. Dunia telah masuk kepadaku untuk merusak akhiratku”, jawab Sa’id bin Amir.
“Kalau begitu lepaskan dirimu darinya”. jawab istrinya
“Maukah engkau membantuku?”, tanya Sa’id.
“Tentu saja!”, jawab istrinya
Maka Sa’id dan istrinya membagikan uang tersebut kepada kaum fakir miskin di daerah Himsha. [2]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar