Al Qur'an

يَا بُنَيَّ أَقِمِ الصَّلاَ ةَ وَ أْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَ انْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَ اصْبِرْ عَلَى مَا أَصَا بَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ اْلأُمُور [لقمان/17]

Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). (QS. Lukmaan (31) : 71

SILAHKAN DISEBARKAN

SILAHKAN DIPERBANYAK / DISEBARKAN DENGAN COPY PASTE ASAL SEBUTKAN SUMBERNYA, TERIMA KASIH

Senin, 29 Agustus 2011

Kitabul Hikam - Ibnu Atho’ilah : (No. 1) Pendahuluan Mengenal Ma,rifat



Ma’rifat adalah mengenal dan mengetahui. Yaitu mengenal dan mengetahui Allah I, dengan cara memperhatikan segala hasil ciptaanNya, mengenal dan mengetahui Allah I dengan mengerahkan seluruh potensi pemberianNya yang ada dalam jasad lahir, dan mengerahkan seluruh potensi yang ada dalam akal dan bathin. Hal ini berdasarkan hadits dari Rasulullah r yang berbunyi :

صحيح البخاري - (ج 1 / ص 87/ح 48) و صحيح مسلم - (ج 1 / ص 87/ح 9) :  أَنْ  تَعْبُدَ  اللَّهَ   كَأَ  نَّكَ  تَرَ اهُ  فَإِنْ  لَمْ  تَكُنْ  تَرَ اهُ   فَإِ نَّهُ يَرَ اكَ
“Sembahlah Allah seolah-olah engkau melihat kepadaNYA, bila engkau tidak melihat Allah, maka yakinkan (dalam hatimu) bahwa Allah melihat engkau” (Shahih Bukhari, hadits no. 48 ; Shahih Muslim, hadits no. 9)

Pada zaman khalifah Sayiddina Umar bin Khottob ada seorang penggembala yang menggembalakan kambing yang jumlahnya sampai beratus-ratus. Ketika Sayiddina Umar bin Khottob lewat disana, beliau tertegun pada kerajinan dan kasih sayang si gembala pada kambing-kambing gembalaannya, dan beliau memperhatikan si penggembala begitu bertanggung jawab pada kambing-kambing itu. Kemudian Sayiddina Umar bin Khottob yang tidak dikenali oleh si penggembala itu memanggilnya serta bertanya kepadanya, untuk melihat sifat dan akhlak penggembala tersebut :

Sayiddina Umar bin Khottob : “Wahai ananda!, aku sangat tertarik dengan kambing-kambing yang kamu rawat ini. Bolehkah aku membelinya seekor saja?”.
Penggembala : “Jangan....wahai tuan yang saya hormati, ini bukan kambing saya, melainkan punya majikan saya”.

Sayiddina Umar bin Khottob :  “Aaaah.......kalau dijual seekor saja tentu majikanmu tidak akan tahu, karena begitu banyaknya kambing-kambing tersebut, atau katakan hilang seekor saja ketika digembalakan atau dicuri orang, atau diterkam binatang buas..!”

Sipenggembala terkejut dan terheran-heran, maka dengan cepat tetapi tegas dan tepat, dijawabnya kalimat dari Sayiddina Umar bin Khottob tersebut dengan perkataan seperti ini :

Penggembala : “ Fa aynallooh yaa Sayyid ?(kalau begitu dimana Allah wahai tuan ?)

Sayiddina Umar bin Khottob terharu dan tergetar hatinya, betapa cahaya ketaqwaan terpancar dari ucapan seorang penggembala yang jauh didaerah pedusunan, yang jauh dari hiruk pikuk kemewahan dunia dan keindahannya, tetapi seorang penggembala tersebut membuat Sayiddina Umar bin Khottob terperanjat, terpesona oleh ketaqwaannya. Si penggembala begitu faham agama, dan dia mengerti, bahwa kalaupun majikannya tidak tahu, dibohongi atau ditipu sekalipun, dan tetap percaya kepada ucapannya, tetapi Allah I tidak bisa ditipu dan diperdaya, karena Allah I menyaksikan segala ucapan dan perbuatannya yang tampak maupun yang tidak tampak, yang terlihat maupun yang tersembunyi, yang diutarakan maupun yang dipendam di dalam hati.

Sayiddina Umar bin Khottob menangis dan memeluk penggembala tersebut dengan mengatakan “Engkau benar wahai ananda......engkau benar.......engkau benar, semoga Allah I merahmatimu dalam kehidupan di dunia maupun di akhirat”.

Lihatlah......betapa hati si penggembala melihat dan merasakan kehadiran Allah I, sehingga dia hidup tidak buta mata hatinya, dia hidup penuh dengan cahaya ilahai, dia berjalan dengan cahaya hidayah, dia beramal dengan penuh ketakwaan, sehingga amanah menjalankan tugasnya, lihat firman Allah I berikut, karena banyak juga manusia yang lebih baik hidupnya dibandingkan dengan si penggembala, tapi hatinya buta, fikiranya pendek dan tidak jernih, jiwanya kotor, hatinya mengeras karena perbuatan yang tak tahu arah, karena hatinya buta :

وَ  مَنْ   كَانَ   فِي   هَذِ هِ   أَعْمَى   فَهُوَ   فِي   اْلآَخِرَ ةِ   أَعْمَى   وَ  أَضَلُّ   سَبِيلاً   [الإسراء/72]

Dan barangsiapa buta (hatinya) di dunia ini (dengan tidak melihat Allah dalam hatinya), maka di akhirat dia akan buta (tidak kenal Allah) dan tersesat jauh dari jalannya (yang benar yaitu menuju rahmat dan keridhoan Allah). (QS.  Al Isra (17) : 72)

فَإِ نَّهَا  لاَ   تَعْمَى   اْلأَ بْصَارُ  وَ   لَكِنْ  تَعْمَى  الْقُلُوبُ   الَّتِي  فِي   الصُّدُورِ  [الحج/46]

Sebenarnya bukan mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah mata hati yang ada di dalam dadanya. (QS.  Al Hajj (22) :46)

Dengan ma’rifat kepada Allah I (mengenal Allah I), hati nurani manusia akan selalu dekat, dan terus ingin lebih dekat lagi, sehingga timbul rasa cinta, penuh harap, ketentraman dan penuh kegembiraan. Kegembiraan dan kebahagian bukan bersumber karena memiliki harta, pangkat, jabatan ataupun kepopuleran, tetapi bersumber dari segala sumber kebahagiaan yaitu mengenal Allah I kemudian merasakan cinta kepadaNYA.

Nabi Isa bin Maryam u berwasiat kepada para sahabatnya agar tidak salah mencintai, dengan kecintaan dunia yang melenakan sehingga tidak tahu kewajiban kepada Allah I dan melupakan tujuan hidup yang sebenarnya.

الزهد الكبير للبيهقي  - (ج 1 / ص 261/ح 257) : « رَ أسٌ   كُلِّ  خَطِيئَةِ  حُبُّ  الدُّ نْيَا »
Pangkal dari segala dosa (kejahatan) adalah terlalu mencintai dunia

Yang diharapkan oleh orang yang berusaha mengenal Allah I, ialah hidup ikhlas memohon keridhoan Allah I, tanpa pamrih apapun, kecuali berniat, beramal, berilmu, beriman hanya ingin selalu mengenal yang dipujanya, yang dicintainya, sehingga jiwa dan perasaannya terus menerus tumbuh kecintaan yang kuat nan menggelora, serta mempunyai kerinduan yang membuncah tak terkira kepada Allah I. Seorang pecinta yang seperti ini, enggan jiwanya dikotori oleh tujuan kepada selain Allah I, dia tak mau ilmu anugrah dari Allah I, dan amal perbuatan dari kesehatan tubuhnya, justru akan  menjauhkan dirinya dari yang dicintainya, mereka adalah pecinta dengan penuh ketulusan untuk menjalankan perintah Allah I tanpa tawar menawar, baginya dia akan mendengar dan akan selalu taat.

Pecinta Allah I, akan selalu mendidik jiwanya supaya waspada dari kotoran-kotoran jiwa, menjauhkan diri dari sifat-sifat yang tidak baik seperti riya’ (pamer amal perbuatan ingin pujian orang), sifat ujub (merasa bangga dengan dirinya karena kepandaian, amal, harta dll), yang menjurus kepada kesombongan dan kecongkakan serta angkuh kepada sesamanya. Sifat-sifat jahat seperti itu menuju egoisme.....bahkan yang terparah mempertuhankan diri sendiri, padahal hidup adalah mengabdi kepada Allah I. Lihat tujuan hidup kita seperti firman Allah I berikut :

وَ  مَا  خَلَقْتُ  الْجِنَّ  وَ  اْلإِ نْسَ   إِلاَّ   لِيَعْبُدُ و نِ   [الذاريات/56]
Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka senantiasa beribadah hanya kepada-Ku. (QS. Adz-Dzariyaat (51) : 56)


Orang yang mengenal Allah I dia tahu : “Allah I tidak akan beruntung jika disembah oleh manusia, ataupun rugi jika manusia tidak menyembahNYA. Tetapi dia tahu dengan mengerjakan perintah Allah I, maka akan terciptalah kebahagiaan dan kemakmuran untuk manusia itu sendiri”,


وَ  أَحْسِنْ   كَمَا   أَحْسَنَ   اللَّهُ   إِلَيْكَ وَ  لاَ   تَبْغِ   الْفَسَادَ   فِي   اْلأَرْضِ   إِنَّ   اللَّهَ   لاَ   يُحِبُّ   الْمُفْسِدِينَ     [القصص/77]
berbuat baiklah kamu (wahai manusia) sebagaimana Allah telah Berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan. (QS. Al Qashash (28) : 77)


Jelaslah sekarang, aturan Allah I yang ditaati dan dijalankan dengan baik bukan untuk keuntungan Allah I, tetapi untuk keuntungan manusia itu sendiri. Sebaliknya jika manusia mengabaikan aturan Allah I ini, akibatnya manusia akan berbenturan satu sama lain, sehingga terjadi peperangan yang tak berkesudahan, saling menzalimi, saling menindas, saling memperalat, sehingga timbul dendam sesama umat, sesama bangsa dan suku yang menimbulkan kerusakan lahir dan bathin.


Supaya tidak timbul kerusakan dimuka bumi, maka manusia diarahkan Allah I dengan aturanNYA supaya tidak egois, tidak tamak dan serakah, tidak kikir, dan lain sebagainya. Dengan kata lain supaya manusia bisa membina dirinya dan mengendalikan segala sifat negatifnya. Jika emosi jiwanya terkontrol maka hawa nafsunya dikontrol sesuai dengan aturan Allah I, sehingga emosinya (hawa nafsunya) terdorong untuk melakukan kebaikan terus-menerus.


Al Junaid mengatakan bahwa seseorang yang ingin mengenal Allah I, harus membatasi dirinya dengan 4 (empat) perkara :

1.        Orang yang ma’rifat, dia telah mengenal Allah I, sehingga antara dia dengan Allah I tidak ada perantara lagi (tidak butuh makhluk sebagai perantara dalam permohonannya secara bathin), dia selalu berkomunikasi langsung tiap saat.

2.  Seluruh tuntunan hidupnya mengikuti ajaran Rasulullah r dan berusaha mengamalkannya dengan amalan yang terbaik, serta berusaha meninggalkan akhlaq yang rendah dan hina.

3.   Membina hawa nafsunya dengan tuntunan yang Allah I turunkan, dengan mencontoh dan meneladani kehidupan para nabi.

4.            Selalu mempunyai prinsip : “KITA INI SEMUANYA DARI ALLAH I DAN AKAN KEMBALI KEPADA ALLAH”

Langkah awal supaya bisa mencintai Allah I, adalah dengan mengenalNYA, supaya kenal maka harus tahu aturan-aturanNYA, supaya tahu aturan-aturanNYA maka kita harus mengetahui isi dari kitab yang diturunkanNYA dan contoh-contoh yang diajarkan para nabiNYa, supaya mengetahui isi kitabNYA, maka kita harus berguru kepada para ustad dan utadzah, supaya ada guru yang menerangkan dengan baik dan mengarahkan, tidak seenaknya belajar tanpa berguru kepada para Ulama, karena beliau adalah pewaris para nabi.

سنن أبي داود - (ج 10 / ص 49/ح 3157) و سنن الترمذي - (ج 9 / ص 296/ح 2606) و سنن ابن ماجه - (ج 1 / ص 259/ح 219) و مسند أحمد - (ج 44 / ص 192/ح 20723) و سنن الدارمي - (ج 1 / ص 383/ح 351) و صحيح ابن حبان - (ج 1 / ص 171/ح 88) :   حَدَّ ثَنَا  مُسَدَّدُ  بْنُ  مُسَرْهَدٍ  حَدَّ ثَنَا عَبْدُ اللَّهِ  بْنُ  دَاوُدَ  سَمِعْتُ  عَاصِمَ  بْنَ رَجَاءِ  بْنِ  حَيْوَةَ   يُحَدِّثُ  عَنْ  دَاوُدَ   بْنِ  جَمِيلٍ  عَنْ   كَثِيرِ بْنِ  قَيْسٍ  قَالَ  كُنْتُ جَالِسًا مَعَ أَبِي الدَّرْدَاءِ فِي مَسْجِدِ دِمَشْقَ فَجَاءَهُ رَجُلٌ فَقَالَ يَا أَبَا الدَّرْدَاءِ إِنِّي جِئْتُكَ مِنْ مَدِينَةِ الرَّسُولِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِحَدِيثٍ بَلَغَنِي أَنَّكَ تُحَدِّثُهُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا جِئْتُ لِحَاجَةٍ قَالَ فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ  وَ إِنَّ  الْعُلَمَاءَ وَرَ ثَةُ  اْلأ َنْبِيَاءِ  وَ إِنَّ  الأَ نْبِيَاءَ  لَمْ  يُوَرِّ ثُوا  دِينَارًا  وَ  لاَ  دِرْهَمًا  وَرَّ ثُوا  الْعِلْمَ   فَمَنْ    أَخَذَهُ  أَخَذَ  بِحَظٍّ  وَ افِرٍ

Hadits dari Abu Darda t, dari Rasulullah r beliau bersabda : “Sesungguhnya Ulama itu pewaris para Nabi dan sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar atau dirham, yang mereka wariskan hanyalah ilmu, maka barang siapa yang telah mengambilnya, maka ia telah mengambil bagian yang banyak”

صحيح البخاري - (ج 22 / ص 287/ح 6767)  و  موطأ مالك - (ج 5 / ص 377/ح 1400) و  صحيح مسلم - (ج 5 / ص 239/ح 1719) و سنن الترمذي - (ج 9 / ص 241/ح 2569) و سنن ابن ماجه - (ج 1 / ص 256/ح 216) و مصنف عبد الرزاق - (ج 11 / ص 403/ح 30851) و المعجم الأوسط للطبراني - (ج 3 / ص 452/ح 1491) و سنن الدارمي - (ج 1 / ص 254/ح 230) و مستخرج أبي عوانة - (ج 14 / ص 483/ح 6063) و مسند أبي يعلى الموصلي - (ج 15 / ص 187/ح 7216) و صحيح ابن حبان - (ج 1 / ص 173/ح 89) و مسند ابن راهويه - (ج 1 / ص 400) :  حَدَّ ثَنَا  إِسْمَا عِيلُ  حَدَّ ثَنَا  ابْنُ  وَهْبٍ  عَنْ   يُونُسَ  عَنِ  ابْنِ  شِهَابٍ  أَخْبَرَ  نِي  حُمَيْدٌ  قَالَ  سَمِعْتُ  مُعَاوِيَةَ  بْنَ   أَ بِي  سُفْيَانَ يَخْطُبُ   قَال َ  سَمِعْتُ  النَّبِيَّ  صَلَّى  اللَّهُ  عَلَيْهِ  و َ  سَلَّمَ   يَقُو لُ   مَنْ   يُرِدْ  اللَّهُ   بِهِ   خَيْرً ا   يُفَقِّهْهُ   فِي  الدِّينِ  

Dari Muawiyah Ibnu Abi Sufyan t, dari Rasulullah r ia bersabda : “ Barang siapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allah I, maka Dia akan menjadikannya faham tentang agamanya”.

Imam Al Ghazali berkata : seperti dimaklumi bahwasanya tidak ada derajat diatas derajat para nabi dan tidak ada kemuliaan diatas mulianya pewaris derajat itu. Hal ini dipekuat lagi dengan sabda Rasulullah r :

و سنن الدارمي - (ج 1 / ص 383/ح 351) :  لَيَسْتَغْفِرُ  لَهُ  مَنْ  فِى  السَّمَوَ اتِ  وَ الأَرْضِ

semua yang ada di langit dan dibumi itu memohonkan ampun bagi orang yang berilmu.


Maka kedudukan manakah yang melebihi kedudukan orang yang semua mahkluk memohonkan ampun baginya?. Ia sibuk dengan dirinya sendiri, ditambah mereka semua  yang berada dilangit dan di bumi sibuk memohonkan ampunan baginya?. Rasulullah r bersabda  pula :

" إِنَّ  اْلحِكْمَةَ  تَزِ يْدَ  الشَّرِ يْفَ  شَرَ فاً وَ تَرْ فَعَ  اْلمَمْلُوْ كَ  حَتَّى  يُدْرِكَ  مَدَارِ كَ  اْلمُلُوْ كِ "

sesungguhnya hikmah ilmu itu menambah orang yang mulia akan kemuliaannya dan mengangkat hamba sahaya sehingga mencapai derajat para raja-raja.

Dengan Ilmu, ternyata membuat seseorang menjadi penguasa dunia dan akhirat. Maka sungguh rugi bagi mereka yang ingin mengenal Allah tanpa mau mempelajari ilmu yang diturunkan Allah I lewat para nabiNYA.

Rasulullah r bersabda, yang diriwayatkan oleh Imam At-Turmudzi dari hadits Abu Hurairah t :


" خَصْلَتَانَ  لاَ   يَكُوْ نَانِ   فِي مُنَا فِقٍ  :  حَسَنٍ  سُمْتٍ   وَ  فِقْهٍ   فِي  الدِّ يْنِ "

Dua budi pekerti yang tidak terdapat di dalam diri orang munafik, yaitu perilaku yang baik dan kepahaman dalam agama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar